Anda di halaman 1dari 13

NAMA:

NPM:

Paper Perbandingan Hukum Pidana


Manfaat Perbandingan Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Abstrak
Mempersoalkan eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pembaharuan
hukum pidana setidaknya dapat dilakukan baik dalam perspektif yuridis maupun teoritis.
Tulisan ini mencoba membahas dan menjelaskan dua perspektif penting tentang hukum
yang hidup dalam masyarakat dalam pembaharuan hukum pidana. Pertama, bagaimana
posisi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pembaharuan hukum pidana dilihat dari
perspektif teori hukum. Kedua, sejauh mana hukum yang hidup dalam masyarakat
memperoleh justifikasi untuk dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana. Kedua
permasalahan tersebut ditelaah secara doktrinal dan menghasilkan temuan seperti berikut:
Pertama, kontribusi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pembaharuan hukum
pidana memperoleh penguatan secara teoritis. Kedua, kontribusi hukum yang hidup dalam
masyarakat dalam pembaharuan hukum pidana juga memperoleh justifikasi tidak saja oleh
instrumen hukum nasional, tetapi juga oleh instrumen hukum internasional. Kata kunci:
hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum pidana nasional, pembaharuan hukum.

Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pembaharuan hukum, termasuk pembaharuan hukum pidana,1 hakikatnya
merupakan pembaharuan terhadap pokok-pokok pemikiran—sering juga dimaknai
sebagai pembaharuan konsep atau ide dasar—bukan sekedar mengganti
2
perumusan pasal secara tekstual. Meski paparan tekstualnya tak bisa diabaikan,
nilai dasar dibalik yang tekstual itu adalah kepentingan prioritasnya. Artinya, dalam
pembaharuan hukum, termasuk dalam pembaharuan hukum pidana, pembaharuan
terhadap nilai-nilai itulah yang menjadi kebutuhan mendasarnya. Sebab substansi
hukum adalah nilai. Hukum sejatinya merupakan gambaran atas sebuah tata nilai.
Hukum bukanlah rangkaian kata-kata mati dan kosong. Karena itu, seindah dan
sebaik apapun paparan tekstualnya, ia tak dapat diberi kualitas sebagai hukum,

1 Jika disebut istilah “hukum pidana”, menurut kelaziman dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
maka yang dimaksud adalah “hukum pidana materiil”
2 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2005, h. 4
manakala tidak berisi dan tidak menjelmakan sebuah tata nilai. 3 Menilik hakikatnya
yang demikian, maka pembicaraan tentang pembaharuan hukum pidana dalam
tulisan ini akan dimulai dengan pembicaraan tentang pokok-pokok pemikiran atau ide
dasar yang menjadi landasan sekaligus rambu-rambunya.
Secara konseptual, terdapat sejumlah pokok pikiran atau ide dasar yang
melandasi dan menjadi rambu-rambu dalam pembaharuan hukum pidana nasional.
Muladi menyebut setidaknya ada lima pokok pikiran atau rambu-rambu dalam
pembaharuan hukum pidana nasional. Masing-masing adalah:4
1. pembaharuan hukum pidana selain dilakukan atas alasan sosiologis,
politis dan praktis, secara sadar harus disusun dalam kerangka
ideologi nasional Pancasila.
2. pembaharuan hukum pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia
dengan tetap mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat baik
sebagai sumber hukum positif maupun sebagai sumber hukum yang
bersifat negatif.
3. pembaharuan hukum pidana harus disesuaikan dan diadaptasikan
dengan kecenderungan kecenderungan universal yang tumbuh di
dalam pergaulan masyarakat beradab.
4. dengan mengingat sifat keras peradilan pidana serta salah satu tujuan
pemidanaan yang bersifat pencegahan, maka pembaharuan hukum
pidana harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif.
5. pembaharuan hukum pidana harus selalu tanggap dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan
efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.
Mempertegas apa yang dikemukakan Muladi di atas tergambar secara jelas,
bahwa pembaharuan hukum—termasuk pembaharuan hukum pidana—tidak dapat
mengabaikan aspek-aspek tradisi Indonesia dengan Secara normatif pembaharuan
hukum pidana (Penal reform) di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa: "Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut undang undang dasar ini (UUD-1945)" hukum pidana nasional. 5
3 Sudarto menjelaskan persoalan ini dengan sangat terang. Menurut beliau dibalik hukum adalah
“norma”, dan dibalik “norma” adalah “nilai”. Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1989, h. 2.
4 Ibid., h. 143-170
5 Berkelindan dengan yang dikemukakan Muladi, Nyoman Serikat Putra Jaya juga menyatakan,
berdasarkan perspektif kajian perbandingan dan kajian keilmuan, pengakuan terhadap eksistensi
Bahkan menurut Muladi, kehadiran hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut
tidak saja hanya dimungkinkan berkontribusi sebagai sumber hukum yang bersifat
negatif, tetapi juga sebagai sumber hukum positif. Artinya, nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat tersebut dapat berkontribusi sebagai nilai yang menghapus atau
menegasikan sifat melawan hukumnya perbuatan yang sudah nyata-nyata diatur
dalam undang-undang (sumber hukum yang bersifat negatif).
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) berlaku di Indonesia. 362 Dan kemudian mulai tahun 1946 melalui Undang-
undang No 1 Tahun 1946, karena berbagai perkembangan dan kebutuhan
masyarakat yang semakin cepat maka dibuatlah beberapa Undang-undang Pidana
di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sekalipun demikian, tuntutan
terhadap perubahan-perubahan materi yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana semakin hari semakin nyata. Sejak saat itulah pembaruan hukum
pidana sudah mulai untuk dilaksanakan.
Peraturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik
dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat
penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang
sangat sehat dan konsisten. Dapat diperhitungkan bahwa KUHP dari negara-negara
Eropa Barat yang bersifat Individualistis-Kapitalistis itu bercorak lain daripada KUHP
dari Negara-negara Eropa Timur yang berdasarkan politik sosialis. Di negara kita
berpandangan politik berdasarkan pancasila, sedangkan pandangan tentang hukum
pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, negara,
masyarakat, dan kriminalitas (kejahatan)
Dengan demikian, artinya telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum
pidana dan hukum pidana yang berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar yang
berasal dari zaman kolonial, dan menggantikannya dengan tata hukum dan hukum
pidana Indonesia, yang asas-asasnya dan dasar pokoknya harus berdasarkan
Pancasila. Mengenai banyaknya produk perundang-undangan kolonial yang masih
dipergunakan, yang kaitannya dengan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang
dasar 1945, R. Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan bahwa:
"Dengan berlakunya aturan peralihan tersebut, dan ditambah pula dengan
tidak dilaksanakannya ayat 2 dari undang-undang dasar tahun 1945, yakni aturan
yang mengharuskan dibentuknya dan bersidangnya Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam tempo 1 tahun maka tetaplah Republik Indonesia dalam waktu revolusi
bersenjata itu pada pokoknya masih dibawah pengaruh peraturan peraturan yang
hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum bukanlah sesuatu yang asing.
Nyoman Serikat Putra Jaya, “Hukum (Sanksi) Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional”, Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45, Nomor 2, April 2016, h. 12
berasal dari penjajahan Belanda, baik di lapangan hukum Tata Usaha Negara, dan
Tata Negara, bahkan hingga sekarang ini Rakyat Indonesia masih dibawah
pengaruh peraturan peraturan yang berasal dari penjajahan Belanda...."
Dari hal di atas, selanjutnya R.Iwa Kusuma mengemukakan pendapatnya
mengenai KUHP. la mengatakan bahwa: Kitab Undangundang Hukum Pidana yang
masih berlaku sekarang ini berasal dari zaman penjajahan. Di dalamnya masih
terdapat anasir-anasir yang sama sekali tidak sesuai dengan keadaan sekarang ini.
Maka secara jelas, apa yang dikatakan oleh R.Iwa Kusuma tersebut, bahwa
diperlukanlah perubahan terhadap KUHP, hal ini merupakan suatu yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi, bahkan hal ini sudah dapat diprediksi jauh sebelumnya. Dengan
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum pidana
dalam pasal V dan Pasal VIII, telah berusaha untuk menyesuaikan peraturan-
peraturan hukum pidana dengan suasana kemerdekaan. Akan tetapi, pada
hakikatnya asas-asas hukum pidana kolonial masih tetap mempengaruhi
pelaksanaan dalam praktek hukum pidana Indonesia..
2. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah Manfaat/Kegunaan Perbandingan Kegunaan Perbandingan
Hukum menurut Teori Mixed Legal System
2) Bagaimanakah Manfaat Perbandingan Hukum dalam Pembaharuan Hukum
Pidana di Indonesia

PEMBAHASAN
1. Manfaat/Kegunaan Perbandingan Kegunaan Perbandingan Hukum menurut
Teori Mixed Legal System
Perbandingan Hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan
menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan hubungan
erat antara berbagai sistem sistem hukum, melihat perbandingan lembaga lembaga
hukum dan konsep konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas
masalah masalah tertentu dalam sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti
pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain lain. Perbandingan hukum pidana
yaitu metode umum dari suatu perbandingan dan penelitian perbandingan yang
dapat diterapkan dalam bidang hukum.6 Menurut Randall tujuan perbandingan
hukum adalah usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hukum asing,

6 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: PT. Hati Aneska, 2009),
h. 9
mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing dalam
rangka pembaharuan hukum7
Manfaat yang dapat diperoleh dalam mempelajari perbandingan hukum
pidana sangat besar baik sebagai cabang ilmu hukum pidana, maupun dalam
praktek peradilan pidana, planet tempat kita berdiam ini semakin hari hari semakin
sempit, globalisasi telah berlangsung dengan sangat pesat, baik dalam bidang
ekonomi dan perdagangan maupun dalam bidang kebudayaan dan hukum. Ada
beberapa pendapat mengenai manfaat mempelajari perbandingan hukum yaitu
sebagai berikut :
1. Menurut Rene David dan Brierly ada beberapa manfaat dalam
mempelajari perbandingan hukum yaitu dapat memahami lebih baik,
untuk mengembangkan hukum nasional kita sendiri, membantu dalam
mengembangkan pemahaman terhadap bangsa-bangsa lain serta
dapat memberikan sumbangan untuk menciptakan hubungan
/suasana yang baik bagi perkembangan hubungan internasional8
2. Menurut Tahir Tungadi manfaat dalam mempelajari perbandingan
hukum adalah berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional,
regional maupun internasional. Mempelajari perbandingan hukum
juga berguna untuk harmonisasi hukum antara konvensi internasional
dengan peraturan perundang-undangan nasional. Sedangkan untuk
pembaharuan hukum, yakni dapat memperdalam pengetahuan
tentang hukum nasional dan dapat secara objektif melihat kebaikan
dan kekurangan hukum nasional.9
3. Giuditta Cordero Moss mengatakan Ada 5 tujuan mempelajari
perbandingan hukum yaitu memperbaiki hukum nasional, membuat
dan membangun hukum nasional, sebagai alat dalam proses
pembelajaran, alat harmonisasi hukum dan alat untuk mencapai
tujuan hukum.10
4. Peter De Cruz menyajikan secara sistematis tentang fungsi dan tujuan
mempelajari hukum komparatif. Ia mengemukakan lima fungsi dan
tujuan hukum komparatif yang meliputi Hukum komparatif sebagai
disiplin akademis, hukum komparatif sebagai bantuan bagi legislasi

7 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum ( Bandung : Refika Aditama, 2007 ), halaman 19.
8 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum ( Jakarta : Rajawali Pers, 2008)
,halaman 17
9 Ibid, halaman. 18.
10 Salim dan Erlies Septiana, Perbandingan Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,
halaman 10.
dan perubahan hukum, hukum komparatif sebagai perangkat
konstruksi dan hukum komparatif sebagai sarana untuk memahami
peraturan hukum dan sebagai kontribusi sebagai penyatuan
11
sistematik dan harmonisasi hukum
Selain itu dalam hal mempelajari perbandingan hukum pidana adalah jika
suatu Negara hendak merevisi atau menyusun kuhp baru, jalan yang paling mudah
untuk memperoleh data tentang asas, rumusan delik, sistem pidana modern ialah
dengan cara membaca dan membandingkan beberapa kuhp yang baru revisi atau
baru disusun. Sebelum melakukan perbandingan hukum, perlu terlebih dahulu
mempelajari sistem hukum dari masing masing Negara karena setiap Negara
mempunyai sistemnya sendiri sendiri. Untuk mempermudah masing masing sistem
hukum dari masing masing negara,oleh karena itu diadakan klasifikasi sistem hukum
yang ada dalam beberapa keluarga hukum indonesia merupakan salah satu Negara
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak diantara Negara Negara Asia tenggara
dan terus berkembang di setiap kalangan masyarakat Indonesia
Seorang ilmuwan perbandingan hukum Esin Örücü dari School of Law,
University of Glasgow, Inggris, yang dengan karyanya The Enigma of Comparative
Law: Variations on a Theme for the Twenty First Century 12 menjelaskan pemikiran
tentang abad mendatang dapat menjadi “the era of comparative law”. Menurut Esin
Orucu (2000) diferensiasi yang dilakukan oleh Lambert maupun Wigmore dengan
mengatakan bahwa maka perbandingan hukum sebagai disiplin akademis tidaklah
berdiri sendiri, artinya bukan hanya merupakan studi tentang satu sistem hukum
asing atau bagian dari sistem asing itu, dianggap sebagai kategorisasi lampau dan
kini menuju akhir abad ke 20, sejumlah pendekatan yang berbeda terhadap
perbandingan hukum menjadi menonjol dan mendominasi. Di satu pihak
pendekatan-pendekatan tersebut meninggikan prospek perbandingan hukum, di lain
pihak, dapat mengenyampingkannya dan mengubah karakternya.
E. Lambert melalui teorinya yang mengetengahkan 3 (tiga) bagian yang bisa
dimasukkan dalam terminologi perbandingan hukum, yakni:
1. Descriptive comparative law. Descriptive ini berkenaan dengan
inventarisasi sistem pada masa lalu dan kini sebagai suatu
keseluruhan, seperti aturan-aturan individual yang mana sistem ini
ditegakkan untuk beberapa kategori hubungan-hubungan hukum.

11 Ibid, halaman 11.


12 Esin Örücü, The Enigma of Comparative Law: Variations on a Theme for the Twenty-first Century
(Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2004).
2. Comparative history of law. Comparative history of law secara tertutup
berkaitan dengan ilmu hukum etnologis (ethnological jurisprudence),
folklore, sosiologi hukum, dan filsafat hukum.
3. Comparative legislation (atau tepatnya comparative jurisprudence).
Comparative legislation mempresentasikan usaha untuk
mendefinisikan ruang umum yang menjadi doktrin hukum nasional,
sebagai hasil pembangunan studi hukum sebagai suatu ilmu dan
usaha membangunkan kesadaran hukum internasional.
Adapun menurut J.H. Wigmore yang juga membagi perbandingan hukum ke
dalam 3 (tiga) bagian yaitu:
1. comparative nomoscopy, yang menggambarkan sistem-sistem
hukum,
2. comparative nomothetics, yang menganalisis kebaikan-kebaikan
sistem, dan
3. comparative nomogenetics, yang melakukan studi pembangunan ide-
ide dan sistem-sistem hukum dunia.
Dalam perbandingan hukum ini Esin mengeluarkan teori ‘critical comparative
law”. Teori ini bertolak dari kebanyakan para komparatif belakangan ini yang lebih
berorientasi pada konvergensi dan divergensi, ketidak tepatan dalam mentransfer,
problem-problem importir dan eksportir atas ide-ide dan institusi-institusi hukum
secara konstruktif dapat didekati sebagai “critical comparative law”. Pendekatan ini
dapat ditempatkan sebagai antitesis terhadap “traditional comparative law” atau
“conventional comparative law”. Namun, pemilihan terminologi bukan dikonstruksi
pada pengertian bahwa “critical comparative law” sebagai cabang dari “critical legal
studies movement”. Pergeseran dan perubahan horizon perbandingan hukum seperti
itulah yang menurut Esin Orucu harus dianalisis melalui pendirian kritis (critical
stance). Oleh karenanya, oleh Esin Orucu dipersoalkan “apakah suatu nama yang
berbeda atau suatu pendekatan baru dalam perbandingan hukum?”.
Gagasan Orucu bahwa beberapa sistem hukum saling bercampur lebih
praktis dan akurat karena relasi internasional menciptakan pengaruh signifikan pada
sistem hukum di tiap-tiap negara.13 Percampuran sistem hukum (mixed legal system)
merupakan perkembangan dan klasifikasi klasik dari suatu sistem hukum. Orucu
memberikan beberapa contoh percampuran sistem hukum dan menyebutkan
percampuran sederhana (simple mixes) antara sistem hukum civil law dan common

13 Esin Orucu, “What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion”, Electronic Journal of
Comparative Law, Vol.12, No.1,May 2008, hlm. 2
law serta percampuran kompleks (complex mixes) antara kedua sistem hukum
tersebut dengan hukum agama atau hukum adat.14
. Dalam hal ini, perdebatan beralih pada persoalan sejauh mana
perbandingan itu dapat dilakukan. Adakah hanya terbatas pada data hukum atau
dapat juga melibatkan data-data non-normatif yang diyakini berhubungan dengan
data hukum. Perbedaan cara pandang tentang cakupan kajian perbandingan hukum
ini didasari pada perbedaan memahami teori perbandingan (comparability). Hal ini
dipengaruhi oleh pemahaman yang berbeda dalam mengartikan terma “hukum” itu.
Hukum dapat dimaknai sebagai suatu sistem norma (system of norm) maupun
sebagai nomos yang mencakup semua idea, nilai-nilai maupun idealita yang
berhubungan dengan suatu tata aturan (normative orderings). Oleh karena itu,
subjek perbandingan itu dapat saja bersifat luas, mencakup semua unsur yang dinilai
berhubungan dengan data normatif itu, terlepas itu hubungan secara langsung
maupun tidak. Perbandingan itu dapat dilakukan terhadap area hukum dan tradisi
hukum apa saja. Namun, disisi lain, di perbandingan itu dapat dipahami bersifat
sempit, karena data hukum saja yang diterima sebagai subjek kajiannya, dan itupun
tidak semua hal hukum dapat diperbandingkan dengan semaunya, hanya terbatas
pada apa yang dianggap mengandung unsur komparabilitas. Ini sejalan dengan
paham terma hukum yang terbatas pula.

2. Hasil Analisis Manfaat Perbandingan Hukum dalam Pembaharuan Hukum


Pidana di Indonesia
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia.15 Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna
yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan
kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van
Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van
Strafrecht Negeri Belanda tahun 1886.16 Dari hal tersebut di atas, terkandung tekat
dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang
dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan

14 Ibid.
15Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. Hal. 30
16 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung, hal 4.
sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan
substansi hukum pidana yang dicita-citakan.17
Kebutuhan pembaharuan hukum pidana bersifat menyeluruh (komprehensif)
sudah dipikirkan oleh pakar hukum pidana sejak tahun 1960-an yang meliputi hukum
pidana pidana materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana. Usaha
pembaharuan hukum pidana sudah dimulai sejak masa permulaan berdirinya
Republik Indonesia, yaitu sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 di Jakarta. Guna menghindari kekosongan hukum, UUD 1945 memuat
tentang aturan peralihan. Pada pasal II aturan peralihan dikatakan bahwa “segala
badan negara dan peraturan masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut undang undang dasar ini”. Ketentuan tersebut berarti bahwa hukum
pidana dan undang-undang pidana yang berlaku pada saat itu, yaitu selama masa
pendudukan tentara jepang atau belanda, sebelum ada ketentuan hukum dan
undang-undang yang baru.
Makna dari pembaharuan hukum pidana bagi kepentingan masyarakat
Indonesia mengacu pada dua fungsi dalam hukum pidana, yang pertama fungsi
primer atau utama dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan.
Sedangkan fungsi sekunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam
menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk menanggulangi
kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, disamping usaha
non penal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut, pembentukan
hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.
Kebutuhan pembaharuan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari
KUHP yang bersifat dogmatis. KUHP warisan kolonial ini dilatarbelakangi pada
pemikiran/paham individualisme-liberalisme dan sangat dipengaruhi oleh aliran klasik
dan neoklasik Terhadap teori hukum pidana dan pemidanaan dari kepentingan
kolonial Belanda di Negeri-negeri jajahannya.18 Undang-undang pidana ini bukan
berasal dari pandangan/konsep nilai-nilai dasar (grundnorm) dan kenyataan sosio-
politik, sosio-ekonomi, dan sosio-budaya yang hidup di alam pikiran
masyarakat/bangsa Indonesia sendiri. Sehingga KUHP yang berlaku ini tidak akan
cocok lagi dengan pemikiran manusia indonesia dewasa ini.
Apabila dihubungkan antara penyebab perubahan masyarakat dengan
kondisi faktual yang mendorong perubahan KUHP, kebutuhan terhadap perubahan

17 Barda Nawawi Arief, Op Cit.


18 Teguh dan Aria, 2011, Hukum Pidana Horizon baru Pasca Reformasi, RajaGrafindo Persada,
Jakarta. Hal. 8
KUHP dikarenakan sebagian besar materinya yang masih merupakan produk
kolonial sehingga dikhawatirkan tidak sesuai lagi dengan semangat dan jiwa juang
bangsa kita (Indonesia). Di samping itu juga, adanya berbagai perubahan kehidupan
masyarakat dengan kondisi faktual yang mendorong perubahan KUHP adalah akibat
dari kemajuan teknologi informasi seperti adanya Internet, yang mengharuskan perlu
adanya penyesuaian antara KUHP dengan perkembangan masyarakat. Selain itu
juga, adanya kejahatan-kejahatan baru yang timbul sebagai akibat dari kemajuan
teknologi informasi praktis, yang sukar untuk dijerat dengan hanya mendasarkan
pada ketentuan perundang-undangan yang dibentuk dalam suasana serba
tradisional, atau konvensional.
Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari upaya pembaharuan atau
pembangunan sis tern hukum nasional, adalah merupakan masalah yang sangat
besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah yang tengah dihadapi adalah
masalah memperbaharui dan mengganti produk produk kolonial di bidang hukum
pidana, khususnya pembaruan KUHP (WvS) warisan zaman Hindia Belanda yang
merupakan induk dari keseluruhan sistem hukum pidana saat ini. Upaya ini jelas
merupakan tuntutan dan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan tuntutan
nasionalisme dan yang paling penting adalah tuntutan kemandirian dari bangsa yang
merdeka.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform)
harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena itu, pada hakikatnya
pembaruan hukum pidana itu adalah merupakan bagian dari suatu kebijakan.
Dikatakan sebagai suatu upaya kebijakan karena pembaruan hukum pidana ini
diperuntukkan sebagai pembaharuan suatu substansi hukum (Legal substance)
dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum. Selain itu juga, kebijakan
yang dimaksud adalah untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam
rangka perlindungan masyarakat. Orientasi Barda Nawawi Arief dalam pembaharuan
hukum pidana seperti di bawah ini.
1. Dilihat dan sudut pendekatan kebijakan: pembaruan hukum pidana
dapat berorientasi kepada kebijakan sosial yang pada hakikatnya
adalah bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan). Sedangkan sebagai kebijakan
kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya adalah bagian
dari upaya perlindungan terhadap masyarakat.
2. Dilihat dari segi kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui
substansi hukum.
3. Pembaruan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (The living law), antara
lain dalam hukum agama dan hukum adat.
Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief Bahwa perlu adanya harmonisasi,
atau sinkronisasi, dan konsistensi antara pembangunan dan pembaharuan hukum
nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosial-filosofis dan sosio kultural yang ada
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan pembaruan hukum
pidana (KUHP) nasional, perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilai-nilai
nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat (nilai-nilai religius, maupun nilai-nilai budaya atau adat). Maka
seyogyanya pembaruan hukum pidana itu harus dilatarbelakangi oleh ide dasar
(basic ideas) dari Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai:
moral religius (ketuhanan); kemanusiaan (humanistik); kebangsaan; demokrasi; serta
keadilan sosial. Pengkajian permasalahan hukum yakni harmonisasi, atau
sinkronisasi, dan konsistensi antara pembangunan dan pembaharuan hukum
nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosial-filosofis dan sosio kultural dilakukan
dengan menggunakan perbandingan hukum. Sebagaimana pada mulanya konsep
perbandingan hukum digunakan sai metode untuk mengkaji dalam pembaharuan
hukum pidana sehingga akan menjadi sistem hukum nasional yang berlandaskan
Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan.
Jadi, pembaruan hukum pidana (KUHP), tidak dapat dilepaskan dari ide atau
kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila
sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini mengandung arti
bahwa pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga harus
dilatarbelakangi oleh sumber-sumber yang berorientasi kepada ide dasar (basic
ideas) Pancasila, yang di dalamnya mengandung konsep ketuhanan, kemanusiaan,
kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Dalam laporan simposium
Pembaharuan hukum Pidana Nasional, yang diadakan di Semarang pada tanggal
28-30 Agustus 1980, mengatakan bahwa apa yang dinamakan dengan
pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana nasional adalah pada
hakikatnya suatu usaha yang langsung menyangkut harkat dan martabat bangsa dan
negara Indonesia serta merupakan sarana pokok bagi tercapainya tujuan nasional.
Oleh karena itu, dalam upaya pembaruan hukum pidana (KUHP) nasional
yang saat ini tengah diperbincangkan, khususnya dalam rangka menggantikan
KUHP warisan Belanda, pembaruan hukum pidana ini memerlukan kajian komparatif
yang mendasar, fundamental, konseptual, kritis dan konstruktif. Dengan kata lain,
pada hakikatnya pembaruan hukum pidana ini erat kaitannya dengan latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang
dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat kita tinjau dari aspek
sosial-politik; sosio-filosofis; sosio-kultural; atau dari berbagai aspek kebijakan
(khususnya kebijakan sosial; kebijakan kriminal; dan kebijakan penegak hukum).
Intinya pembaruan hukum pidana ini mengandung unsur makna, suatu upaya untuk
melakukan reorientasi atau reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosio-politik, sosio-filosofis serta sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial; kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum.
Maka dari itulah, Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kebijakan (policy).
Pembaruan KUHP sebagaimana yang dimaksud di atas, haruslah memenuhi
kajian yang komparatif, yang mendasarkan kajiannya kepada konseptual yang lebih
luas. Dalam hal ini, salah satu kajian yang cukup mendapatkan perhatian adalah
kajian terhadap keluarga hukum (Family law) yang lebih dekat dengan karakteristik
masyarakat dan sumber hukumbangsa Indonesia. Kalau kita lihat karakteristik
bangsa kita, adalah lebih bersifat monodualistik, serta pluralistik; dan berdasarkan
berbagai kesimpulan dari seminar hukum nasional. Sumber hukum nasional
diharapkan lebih berorientasi kepada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yaitu
berdasarkan nilai-nilai hukum adat dan agama. Kajian inilah menurut Barda Nawawi
Arief jika kita lihat dari sudut "traditional and religious" law family. I

Penutup
Dalam pembaruan hukum pidana (KUHP) perlu kita laksanakan dengan nilai-nilai
yang berorientasi kepada nilai-nilai keagamaan. Jadi dalam hal ini tersirat himbauan untuk
melakukan pendekatan yang humanis, pendekatan kultural dan pendekatan religius, yang
kemudian kita padukan dengan pendekatan yang rasional, yang berorientasi kepada
kebijakan (policy oriented approach). Akhirnya, konsep pembaharuan hukum pidana ini,
mengharuskan untuk mengkaji hukum pidana dari segi kajian komparatif dan harmonisasi,
dengan perkembangan pemikiran dan ide-ide mutakhir dalam teori dan ilmu hukum pidana,
dalam artian adanya kesepakatan global. Salah satu ide dalam pembaharuan hukum pidana
ini adalah adanya keseimbangan antara prevention of crimes, treatment of offender dan
treatment of society

Referensi
Arief, Barda Nawawi. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Atmasasmita, Romli. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: PT. Hati
Aneska)
Fuady, Munir. 2007. Perbandingan Ilmu Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2007)
Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2016. “Hukum (Sanksi) Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45, Nomor 2,
April
Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung.
Örücü, Esin. 2014. The Enigma of Comparative Law: Variations on a Theme for the Twenty-
first Century (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers).
Salim dan Erlies Septiana. 2014. Perbandingan Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sudarto, 1989. Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
Suherman, Ade Maman. 2008. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Jakarta : Rajawali
Pers)
Teguh dan Aria, 2011, Hukum Pidana Horizon baru Pasca Reformasi, RajaGrafindo
Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai