DISAMPAIKAN OLEH :
R. SUHARTONO, S.E.,S.H.
JAKSA PADA KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA SELATAN
WAKIL KETUA LEMBAGA KONSULTASI DAN PENDAMPINGAN MHKI KOTA PALEMBANG
KEDUDUKAN KEJAKSAAN
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-Undang.
2. Jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan
dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang.
3. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain
berdasarkan Undang-Undang.
4. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara
pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.
(Pasal 1 UU No. 11 Tahun 2021)
(1) Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
dilaksanakan secara merdeka.
(2) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
(Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2021 )
Tugas dan Wewenang Kejaksaan
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
(3)Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
(Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004)
⦿Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran,
perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan asset lainnya
kepada negara, korban, atau yang berhak.
(Pasal 30A UU No.11 Tahun 2021)
⦿Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk
kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan;
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen
dan/atau penyelenggara Intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.
(Pasal 30B UU No.11 Tahun 2021)
⦿ Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal
30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan:
a. menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kej aksaan ;
b. turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
c. turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban
serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
d. melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan
pidana pengganti serta restitusi;
e. dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau
tidaloeya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana
untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
f. menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik
lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
g. melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti;
h. mengajukan peninjauan kembali; dan
i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai
penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
(Pasal 30C UU No.11 Tahun 2021)
⦿ Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang
ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. (Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004)
⦿ Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
membina hubungan kerja sama dan komunikasi dengan:
a. lembaga penegak hukum dan instansi lainnya;
b. lembaga penegak hukum dari negara lain; dan
c. lembaga atau organisasi internasional. (Pasal 33 UU No. 11 Thn
2021)
⦿ Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
kepada Presiden dan instansi pemerintah lainnya. (Pasal 34 UU
No. 11 Thn 2021)
Wewenang Penuntut Umum dalam KUHAP
LAPISAN 1 : MASYARAKAT
LAPISAN 2
KEPOLISIAN
KEJAKSAAN
PENGADILAN
PEMASYARAKATAN
J.W. LA PATRA
“Hati nurani Tidak Ada di Dalam Buku
Saya Ingin Mengajak Teman-Teman
Harus Tetap Memperhatikan
Rasa Keadilan yang Ada di Masyarakat”
Restorative Justice (Perja Nomor 15 tahun 2021)
Pasal 1
Dalam Peraturan Kejaksaan ini yang dimaksud dengan:
1. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
2. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danl atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
4. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 2
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:
a. keadilan;
b. kepentingan umum;
c. proporsionalitas;
c. pidana sebagai jalan terakhir; dan
d. cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penutupan Perkara Demi Kepentingan Hukum
Pasal 3
(1) Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan
hukum.
(2) Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal :
a. terdakwa meninggal dunia;
b. kedaluwarsa penuntutan pidana;
c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
c. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik
kembali; atau
d. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening
buiten process).
(3) Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar
dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan
menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(4) Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan
pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b menghentikan penuntutan.
(5) Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum
secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada
Kepala Kejaksaan Tinggi.
Penghentian Penyidikan
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut
umum.
Penghentian Penuntutan
Pasal 6
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan
sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas
perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Tata Cara Perdamaian
Upaya Perdamaian
Pasal 7
(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan,
dan intimidasi.
(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan,
yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua)
Pasal 8
(1) Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap
Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.
(2) Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban/Tersangka,
tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.
(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan
Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.
(4) Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan
proses perdamaian.
(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka,
Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima
kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan
Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari
pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/ atau
Tersangka maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita
acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke
pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Proses Perdamaian
Pasal 9
(1) Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk
mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
(2) Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator.
(3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai
kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, Korban, maupun Tersangka, baik
secara pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak langsung.
(4) Proses perdamaian dilaksanakan di Kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi
atau keadaan yang tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan,
atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor
pemerintah atau tempat lain yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.
(5) Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti (tahap dua).
Pasal 10
(1) Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan
perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau
b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.
(3) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Korban,
Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.
(4) Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota
pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.
(5) Dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota
pendapat.
(6) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan
sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan
alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Pasal 11
(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (6) karena permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak
proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau
pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan
tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan
Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal
pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena faktor ekonomi atau
alasan lain yang disertai dengan itikad baik dari Tersangka.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;
b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan tuntutan pidana; dan atau
c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat. sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan Pidana
Perkara Tindak Pidana Umum.
Pasal 12
(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan
kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan
melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.
(2) Berdasarkan laporan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi.
(3) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
dalam waktu paling lama 1 (satu) hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.
(4) Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui atau menolak
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif secara tertulis dengan
disertai pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan
diterima.
(5) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala
Kejaksaan Tinggi meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap
memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan
diterima.
(7) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif
sekaligus menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak pidana
dimaksud.
(8) Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dicatat dalam Register Perkara Tahap Penuntutan dan Register Penghentian
Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi Kepentingan Umum.
(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara
ke pengadilan.
Pasal13
(1) Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan,
paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/ atau pihak lain, Penuntut
Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian.
(2) Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut Umum dengan:
a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian dalam
berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan
menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan
Pasal14
Dalam hal kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan
pertimbangan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian
sebagaimana diatur dalam peraturan ini.
Penahanan
Pasal15
(1) Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau
pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya
dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka
setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.
(3) Pembebasan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibuatkan berita acara.
Hukum Kesehatan dari Sudut Pandang Hukum Pidana
⦿ Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya.
⦿ Prof. Moeljatno S.H., Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
⦿ Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu
penderitaan.
Sumber Hukum Pidana
⦿Hukum pidana yang dikodifikasi KUHP
⦿Hukum pidana dalam Undang-undang Pidana
yang tidak masuk dalam kodifikasi
⦿Peraturan hukum adminidtrasi yang
menganfunh saksi pidana
⦿Undang undang yang mengandung hukum
pidana khusus yang mengatur tentang delik-
delik untuk kelompok orang tertentu atau
perbuatan tertentu
Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
⦿Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam
jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
⦿Pasal 267 KUHP
(1)Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun
(2)Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam
rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun enam bulan.
(3)Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 90 ayat (3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 98 ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 106 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
asal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Pasal 114 Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
⦿Pasal 128 ayat (2)
Dalam hal pemidanaan berdasarkan kejahatan pasal-pasal 106-108, 110-125, dapat
dipidana pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1-3.
⦿Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah; b. kebutuhan kesehatan; c. jumlah dan persebaran penduduk; d. pola
penyakit; e. pemanfaatannya; f. fungsi sosial; dan g. kemampuan dalam
memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk
fasilitas pelayanan kesehatan asing.
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal
198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Delik Pidana dalam UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).