Anda di halaman 1dari 68

WEBINAR

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN


SENGKETA MEDIS DAN KESEHATAN BERDASARKAN PERJA No.15
Tahun 2020

PALEMBANG, 19 FEBRUARI 2022

DISAMPAIKAN OLEH :
R. SUHARTONO, S.E.,S.H.
 JAKSA PADA KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA SELATAN
 WAKIL KETUA LEMBAGA KONSULTASI DAN PENDAMPINGAN MHKI KOTA PALEMBANG
KEDUDUKAN KEJAKSAAN
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-Undang.
2. Jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan
dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang.
3. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain
berdasarkan Undang-Undang.
4. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara
pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.
(Pasal 1 UU No. 11 Tahun 2021)
(1) Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
dilaksanakan secara merdeka.
(2) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
(Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2021 )
Tugas dan Wewenang Kejaksaan
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
(3)Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
(Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004)
⦿Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran,
perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan asset lainnya
kepada negara, korban, atau yang berhak.
(Pasal 30A UU No.11 Tahun 2021)
⦿Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk
kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan;
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen
dan/atau penyelenggara Intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.
(Pasal 30B UU No.11 Tahun 2021)
⦿ Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal
30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan:
a. menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kej aksaan ;
b. turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
c. turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban
serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
d. melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan
pidana pengganti serta restitusi;
e. dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau
tidaloeya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana
untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
f. menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik
lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
g. melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti;
h. mengajukan peninjauan kembali; dan
i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai
penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
(Pasal 30C UU No.11 Tahun 2021)
⦿ Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang
ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. (Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004)
⦿ Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
membina hubungan kerja sama dan komunikasi dengan:
a. lembaga penegak hukum dan instansi lainnya;
b. lembaga penegak hukum dari negara lain; dan
c. lembaga atau organisasi internasional. (Pasal 33 UU No. 11 Thn
2021)
⦿ Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
kepada Presiden dan instansi pemerintah lainnya. (Pasal 34 UU
No. 11 Thn 2021)
Wewenang Penuntut Umum dalam KUHAP

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari


penyidik atau penyidik pembantu (Pasal 14 jo. Pasal 138 ayat 1
KUHAP)
2. Mengadakan Pra Penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik (Pasal 14 jo. Pasal 138
ayat 2 KUHAP)
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan olah penyidik (Pasal 14 KUHAP)
4. Membuat Surat Dakwaan (Pasal 14 jo. Pasal 140 ayat (1)
KUHAP)
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan (Pasal 14 jo. PAsal 139 jo
Pasal 143 ayat (1) KUHAP)
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
dengan surat panggilan, baik dengan terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. (Pasal
146 KUHAP)
7. Melakukan penuntutan (Pasal 137 KUHAP)
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum (Pasal 14 KUHAP)
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang ini (Pasal 14 KUHAP)
10.Melaksanakan penetapan hakim (Pasal 14 KUHAP)
11.Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penuntut umum dapat
menangguhkan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat (1)
KUHAP)
Teori Pemidanaan
1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie), menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari
dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang
lain sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.
2. Teori maksud atau tujuan (relatieve/doeltheorie), berdasarkan teori ini, hukuman
dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.
a. ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada umum yang disebut prevensi
umum (algemene preventie). Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman hukuman,
penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan (eksekusi) hukuman.
b. ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu (speciale preventie)
3. Teori gabungan (verenigingstheorie), pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan
kedua teori di atas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman
adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki
pribadi si penjahat.
Keterbatasan Hukum Pidana
1. Secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras,
karenanya sering disebut sebagai ultimum remedium.
2. Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung
yang lebih bervariasi, yakni undang-undang, lembaga/aparat pelaksana dan menuntut biaya
yang tinggi.
3. Sanksi hukum pidana merupakan remedium, yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal
dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif.
4. Penggunaan hukum pidana dalam menaggulangi kejahatan hanya merupakan hal yang
bertujuan menanggulangi/menyembuhkan gejala. Hukum sanksi pidana hanya merupakan
pengobatan simbiotik dan bukan merupakan pengobatan kasuistik, karena sifat-sifat kejahatan
yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana.
5. Hukum sanksi pidana hanya merupakan bagian kecil dari sarana kontrol sosial yang tidak
mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan
yang kompleks.
6. Sistem pemidanaan bersifat pragmentair dan individual, tidak bersifat struktural dan fungsional.
7. Efektivitas pidana masih bergantung kepada banyak faktor karenanya masih sering
dipermasalahkan.
Sudut Pandang Victimologi

⦿Primary Victimization, adalah korban individual artinya korban


adalah orang-perorang bukan kelompok;
⦿Secondary Victimization dimana yang menjadi korban adalah
kelompok seperti badan hukum;
⦿Tertiary Victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
⦿Mutual Victimization yaitu korban adalah si-pelaku sendiri;
⦿No Victimization bukan berarti tidak ada korban melainkan korban
tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu produksi.
Jenis-jenis Korban Tindak Pidana
⦿ unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi
korban memang potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak
korban;
⦿ provocative victims adalah mereka yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya
kejahatan, karena itu dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara
bersama-sama;
⦿ participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku
melakukan kejahatan;
⦿ biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti
wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia adalah potensial sebagai korban kejahatan;
⦿ socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan
seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang rendah;
⦿ self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau
kejahatan tanpa korban. Untuk pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban
karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan;
⦿ political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak
dapat dipertangungjawabkan kecuali adanya perubahan kostilasi politik.
Asas Hukum

⦿Asas Dominus Litis


⦿Asas Utimum Remidium
⦿Asas Oportunitas
Criminal Justice System / Sistem Peradilan Pidana

LAPISAN 1 : MASYARAKAT

LAPISAN 2

EKONOMI TEKNOLOGI PENDIDIKAN POLITIK

LAPISAN 3 : SUBSISTEM CJS/SPP

POLISI KEJAKSAAN PENGADILAN LP


MASYARAKAT

KEPOLISIAN

KEJAKSAAN

PENGADILAN

PEMASYARAKATAN

J.W. LA PATRA
“Hati nurani Tidak Ada di Dalam Buku
Saya Ingin Mengajak Teman-Teman
Harus Tetap Memperhatikan
Rasa Keadilan yang Ada di Masyarakat”
Restorative Justice (Perja Nomor 15 tahun 2021)

Pasal 1
Dalam Peraturan Kejaksaan ini yang dimaksud dengan:
1. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
2. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danl atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
4. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 2
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:
a. keadilan;
b. kepentingan umum;
c. proporsionalitas;
c. pidana sebagai jalan terakhir; dan
d. cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penutupan Perkara Demi Kepentingan Hukum
Pasal 3
(1) Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan
hukum.
(2) Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal :
a. terdakwa meninggal dunia;
b. kedaluwarsa penuntutan pidana;
c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);
c. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik
kembali; atau
d. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening
buiten process).
(3) Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar
dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan
menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(4) Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan
pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b menghentikan penuntutan.
(5) Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum
secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada
Kepala Kejaksaan Tinggi.
Penghentian Penyidikan

Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut
umum.
Penghentian Penuntutan

Pada Pasal 140 KUHAP mengatur mengenai


penghentian tuntutan yang memiliki alasan yang sama
dengan penghentian penyidikan.
“Dalam hal penuntutan umum memutuskan untuk
menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan”.
Syarat
Pasal 14
(1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:
a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;
b. penghindaran stigma negatif;
c. penghindaran pembalasan;
d. respon dan keharmonisan masyarakat; dan
e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;
b. latar belakang terjadinyaj dilakukannya tindak pidana;
c. tingkat ketercelaan;
d. kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
e. cost and benefit penanganan perkara;
f. pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
g. adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Pasal 5
(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan
penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat
sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau
keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum
dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan
Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan
dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau huruf c.
(3) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan
huruf c dapat dikecualikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal
terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut
Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan
Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
(6) Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan
dengan memenuhi syarat:
a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka
dengan cara:
1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
2. mengganti kerugian Korban;
3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau
4. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
c. masyarakat merespon positif.
(7) Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada
keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.
(8) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden,
negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan
kesusilaan;
b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
c. tindak pidana narkotika;
d. tindak pidana lingkungan hidup; dan
e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Pasal 6
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan
sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas
perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Tata Cara Perdamaian
Upaya Perdamaian
Pasal 7
(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan,
dan intimidasi.
(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan,
yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua)
Pasal 8
(1) Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap
Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.
(2) Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban/Tersangka,
tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.
(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan
Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.
(4) Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan
proses perdamaian.
(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka,
Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima
kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan
Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari
pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/ atau
Tersangka maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita
acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke
pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Proses Perdamaian
Pasal 9
(1) Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk
mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
(2) Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator.
(3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai
kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, Korban, maupun Tersangka, baik
secara pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak langsung.
(4) Proses perdamaian dilaksanakan di Kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi
atau keadaan yang tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan,
atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor
pemerintah atau tempat lain yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.
(5) Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti (tahap dua).
Pasal 10
(1) Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan
perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau
b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.
(3) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Korban,
Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.
(4) Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota
pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.
(5) Dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota
pendapat.
(6) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan
sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan
alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Pasal 11
(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (6) karena permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak
proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau
pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan
tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan
Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal
pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena faktor ekonomi atau
alasan lain yang disertai dengan itikad baik dari Tersangka.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;
b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan tuntutan pidana; dan atau
c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat. sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan Pidana
Perkara Tindak Pidana Umum.
Pasal 12
(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan
kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan
melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.
(2) Berdasarkan laporan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi.
(3) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
dalam waktu paling lama 1 (satu) hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.
(4) Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui atau menolak
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif secara tertulis dengan
disertai pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan
diterima.
(5) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala
Kejaksaan Tinggi meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap
memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan
diterima.
(7) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif
sekaligus menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak pidana
dimaksud.
(8) Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dicatat dalam Register Perkara Tahap Penuntutan dan Register Penghentian
Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi Kepentingan Umum.
(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak penghentian penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara
ke pengadilan.
Pasal13
(1) Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan,
paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/ atau pihak lain, Penuntut
Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian.
(2) Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut Umum dengan:
a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian dalam
berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan
menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan

Pasal14
Dalam hal kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan
pertimbangan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian
sebagaimana diatur dalam peraturan ini.
Penahanan

Pasal15
(1) Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau
pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya
dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka
setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.
(3) Pembebasan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibuatkan berita acara.
Hukum Kesehatan dari Sudut Pandang Hukum Pidana
⦿ Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya.
⦿ Prof. Moeljatno S.H., Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
⦿ Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu
penderitaan.
Sumber Hukum Pidana
⦿Hukum pidana yang dikodifikasi KUHP
⦿Hukum pidana dalam Undang-undang Pidana
yang tidak masuk dalam kodifikasi
⦿Peraturan hukum adminidtrasi yang
menganfunh saksi pidana
⦿Undang undang yang mengandung hukum
pidana khusus yang mengatur tentang delik-
delik untuk kelompok orang tertentu atau
perbuatan tertentu
Ruang Lingkup Hukum Kesehatan

⦿ Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan


bidang pemeliharaan kesehatan
⦿ Ketentuan yang tidak berhubungan dengan dengan bidang
pemeliharaan kesehatan tapi merupakan penerapan dari bidang
hukum.
⦿ Pedoman Internasional, hukum kebiasaan, jurisprudensi yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan
⦿ Hukum otonom, ilmu dan literatur yang menjadi sumber hukum.
Delik yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan
⦿ Pasal 204 KUHP
1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang
yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat;
berhahaya itu tidak diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
⦿ Pasal 205 KUHP
1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau di bagi-
bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang
memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
Pasal 196 UU No. 36 tentang Kesehatan
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Delik Kesusilaan
⦿Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
⦿Pasal 286 KUHP
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
⦿Pasal 290 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu
pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum
waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh
di luar perkawinan dengan orang lain.
Euthanasia
⦿Pasal 344 KUHP
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
 
⦿Pasal 345 KUHP
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Abortus Provocatus
⦿Pasal 299 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau
jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidana-nya dapat ditambah
sepertiga
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.
⦿ Pasal 346 KUHP
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
⦿ Pasal 347 KUHP
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.  
⦿ Pasal 348 KUHP
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
⦿Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 194 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan


Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Delik Kealpaan (culpa)
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-
luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima
ratus rupiah.
Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicahut haknya
untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan
supaya putusannya diumumkan.
⦿Pasal 531 KUHP
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada
orang yang sedang menghadapi maut tidak
memberi pertolongan yang dapat diberikan
padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya
bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika
kemudian orang itu meninggal, dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Delik Rahasia Kedokteran

⦿Pasal 322 KUHP


(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya, baik yang sekarang maupun yang
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu,
maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas
pengaduan orang itu.
Delik Surat/Keterangan Palsu

⦿Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam
jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
⦿Pasal 267 KUHP
(1)Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun
(2)Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam
rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun enam bulan.
(3)Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

⦿Pasal 268 KUHP


(1)Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
(2)Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama memakai
surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan
tidak dipalsu.
(Pasal 29 Ayat (1), Pasal 73 Jo Pasal 77 UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran)
Delik Pemufakatan
Pasal 221
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat rihu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang
dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari
penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang
menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi
menjalankan jabatan kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau
untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan,
menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan
dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan
oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun olsh orang lain, yang menurut ketentuan undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
(2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan
maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya, penuntutan terhadap seorang
keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau
ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Ketentuan Khusus dalam UU No. 36 Tahun 2009
⦿Penyidik atas Tindak Pidana Kesehatan dilakukan oleh Penyidik
Kepolisian dan/atau PPNS (Pasal 1 ayat (1), Pasal 6 huruf b KUHAP
dan Pasal 2 angka 11, Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara R.I) di lingkungan pemerintah yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan (Pasal 189 UU No. 36
tahun 2009)
⦿Delik pidana Pasal 190-201 UU no. 36 Tahun 2009.
⦿Subjek hukum tindak pidana kesehatan adalah orang dan/atau
korporasi.
⦿Sanksi terhadap tindak pidana keseuhatan adalah pidana badan dan
denda. Bagi korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.
Delik Pidana dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 32 ayat (2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 85 ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa
pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 64 ayat (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 90 ayat (3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 98 ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 106 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
asal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Pasal 114 Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
⦿Pasal 128 ayat (2)
Dalam hal pemidanaan berdasarkan kejahatan pasal-pasal 106-108, 110-125, dapat
dipidana pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no. 1-3.
⦿Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah; b. kebutuhan kesehatan; c. jumlah dan persebaran penduduk; d. pola
penyakit; e. pemanfaatannya; f. fungsi sosial; dan g. kemampuan dalam
memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk
fasilitas pelayanan kesehatan asing.
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal
198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Delik Pidana dalam UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 32 (1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan


kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa
gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 73 (1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa
gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau
cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 73 ayat (2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode
atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolaholah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik.
Pasal 41 (1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib
memasang papan nama praktik kedokteran.
Pasal 46 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
7 Program Kerja Prioritas
Kejaksaan RI Tahun tahun 2022
1. Laksanakan Penegakan Hukum Integral yang Menempatkan
Kebijakan Penegakan Hukum Sebagai Satu Kesatuan dengan
Kebijakan Pembangunan Nasional
2. Hadirkan Penegakan Hukum yang Berlandaskan Hari Nurani untuk
Terwujudnya Keadilan Substantif
3. Tingkatkan Kualitas Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Rangka Peningkatan
Indeks Persepsi Korupsi
4. Percepat Penyelesaian Perkara Dugaan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat Secara Tuntas dan Adil Sesuai dengan
Ketentuan yang Berlaku
5. Tingkatkan Sistem Pengawasan Internal MenujuSumber Daya
Manusia Kejaksaan yang Profesional dan Berintegritas
6. Tingkatkan Kepercayaan Publik Melalui Peningkatan Kinerja dan
Strategi Komunikasi Hukum yang Adaptif, Inovatif dan Kolaboratif.
7. Tingkatkan Kredibilitas Akuntabilitas Kinerja, Akuntabilitas
Keuangan dan Maturitas Sistem Pengandalian Internal Pemerintah.
KERJA CERDAS, PROFESIONAL, BERINTEGRITAS

UNTUK INDONESIA MAJU

Terima Kasih Atas


Perhatiannya

Anda mungkin juga menyukai