A. Tugas, Pokok, dan Fungsi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Salah satu lembaga tertua dalam sistem penegakan hukum/ salah satu komponen dalam sistem
peradilan pidana Indonesia adalah Kejaksaan atau adhyaksa atau jaxa. Sejarah panjang tentang
Kejaksaan di Indonesia sudah dimulai sejak masa nusantara. Kejaksaan sejak era nusantara
memegang peranan penting dalam sistem peradilan pidana, bahkan urusan keagamaan menjadi
wilayah kewenangan Kejaksaan pada era nusantara. Sampai sekarang, Kejaksaan memegang
peranan tidak hanya dalam lingkup peradilan pidana, melainkan juga dalam perkara perdata, tata
usaha negara dan juga ketertiban umum dan masyarakat.
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara,
khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan
keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk
lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di
dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya
(Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).[1]
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I.
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
· Melakukan penuntutan;
· Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
· Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam *pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa,
atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan
oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah
lainnya.
Republik Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur tugas dan kewenangan tersebut. Berdasarkan
hal tersebut menurut Djoko Prakoso (1988:23-25) dapat diinventarisir kewenangan yang diatur
dalam KUHAP tersebut sebagai berikut : [2]
a) Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1)
dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan memang sangat menentukan dalam
membuktikan apakah seseorang atau korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak.
Selain tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), maka dimungkinkan pula
Kejaksaan diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang yang lain selain
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia misalnya dalam Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Hal ini diatur dalam Pasal 32
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
“Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi
tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah menerima berkas atau
hasil penyidikan dari penyidik segera setelah menunjuk salah seorang jaksa untuk mempelajari
dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri
(KAJARI). Menurut Leden Marpaung (1992:19-20) bahwa ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses penuntutan yaitu : [3]
1) Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum lengkap disertai
petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik (prapenuntutan)
2) Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
3) Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat bukti cukup atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika
saran disetujui maka diterbitkan surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan
praperadilan.
4) Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini
KAJARI menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat
dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara
yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur dalam Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik
maupun penyidik pegawai negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai
penyidikan dihentikan demi hukum.
b) Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima
berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
e) Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat
mencabut penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan
(Pasal 31).
f) Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena
tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh
kekuatan hukum yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya (Pasal 45 ayat (1)).
g) Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka
sebagai akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)) dan mengawasi hubungan antara
penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan
dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal
71 ayat (2)).
h) Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menerima sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini
adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horizontal.
i) Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur
militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan
yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)).
j) Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak
untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
k) Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan
memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan
pengadilan (Pasal 14 huruf i).
l) Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1).
m) Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a.
o) Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal
141).
p) Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).
q) Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas
perkara (Pasal 143 ayat (1).
s) Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, penuntut umum
dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-
lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).
c. Fungsi Kejaksaan
5. penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa
atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri
atau disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
7. koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam
maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
B. Integrasi dan Interkoneksi Kejaksaan dengan Sub-Sistem Penegak Hukum Lainnya dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Pada awalnya kelahiran KUHAP mampu memberikan harapan akan terwujudnya penegakan
hukum pidana yang lebih efektif, adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
dibandingkan hukum acara yang berlaku sebelumnya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
Namun demikian setelah 28 tahun berlaku, harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah
menjadi pertanyaan-pertanyaan akan harapan terwujudnya penegakan hukum yang dicita-citakan.
Disamping itu seiring dengan perkembangan masyarakat dan kompleksitas penanganan masalah
hukum dalam proses penegakannya, banyak ditemukan ketentuan-ketentuan KUHAP yang
mengandung penafsiran sekehendak dari pihak yang berkepentingan sehingga menghilangkan
aspek kepastian hukumnya.
Sebagai subsistem dari substansi hukum, KUHAP menjadi pedoman umum yang dijadikan
landasan bekerjanya sistem peradilan pidana oleh lembaga penegak hukum, Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan serta Penasehat Hukum. Dengan demikian
kondisi yang ada pada KUHAP dengan kekurangan dan kelebihannya akan menjadi sangat
mempengaruhi bekerjanya sistem peradilan pidana, bahkan tidak mungkin kelemahan yang ada
pada KUHAP akan mengarah pada terjadinya kerusakan sistem peradilan pidana.
Demikian pula yang terjadi dalam hal hubungan antar lembaga penegak hukum berdasarkan
kewenangannya masing-masing. Diawali dengan bekerjanya kewenangan Kepolisian dan
Kejaksaan sebagai gerbang utama dimulainya prosedur penegakan hukum. Bisa dikatakan
dominasi kedua lembaga ini akan sangat menentukan proses penegakan hukum yang selama ini
berjalan, bahkan ada pendapat yang menagatakan prosedur yang selama ini berjalan membagi
fungsi penegakan dalam dua sistem yang terpisah, yakni penyidikan (crimininal investigation)
dan penuntutan (prosecution) sebagai bagian terpenting dalam penegakan hukum dirancang
untuk dilaksanakan oleh subsistem yang terpisah. Penyidikan menjadi fungsi utama subsistem
Kepolisian, sementara penuntutan sepenuhnya menjadi fungsi subsistem Kejaksaan.[5]
Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua instansi penegak hukum yang memiliki hubungan
fungsional sangat erat. Keduanya seharusnya dapat bekerja sama dan melakukan koordinasi
dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Akan tetapi dalam prakteknya sering terjadi
miskoordinasi sehingga berpengaruh terhadap proses penuntutan yang menjadi kewenangan
Kejaksaan, karena keberhasilan dalam melakukan penuntutan tergantung dari hasil penyidikan
yang tepat dan dukungan alat bukti yang cukup.
KUHAP telah mengatur dan menentukan hubungan penyidikan dan penuntutan, dalam beberapa
aspek yakni : [6]
1) Pemberitahun telah dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);
2) Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut
Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal 140
ayat 2 huruf c );
4) Kegiatan Prapenuntutan (Pasal 14, Pasal 110 ayat (3) dan (4), Pasal 138 KUHAP).
5) Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada
penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat
dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144 ayat
3 );
6) Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum ( demi hukum ),
melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang
bukti pada sidang pengadilan ( Pasal 205 ayat 2 ).
Dalam praktek, pelaksanaan fungsi penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam
KUHAP masih sering ditemui berbagai permasalahan, antara lain :
b) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan segera mempelajari dan menelitinya.
Kemudian dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum (vide Pasal 138 ayat 1), kemudian jika dalam waktu 14
hari penuntut tidak memberitahukan/mengembalikan hasil penyidikan (berkas perkara) maka
penyidikan dianggap telah selesai (vide Pasal 110 ayat 4). Hal sebaliknya tidak berlaku bagi
penyidik, yang seharusnya setelah waktu 14 hari setelah menerima pengembalian berkas perkara
beserta petunjuk penuntut umum harus sudah kembali, namun sering kali penyidik tidak
mengirim kembali berkas perkara kepada penuntut umum. Dan kondisi ini tidak ada konsekuensi
bagi penyidik, sehingga penyelesaian berkas perkara semakin lama.
c) Berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal ada petunjuk
yang harus dipenuhi dalam rangka kelengkapan berkas perkara. Contoh kasus perdata yang
dipidanakan, sehingga berkas bolak-balik tidak bisa ketemu dan tidak dapat memberikan
petunjuk untuk mengeluarkan SP3.
d) Adanya pengembalian berkas oleh penyidik kepada penuntut umum dengan catatan “sudah
maksimal, karena tidak dapat melengkapi berkas sebagaimana petunjuk umum, sedangan
penuntut umum diberikan kewenangan terbatas hanya untuk melakukan pemeriksaan diluar
tersangka, serta tidak ada pengaturan mengenai status tahanannya.
Disamping itu selama ini, tugas penyidikan dirasa selesai hanya sebatas telah
diserahterimakannya berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum pasca
berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) oleh Penuntut Umum. Selanjutnya tanggung jawab
penyelesaian perkara untuk disidangkan dan diperiksa di pengadilan adalah tanggungjawab
penuh Kejaksaan.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan, KUHAP juga telah mengatur
hubungan penyidik dengan Hakim/pengadilan, yakni: [7]
b. Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin
penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33
ayat 1, Pasal 38 ayat 1);
c. Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan
penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;
d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan
kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3);
Berpijak pada kerangka sistem peradilan pidana, sesungguhnya penyidikan merupakan bagian
integral dari penuntutan. KUHAP telah menentukan bahwa untuk dapat atau tidaknya suatu
perkara dinyatakan lengkap dan kemudian dapat atau tidaknya diperiksa di pengadilan sampai
dengan pelaksanaan putusan pengadilan adalah kewenangan Kejaksaan, untuk itu ada tanggung
jawab moral Lembaga Kejaksaan karena peran dan wewenangnya yang begitu central untuk
secara intens mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan penyidik, namun demikian
melihat permasalahan yang sering muncul dan terbatasnya waktu yang diberikan KUHAP
kepada Lembaga Kejaksaan menimbulkan permasalahan yang suatu waktu dapat muncul
dipersidangan, dan mempengaruhi proses persidangan itu sendiri.
Kedepan dalam rangka penyusunan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru, hendaknya
permasalahan tersebut diatas dapat terakomodir dengan baik dan ketentuan yang dirumuskan
mampu mengeliminir causa ketidakharmonisan hubungan Kepolisian dan Kejaksaan.
Proses selanjutnya setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan dapat dilimpahkan ke
pengadilan adalah melakukan pemeriksaan dan mengadili terdakwa berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang didakwakan. Dalam proses ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum
(Kejaksaan), Hakim (Lembaga Pengadilan) dan Penasehat hukum.
Bagaimana badan peradilan berdasarkan KUHAP menyelenggarakan proses peradilannya.
KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai berikut : [8]
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP menganut “due
process of law” (proses hukum yang adil atau layak). Suatu proses hukum yang adil pada intinya
adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana
peristiwa kejahatan itu terjadi; dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh
penasihat hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harus
membuktikan kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak
berpihak.
Prinsip “equality before the law” merupakan salah satu ciri dalam sistem peradilan pidana
berdasarkan KUHAP, dimana dalam praktek persidangan, menjamin kesetaraan antara lembaga-
lembaga anggota sistem peradilan pidana. Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum disatu pihak
dan kedudukan terdakwa bersama penasehat hukumnya disatu pihak memiliki posisi dan porsi
yang sama didepan persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim.
3) Pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan.
Kewenangan Kejaksaan sebagai pelaksana putusan pengadilan juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf b dan c yakni : [10]
· Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
Terkait pelaksanaan pengawasan putusan pengadilan dalam perkara pidana juga terletak pada
tanggung jawab Ketua Pengadilan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 48
tahun 2009 telah ditentukan dan diatur dalam KUHAP, yakni Pasal 277 sampai dengan Pasal 283
yang menentukan antara lain : [11]
1. Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua
dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan (vide Pasal 277 ayat 1), hakim yang dimaksud dinamakan
Hakim pengawas.
3. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama
menjalani pidananya (vide Pasal 280 ayat 2).
5. Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat
dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu (vide Pasal 282).
Tujuan yang terkandung dalam kaidah ini adalah agar terdapat jaminan, bahwa putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di samping itu untuk lebih
mendekatkan pengadilan tidak saja dengan lembaga Kejaksaan tetapi juga dengan Lembaga
Pemasyarakatan. Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses
pidana dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan dijatuhkan olehnya.
Namun demikian kaidah tersebut jarang sekali atau bahkan mungkin tidak terlaksana sama sekali
dalam prakteknya, sehingga selesainya peradilan pidana tidak diikuti proses pembinaan secara
terpadu. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan keinginan pemasyarakatan yang sebenarnya, yakni
sebagai proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk
menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan
diharapkan agar para terpidana mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau
menjaga narapidana, tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan
dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Namun
demikian untuk mencapainya, tentu saja diperlukan pola pembinaan yang terencana dan terukur
serta didukung sarana prasara LP yang memadai.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebagaimana yang dianut dalam KUHAP, memberikan
konsekuensi pada keterpaduan dalam mewujudkan model penegakan hukum yang terpadu antara
seluruh subsistem yang ada didalamnya. Keterpaduan tersebut dimulai dari kesesuaian dan
bersinergi antara setiap peraturan perundang-undangan dibidang peradilan, memiliki pola
pendidikan yang memadai, terorganisir dengan baik berupa pelatihan dan penerapan disiplin
tinggi dari seluruh aparat penegak hukum, sehingga mereka memiliki pola pikir dan pandangan
yang sama dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yakni kepastian
hukum dan keadilan yang sama bagi seluruh masyarakat, karena sesungguhnya anggota sistem
peradilan pidana tersebut, meskipun berbeda fungsi namun bekerja pada tujuan dan untuk
kepentingan yang sama yakni tersangka/terdakwa/terpidana, yang notabene adalah anggota
masyarakat. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi masyarakat yang tinggi
untuk bersama-sama memberikan respon terhadap penyelenggaraan penegakan hukum.
Saat ini peradilan pidana di Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan
citranya dimasyarakat, sehingga peradilan pidana dapat dipercaya sebagai suatu sistem yang
menjamin bekerjanya hukum sesuai dengan yang dicita-citakan. Oleh sebab itu bekerjanya
sistem peradilan pidana harus selalu diupayakan melalui rencana dan program kerja pemerintah
dibidang peradilan pidana yang bersifat terbuka dan transparan sebagai lawan dari sistem yang
bersifat rahasia, samar dan tidak responsif. Sistem peradilan pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat juga merupakan bagian dari konsep pemerintahan
yang baik, yang pada gilirannya menjamin keberhasilan mayarakat yang berkelanjutan.