Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Halaman

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 10

C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 11
E. Kerangka Teori 12
1. Teori Kepastian Hukum 12
2. Teori Pembinaan 14
F. Kerangka Operasional 17
G. Metode Penelitian 18
1. Jenis Penelian 18
2. Lokasi Penelitian 18
3. Populasi dan Sampel 18
4. Jenis dan Sumber Data 19
5. Metode dan Alat Pengumpul Data 20
6. Teknik Analisis Data 20
H. Sistematika Penulisan 21

Kerangka Skripsi Sementara 21

I. Daftar Pustaka Sementara 23

Daftar Pustaka Sementara 23

i
A. Latar Belakang Masalah

Kejaksaan memiliki kedudukan sentral sebagai salah satu lembaga penegak

hukum di Indonesia. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 UU kejaksaan

menyatakan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang.”[CITATION Pas1 \l 1033 ]

Selanjutnya terdapat Tugas dan Wewenang Kejaksaan diatur dalam Pasal 30

ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai

tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

. Tugas utama yang lebih dikenal luas adalah sebagai lembaga penuntutan

terhadap kasus-kasus pidana di Pengadilan, di samping tugas dan kewenangan

lainnya. Salah satunya kewenangan lainnya di bidang pidana adalah yang

menyangkut dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat (Pasal 30

ayat (1) huruf c UU No. 16 Tahun 2004). Pembebasan bersyarat dimaksud adalah

2
bagian dari pelaksanaan proses pembinaan narapidana di luar lembaga

pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14,

Pasal 22 dan Pasal 29 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan

peraturan pelaksana lainnya.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam


penjelasan umumnya memuat pernyataan bahwa tujuan pemidanaan adalah upaya
untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana[CITATION Placeholder1 \l 1033 ]
untuk menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral,
sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib,
dan damai. (Surbakti, 2005: 320)

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan juga mengatur hak-hak tertentu bagi seorang narapidana, yang

terdapat pada Pasal 14 ayat (1) Narapidana berhak:

(a) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; (b)


mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; (c) mendapatkan
pendidikan dan pengajaran; (d) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak; (e) menyampaikan keluhan; (f) mendapatkan bahan bacaan dan
mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; (g) mendapatkan upah
atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; (h) menerima kunjungan keluarga,
penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; (i) mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi); (j) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga; (k) mendapatkan pembebasan bersyarat; (l) mendapatkan
cuti menjelang bebas; dan (m) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana merupakan salah satu hak

narapidana sesuai yang tertuang dalam Pasal 14 huruf k Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga dalam pelaksanaan pemberian

pembebasan bersyarat timbul hambatan-hambatan dalam praktiknya, misalnya

prosedur pengusulan pembebasan bersyarat terlalu rumit dan memakan waktu

yang cukup lama untuk sampai mendapatkan keputusan diterima atau ditolak,

3
kemudian melanggar hukum disiplin dalam LAPAS/RUTAN yang menyebabkan

narapidana tersebut terancam gagal mendapatkan pembebasan bersyarat dan untuk

itu upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan pembebasan bersyarat harus

terselesaikan secara baik agar hak narapidana dalam mendapatkan pembebasan

bersyarat benar-benar terjamin dengan baik dalam pelaksanaannya.

Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-


undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan
KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie,
yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam
Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana
penjara di Inggris (progressive system), dimana rangka pengembalian terpidana
dengan baik ke masyarakat. (Sianturi, 2002: 473)

Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP.

Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33

tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918

(vide Stb. 1917-497 jo 645 mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29

Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada

penjatuhan Pidana penjara yang panjang. Dalam mengontrol terpidana

menjalankan masa tahanannya baik pidana kurungan ini adalah tugas dari pihak

kejaksaan sebagi fungsi pengawasan dalam menjalankan masa tahanan oleh

narapidana.

Kejaksaan merupakan pranata yang mempunyai berbagai tugas dan fungsi.

Salah satunya sebagai pranata yang mengawasi pelaksanaan pembebsan bersyarat

(voorwaardelijke invrijhedstelling) sebagaimana diatur dalam Pasal 15a ayat (3)

Jo Pasal 14d ayat (1) KUHP Jo Pasal 30 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.16

tahun 2004 tentang kejaksaan.[CITATION Placeholder2 \l 1033 ]

4
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan Penuntut Umum adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. Jaksa merupakan tokoh utama dalam
penyelenggaraan peradilan pidana, karena ia memainkan peranan penting dalam
proses pembuatan keputusan walaupun Polisi itu lebih terlatih dalam
mengumpulkan bukti-bukti di tempat terjadinya kejahatan dan walaupun Polisi itu
memiliki komposisi tenaga manusia dan perlengkapan yang lebih baik, mereka itu
tetap tergantung kepada Jaksa dan mereka itu tetap memerlukan nasihat dan
pengarahan Jaksa. (Hamzah, 1995: 6)

Pelaksanaan pengawasan terhadap narapidana yang menerima pembebasan

bersyarat merupakan salah satu tugas jaksa sebagaimana ditentukan dalam

ketentuan UU No. 16 Tahun 2004. Namun dalam pelaksanaannya pengawasan

dimaksud belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

praktiknya pengawasan terhadap narapidana penerima pembebasan bersyarat ini

dilakukan oleh pihak kejaksaan melalui jaksa pengawas yang akan melakukan

pengawasan dan pembinaan/bimbingan terhadap terpidana bersyarat.

Pengawasan yang baik harus dapat mengungkapkan sebab-sebab terjadinya


penyimpangan tersebut, pengawasan merupakan segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas
atau kegiatan, apakah sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Tujuan
pengawasan juga untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadi nya penyimpangan
dan apabila terjadi, perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan
tersebut. (Sujamto, 1996: 63)

Pasal 7 Undang-Undang Kejaksaan juga menentukan bahwa Jaksa Agung


adalah Penuntut Umum tertinggi, kemudian untuk kepentingan penuntutan
perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya
memberi petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat
penyidik dengan mengindahkan hirarki dan Jaksa Agung memimpin dan
mengawasi jaksa dalam melakukan tugasnya. Penyidikan sebenarnya adalah tugas
kehakiman, pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis oleh karena keseluruhan
penyidikan ini ditujukan kepada pekerjaan di sidang pengadilan. Pelaksanaan
tugas Kejaksaan dan alat penyidikan dalam bidang ini pertama-tama dan pada
hakikatnya harus didasarkan pada penghormatan atas hak-hak asasi seseorang
yang disangka melakukan tindak pidana sampai pada penyelesaian perkaranya
harus selalu menjadi pedoman kerja. Pada hubungan ini dimana pada akhirnya

5
Jaksa yang menurut undang-undang harus mempertanggungjawabkan seluruh
pekerjaannya penyidikan perkara ini, maka sudah sewajarnyalah bahwa jaksa
dibebani pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidik demi kepentingan orang-
orang yang kena perkara. (Anggy Anastasya Nidyaningrum, 2016: 6)

Hak untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi setiap narapidana

merupakan salah salah satu Hak yang dapat digunakan oleh Warga Binaan sesuai

aturan yang berlaku. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat itu sendiri

perlu mendapat jaminan atas pelaksanaannya. Berikut beberapa peraturan yang

mengatur mengenai pembebasan bersyarat di Indonesia, yaitu :

1. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan: “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum.” Negara yang berdasarkan atas hukum harus

menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan

individu untuk menggunakan hak asasinya.

2. TAP MPR Nomor X/MPR/1998, yakni menciptakan ketertiban umum dan

keadilan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.

3. Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

4. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 15 KUHP:

1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan,
maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus
menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu
pidana.
2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa
percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan.
3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang
belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan
yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Pasal 15a KUHP:

6
1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak
akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai
kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama
dan kemerdekaan berpolitik.
3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat
tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus
yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau
dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan
pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada
orang lain daripada orang yang semula diserahi.
6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat
syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam
ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
7. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 01. PK.
04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan Cuti
Menjelang Bebas, bahwa dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat ini
mempunyai asas, maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

“Peranan bebas bersyarat dalam sistem pemasyarakatan dimaksudkan untuk

mengintegrasikan narapidana bergaul dengan masyarakat dan latihan hidup

bermasyarakat guna bisa diterima kembali sebagai bagian dari anggota

masyarakat.” (Yan, 2018: 2) Bebas bersyarat juga untuk memberikan kesempatan

kepada narapidana berkumpul kembali bersama keluarga dan masyarakat serta

mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia mampu hidup dan berbuat

dengan baik serta untuk mengembalikan rasa tanggungjawab dalam menyesuaikan

diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar

selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral

tinggi. (Sudirman, 2015: 27)

Berdasarkan ketentuan tentang bebas bersyarat di atas terdapat beberapa

pertimbangan-pertimbangan dalam memberikan program bebas bersyarat.

Timbulnya pertimbangan dalam pemberian bebas bersyarat tersebut

7
dilatarbelakangi oleh aturan tentang pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat

sebagaimana awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007.[CITATION

Placeholder4 \l 1033 ] Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa dalam

pemberian Pembebasan Bersyarat harus memenuhi dua syarat utama yakni syarat

substantif dan syarat administratif.

Faktanya narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering

kali dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara

tidak manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan

ataupun kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas.Hal

ini bukan saja menimbulkan penderitaan fisik saja tetapi juga penderitaan psikis,

karena bukan saja kehilangan kemerdekaannya dalam bergerak tetapi juga mereka

kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia (Hak Asasi Manusia) ini sama halnya

yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dimana tujuan hukuman di Indonesia

menggunakan sistem kepenjaraan, dimana perlakuan atau tindakan perlakuan

terhadap Narapidana bertitik tolak pada pemikiran yang rasional yaitu bahwa

manusia yang melanggar hukum adalah sebagai manusia yang jahat bahkan ada

kalanya dipandang bukan sebagai manusia. Setelah kemerdekaan Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945, dengan mendasarkan pada pandangan hidup bangsa dan

Negara Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 sistem pemenjaraan dirubah dengan sistem pemasyarakatan. (Madjid,

2014: 3)

8
Syarat dan Tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut telah diatur secara lengkap

dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.2.PK.04-10

Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan

Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Hak-hak yang tertuang

dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut di atas diberikan

terhadap para Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua

pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.

Narapidana yang dikabulkan permohonan pembebasan bersyaratnya harus

menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani

ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari

kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik

dan bertanggung jawab. (Madjid, 2014: 5) Jadi berdasarkan penjelasan aturan

undang-undang di atas dijelaskan lebih rinci sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat adalah

proses pembinaan narapidana dan anak pidana diluar Lembaga Pemasyarakatan

(lapas) setelah menjalani sekurang kurangnya 2/3 dari masa pidana minimal 9

(sembilan) bulan. Sejalan dengan hak narapidana untuk mendapatkan

pembebasan bersyarat narapidana harus memenuhi syarat-syarat subtantif dan

syarat administratif yang tertuang dalam peraturan mentri hukum dan hak asasi

manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 tahun 2007.

Di Pengadilan Negeri Pekanbaru sudah banyak dijatuhkan putusan

pembebasan bersyarat. Sesuai pernyataan tersebut di atas sudah sangat jelas

terdapat peran hakim dan Jaksa dalam melakukan pengawasan dan pengamat

9
seiring dengan dikeluarkannya putusan bebas bersyarat bagi narapidana.

Kemudian apakah tugas yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam

melakukan pengawasan tersebut telah sesuai dengan amanat Peraturan Pelaksana

maupun UU Kejaksaan tersebut. Sehingga dari permasalahan diatas maka menjadi

titik urgensinya ialah pengawasan oleh kejaksaan sudah sejauh mana kinerja

dalam mengawasi pidana yang diputus dalam bebas bersyarat. Kemudian

bagaimana keefektifan pelaporan putusan bebas bersyarat oleh terpidana kepada

pihak kejaksaan.

Dari pemaparan di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian yang

penulis tuang didalam bentuk skripsi dengan judul “Pengawasan Oleh

Kejaksaan Negeri Pekanbaru Dalam Pelaksanaan Keputusan Bebas

Bersyarat Bagi Narapidana Berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) UU No.16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan RI”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanan Pengawasan yang dilaksanakan kejaksaan Negeri Pekanbaru

terhadap narapidana yang menjalani Putusan Bebas Bersyarat?

2. Apa yang menjadi kendala pihak kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam

pelaksanaan pengawsan terhadap narapidana yang memperoleh

pembebasan bersyarat yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan?

10
3. Apa upaya yang harus diterapkan dalam pengawasan Oleh Kejaksaan

Negeri Pekanbaru dalam Pelaksanaan Putusan Bebas Bersyarat Bagi

Narapidana?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian pada hakikatnya, mengungkapkan apa yang menjadi

suatu permasalahan yang akan dicapai oleh peneliti, adapun tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui Pengawasan yang dilaksanakan kejaksaan Negeri

Pekanbaru terhadap narapidana yang menjalani Putusan Bebas Bersyarat!

2. Untuk mengetahui kendala dari pihak kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam

pelaksanaan pengawsan terhadap narapidana yang memperoleh pembebasan

bersyarat yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan!

3. Untuk mengetahui upaya yang harus diterapkan dalam pengawasan Oleh

Kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam Pelaksanaan Putusan Bebas Bersyarat

Bagi Narapidana!

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teorotis

maupun praktis dikalangan masyarakat serta pemerintahan, antara lain:

1. Secara Teoritis

11
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu

referensi dalam pengembangan ilmu hukum dalam permasalahan pembebasan

bersyarat bagi pidana yang notabenenya masih belum sesuai keinginan dalam

pembebasan yang diinginkan, maka dari itu penulis tertarik mengkaji

Pengawasan Oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru Dalam Pelaksanaan

Keputusan Bebas Bersyarat Bagi Narapidana.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis sebagai bahan acuan

dalam konteks Hukum Pidana di Indonesia. Serta dapat memberikan manfaat

terhadap arah bagi pemberlakuan pembebasan bersyarat sebagai mana

mestinya serta masyarakat dapat turut serta membantu pemerintah untuk

melaksanakan kehendak undang-undang dan masyarakat untuk mencapai

welfare state.

E. Kerangka Teori

Ada banyak alasan mengapa pengawasan penting dan dibutuhkan. Alasan

sangat fundamental dan universal mengapa pengawasan dibutuhkan, sejatinya

adalah guna untuk memonitor apa yang orang atau unit organisasi sedang

dikerjakan dan secara khusus hasil dari apa yang mereka kerjakan.

1. Teori Kepastian Hukum

Sejatinya dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang

menjadi dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas

hukum dapat diartikan sebagai “jantungnya” perarturan hukum. (Rahardjo,

12
2012: 45) Oleh Karenanya untuk memahami suatu peraturan hukum maka

diperlukan adanya asas hukum.

Karl Larenz dalam bukunya Methodenlehre der Rechtswissenschaft

menyampaikan bahwa asas hukum merupakan ukuran-ukuran hukum ethis

yang memberikan arah kepada pembentukan hukum. (Atmaja, 2018: 146)

Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana

telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang

bersangkutan. Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk

perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-

wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu. (Mertokusumo, 1993: 2) Bahwa

Pernyataan tersebut ternyata sejalan dengan yang disampaikan oleh Van

Apeldoorn yang dimana “kepastian hukum memiliki dua segi; yaitu dapat

menentukan hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum’, artinya

bahwa bagi pihak yang tengah mencari keadilan sangat ingin mengetahui apa

yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu dan sebelum ia memulai perkara

dan bagaimana memberi perlindungan bagi para pencari keadilan itu sendiri.

(Sulistyawan, 2029: 14)

Sejatinya Tanpa adanya kepastian hukum orang/person tidak akan

mengetahui apa yang harus diperbuatnya sehingga pada akhirnya timbulah

sebuah ketidakpastian (uncertainty) itu, yang notabenenya pada akhir akan

menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan dari sebuah sistem

hukum yang masih mengambang. Sehingga dengan demikian keberadaan

13
kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas dan

mudah dipahami oleh masyarakat, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya

tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

(Prayoga, 2016: 194)

Dari teori kepastian hukum ini kita merujuk kepada permasalahan terhadap

pembebasan bersyarat bagi narapidana yang berada di Rumah Tahanan

Pekanbaru ternyata tidak memiliki kepastian hukum, tentu ini telah melanggar

hak dari terpidana tersebut, perlu diketahui sejatinya seseorang yang melakuan

kesalahan juga memiliki Hak yang melekat pada dirinya dan dijamin oleh UU

Republik Indonesia. Sehingga disini yang perlu kita cermati lagi ialah

permasalahan yang berada di lapangannya apa yang menjadi faktor

penghambat dalam proses pembebasan mereka yang tidak dikeluarkan dari

pihak yang bersangkutan.

Bahwasanya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 telah mengatur terkait syarat

yang harus dipenuhi untuk mendapatkan putusan bebas bersyarat bagi

narapidana, namun implementasi saat ini tidak sejalan dengan apa yang diatur

oleh UU.

2. Teori Pembinaan

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, pemasyarakatan adalah

kegiatan untuk melakukan pembinaan warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan system kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan

bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sedangkan

14
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik Pemasyarakatan.

Pasal 1 Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

menjelaskan: (Pasal 1 Undang – Undang nomor 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, 1995) Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana,

Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Pembinaan

merupakan proses, cara membina dan penyempurnaan atau usaha tindakan dan

kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembinaan

pada dasarnya merupakan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara sadar,

berencana, terarah, dan teratur secara bertanggung jawab dalam rangka

penumbuhan, peningkatan dan mengembangkan kemampuan serta sumber-

sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan.

Pada dasarnya Pembinaan adalah upaya pendidikan formal maupun non

formal yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan

bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan,

membimbing, dan mengembangkan suatu dasar-dasar kepribadiannya

seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan

bakat, kecenderungan/keinginan serta kemampuan-kemampuannya sebagai

bekal, untuk selanjutnya atas perkasa sendiri menambah, meningkatkan dan

mengembangkan dirinya, sesamanya maupun lingkungannya ke arah

tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan

pribadi yang mandiri. (Simanjutak, 1990: 84)

15
Dalam melaksanakan pembinaan masyarakat di Lapas, maka perlu

didasarkan pada suatu asas yang merupakan pegangan pedoman bagi para

Pembinaan yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan pembinaan tercapai

dengan baik. Merujuk pada Pasal 2 UU No.12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan, asas-asas pembinaan meliputi:

1. Asas pengayoman
2. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan
3. Asas pendidikan
4. Asas pembimbingan
5. Asas penghormatan harkat martabat manusia
6. Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
7. Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang
tertentu.

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas


pengayoman merupakan tempat mencapai tujuan tersebut diatas melalui
pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga
pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas lembaga
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga
binaan pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum. (Prinst, 2003: 243)

Dari teori pembinaan diatas dapat kita simpulnya sejatinya pembinaan

dalam menjelang putusan bebas bersyart itu sangat penting, pengawasan ini

dilakukan oleh pihak kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait didalamnya,

namun kalau berbicara praktik amant UU tentang pemasyarakatan yg telah

dipaparkan sebelumnya sangat bertentangan dengan apa yang dirasakan oleh

narapidana yang ingin mendapatkankan putusan bebas bersyarat, dengan

mempersulit administrasi yang meraka akan siapakan.

16
F. Kerangka Operasional

Definisi oprasional atau yang disebut kerangka operasional adalah kerangka

yang hubungan antara definisi-definisi atau konsep khusus yang akan diteliti. (Ida

Hanifa, 2014: 5) Berdasarkan judul proposal maka dapat dituliskan definisi

oprasional sebagai berikut :

1. Pengawasan: Pengawasan merupakan tindakan dalam proses perbaikan dalam

pelaksanaan sebuah pekerjaan maupun fungsi-fungsi lain yang berkaitan

dengan hal yang diawasi, seperti pengawasan dalam proses pembebsana

bersyarat terhadap narapidana di lapas.

2. Kejaksaan: kejaksaan merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam

bidang penuntutan. Namun yang melakukan penuntutan tersebut ialah

seorang jaksa, yang dimana tugasnya menuntut seseorang yang diduga

berbuat tindak pidana.

3. Pembebasan Bersyarat: pembebasan bersyarat merupakan telah bebasnya

seorang narapidana setelah menjalani masa kurungan yang sekurang-

kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan tersebut tidak

kurang dari 9 bulan kurungan, hal ini merujuk pada Pasal 14 ayat (1) Undang-

Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

4. Narapidana: narapidan adalah sebutan bagi seseorang yang tengah menjalani

masa kurungannya akibat melakukan suatu tindak pidana, yang mana tujuan

akhir dari tindakan yang dilakukan narapidana tersebut ialah buian atau

kurungan (penjara).

17
G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini ialah empiris, yang dimana penelitian empiris artinya

sesuai atau berdasarkan realita. Mengungkapkan sesuatu atau yang berkenaan

dengan dunia nyata yakni dunia yang dapat di observasi dengan indra

sehingga setiap orang dapat mengindranya. Penelitian empiris diperoleh lewat

fakta yang terungkap dan lewat pengalaman manusia cara yang dilakukan

dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain mengetahui caranya.

(Taufani, 2020:129)

Penelitian empiris dapat dilakukan dengan: pengumpulan sampling,

dokumen kearsipan disebuah lembaga, wawancara, membagikan kuisioner,

dll.

Adapun penelitian ini bersifat deskriktif analisis yang mengarah pada

penelitian hukum yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti data primer dan data sekunder. Kemudian dideskripsikan data-data

yang diperoleh untuk memperoleh suatu gambaran.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di laksanakan untuk menganalisis dan mengetahui peran

kejaksaaan dalam bebas bersyarat bagi narapidana di Kejaksaan Negeri

Pekanbaru, sehingga peneliti mengambil Lokasi Penelitian pada Kejaksaan

Negeri Pekanbaru.

3. Populasi dan Sampel

Berdasarkan jenis dan sifat penelitian yang ditentukan, maka analisis data
yang dipergunakan adalah yuridis empiris. Analisis data dalam penelitian

18
kualitatif merupakan proses pelacakan serta pengaturan secara sistematis
catatan lapangan yang telah diperoleh dari wawancara, observasi serta bahan
lain agar peneliti dapat melaporkan hasil penelitian Analisis data dalam
penelitian kualitatif pada dasarnya analisis deskriptif, diawali dengan
pengelompokan data yang sama, selanjutnya dilakukan interpretasi untuk
memberi makna setiap sub-aspek dan hubungan antara satu dengan lainnya
kemudian dilakukan analisis keseluruhan aspek untuk memahami makna
hubungan antara aspek satu dengan lainnya yang menjadi fokus penelitian.
(Firman, 2018: 2)

Populasi dalam penelitian ini adalah Lembaga Pemasyrakatan Pekanbaru.

Sedangkan Sampel dalam Penelitian ini ialah Pegawai Lembaga

Pemasyrakatan Pekanbaru dan Narapidana yang akan diputus Bebas Bersyarat

oleh Hakim pada Kejaksaan Negeri Pekanbaru.

4. Jenis dan Sumber Data

Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitiatif sehingga wujud

penelitian bukan berupa angka-angka untuk keperluan kuantitatif statistik,

akan tetapi data tersebut adalah informasi yang berupa kata-kata yang disebut

dengan kualitatif. (Alwasilah, 2002: 67) Jenis data dalam penelitian ini adalah

data primer dan skunder, data skunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang utama sebagai bahan

hukum yan bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai

otoritas. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan dan

segala dokumen resmi yang memuat aturan hukum. Bahan-bahan hukum

yang mengikat, seperti Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-

Undang Nomor 12 tahun 2011 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 15

tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahan

19
hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, seperti buku-

buku, jurnal, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya, yang terkait dengan

pokok permasalahan penelitian proposal skripsi ini.

b. Bahan hukum skunder adalah dokumen atau bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer seperti buku-

buku artikel, jurnal, hasil, penelitian, makalah dan lain sebagainya yang

relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus dan bahan lain yang

diperoleh dari internet.

5. Metode dan Alat Pengumpul Data

“Metode dan Alat pengumpul data dalam penelitian hukum lazimnya

menggunakan studi dokumen, pengamatan atau observasi, dan wawancara.

Ketiga jenis alat pengumpul data ini dapat dipergunakan masing-masing,

maupun secara bergabung untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin,

(Alwasilah, 2002: 66) “

6. Teknik Analisis Data

Berdasarkan jenis dan sifat penelitian yang ditentukan, maka analisis data

yang dipergunakan adalah analisis kualitatif, yaitu:

Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang tidak membutuhkan populasi dan


sampel, sehingga analisis kualitatif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
yang mengacu pada penelaahan atau pengujian yang sistematik mengenai
suatu hal dalam rangka menentukan bagian-bagian, hubungan di antara
bagian dan hubungan bagian dalam keseluruhan, dan berhubung yang diteliti
dan dianalisis adalah aturan hukum, maka lebih tepat disebut dengan analisis
yuridis kualitatif. (Erwinsyahbana, 2017: 188)

20
H. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan peneliti akan memuat kerangka pengerjaan

penelitian ini, seperti :

KERANGKA SKRIPSI SEMENTARA:

Lembar Pendaftaran

Lembar Berita Acara Ujian

Pernyataan Keaslian

Kata Pengantar

Daftar Isi

Abstrak

BAB I: Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Manfaat Penelitian

D. Kerangka Operasional

E. Kerangka Teori

BAB II: Metode Penelitian

A. Sifat Penelitian

B. Lokasi Penelitian

C. Populasi dan Sample

D. Jenis dan Sumber Data

E. Metode dan Alat Pengumpul Data

21
F. Teknik Analisis Data

BAB III: Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum tentang Pengawasan dan Pelaksanaan

B. Tinjauan Umum tentang Bebas Bersyarat

BAB IV: Gambaran Umum Lokasi Penelitian

A. Gambaran Umum Kota Pekanbaru

B. Gambaran Umum Lapas Kota Pekanbaru

C. Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru

BAB V: Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Pengawasan yang Dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam

Pelaksanaan Putusan Bebas Bersyarat Apakah Sudah Sesuai Dengan

Peraturan Pengawasan yang Berlaku.

B. Kendala yang Dihadapi oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru dalam

Melakukan Pengawasan Terhadap Narapidana yang Memperoleh

pembebasan bersyarat

BAB VI: Penutup

A. Simpulan

B. Saran

22
I. Daftar Pustaka Sementara

1. Buku
Alwasilah, C. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan
Melakukan Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Atmaja, D. G. (2018). Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum. Jurnal Kertha
Wicaksana, 12(2), 146.
B., S. d. (1990). Membina dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung:
Tarsito.
Firman. (2018.). Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif. 2.
Hamzah, S. D. (1995). Jaksa Di Berbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya.
Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, S. (1993). Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Ida Hanifa, D. (2014). Pedoman Penulisan Skripsi” . Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Rahardjo, S. (2012). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sholehuddin, M. (2004). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Prinst, D. (2003). Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Sianturi, E. K. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, (cetakan ke 2 ed.). Jakarta: Storia Grafika.
Sudirman, H. M. (2015). Realitas Sosial Penghuni Lembaga Pemasyarakatan,
Dalam Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan, Anatomi
Permasalahan Dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Center For Detention
Studies.
Sujamto. (1996). Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia,. Jakarta: Sinar Grafika:
Sinar Grafika.
Surbakti, S. D. (2005). Hukum Pidana. Surakarta: Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Taufani, S. d. (2020). Metodologi Penelitian HukumI (Filsafat, Teori dan Praktik)
(Vols. cetakan ke-3). Depok: PT RajaGrafindo Persada.

2. Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 1 Undang – Undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,. (1995).
Pasal 2 UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. (n.d.).
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.2.Pk.04-10 Tahun 2007. (2007).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. (n.d.). Menurut Pasal 1 Angka 8 (A)
Tentang Pemasyarakatan Menyebutkan “Anak Pidana Yaitu Anak Yang
Berdasarkan Putusan Pengadilan Menjalani Pidana Di Lapas Anak
Paling Lama Sampai Berumur 18 (Delapan Belas) Tahun”.
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. (2004).

23
3. Jurnal/Karya Ilmiah
Anggy Anastasya Nidyaningrum. (2016). Peran Jaksa Dalam Pengawasan
Narapidana Yang Diberikan Pelepasan Bersyarat Di Kota Surakarta (Studi
Kasus Kejaksaan Negeri Surakarta). 6.
Erwinsyahbana, T. (2017). “Pertanggungjawaban Yuridis Direkeksi. Jurnal De
lega Lata, 2(1), 188.
Madjid, M. (n.d.). Pelaksanaan Pemberian Hak Narapidana Mendapatkan
Pembebasan Bersyarat (Studi Kasus Di Rutan Kelas II B Masamba).
Makasar: Skripsi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
R, T. P. (2016,). Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman
Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Legislasi, 13(2), 194.
Sulistyawan, M. J. (2029). Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui
Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. Jurnal Crepido, 1(1), 14.
Tahun”, M. P.-N. (n.d.).
Yan, B. (2018). Implementasi Cuti Bersyarat Di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Palembang. 2.

4. Internet

24

Anda mungkin juga menyukai