Anda di halaman 1dari 9

1.

pertanyaan :

1. Apabila anda seorang advokat, bagaimana proses-proses beracara hingga siapa saja pihak yang
beracara?

Jawaban :

Hukum Acara Pidana Indonesia adalah serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang
mengatur pelaksanaan hukum pidana pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia. Istilah
hukum acara pidana merupakan terjemahan dari strafvordering didalam Bahasa Belanda. Dalam
kaitannya dengan hukum pidana, hukum acara pidana adalah hukum pidana formal yang berfungsi
menjalankan hukum pidana substantif. Berdasarkan buku yang ditulis Wirjono Prodjodikoro dengan
judul Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Hukum acara pidana formal mengatur tentang bagaimana
negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.

Berbeda dengan KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita miliki
merupakan karya agung Bangsa Indonesia. KUHAP adalah hukum pidana formil atau Hukum Acara
Pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil. Tegasnya, KUHAP
berisi tata cara atau proses terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana.

Pada dasarnya proses pertama dalam hukum acara pidana dimulai dari penyelidikan kemudian
penyidikan, penuntutan, putusan hakim. Dalam penyelidikan yang bertugas untuk melakukannya
adalah Kepolisian Republik Indonesia. Akan tetapi, dalam Penyidikan yang memiliki wewenang
adalah Kepolisian Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian untuk tahap penuntutan berada dalam
wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dan terakhir untuk putusan terhadap suatu tindak pidana
berada dalam wewenang hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

A. Penyelidikan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Berdasarkan pengertian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyelidikan
bertujuan untuk menyatakan apakah suatu perbuatan itu digolongkan ke dalam suatu tindak pidana
atau bukan.

B. Penyidikan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa penyidikan
itu merupakan suatu tindakan lanjutan dari penyelidikan dimana sudah dapat ditentukan bahwa
perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana.

C. Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Penuntutan merupakan suatu rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan.

Setelah Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka ia akan segera
mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila dalam hal hasil penyidikan ternyata
belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara kepada Penuntut
Umum.

D. Putusan Hakim

Pada dasarnya putusan hakim dalam hukum acara pidana merupakan suatu bentuk keadilan
tertinggi yang diberikan kepada terdakwa dan putusan tersebut dianggap benar serta memiliki
kekuatan yang mengikat sepanjang tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa terhadap
putusan tersebut. Dalam hal hakim memutus suatu perkara pidana, maka ia harus berlandaskan asas
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana
harus berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan.

Dalam teori hukum pembuktian, sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa
Kontinental yaitu negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian hukum pidana dilakukan
menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.
Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
memberikan batasan untuk hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang
harus berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti. Adapun bunyi Pasal 183 KUHAP
adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

2. Berikan analisa saudara mengenai tujuan dan fungsi hukum acara pidana dalam beracara?

Jawaban :

Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana

Fungsi Penegakan Hukum

Usaha untuk menciptakan tata tertib keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik
merupakan usaha penegakan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya
pelanggaran hukum.

1. Tujuan Mencari dan Mendapatkan Kebenaran Materiil Yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

2. Melaksanakan Putusan Pengadilan Setelah upaya hukum dilakukan putusan pengadilan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka jaksa melaksanakan putusan pengadilan
3. Tujuan Melindungi Hak Asasi Manusia

Di samping bertujuan menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, hukum acara pidana juga
bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban, maupun si pelanggar hukum.

Tujuan hukum acara pidana seperti dikemukakan dalam Pedoman Pelaksana KUHAP seperti dikutip
di atas dapat dirumuskan menjadi tiga fungsi menurut van Bemmelen yaitu :

1. Mencari dan menemukan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim.

3. Melaksanakan keputusan.

Apabila kita simak definisi hukum acara pidana sebagai diuraikan sebelumnya, maka kita dapat
mengambil suatu kesimpulan, bahwa tujuan/fungsi hukum acara pidana adalah untuk menegakkan
atau mengkongkritkan hukum pidana materiil. Seperti contoh dikemukakan sebelumnya, bagaimana
seorang yang melakukan pencurian atau pembunuhan dapat dijatuhkan pidana yaitu dengan melalui
proses penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan dan melaksanakan putusan pengadilan
tersebut. Dengan demikian hukum pidana dan hukum acara pidana merupakan dua hal yang saling
berkaitan dan melengkapi dalam penanganan suatu perkara pidana sehingga kepastian dan keadilan
hukum dapat dicapai.

2. pertanyaan

a. Bagaimana tata cara Pemeriksaan Sidang Acara Biasa (sertai dengan dasar hukum yang kuat!)

Jawaban :

PROSEDUR PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DENGAN ACARA BIASA

1. Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam
buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan
Hakim/ Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.

2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama
pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.

3. Pembagian perkara kepada Majelis/ Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik
pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.

4. Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari
terlebih dahulu berkas perkara.

5. Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk
mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.

6. Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa,
jenis kelamin, kebangsaan dan agama.

7. Syarat-syarat materiil:

· Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti);

· Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya;


· Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang
memberatkan dan meringankan.

8. Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi
dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan (pasal 143 ayat 3 KUHAP.

9. Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi kewenangan pengadilan lain maka
berkas perkara dikembalikan dengan penetapan dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa
Penuntut Umum dengan perintah agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).

10. Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan
perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib
mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).

11. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip persidangan diantaranya pemeriksaan


terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pemeriksaan secara langsung
dengan lisan.

12. Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan belum siap, persidangan ditunda
pada hari dan tanggal berikutnya.

13. Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil

· Sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;

· Memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;

· Jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah, memerintahkan Penuntut
Umum memanggil terdakwa sekali lagi;

· Jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan
terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa.

14. Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan KUHAP.

15. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan/ pengalihan
penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas musyawarah
Majelis Hakim.

16. Dalam hal permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan


ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.

17. Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4)
KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 KUHAP.

18. Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan yang berbentuk
penetapan.

19. Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.

20. Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.

21. Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim lain sebagai
penggantinya.
22. Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim untuk mencatat seluruh
kejadian dalam persidangan.

23. Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan
catatan khusus yang dianggap sangat penting.

24. Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti, sebelum sidang
berikutnya dilaksanakan.

25. Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip-ex jika
terdapat kesalahan tulisan.

26. Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu
minutasi.

27. Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti menandatangani
putusan.

28. Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberi¬kan petikan putusan kepada terdakwa
atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.

b. bagaimana tata cara Pengajuan Eksepsi dan Putusan Sela (sertai dengan dasar hukum yang kuat!)

Jawaban :

Eksepsi

Eksepsi merupakan jawaban terdakwa atau melalui penasehat hukumnya atas surat dakwaan jaksa
penuntut umum yang berisikan keberatan terhadap syarat-syarat formil sebelum masuk kepada
pemeriksaan pokok perkara.

Syarat-syarat formil dimaksud dalam hal ini adalah mulai dari manjemen penyidikan (mindik) sampai
dengan syarat-syarat sahnya sebuah surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2)
KUHAP.

Dengan adanya eksepsi, tentunya jaksa penuntut umum akan memberikan jawaban atas eksepsi
yang diajukan oleh terdakwa atau melalui penasehat hukumnya tersebut. Kemudian setelah adanya
jawaban jaksa penuntut umum, maka hakim akan membuat putusan sela atau eksepsi.

Putusan Sela

Putusan sela itu sendiri adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap suatu perkara perdata
atau pidana sebelum masuk kepada pemeriksaan pokok perkara.

Adapun putusan sela dalam perkara pidana yang dijatuhkan oleh dapat berupa;

surat dakwaan batal demi hukum, karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

bahwa dalam perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka
surat pelimpahan perkara akan di kembalikan kepada jaksa penuntut umum, untuk selanjutnya
kejasaan negeri yang bersangkutan akan menyampaikan kepada kejaksaan negeri yang tercantum
dalam penetapan hakim ( Pasal 148 KUHAP).
surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, karena surat dakwaan tersebut sudah
lewat waktu (daluarsa), pemeriksaan untuk perkara yang sama sudah pernah dilakukan (nebis in
idem), dan perkara memerlukan syarat aduan.

penundaan pemeriksaan perkara karena adanya persellihan kewenangan, karena untuk melanjutkan
perkara pidana tersebut diperlukan keputusan hakim perdata terlebih dahulu.

eksepsi terdakwa atau penasehat hukumnya diterima, maka perkara tersebut tidak dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut, atau eksepsi terdakwa atau penasehat hukumnya tidak diterima dan hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan (Pasal 156 ayat (2) KUHAP.

Dalam hal diterimanya eksepsi terdakwa atau penasehat hukumnya oleh hakim berkenaan dengan
kewenangan mengadili atau dakwaan tidak dapat diterima atau batal demi hukum, setelah
mendengar pendapat dari jaksa penuntut umum, maka jaksa penuntut umum dapat melakukan
perlawanan kepada pengadilan tinggi setempat (Pasal 156 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP).

3. Jawab pertanyaan dibawah ini :

a. analisalah apakah kasus diatas termasuk dalam Kasasi Demi Kepentingan Hukum atau Peninjauan
Kembali!

Jawaban :

kasus diatas termasuk dalam Kasasi Demi Kepentingan yaitu Kasasi demi kepentingan hukum adalah
upaya hukum luar biasa yang hanya bisa diajukan oleh Jaksa Agung. Pemeriksaan kasasi demi
kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada hukuman
biasa yang dapat dipakai.

b. analisalah apakah subjek dan objek dalam Kasasi Demi Kepentingan Hukum telah tepat diterapkan
dalam kasus diatas mengapa demikian!

Jawaban :

subjek dan objek dalam Kasasi Demi Kepentingan Hukum telah tepat diterapkan dalam kasus diatas
karena subyek dan objek hukum sudah sesuai berdasarkan kasus tersebut.

subjek hukum secara umum adalah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai
hak/kewajiban/ kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Pada dasarnya, subjek hukum terbagi
menjadi dua, yaitu orang dan badan hukum. Sejak seseorang dilahirkan, maka sejak itu pula ia
dianggap sebagai subjek hukum.

objek hukum secara umum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum di mana
segala hak dan kewajiban serta kekuasaan subjek hukum berkaitan di dalamnya. Sebagai contoh,
misalnya benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat memperolehnya
membutuhkan pengorbanan terlebih dahulu.

4. pertanyaan

a. Jelaskan seperti apa perbedaan dari setiap jenis-jenis putusan yang terkandung pada pasal
tersebut!
Jawaban :

Jenis Putusan Akhir

Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang disebutkan dalam KUHAP tersebut di atas, maka
dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat berupa:

1. Pemidanaan.

Pemidanaan

Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana”.

Lebih lanjut Pasal 196 ayat (3) menyebutkan, “segera setelah putusan pemidanaan diucapkan,
bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang yang menjadi haknya,
yaitu:

Hak segera menerima atau segera menolak putusan.

Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang
waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-
undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.

Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan.

Hak mencabut pernyataan berkenaan dengan hak menerima atau menolak putusan dalam tenggang
waktu yang di tentukan oleh undang-undang ini”.

Pidana atau hukuman yang dijatuhkan dapat berupa kurungan badan dan/atau denda, sesuai
dengan unsur pasal yang didakwakan kepadanya.

2. Putusan bebas (vrijspraak).

Putusan Bebas (Vrijspraak)

Disebutkan juga dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas
adalah, “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas”.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging).

Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)

Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah, “jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa dituntut lepas dari segala tuntutan hukum” (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP).

Hukuman bebas dan hukuman lepas dari segala tuntutan hukum ini berdampak pada masalah
penahanan, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 191 ayat (3) bahwa, “terdakwa yang ada dalam status
tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain yang sah, terdakwa
perlu ditahan”.

Selanjutnya dalam hal putusan pemidaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak
menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan Negara atau
dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, kecuali apabila terdapat alasan
yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan sesudah sidang selesai, dan
perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai syarat apapun kecuali dalam hal putusan
pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 194 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP).

b. Analisalah syarat sah saja dalam memenuhi suatu putusan, perkuat analisa saudara disertai dasar
hukum?

Jawaban :

Syarat-syarat Sahnya Putusan

Syarat sahnya putusan pengadilan berdasarkan Pasal 195 KUHAP, yakni semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Serta
melihat juga Pasal 197 ayat 1 KUHAP tentang syarat-syarat yang harus dimuat dalam putusan,
adalah sebagai berikut;

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agam dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan yang menjadi dasar penentu kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana, sebagaiman termaksud dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, diserttai keadaan yang
memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim
tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak
pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaa atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan
ketentuan mengenai barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu,
jika terdapat otentik dianggap palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
43 43 Pasal 197 ayat 1 KUHAP. 31 Suatu putusan akan batal demi hukum apabila ketentuan dalam
Pasal 197 ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l tersebut tidak terpenuhi. Namun apabila terjadi
kesalahan atau kekliruan dalam penulisan atau pengetikkan pada ketentuan huruf a, e, f dan h, maka
tidak menyebabkan putusan batal demi hukum.

c. Bagaimana menurut anda jika terjadi Dissenting Opinion dan apa saja esensinya?

Jawaban :

Dissenting Opinion, yaitu apabila seorang Hakim berbeda pendapat dengan Hakim yang mayoritas,
baik tentang pertimbangan hukum maupun amar putusannya. Pendapat Hakim yang disssenting
opinion tersebut dimuat dalam putusan secara lengkap dan diletakan sebelum amar putusan.

Esensi dari perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dalam putusan pengadilan adalah tentang :

Demokratisasi Peradilan

Demokrasi mengkehendaki sikap toleran, artinya bersedia untuk menerima suatu itu berbeda
dengan pendapatnya. Jika tidak adanya nilai esensi budaya demokrasi dalam peradilan maka tidak
akan pernah ada hakim yang berbeda pendapat.

Transparansi Peradilan Yang Bersih dari KKN

Pada akhirnya dalam hukum publik, suatu putusan perkara tindak pidana yang diterbitkan oleh para
hakim adalah untuk kepentingan publik. Oleh sebab itu peradilan tindak pidana diadakan terbuka
untuk umum.

Hakim tidak dapat membungkam diri dengan tidak berpendapat atas realitas moral publik pada
suatu perkara meskipun pada saat bersamaan hakim harus menggunakan pendapat yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis. Publik akan berprasangka jika pendapat para hakim tidak
dapat berkaca (transparan) terhadap rasa keadilan yang hidup pada masyarakat.

Dengan menangkap kepentingan publik itu dalam pertimbangannya (legal reasoning) , maka
pendapat dari para hakim seharusnya tidak selalu akan sama. Maka Esensi Dissenting Opinion
bukanlah soal perbedaannya tetapi nilai transparansi peradilan terhadap dunia diluar peradilan.

Kebebasan berpendapat Hakim;

Bagaimana mungkin seorang hakim dapat berbeda pendapat jika iklim kebebasan berpendapat para
hakim tidak dibiarkan. Lagipula, sangat janggal jika seluruh hakim tidak memiliki pendapat yang
berbeda dalam mempertimbangkan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.

Berpendapat yang berbeda memang keadaan seorang hakim, tetapi keadaan itu harus didukung
dengan adanya kepastian bahwa berbeda pendapat adalah hal yang hakiki. Oleh sebab itu Dissenting
Opinion pada dasarnya adalah tentang kebebasan berpendapat dalam dunia peradilan.

Anda mungkin juga menyukai