Anda di halaman 1dari 65

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum nasional khususnya hukum acara pidana

bertujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, meningkatkan

pembinaan sikap para penegak hukum dengan fungsi dan wewenangnya demi

tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia. Ketertiban serta kepastian hukum demi tegaknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945).

Seperti diketahui bahwa NKRI merupakan negara yang berdasarkan

hukum, hal tersebut telah dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

yaitu:

”Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”

Sesuai dengan hal itu, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan

tindakan warga negaranya harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Apabila terdapat pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka terdapat sanksi yang telah

ditentukan dan mekanisme peradilan yang telah ditentukan pula. untuk

seseorang yang diduga melakukan suatu perbuatan pidana, tentunya aparat

penegak hukum terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan dilakukan


2

berdasarkan tata cara dan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana

yang berlaku.

Hukum acara pidana ini memiliki tujuan seperti yang digariskan oleh

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03

Tahun 1982, tentang pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yang menjelaskan bahwa:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan, demikian pula setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan
segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana mengatur
pula pokok-pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan
tersebut”.1

Sebelum berlakunya kitab undang-undang hukum acara pidana,

Regulasi mengenai pelaksanaan beracara diatur dalam Herziene Inlandsh

Reglement (HIR) yang merupakan produk hukum zaman penjajahan. Oleh

karena peraturan perundang-undangan tersebut dirasa tidak mampu untuk

memberikan keadilan, maka dibentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perbedaan

mendasar antara HIR dan KUHAP adalah, pengaturan mengenai hak-hak

tersangka dan terdakwa, bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan,

penggabungan perkara pada perkara pidana dalam hal ganti rugi, pengawasan

1
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori Dan Azas Umum Hukum Acara Pidana Indonesia,
Cet. I, ed. I, ( Yogyakarta: Liberty 1988) hal.30
3

pelaksanaan putusan hakim dan yang terakhir wewenang hakim pada

pemeriksaan pendahuluan, yakni pra peradilan. Hal ini diatur secara lengkap

dalam KUHAP, sedangkan dalam HIR tidak diatur mengenai hal tersebut,

terlebih lagi mengenai hak-hak tersangka dimana seorang tersangka dan

terdakwa memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan dihormati oleh setiap

aparat penegak hukum, baik dari kepolisian sampai pengadilan.

Adapun pengaturan mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa

terdapat dalam BAB VI KUHAP, yaitu dari Pasal 50 sampai dengan pasal 68.

Secara terperinci hak-hak tersangka dan terdakwa yang terdapat dalam

KUHAP adalah hak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke

penuntut umum, segera di ajukan ke Pengadilan dan segera diadili oleh

Pengadilan, hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan

hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, hak

mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum

selama dalam waktu dan pada setiap pemeriksaan, hak menghubungi dan

menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatannya, dan

lain-lain yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR.

Sebelum berlakunya KUHAP, hak-hak tersangka dan terdakwa dalam

proses perkara pidana juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kini telah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman Dalam Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:


4

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau

dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum

ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa yang diduga

melakukan suatu perbuatan pidana oleh aparat penegak hukum, tidak dapat

divonis bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap, karena seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan atas

sangkaan/ dugaan semata. Seorang tersangka atau terdakwa harus memenuhi

unsur perbuatan pidana yaitu sifat melawan hukum (wederrechtelijke),

disertai alat bukti yang cukup dan sah menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk dapat diajukan oleh penuntut umum

sebagai dasar penuntutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dan

menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memperoleh suatu kesimpulan

apakah seseorang yang disangka atau diduga melakukan perbuatan pidana

dapat dikenakan sanksi pidana atau tidak.

Terpenuhinya unsur perbuatan pidana yaitu sifat melawan hukum

tersangka atau terdakwa terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya tidak

serta merta membuat tersangka dapat dikenakan sanksi pidana karena adanya

hal-hal yang dapat menghapuskan perbuatan pidana tersangka atau terdakwa

yang diduga melakukan perbuatan pidana, dalam hukum pidana dikenal

dengan alasan pemaaf yaitu seseorang yang mengalami gangguan jiwa atau

seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa untuk dirinya sendiri atau


5

orang lain demi mempertahankan hak atau kehormatannya dibebaskan dari

segala tuntutan hukum. Sudah sewajarnya bila seorang tersangka dan

terdakwa yang dituduh melakukan perbuatan pidana, untuk sementara waktu

dianggap tidak bersalah dan dalam hukum acara pidana dikenal dengan “asas

praduga tak bersalah” (presumption of innocence), sampai kesalahannya

benar-benar terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Adapun Landasan yuridis mengenai hak tersangka dan terdakwa yang

diduga melakukan perbuatan pidana oleh penyidik, maka penyidik tersebut

berkewajiban memberikan hak-hak tersangka untuk menghubungi penasehat

hukum yang terdapat dalam Pasal 57 KUHAP, yaitu:

1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak


menghubungi penasehat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini;
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan
negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

Apabila tersangka atau terdakwa diduga melakukan perbuatan pidana

disertai dengan bukti permulaan yang cukup, dan tersangka menurut penyidik

sangat perlu dilakukannya penahanan dengan alasan akan melarikan diri,

menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatan pidana yang

dilakukannya, maka dalam tenggang waktu penahanan tersebut tersangka atau

terdakwa berhak menghubungi penasehat hukumnya, dan apabila tersangka

atau terdakwa adalah seseorang yang berkebangsaan asing, maka tersangka

dapat menghubungi perwakilan negaranya atau duta besar yang menjadi

wakil dari negara asal tersangka.


6

Selanjutnya bantuan hukum terhadap tersangka dan terdakwa yang

tidak mampu untuk membayar jasa penasehat hukum dapat dilihat dalam

Pasal 56 KUHAP, yaitu:

1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan


tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan disemua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat
hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-
cuma.

Pejabat yang melakukan pemeriksaan pada setiap tingkat pemeriksaan

baik polisi, jaksa penuntut umum atau majelis hakim, wajib menunjuk

seorang advokat atau penasehat hukum untuk mendampingi dan membela

hak-hak tersangka yang diduga melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh

tersangka atau terdakwa. Hal ini bertujuan untuk menjunjung asas persamaan

dihadapan hukum (equality before the law), bahwa keadilan tidak hanya bagi

mereka yang mampu secara materi, tapi juga berlaku bagi mereka yang tidak

mampu. Hukum juga tidak memandang seseorang yang di lihat dari suku, ras,

dan golongan ataupun mereka yang memiliki jabatan/ kekuasaan.

Aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan

harus menyadari pentingnya bantuan hukum terhadap tersangka dan

terdakwa, karena dengan adanya bantuan hukum dari seorang advokat atau

penasehat hukum, hak-hak tersangka dan terdakwa yang telah diamanatkan

oleh undang-undang dapat dilaksanakan dengan baik serta memberikan rasa

aman terhadap tersangka yang diduga sebagai pelaku perbuatan pidana yang
7

bisa saja dalam keadaan atau kondisi tertentu melakukan perbuatan pidana

bukan atas kehendaknya sendiri atau bukan atas dasar niat dari pelaku

perbuatan pidana tersebut melainkan adanya paksaan dari daerah sekitar

sehingga perbuatan pidana itu dilakukan.

Untuk itu diperlukan seseorang yang mendampingi tersangka dan

terdakwa dari pemeriksaan ditingkat kepolisian, kejaksaan, hingga

pemeriksaan ditingkat pengadilan, seseorang yang dimaksud adalah advokat

yang karna ilmu dan profesinya dirasa mampu untuk mendampingi tersangka

dan terdakwa. Seorang advokat tersebut diharapkan dapat membela

kepentingan atau hak-hak tersangka. Mulai dari penyelidikan dan penyidikan

yang dilakukan oleh polisi, jaksa penuntut umum bahkan setelah berubah

status di muka sidang pengadilan menjadi terdakwa.

Tersangka atau terdakwa yang tidak mampu yang disangka melakukan

perbuatan pidana, dalam pelaksanaanya jarang mendapatkan bantuan hukum

secara cuma-cuma karena berbagai faktor. Pengertian bantuan hukum cuma-

cuma ini adalah bantuan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada

tersangka dan terdakwa yang tidak mampu secara gratis (prodeo), sehingga

tersangka dan terdakwa tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menghadapi

perkara pidana yang dituduhkan atas dirinya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat beberapa

rumusan masalah, yaitu:


8

1. Bagaimanakah implementasi Pasal 56 KUHAP, dalam pemberian

bantuan cuma-cuma terhadap tersangka/ terdakwa yang tidak mampu

secara ekonomi?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala dalam pemberian bantuan

hukum secara cuma-cuma terhadap tersangka/ terdakwa yang tidak

mampu secara ekonomi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui implementasi pemberian bantuan cuma-cuma

terhadap tersangka dan terdakwa berdasarkan Pasal 56 KUHAP.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pemberian bantuan cuma-

cuma terhadap tersangka dan terdakwa yang tidak mampu.

2. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau

wawasan yang lebih kongkrit bagi aparat penegak hukum dan

pemerintah, khususnya dalam pemberian bantuan cuma-cuma kepada

tersangka dan terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi berdasarkan


9

Pasal 56 KUHAP, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya

yang berkaitan tentang pemberian bantuan cuma-cuma kepada

tersangka dan terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi berdasarkan

Pasal 56 KUHAP.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

pemikiran dan pertimbangan dalam pemberian bantuan cuma-cuma

kepada tersangka dan terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi

berdasarkan Pasal 56 KUHAP, dan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya

dalam melindungi hak-hak tersangka dan terdakwa dengan memberikan

bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka dan terdakwa yang

tidak mampu secara ekonomi.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak menimbulkan penafsiran terlalu luas dan untuk lebih

terarahnya dalam melakukan penelitian ini maka di perlukan pembatasan

ruang lingkup penelitian yang sesuai dengan latar belakang yang menjadi

dasar pemikiran serta perumusan masalah yang menjadi fokus utama kajian

dalam penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada
10

persoalan tentang implementasi pemberian bantuan cuma-cuma oleh

Penasehat Hukum yang ditunjuk berdasarkan Pasal 56 KUHAP.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Bantuan Hukum

Setiap warga negara indonesia memiliki hak untuk memperoleh

bantuan hukum saat tersangkut permasalahan hukum. Bantuan hukum ini

biasanya diberikan oleh seorang yang sangat mengerti hukum kepada

seseorang yang memerlukan bantuan hukum. Di Indonesia bantuan hukum

biasanya diberikan oleh seorang advokat, organisasi advokat dan lembaga

bantuan hukum.

Landasan yuridis hak mendapatkan bantuan hukum terhadap

tersangka atau terdakwa terdapat dalam pasal 54 sampai dengan pasal 56

KUHAP, dalam Pasal 54 kitab undang-undang hukum acara pidana

(KUHAP) menyebutkan:

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa mendapatkan

bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam

waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang

ditentukan dalam undang-undang ini”.

Pentingnya seseorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak

pidana oleh aparat penegak hukum, wajib mendapatkan bantuan hukum untuk

menghindari kekerasan terhadap tersangka oleh aparat penegak hukum dalam

menguak keterangan yang disangkakan, dalam mendapatkan penasihat

hukumnya tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat


12

hukumnya, ketentuan ini digariskan dalam pasal 55 kitab undang-undang

hukum acara pidana (KUHAP) menyebutkan:

“Untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut dalam Pasal 54,

tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya”.

Seseorang yang disangka atau menjadi terdakwa serta diduga sebagai

pelaku perbuatan pidana oleh penyidik, maka dalam hal menentukan bantuan

hukum, seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih dan menentukan

penasehat hukumnya sendiri, selanjutnya untuk melakukan penunjukan yang

dilakukan tersangka atau terdakwa dapat melakukan permohonan secara

tertulis kepada advokat atau penasihat hukum yang dikehendakinya, dalam

pasal Pasal 56 kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP),

menyebutkan:

1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan


tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan disemua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat
hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-
cuma.

Ketentuan yang digariskan oleh pasal di atas menentukan seorang

tersangka atau terdakwa yang berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-

cuma adalah:

a) Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan perbuatan pidana

yang ancaman hukumannya adalah pidana mati;


13

b) Tersangka atau terdakwa yang ancaman pidananya lima belas tahun

penjara atau lebih;

c) Tersangka atau terdakwa yang tidak mampu dan ancaman

hukumannya diatas lima tahun penjara atau lebih yang tidak

mempunyai penasihat hukum atau advokat.

Berdasarkan ketentuan tersebut yang ditujukan mendapatkan bantuan

hukum secara cuma-cuma adalah bagi mereka yang tidak mampu atau bagi

mereka yang ancaman hukumannya diatas lima tahun penjara sampai dengan

ancaman hukuman maksimal yaitu pidana mati.

Tersangka atau terdakwa yang tidak mampu berhak atas bantuan

hukum untuk menyelesaikan perkara yang dihadapinya sampai perkara itu

mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan tersangka

atau terdakwa tidak mencabut surat kuasa terhadap advokat selaku pemberi

bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.

Selanjutnya tersangka atau terdakwa yang tidak mampu selaku penerima

bantuan hukum juga berhak mendapatkan bantuan hukum secara maksimal

yaitu advokat dalam memberikan bantuan hukumnya dilakukan atas dasar

profesionalitas dan kode etik advokat untuk memberikan bantuan hukum

secara optimal kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.

Menurut pendapat A. Buyung Nasution bantuan hukum dalam

pengertiannya yang luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu

golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum.2

2
A. Buyung Nasution dalam Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum Dan
Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal 7.
14

Adapun landasan yuridis tentang bantuan hukum terhadap tersangka

atau terdakwa yang tidak mampu juga terdapat dalam pasal 22 undang-

undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yaitu:

1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma


kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam setiap proses pemeriksaan baik kepolisian, kejaksaan maupun

pengadilan, tersangka atau terdakwa setelah ditawarkan oleh pejabat yang

berwenang dalam hal ini penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum atau

majelis hakim, dan tersangka atau terdakwa tersebut telah memilih advokat

atau penasihat hukum menurut kehendaknya sendiri, maka advokat yang

dipilih sebagai pemberi bantuan hukum, wajib memberikan bantuan

hukumnya secara cuma-cuma. Ketentuan mengenai tata cara pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma diatur dalam peraturan pemerintah nomor

83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma yang bertujuan untuk melaksanakan pasal 22 undang-

undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.

Adapun dasar hukum advokat memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma kepada tersangka dan terdakwa yang dijelaskan pada peraturan

pemerintah nomor 83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melaksanakan ketentuan

pasal 22 tentang bantuan hukum undang-undang nomor 18 tahun 2003

terdapat dalam pasal 2, menyebutkan:


15

“advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada

pencari keadilan”.

Penjelasan mengenai “pencari keadilan” yang dimaksud dalam pasal

di atas dijelaskan pada pasal 1 angka 4 pemerintah nomor 83 Tahun 2008

tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-

cuma untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum

undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, menyebutkan:

“pencari keadilan yang tidak mampu selanjutnya disebut pencari keadilan

adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis

tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani

dan menyelesaikan masalah hukum”.

Advokat dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma terhadap

tersangka atau terdakwa yang tidak mampu tidak dapat menolak permohonan

bantuan hukum yang diajukan oleh pemohon dalam hal ini tersangka atau

terdakwa yang tidak mampu, apabila advokat tersebut menolak memberikan

bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pemohon, maka pemohon pencari

keadilan tersebut dapat melaporkan advokat tersebut kepada organisasi

advokat atau lembaga bantuan hukum yang bersangkutan. Ketentuan ini

berdasarkan pasal 12 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah nomor 83 tahun

2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara

cuma-cuma untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum

undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, menyebutkan:

1. Advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara cuma-


cuma.
16

2. Dalam hal terjadi penolakan permohonan bantuan hukum


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan
keberatan kepada organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum
yang bersangkutan.

Seorang advokat yang memberikan bantuan hukum terhadap

tersangka atau terdakwa dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-

cuma dilarang meminta atau menerima pemberian dalam bentuk apapun dari

pemohon bantuan hukum yaitu tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.

Ketentuan ini digariskan dalam pasal 13 peraturan pemerintah nomor 83

tahun 2008 tentang tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum undang-

undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, menyebutkan:

“Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dilarang

meminta atau menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pencari

keadilan”.

Ketentuan ini memberikan batasan-batasan terhadap advokat yang

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka atau

terdakwa yang tidak mampu untuk melaksanakan bantuan hukum secara

profesional sesuai dengan profesi dan kode etik advokat yang diembannya,

tanpa harus menerima bayaran atau menerima pemberian dalam bentuk

apapun. Apabila seorang advokat melanggar ketentuan yang digariskan pasal

di atas maka seorang advokat tersebut akan menerima sanksi yang diberikan

oleh organisasi advokat, pemberian sanksi tersebut ditegaskan dalam pasal 14

peraturan pemerintah nomor 83 tahun 2008 tentang tata cara pemberian


17

bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melaksanakan kententuan pasal 22

tentang bantuan hukum undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang

advokat, yang menyebutkan:

1) Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal


12 dan 13
2) Sanksi sebagaimana disebut pada ayat (1) dapat berupa:
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3(tiga) sampai
dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau
d) Pemberhentian tetap dari profesinya.
Selanjutnya mengenai tata cara permohonan bantuan hukum secara

cuma-cuma dilakukan secara tertulis, apabila pemohon tidak mampu

melakukan permohonan secara tertulis maka permohonan dapat dilakukan

secara lisan, ketentuan permohonan secara lisan ini selanjutnya dituangkan

oleh advokat secara tertulis oleh advokat yang memberikan bantuan hukum

secar cuma-cuma.

Ketentuan peraturan pemerintah tersebut sedikit banyak telah

memberikan perlindungan kepada tersangka dan terdakwa sebagai pemohon

bantuan hukum secara cuma-cuma untuk dapat melakukan pembelaan

terhadap perkara pidana yang dihadapinya dan mendapatkan hak-hak yang

seharusnya didapatkan oleh tersangka dan terdakwa. Pentingnya pemberian

bantuan hukum secara suma-cuma terhadap tersangka atau terdakwa yang

tidak mampu mendorong pemerintah untuk memperjuangkan hak

konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan

hukum maka pemerintah membentuk dan menetapkan undang-undang nomor


18

16 tahun 2011 tentang bantuan hukum yang menggariskan ketentuan-

ketentuan tentang tujuan bantuan hukum, ruang lingkup, penyelenggaraan

bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, hak dan kewajiban penerima

bantuan hukum serta syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum.

Pengertian bantuan hukum yang digariskan dalam pasal 1 angka 1

undang-undang nomor 16 tahun 2011 menyebutkan:

“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi

bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum”

Selanjutnya mengenai ruang lingkup bantuan hukum yang diberikan

kepada penerima bantuan hukum digariskan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2

undang-undang nomor 16 tahun 2011 yang menyebutkan:

1) Bantuan Hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang


menghadapi masalah hukum.
2) Bantuan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) meliputi
masalah keperdataan, pidana, dan tata usaha Negara baik litigasi dan
non litigasi.

Jasa hukum dalam hal ini meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,

mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk

kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Sedangkan pengertian bantuan

hukum menurut darwan prinst adalah orang yang dapat memberikan

“Bantuan Hukum” kepada seorang tersangka/terdakwa disebut “penasihat

hukum”.3

Adapun hak dan kewajiban penerima bantuan hukum yang terdapat

dalam pasal 12 dan 13 undang-undang nomor 16 tahun 2011 menyebutkan:

3
Darwan prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, edisi revisi, (Jakarta: Djambatan,
2002), hal. 102
19

Penerima bantuan hukum berhak:

a) Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau

perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama pemberian

bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;

b) Mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan standar bantuan hukum dan/

atau kode etik advokat; dan

c) Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan

pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Penerima bantuan hukum wajib;

a) Menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar

kepada pemberi bantuan hukum;

b) Membantu kelancaraan pemberian bantuan bantuan hukum.

Tersangka atau terdakwa selain mendapatkan bantuan hukum juga

wajib mematuhi hak dan kewajiban yang telah diatur dalam pasal 12 dan

pasal 13 undang-undang nomor 16 tahun 2011 di atas.

Adapun syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum yang

digariskan dalam pasal 14 dan pasal 15 BAB VI tentang syarat dan tata cara

pemberian bantuan hukum undang-undang nomor 16 tahun 2011

meyebutkan:

Pasal 14:
1) Untuk memperoleh bantuan hukum, pemohon bantuan hukum
harus memenuhi syarat-syarat;
a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi
sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat
20

mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan


hukum;
b. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara;
c. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala
desa, atau pejabat yang setingkat ditempat tinggal
pemohon bantuan hukum
2) Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun
permohonan secara tertulis, permohonan dapat dilakukan secara
lisan.
Pasal 15:
1) Pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan
hukum kepada pemberi bantuan hukum.
2) Pemberi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lam 3(tiga)
hari kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan
lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak
permohonan bantuanhukum.
3) Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, pemberi
bantuan hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan surat
kuasa khusus dari penerima bantuan hukum.
4) Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan
hukum mencantumkan alasan penolakan.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian
bantuan hukum diatur dengan peraturan pemerintah.

Tersangka atau terdakwa yang akan mendapatkan bantuan secara

cuma-cuma dapat mengajukan permohonan dengan mengajukan dengan

cara tertulis dan memberikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

perkara yang dihadapinya serta melampirkan surat keterangan miskin dari

lurah atau pejabat desa setingkat tempat tersangka atau terdakwa

bertempat tinggal. Tersangka atau terdakwa yang tidak dapat mengajukan

mengajukan permohonan bantuan hukum secara tertulis dapat mengajukan

permohonan secara lisan.

Setelah permohonan bantuan hukum diajukan oleh pemohon

bantuan hukum, maka dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja pemberi

bantuan hukum harus menentukan apakah permohonan bantuan bantuan


21

hukum tersebut di terima atau di tolak, dalam hal penolakan oleh pemberi

bantuan hukum yaitu advokat atau penasihat hukum, maka advokat

tersebut harus memberikan alasan penolakan atas penolakan pemberian

bantuan hukum tersebut. Dalam hal permohonan pemberian bantuan

hukum diterima mama pemberi bantuan hukum yaitu advokat harus

memberikan surat kuasa khusus kepada pemohon bantuan hukum secara

cuma-cuma.

Tersangka atau terdakwa yang melakukan permohonan pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma harus benar-benar mendapatkan

bantuan hukum secara gratis tanpa dipungut bayaran oleh pemberi bantuan

hukum, hal ini digariskan dalam ketentuan undang-undang nomor 16 tahun

2011 pasal 20, menyebutkan:

“Pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta

pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang

terkait dengan perkara yang sedang ditanda tangani pemberi bantuan

hukum”.

Apabila dalam pelaksanaan bantuan hukum secara cuma-cuma ini

pemberi bantuan hukum terbukti menerima atau meminta pembayaran dari

pemohon bantuan hukum dalam hal ini adalah tersangka atau terdakwa

yang tidak mampu yang ancamannya diatas 5 (lima) tahun penjara atau

ancaman hukumannya diatas 15 (lima belas) tahun penjara sampai

ancaman pidana mati maka pemberi bantuan hukum tersebut diancam

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda maksimal
22

sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), hal ini digariskan

dalam pasal 21 BAB IX tentang ketentuan pidana undang-undang nomor

16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, menyebutkan:

“Pemberi bantuan hukum yang terbukti menerima atau meminta


pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang
terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah)”.

Sedangkan yang dimaksud pemberi bantuan hukum digariskan

dalam pasal 1 angka 3 undang-undang nomor 16 tahun 2011,

menyebutkan:

“lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang

memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini”.

B. Proses Penyelesaian Perkara Pidana

1. Penyelidikan

Secara yuridis normatif pengertian penyelidikan diatur dalam Pasal

1 angka (5) KUHAP, yaitu:

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang”

Penyelidikan adalah suatu proses yang dilakukan oleh penyelidik

untuk mencari dan menemukan bukti atau menentukan suatu peristiwa

adalah suatu perkara pidana atau tidak. Selanjutnya apabila peristiwa


23

tersebut adalah memang benar suatu perkara pidana, maka penyelidik atas

perintah penyidik dapat melakukan pemeriksaan, penggeledahan,

penyitaan dan penangkapan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut.

Tentunya penyelidik menunjukkan surat tugas yang diberikan penyidik

untuk melakukan penyelidikan, disertai dengan menunjukkan surat

perintah penindakan tersebut kepada tersangka yang diduga keras

melakukan perbuatan pidana.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana tersebut di atas, adapun kewajiban dan wewenang

penyelidik, yang dituangkan dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, adalah:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana.
2) Mencari keterangan dan barang bukti.
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; dan
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.

Menurut penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain”

adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengaruskan dilakukannya
tindakan jabatan;
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan
5) Menghormati hak asasi manusia.

Sebagaimana syarat-syarat tindakan penyelidik diatas, tentunya

penyelidik dalam setiap melakukan suatu tindakan perkara pidana terhadap


24

tersangka dan terdakwa, harus dilandasi dengan rasa tanggung jawab dan

profesionalisme yang tinggi, serta menjunjung tinggi harkat, martabat dan

hak asasi manusia.

Menurut M. Yahya Harahap, penyelidikan merupakan tindakan

tahap pertama permulaan penyidikan.4

Sedangkan yang berwenang melakukan penyelidikan adalah

Pejabat Polisi Republik Indonesia, ketentuan ini digariskan dalam pasal 1

angka 4 kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yaitu:

“penyelidik adalah pejabat polisi negara republik indonesia yang

diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan”.

2. Penyidikan

Setelah penyelidik menentukan adanya suatu perbuatan pidana

berdasarkan petunjuk atau bukti permulaan yang cukup pada suatu

peristiwa, kemudian penyelidik tersebut menghadapkan orang yang diduga

keras melakukan tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk

dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut, selanjutnya penyidik mencari,

mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang

suatu perbuatan pidana yang terjadi, serta sekaligus menemukan pelaku

atau tersangka perbuatan pidana tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ketentuan umum pasal 1

angka 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidik yang

4
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyelidikan
dan Penuntutan, edisi II,( Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 101.
25

menyatakan, penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang,

sedangkan penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat

penyidik sesuai yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang

dengan tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangka

atau pelaku tindak pidananya.

Pada tindakan penyelidikan ditekankan pada tindakan “mencari dan

menemukan” suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak

pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya pada tindakan “mencari

serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat

menjadi terang, serta dapat menemukan tersangka yang melakukan

perbuatan pidana.

Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang

berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna

dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.5

Untuk memperoleh data dan bukti-bukti yang akurat dalam perkara

pidana, sebelum dilakukan penyidikan dilakukan penyelidikan. Sedangkan

tujuan dari penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti-

bukti yang cukup untuk membuat terangnya suatu perbuatan pidana, serta

menentukan pelaku perbuatan pidana tersebut, ketentuan ini digariskan

5
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Edisi ke2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 109
26

dalam pasal 1 angka 2 kitab undang-undang hukum acara pidana

(KUHAP), yaitu:

“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan perbuatan pidana

oleh aparat penegak hukum terkait dengan sistem pemeriksaan yang

dilakukan oleh penyidik, menurut lilik mulyadi dalam bukunya yang

berjudul “Hukum Acara Pidana” dikenal dengan adanya dua sistem

pemeriksaan, yaitu:

Pertama, sistem accusatoir. Pengertian accusatoir dalam bahasa


Indonesia dapat dipadankan dengan kata “menuduh” terhadap seorang
tersangka yaitu seorang yang telah didakwa melakukan suatu tindak
pidana dimana dalam proses dan prosedur serta sistem pemeriksaan
terdakwa dianggap sebagai subjek semata-mata ketika berhadapan
dengan pihak kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga
kedua belah pihak masing-masing mempunyai suatu hak yang sama
nilainya dan hakim berada diatas kedua belah pihak guna
menyelesaikan perkara pidana tersebut sesuai hukum pidana yang
berlaku (hukum positif).
Kedua, sistem inquisitoir yang dalam bahasa Indonesia padanan
katanya adalah “pemeriksaan”, yaitu sistem pemeriksaan yang
menganggap tersangka sebagai suatu objek yang harus diperiksa
karena adanya suatu dakwaan. Pemeriksaan ini dapat berupa
pendengaran si tersangka tentang dirinya sendiri dan dapat melalui
keterangan dari beberapa orang saksi. Oleh karna sudah ada suatu
pendakwa yang sedikit banyak diyakini kebenarannya oleh yang
mendakwa melalui sumber-sumber pengetahuan di luar tersangka,
maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan
pendorongan kepada tersangka supaya mengakui kesalahannya. Minat
mendorongkan kea rah pengakuan salah ini biasanya berhubungan
dengan tahap pendakwa sebagai manusia belaka—adalah begitu hebat
27

sehingga dalam praktik pendoronan ini berupa penganiayaan terhadap


tersangka (pijnbank, torure).6

Secara etimologis penyidikan merupakan padanan kata bahasa

belanda “opsporing”, dari Bahasa Inggris ”investigation”, atau dari bahasa

latin “investigatio” dan oleh WJS. Poerdaminta mengartikannya sebagai

berikut : “ serangkaian tindakan penyidikan yang diatur undang-undang

untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata

penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik, menyelidik;

mengamat-amati”7.

Adapun bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara

pidana, menurut Andi Hamzah, adalah :8

1. Ketentuan-ketentuan tentang alat-alat penyidikan;


2. Ketentuan-ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik;
3. Pemeriksaan di tempat kejadian;
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5. Penahanan sementara;
6. Penggeledahan;
7. Pemeriksaan atau interogasi;
8. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan di
tempat);
9. Penyitaan;
10. Penyampingan perkara;
11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan
pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

Berdasarkan bagian-bagian penyidikan tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa penyidikan adalah proses inti dalam suatu pemeriksaan

ditingkat kepolisian, mulai dari mencari dan mengumpulkan bukti, olah


6
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, cet III, ( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007) hal. 12
7
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet, II (Jakarta: balai pustaka, 1976 ),
hal. 20
8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, cet, II ed, II (Jakarta:Sinar grafika,
2008) hal.120
28

tempat kejadian perkara, penahanan, penggeledahan, pembuatan berita

acara pemeriksaan hingga pelimpahan berkas perkara kepada penuntut

umum.

3. Penuntutan

Setelah penyidik melimpahkan berkas perkara dan diterima oleh

penuntut umum, maka penuntut umum dengan segera harus mempelajari

hasil penyidikan tersebut untuk dilakukan penelitian, apakah hasil

penyidikan tersebut sudah lengkap atau tidak. Sedangkan waktu penuntut

umum untuk meneliti hasil penyidikan adalah 7 (tujuh) hari. Mengenai

hasil penyidikan yang belum lengkap, maka penuntut umum

mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik, untuk segera

melengkapi kekurangan berkas perkara tersebut, disertai petunjuk oleh

penuntut umum kepada penyidik mengenai kekurangan berkas perkara

yang diajukan oleh penyidik. Kemudian penyidik mengembalikan berkas

perkara tersebut kepada penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas

hari), sejak penerimaan berkas perkara penyidik kepada penuntut umum.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 138 ayat 1 dan 2 KUHAP, yang

menyebutkan:

1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik


segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan bnerkas perkara itu kepada
penuntut umum.
29

Setelah pelimpahan berkas perkara dinyatakan telah lengkap,

disertai dengan menyerahkan tersangka atau terdakwa bersama berkas

perkara oleh penyidik kepada penuntut umum, maka Jaksa peneliti yang

kemudian melakukan penelitian berkas perkara segera menentukan apakah

tersangka perlu ditahan atau tidak, serta apakah hasil penyelidikan telah

cukup atau belum. Jika penuntut umum berpendapat bahwa hasil

penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya

membuat surat dakwaan yang ditegaskan dalam pasal 140 ayat 1 kitab

undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yang menyebutkan:

1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil

penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya

membuat surat dakwaan.

Kemudian apabila penuntut umum harus menghentikan penuntutan

karena faktor-faktor yang digariskan dalam pasal 140 ayat (2) huruf a

KUHAP, yang menyebutkan:

“Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan


penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan”.

kemudian penuntut umum menghentikan penuntutan dan

menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan, kemudian surat ketetapan

itu diberitahukan kepada tersangka, keluarga atau penasihat hukum, dan

apabila tersangka masih ditahan maka dengan segera tersangka yang


30

diduga melakukan perbuatan pidana tersebut harus dibebaskan demi

hukum.

Selanjutnya setelah berkas perkara dinyatakan telah lengkap maka

penuntut umum melimpahkan berkas perkara tersebut disertai surat

dakwaan ke pengadilan negeri yang mempunyai wewenang untuk

mengadili suatu perkara pidana tersebut.

Pengertian penuntutan digariskan dalam pasal 1 angka 7 kitab

undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yang menyebutkan:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang

Pengadilan.”

Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), Jaksa/ Penuntut umum tidak hanya berwenang melakukan

penuntutan dalam perkara pidana umum karena penuntutan merupakan

wewenang dan kewajiban dari penuntut umum, sebagaimana yang

ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 6 Jo. Pasal 137 KUHAP, yang

menyebutkan:

“penuntut umum mempunyai wewenang melakukan penuntutan

terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana yang

terjadi di daerah hukumnya dengan melimpahkan ke Pengadilan yang

berwenang mengadili”.
31

Penuntut umum juga dapat melakukan penuntutan dalam perkara

pidana lainnya, hal ini digariskan dalam kitab undang-undang hukum acara

pidana (KUHAP) pasal 284 ayat 2 BAB XXI tentang ketentuan peralihan,

yang memberikan peluang kepada penuntut umum untuk dapat melakukan

penuntutan terhadap perbuatan pidana lainnya, yaitu:

Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan,


maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang
ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Mengenai ketentuan pasal diatas berlaku asas lex specialis derogat

legi generali yaitu hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum

yang bersifat umum. Sedangkan Jaksa/ penuntut umum yang berwenang

melakukan penuntutan perkara pidana khusus yaitu Jaksa Agung Muda

Tindak Pidana khusus (JAMPIDSUS) dibawah perintah dan pengawasan

Jaksa Agung, perkara pidana khusus yang dimaksud adalah tindak pidana

ekonomi dan tindak pidana korupsi. Hal ini ditegaskan dalam keputusan

presiden nomor 86 tahun 1999 pasal 17, yaitu:

“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan


wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi,
tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Jaksa Agung”.

Ketentuan dari pasal tersebut mewajibkan Jaksa Agung Muda

Tindak Pidana Khusus yang disingkat (JAMPIDSUS) melakukan

pengusutan tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi dari tahap
32

penyelidikan, putusan pengadilan hingga pada pengawasan terhadap

putusan lepas bersyarat.

4. Pemeriksaan Sidang Pengadilan

Setelah pengadilan menerima surat perkara tentang pelimpahan

berkas perkara dari penuntut umum, maka ketua pengadilan negeri

mempelajari berkas perkara tersebut untuk diketahui bahwa perkara itu

adalah benar termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau

perkara tersebut adalah tidak termasuk wewenangnya, tetapi termasuk

wewenang pengadilan negeri yang lain, hal ini dijelaskan dalam pasal 147

kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yang menyebutkan:

“Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari

penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk

wewenang pengadilan yang dipimpinnya”.

Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara itu adalah

termasuk dalam kewenangannya, maka ketua pengadilan tersebut

menunjuk hakim yang akan mengadili perkara tersebut dan hakim itulah

yang akan menetapkan hari sidang. Kemudian hakim memerintahkan

penuntut umum untuk melakukan pemanggilan terhadap terdakwa dan

saksi untuk dilakukannya pemeriksaan.

Dalam KUHAP yaitu bab XVI tentang pemeriksaan sidang

pengadilan, membedakan acara pemeriksaan perkara di pengadilan negeri

yaitu:

1) Acara pemeriksaan biasa, diatur dalam bagian ketiga bab XVI.


2) Acara pemeriksaan singkat, diatur dalam bagian kelima, bab XVI.
33

3) Acara pemeriksaan cepat, diatur dalam bagian keenam bab XVI


yang terdiri dari dua jenis, yaitu:
a) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
b) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Ditinjau dari segi pengaturannya, acara pemeriksaan biasa yang

paling utama dan paling luas pengaturannya. Menurut pendapat M. Yahya

Harahap ciri dari acara pemeriksaan biasa adalah sifat perkara biasa tidak

sederhana, pembuktian dan penerapan hukumnya tidak mudah, harus

memerlukan pemeriksaan yang seksama dan cermat. 9 Acara pemeriksaan

biasa ini harus menggunakan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut

umum dan dibacakan pada saat persidangan untuk dijadikan dasar

penuntutan oleh penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa yang

diduga melakukan suatu perbuatan pidana.

Sedangkan pemeriksaan singkat diatur dalam Pasal 203 ayat 1

KUHAP, yang menyebutkan:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara

kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205

dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan

hukumnya mudah dan sifatnya sederhana”.

Pemeriksaan singkat ini adalah pemeriksaan yang mudah dan

sederhana, serta pembuktian atau penerapan hukumnya tidak rumit.

Pemeriksaan acara singkat tidak menggunakan surat dakwaan, tetapi hanya

berdasarkan pembacaan oleh penuntut umum tentang perbuatan pidana

9
M. Yahya Harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, pemeriksaan
sidang pengadilan, banding kasasi, dan peninjauan kembali, cet. VIII, ed. Kedua (Jakarta: sinar
grafika, 2006) hal. 395
34

yang dilakukannya, serta waktu dan tempat kejadian perkara itu dilakukan,

selanjutnya pembacaan ini dicatat dalam berita acara sidang untuk

menggantikan surat dakwaan.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat ditentukan

dalam Pasal 205 ayat (1), yaitu:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan


ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu
rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf
2 bagian ini”.

Acara pemeriksaan cepat adalah tindak pidana ringan dan perkara

pelanggaran lalu lintas jalan, yang ancaman hukumannya tidak lebih dari

(3) tiga bulan penjara, dalam hal pelimpahan perkara, penuntut umum

tidak lagi mempunyai campur tangan, penuntut umum secara langsung

menyerahkan kuasanya kepada penyidik. Dan penyidik “atas kuasa”

penuntut umum langsung melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, hal

ini berdasarkan ketentuan pasal 205 ayat 2, yang dimaksud “atas kuasa”

adalah demi hukum. Sehingga penyidik dalam hal ini menjadi wakil dan

bertindak atas ketentuan undang-undang dan tidak memerlukan surat kuasa

khusus dari penuntut umum.

Sedangkan pemeriksaan penanganan perkara lalu lintas jalan

penyidik tidak perlu membuat berita acara pemeriksaan, proses

pemeriksaan pemanggilan menghadap persidangan dibuat berupa catatan,

dan catatan tersebut berbentuk formulir, hal ini ditentukan dalam pasal 207

ayat (1) huruf a.


35

Perbedaan mendasar dari ketiga acara pemeriksaan tersebut adalah

mengenai surat dakwaan, dalam pemeriksaan biasa harus menggunakan

surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum, sedangkan dalam acara

pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat tidak memerlukan surat

dakwaan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian adalah

penelitian normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif yaitu

penelitian yang disebut juga penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum

normatif ini sering kali dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan


36

berperilaku manusia yang dianggap pantas.10 Sedangkan penelitian secara

empiris yaitu dengan meneliti kenyataan yang terjadi dalam pemberian

bantuan hukum terhadap tersangka dan terdakwa berdasarkan Pasal 56

KUHAP.

B. Pendekatan Masalah

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, terutama

pengembangan ilmu hukum pada khususnya, secara umum penggunaan

metode pendekatan yang digunakan oleh para peneliti hukum ada 3 (tiga)

macam pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan Perundang-undangan (Statuta

Approach), (2) Pendekatan konsep (Conseptual Approach), dan (3)

Pendekatan Sosiologis (Sociological Approach).

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statuta Approach)

Dengan pendekatan ini dilakukan dengan menelaah berbagai

ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana guna menjawab dan membahas hal-hal yang

berhubungan dengan permasalahan

2. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach)

Pendekatan konsep yaitu pendekatan menggunakan konsep

meliputi unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam

suatu bidang studi yang kadang kala menunjuk pada hal-hal yang

partikular.11

10
Amirudin dan zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hal 118.
11
Johny Ibrahim, “teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Malang:
Banyumedia Publishing, 2007) hal. 306.
37

3. Pendekatan sosiologis (Sociological Approach)

Pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang mengambil

bahan-bahan atau data dari lapangan yang berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti.

C. Jenis dan Sumber Data atau Bahan Hukum

1. Sumber data terdiri dari: (a) Data Kepustakaan, dan (b) Data Lapangan.

a) Data Kepustakaan

Data kepustakaan adalah data yang diperoleh melalui peraturan

perundang-undangan, literatur, pendapat para sarjana, penerlitian

hukum, majalah hukum, jurnal hukum yang berhubungan dengan

objek penelitian;

b) Data Lapangan

Data Lapangan yaitu data yang diperoleh melalui wawancara

secara langsung dengan informan dan responden yang ada di lapangan

seperti:

- Kepolisian

- Kejaksaan Negeri

- Pengadilan Negeri

- Advokat

- Tersangka dan Terdakwa


38

2. Sedangkan jenis data yang dipergunakan adalah: (a) Data Primer, dan

(b) Data Skunder.

a) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan

(field reseach) dari informan pada instansi-instansi yang

berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti, seperti di

Pengadilan dan responden seperti tersangka dan terdakwa dengan

melakukan wawancara terhadap informan dan responden

tersebut.

b) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian

kepustakan (library reseach). Penelitian ini dilakukan dengan

mempelajari serta menelaah berbagai bahan kepustakaan yang

berhubungan dengan pokok masalah yang diteliti, baik berupa

peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, doktrin atau

pendapat para sarjana, maupun artikel atau majalah.

Adapun data sekunder ini terdiri dari bahan-bahan hukum

yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat

seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan lainya

tentang masalah yang diteliti.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer bersumber dari

literatur-literatur, dokumen-dokumen resmi yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.


39

D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data atau Penelusuran Bahan Hukum

Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini ada dua (2) jenis, yaitu : (1) Studi Dokumen, dan (2)

Wawancara:

1. Studi dokumen, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara

mengumpulkan, menginventarisasi, mempelajari dan menelaah data-

data yang telah diperoleh dari kepustakaan (library reseach).

2. Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan

wawancara secara langsung dengan informan dan responden atau pihak-

pihak yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti.

E. Analisis Data atau Bahan Hukum

Setelah data terkumpul baik data kepustakaan maupun data

lapangan selanjutnya diolah dan dianalisis dengan metode deskriftif

kualitatif, yaitu dengan menerangkan sejelas mungkin tentang data yang

telah diperoleh di lapangan dengan menganalisis data yang telah

terkumpul kemudian coba dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan

peraturan hukum yang berlaku tentang bantuan hukum terhadap tersangka

dan terdakwa menurut pasal 56 KUHAP.

Dengan demikian dalam membahas penelitian ini peneliti dalam

menyimpulkan hasil penelitian menggunakan metode dedukatif yaitu

dengan mengumpulkan data di lapangan berupa hasil wawancara dari para

informan dan responden, dan data perpustakaan berupa buku-buku

karangan para ahli hukum kemudian dihubungkan dengan peraturan


40

perundangan yang berlaku selanjutnya diuraikan dan dianalisis secara

spesifik kemudian ditarik suatu kesimpulan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Pasal 56 KUHAP dalam pemberian bantuan hukum


secara cuma-cuma terhadap tersangka/ terdakwa yang tidak mampu
secara ekonomi.

Satu hal yang melatar belakangi lahirnya KUHAP adalah untuk

menggantikan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR (herziene inlands

reglement), karena HIR yang merupakan produk pemerintahan kolonial

belanda belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia diantaranya hak untuk memperoleh bantuan hukum di

setiap tingkat pemeriksaan.

Hak untuk memperoleh bantuan hukum ini sebelumnya sudah diatur

dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan


41

kehakiman yang kini telah diganti dengan undang-undang no 48 tahun 2009

yang menyebutkan bahwa:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau

dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum

ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Hak untuk memperoleh bantuan hukum ini juga di gariskan dalam

pasal 54 kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) yang intinya

adalah menentukan bahwa guna kepentingan pembelaan tersangka berhak

mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum.

Selanjutnya bantuan hukum terhadap tersangka dan terdakwa yang

tidak mampu untuk membayar jasa penasehat hukum dapat dilihat dalam

Pasal 56 KUHAP, yaitu:

1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan


tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan disemua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat
hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-
cuma.

Pejabat yang melakukan pemeriksaan pada setiap tingkat pemeriksaan

baik polisi, jaksa penuntut umum atau majelis hakim, wajib menunjuk

seorang advokat atau penasehat hukum untuk mendampingi dan membela

tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini
42

bertujuan untuk menjunjung asas persamaan dihadapan hukum (equality

before the law), bahwa keadilan tidak hanya bagi mereka yang mampu secara

materi, tapi juga berlaku bagi mereka yang tidak mampu. Hukum juga tidak

memandang seseorang yang di lihat dari suku, ras, dan golongan ataupun

mereka yang memiliki jabatan/ kekuasaan.

Adapun Landasan yuridis mengenai hak tersangka yang diduga

melakukan perbuatan pidana oleh penyidik, maka penyidik tersebut

berkewajiban memberikan hak-hak tersangka untuk menghubungi penasehat

hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 57 KUHAP, yaitu:

1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak


menghubungi penasehat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini;
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan
negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

Apabila tersangka atau terdakwa diduga melakukan perbuatan pidana

disertai dengan bukti permulaan yang cukup, dan tersangka menurut penyidik

sangat perlu dilakukannya penahanan dengan alasan akan melarikan diri,

menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatan pidana yang

dilakukannya, maka dalam tenggang waktu penahanan tersebut tersangka atau

terdakwa berhak menghubungi penasehat hukumnya, dan apabila tersangka

atau terdakwa adalah seseorang yang berkebangsaan asing, maka tersangka

dapat menghubungi perwakilan negaranya atau duta besar yang menjadi

wakil dari negara asal tersangka.

Aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan

harus menyadari pentingnya bantuan hukum terhadap tersangka dan


43

terdakwa, karena dengan adanya bantuan hukum dari seorang advokat atau

penasehat hukum, hak-hak tersangka dan terdakwa yang telah diamanatkan

oleh undang-undang dapat dilaksanakan dengan baik serta memberikan rasa

aman terhadap tersangka yang diduga sebagai pelaku perbuatan pidana yang

bisa saja dalam keadaan atau kondisi tertentu melakukan perbuatan pidana

bukan atas kehendaknya sendiri atau bukan atas dasar niat dari pelaku

perbuatan pidana tersebut melainkan adanya pengaruh daya paksa overmach,

ataupun adanya pembelaan terpaksa yang dalam hukum pidana disebut

dengan istilah nodweer sehingga hal tersebut dapat mengurangi pemidanaan

yang dibebankan kepada tersangka tersebut atau tersangka dibebaskan dari

segala macam tuntutan karena adanya alasan pemaaf yaitu karena tersangka

yang melakukan perbuatan pidana mengalami gangguan jiwa.

Untuk itu diperlukan seseorang yang mendampingi tersangka dan

terdakwa dari pemeriksaan ditingkat kepolisian, kejaksaan, hingga

pemeriksaan ditingkat pengadilan, seseorang yang dimaksud adalah advokat

yang karna ilmu dan profesinya dirasa mampu untuk mendampingi tersangka

dan terdakwa. Seorang advokat tersebut diharapkan dapat membela

kepentingan atau hak-hak tersangka. Mulai penyidikan yang dilakukan oleh

polisi, jaksa penuntut umum bahkan setelah berubah status di muka sidang

pengadilan menjadi terdakwa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik kepolisian yaitu bapak

Lalu Salehudin bahwa implementasi pemberian bantuan hukum sudah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 56 KUHAP, bahwa apabila


44

tersangka diancam dengan ancaman hukuman pidana mati atau lima belas

tahun penjara atau lebih ataupun tersangka yang diancam dengan pidana lima

tahun penjara atau yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum

sendiri maka penyidik penyidik menawarkan kepada tersangka untuk

mendapatkan bantuan hukum, apabila tersangka ingin mendapatkan bantuan

hukum secara cuma-cuma maka penyidik wajib menunjuk penasihat hukum

bagi tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.

Namun apabila tersangka menolak untuk didampingi penasihat hukum maka

penyidik akan membuatkan berita acara penolakan dan ditanda tangani oleh

tersangka, hal ini dilakukan oleh penyidik dengan alasan tidak ingin

melanggar hak asasi manusia. Penunjukan penasihat hukum dibicarakan

terlebih dahulu secara lisan dengan penasihat hukum, setelah penasihat

hukum bersedia untuk mendampingi tersangka maka penasihat hukum

tersebut menandatangani surat kuasa khusus untuk mendampingi tersangka

dari tahap penyidikan, penuntutan sampai berubah status dalam sidang

pengadilan menjadi terdakwa. Dalam hal penolakan oleh penasihat hukum

yang tidak bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, maka

penyidik akan mengirimkan surat kepada organisasi induk penasihat hukum

tersebut bahwa penasihat hukum yang ditunjuk oleh penyidik tidak bersedia

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka yang tidak

mampu sekaligus penyidik mencari penasehat hukum lain yang bersedia

menjadi penasehat hukum tersangka.12

12
Wawancara dengan AKP Lalu Salehudin Kasat Reskrim Polres Mataram pada tanggal 7
juni 2012, pukul 08.30 Wita.
45

Pendapat di atas sesuai dengan hasil wawancara dengan Sopian Idris

yang sedang menjalani pemeriksaan oleh penyidik terhadap perkara pidana

pembunuhan yang dilakukannya, bahwa sebelum dilakukannya pemeriksaan,

tersangka dijelaskan tentang hak-haknya sebagai tersangka setelah itu

penyidik bertanya kepada tersangka apakah tersangka mau didampingi

penasihat hukum atau tidak.13

Seorang tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana oleh

penyidik kepolisian diberikan bantuan hukum setelah terlebih dahulu

dijelaskan mengenai hak-hak tersangka, dan tersangka berhak untuk

menerima pemberian bantuan hukum tersebut. Pemberian bantuan hukum

oleh kepolisian ini dilakukan sejak diberlakukannya Kitab undang-undang

hukum acara pidana (KUHAP).

Implementasi pemberian bantuan hukum terhadap tersangka dan

terdakwa yang tidak mampu pada tahap penuntutan berdasarkan hasil

wawancara dengan penuntut umum di Kejaksaan Negeri Mataram yaitu

bapak Hademan bahwa penuntut umum menunjuk advokat untuk

memberikan bantuan hukum apabila tersangka atau terdakwa ingin

mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Ketentuan ini dilaksanakan

oleh penuntut umum menurut pasal 56 KUHAP yaitu tersangka atau terdakwa

yang diancam dengan ancaman hukuman mati, seumur hidup atau yang

diancam hukuman penjara lebih dari lima tahun yang tidak mampu atau tidak

mempunyai penasihat hukum. Namun dalam kenyataannya, Implementasi

13
Wawancara dengan sopian idris, selaku tersangka yang mendapatkan bantuan hukum
secara cuma-cuma pada tanggal 7 juni 2012, pukul 09.00 Wita.
46

atau pelaksanaan bantuan hukum secara cuma-cuma pada tahap penuntutan

ini menurut pendapat bapak Hademan tidak pernah tejadi dengan alasan

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini sudah disiapkan pada awal

pemeriksaan oleh penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum tidak akan

menerima berkas dari penyidik apabila berkas dari penyidik tersebut tidak

lengkap dan mengembalikan kepada penyidik kepolisian untuk dilengkapi,

jadi penuntut umum hanya menerima pelimpahan berkas perkara apabila

penyidik telah melengkapi berkas tersebut seperti kelengkapan administrasi

yang berkaitan dengan surat kuasa dari tersangka dengan penasihat hukum

dan adanya tanda tangan yang dibubuhkan dalam berita acara pemeriksaan

tersangka. Apabila tersangka menolak bantuan hukum yang ditawarkan

penyidik kepolisian maka penyidik kepolisian harus melampirkan berita acara

penolakan bantuan hukum oleh tersangka dan dilampirkan dalam berkas

perkara yang akan dilimpahkan kepada penuntut umum. Setelah berkas

perkara telah lengkap barulah jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan

untuk terdakwa dan dengan segera dilimpahkan ke pengadilan negeri.14

Penuntut umum dalam memberikan bantuan hukum terhadap

tersangka atau terdakwa yang memenuhi kategori pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma tetap dilaksanakan menurut pasal 56 KUHAP, walaupun

dalam pelaksanaanya tidak pernah ada penunjukan yang dilakukan oleh

penuntut umum karna pemberian bantuan hukum sudah dilaksanakan pada

awal tahap penyidikan oleh kepolisian dengan catatan tersangka atau

14
Wawancara dengan bapak Hademan kasipidum kejaksaan negeri mataram selaku penuntut
umum pada tanggal 3 juni 2012, pukul 10.00 wita.
47

terdakwa apabila menolak atau menerima bantuan hukum secara cuma-cuma

penyidik kepolisian harus melampirkan berita acara penolakan atau

sebaliknya apabila tersangka atau terdakwa menerima pemberian bantuan

hukum secara cuma-cuma maka penyidik harus melampirkan surat kuasa

khusus antara tersangka dengan penasihat hukum untuk dilampirkan dalam

berkas perkara.

Demi menghindari pelanggaran terhadap undang-undang penuntut

umum pada awal pemeriksaan seharusnya menawarkan kepada tersangka

untuk mendapatkan bantuan hukum dan apabila terdakwa ingin mendapatkan

bantuan hukum maka jaksa penuntut umum wajib menunjuk penasihat hukum

untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma yang telah digariskan

dalam Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, yang

menyebutkan:

1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan


tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan disemua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat
hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-
cuma.

Agar penyidik, penuntut umum atau hakim tidak melanggar ketentuan

yang diatur dalam pasal 56 KUHAP ini, setiap kali ia memulai dengan suatu

pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa

telah melakukan suatu tindak pidana lima tahun atau lebih, maka ia harus

menanyakan kepada tersangka atau terdakwa apakah ia akan dibantu oleh


48

penasihat hukum atau tidak. Apabila tersangka atau terdakwa menyatakan

tidak mempunyai penasihat hukum karena tidak mampu, maka penyidik,

penuntut umum atau hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka

atau terdakwa.15

Pelaksanaan pemberian bantuan hukum terhadap tersangka dan

terdakwa yang tidak mampu oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan hasil

wawancara dengan bapak Zarman Hadi selaku advokat tetap dilaksanakan

menurut pasal 56 KUHAP, namun dalam pelaksanaannya mengenai tugas dan

fungsinya sebagai advokat mengatakan pernah menolak penunjukan yang

diberikan oleh pengadilan terhadap dirinya selaku advokat dengan alasan

kesibukan terhadap kasus lain yang ditanganinya dan apabila pemberian

bantuan hukum itu tetap dipaksakan maka pemberian bantuan hukum tersebut

tidaklah optimal.16 Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang telah

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan, dan advokat tersebut

dapat saja mendapatkan sanksi berupa penindakan apabila pemohon bantuan

hukum melaporkan advokat tersebut kepada organisasi advokat, karena

advokat telah mengabaikan kepentingan klien yang termasuk pencari keadilan

atau tersangka atau terdakwa yang tidak mampu, hal ini digariskan dalam

pasal 6 huruf a yang menyebutkan:

Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:

a) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.

15
P.A.F. Lamintang dan Theo lamintang, PEMBAHASAN KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, cet. II, ed I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hal.199.
16
Wawancara dengan bapak zarman hadi selaku advokat pada tanggal 7 juni 2012, pukul
12.00 wita.
49

Penjelasan tentang tersangka atau terdakwa yang mendapatkan

bantuan hukum yang juga disebut klien yang tidak mampu ini dijelaskan pada

pasal 1 angka 9 ketentuan umum undang-undang nomor 18 tahun 2003

tentang advokat yang menyebutkan:

“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara

cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.

Penolakan bantuan hukum juga bertentangan dengan ketentuan yang

digariskan dalam pasal 12 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah nomor 83 tahun

2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara

cuma-cuma untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum

undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yang menyebutkan:

1) Advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara cuma-


cuma.
2) Dalam hal terjadi penolakan permohonan bantuan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan
keberatan kepada organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum
yang bersangkutan.

Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

terhadap tersangka atau terdakwa yang tidak mampu tidak boleh menolak

permohonan bantuan hukum yang diajukan oleh pemohon dalam hal ini

tersangka atau terdakwa yang tidak mampu, apabila advokat tersebut menolak

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pemohon, pemohon

dapat melaporkan advokat tersebut kepada organisasi advokat atau lembaga

bantuan hukum yang bersangkutan. Apabila seorang advokat dilaporkan oleh

pemohon bantuan hukum dan terbukti melanggar ketentuan yang digariskan


50

pasal di atas maka seorang advokat tersebut akan menerima sanksi yang

diberikan oleh organisasi advokat, pemberian sanksi tersebut ditegaskan

dalam pasal 14 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah nomor 83 tahun 2008

tentang tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma untuk

melaksanakan kententuan pasal 22 tentang bantuan hukum undang-undang

nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yang menyebutkan:

1) Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal


12 dan 13 dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat.
2) Sanksi sebagaimana disebut pada ayat (1) dapat berupa:
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai
dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau
d) Pemberhentian tetap dari profesinya.

Namun apabila kita merujuk pada KEAI (Kode Etik advokat

Indonesia) Advokat dapat menolak memberikan bantuan hukumnya dengan

pertimbangan “tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati

nuraninya”. Hal ini digariskan dalam pasal 3 KEAI (Kode Etik Advokat

Indonesia) yang menyebutkan:

“Advokat dapat menolak memberikan nasihat dan bantuan hukum


kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum
dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan
bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan
alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis
kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya”.

Dapat kita simpulkan bahwa alasan penolakan bantuan hukum oleh

bapak Zarman Hadi selaku advokat adalah karena kesibukannya menangani

perkara lain yang sedang ditanganinya sehingga apabila bantuan hukum

secara cuma-cuma tetap dipaksakan maka dalam pemberian bantuan hukum


51

tersebut tidaklah optimal sehingga dapat bertentangan dengan hati nuraninya

sebagai seorang advokat yang dituntut memberikan bantuan hukum kepada

kliennya secara optimal, professional dan penuh tanggung jawab, hal inilah

yang menjadi dasar penolakan oleh bapak Zarman Hadi, namun apabila

penolakan tersebut dikarenakan perbedaan agama, kepercayaan, suku,

keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya maka

advokat tersebut dapat dikenai sanksi oleh organisasi advokat. Mengenai

pertanggungjawaban advokat yang melanggar ketentuan di atas dapat dijatuhi

sanksi oleh organisasi advokat setelah dilakukannya pemeriksaan oleh

organisasi advokat terkait, dan advokat tersebut dapat melakukan pembelaan

terhadap dirinya sebelum dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat tersebut. Hal

ini digariskan dalam pasal 14 ayat 3 dan 4 peraturan pemerintah nomor 83

tahun 2008 tentang tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum undang-

undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yang menyebutkan:

3) Sebelum advokat dikenai tindakan sebagaimana pada ayat (1), kepada


yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan
diri.
4) Ketentuan mengenai tata cara pembelaan diri dan penjatuhan sanksi
sebagaimana diatur pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam organisasi advokat.

Salah satu kewajiban advokat kepada masyarakat adalah memberikan

bantuan hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin).

Dalam pasal 3 KEAI dinyatakan bahwa seorang advokat “tidak dapat

menolak dengan alasan … kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa

hukum tersebut, dan juga pasal 4 kalimat: “mengurus perkara cuma-Cuma”


52

telah tersirat kewajiban ini. Asas ini dipertegas lagi dalam pasal 7 KEAI

alinea 8: “…kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

(prodeo) bagi orang yang tidak mampu”. Asas ini dalam internasional Bar

association (IBA) dikenal sebagagai “kewajiban sebagai mewakili orang

miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada

organisasi-organisasi bantuan hukum yang membantu kelompok miskin,

seperti lembaga bantuan hukum (LBH) dan Biro Bantuan Hukum (BBH),

namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada

klien miskin tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini.17

Sedangkan menurut hasil wawancara dengan pemberi bantuan hukum

yaitu bapak I Ketut Sumertha selaku advokat atau penasihat hukum sudah

dilaksanakan secara maksimal menurut pasal 56 KUHAP, penunjukan

pemberian bantuan hukum oleh aparat penegak hukum atas dirinya sebagai

advokat telah dilakukan secara tepat, tidak pernah melakukan penolakan

dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka atau

terdakwa yang tidak mampu, tetapi dalam pelaksanaannya menurut

pengakuan bapak I Ketut Sumertha dalam memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma tidak pernah meminta bayaran namun apabila diberikan oleh

tersangka atau terdakwa maka pemberian tersebut tidak juga di tolak dalam

arti apabila tersangka atau terdakwa memberikan pemberian uang atau barang

secara sukarela, maka bapak I ketut sumertha menerima pemberian tersebut

sebagai tanda terima kasih dari tersangka atau terdakwa yang mendapatkan
17
Siti Aminah, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia “Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum”, edisi kedua cet pertama (Jakarta:yayasan obor Indonesia,2009)
hal. 38.
53

bantuan hukum secara cuma-cuma.18 Keadaan ini menurut saya telah

melanggar kode etik advokat yang telah digariskan dalam pasal 22 ayat 1

undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yaitu:s

“Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.

Selain itu terdapat pula ketentuan yang menggariskan bahwa advokat

tidak boleh meminta atau menerima pemberian dalam bentuk apapun yang

digariskan dalam pasal 13 peraturan pemerintah nomor 83 tahun 2008 tentang

tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melaksanakan

ketentuan pasal 22 tentang bantuan hukum undang-undang nomor 18 tahun

2003 tentang advokat, menyebutkan:

“Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dilarang

meminta atau menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pencari

keadilan”.

Ketentuan ini memberikan batasan-batasan terhadap advokat yang

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka atau

terdakwa yang tidak mampu untuk melaksanakan bantuan hukum secara

profesional sesuai dengan profesi dan kode etik advokat yang diembannya,

tanpa harus meminta bayaran atau menerima pemberian dalam bentuk

apapun yang menambah beban kepada masyarakat sebagai pencari keadilan

untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma yang notabennya

adalah masyarakat miskin. Apabila seorang advokat terbukti melanggar

18
Wawancara dengan bapak I ketut sumertha selaku advokat piket di posbakum pengadilan
negeri mataram tanggal 7 juni 2012, pukul 10.30 wita.
54

ketentuan yang digariskan pasal di atas maka seorang advokat tersebut akan

menerima sanksi yang diberikan oleh organisasi advokat, pemberian sanksi

tersebut ditegaskan dalam pasal 14 peraturan pemerintah nomor 83 tahun

2008 tentang tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma untuk

melaksanakan kententuan pasal 22 tentang bantuan hukum undang-undang

nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, yang menyebutkan:

1) Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal


12 dan 13 dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat.
2) Sanksi sebagaimana disebut pada ayat (1) dapat berupa:
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai
dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau
d) Pemberhentian tetap dari profesinya.

Mengenai pertanggungjawaban advokat yang melanggar ketentuan

pasal di atas dapat dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat setelah

dilakukannya pemeriksaan oleh organisasi advokat terkait, dan advokat

tersebut dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya sebelum dijatuhi sanksi

oleh organisasi advokat tersebut. Hal ini digariskan dalam pasal 14 ayat 3 dan

4 peraturan pemerintah nomor 83 tahun 2008 tentang tata cara pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melaksanakan ketentuan pasal 22

tentang bantuan hukum undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang

advokat, yang menyebutkan:

3) Sebelum advokat dikenai tindakan sebagaimana pada ayat (1), kepada

yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan

diri.
55

4) Ketentuan mengenai tata cara pembelaan diri dan penjatuhan sanksi

sebagaimana diatur pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dalam organisasi advokat.

Ketentuan mengenai sanksi terhadap advokat yang terbukti

meminta atau menerima pemberian dari tersangka atau terdakwa yang

tidak mampu tidak hanya diberikan oleh organisasi advokat namun juga

dapat dikenai sanksi pidana dan denda yang digariskan dalam ketentuan

pasal 21 BAB IX tentang ketentuan pidana undang-undang nomor 16

tahun 2011 tentang bantuan hukum yang menyebutkan:

“Pemberi bantuan hukum yang terbukti menerima atau meminta


pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang
terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah)”.

Tersangka atau terdakwa yang diberikan bantuan hukum secara cuma-

cuma yang digariskan dalam pasal 56 KUHAP harus dilakukan secara

profesional tanpa adanya pandang bulu untuk tercapainya keadilan yang

merupakan tujuan hukum nasional itu sendiri dan tidak memberikan bantuan

hukum atas dasar materi. Hal ini ditentukan dalam pasal 10 peraturan

pemerintah nomor 83 tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melaksanakan ketentuan pasal 22

tentang bantuan hukum undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang

advokat yang menyebutkan:


56

“Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma harus

memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian bantuan hukum

yang dilakukan dengan pembayaran honorarium”

Masyarakat sebagai pencari keadilan yang dihadapkan dalam

permasalahan hukum harus mendapatkan bantuan hukum dari pemberi

bantuan hukum demi melakukan pembelaan terhadap kasus yang dialaminya,

terlebih lagi bagi mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin) harus

mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma tanpa harus memberikan

bayaran terhadap jasa hukum yang mereka dapatkan.

Santoso poedjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal

aid diartikan sebagai “…bantuan hukum (baik yang berbentuk nasihat

hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa daripada seseorang yang

berperkara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya,

sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang

pembela atau pengacara.”19

Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan perbuatan pidana

oleh aparat penegak hukum pada tingkat pemeriksaan sidang pengadilan

berhak mendapatkan bantuan hukum oleh advokat setelah terdakwa

dijelaskan tentang hak-hak terdakwa oleh hakim yang menangani perkara

pidana tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim di pengadilan negeri

mataram yaitu bapak mion ginting mengatakan pelaksanaan bantuan hukum

19
Santoso poedjosoebroto dalam soerjono soekanto, Bantuan Hukum Suatu
Tinjauan Sosio Yuridis , (Jakarta:Ghalia Indonesia,1983) hal. 21.
57

di pengadilan negeri mataram ini sudah diterapkan secara optimal

berdasarkan pasal 56 KUHAP bahwa yang berhak mendapatkan bantuan

hukum adalah terdakwa yang diancam dengan ancaman hukuman pidana mati

atau lima belas tahun penjara atau lebih ataupun terdakwa yang diancam

dengan pidana lima tahun penjara atau yang tidak mampu dan tidak

mempunyai penasihat hukum sendiri maka hakim wajib menunjuk advokat

untuk memberikan bantuan hukum kepada terdakwa tersebut, namun

demikian karna tidak ingin melanggar hak asasi manusia ketika terdakwa

menolak bantuan hukum yang ditawarkan oleh hakim, maka hakim tidak

dapat memaksa pemberian bantuan hukum yang diamanatkan oleh undang-

undang, apabila terdakwa menolak untuk didampingi penasihat hukum maka

pengadilan akan membuat surat berita acara penolakan. Penolakan bantuan

hukum oleh tersangka atau terdakwa yang tidak mampu menurut bapak Mion

Ginting karena adanya asumsi dari terdakwa atau keluarga terdakwa apabila

menerima bantuan hukum yang diberikan melalui pemberian bantuan hukum

cuma-cuma akan memperlambat jalannya pemeriksaan persidangan, bahkan

ada pula asumsi bahwa pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini

membutuhkan biaya yang banyak.20

Sedangkan berdasarkan hasil data lapangan di Pengadilan Negeri

Mataram, terhitung sejak berlakunya undang-undang nomor 16 tahun 2011

tentang bantuan hukum pada bulan januari 2011 sampai dengan bulan juli

2012 hanya 73 (tujuh puluh tiga) kasus yang telah mendapatkan bantuan

20
Wawancara dengan bapak Mion Ginting selaku Hakim dan Humas Pengadilan Negeri
Mataram pada tanggal 5 juni 2012, pukul 09.30 wita.
58

hukum secara cuma-cuma dari 928 (Sembilan ratus dua puluh delapan) kasus

yang terdaftar dan telah diputus di pengadilan negeri mataram. Keadaan ini

membuktikan bahwa pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini belum

terlaksana dengan optimal seperti yang diperintahkan oleh undang-undang.

Adapun mekanisme penyelenggaraan bantuan hukum perkara pidana

menurut keputusan direktur jenderal badan peradilan umum nomor:

1/DJU/OT 01.3/VIII/2011 tentang petunjuk surat pelaksanaan Mahkamah

Agung Republik Indonesia nomor 10 tahun 2010 tentang pedoman bantuan

hukum lampiran A, yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memberikan

bantuan hukum kepada terdakwa yang tidak mampu yaitu:

1) Majelis hakim menetapkan dan menunjuk advokat untuk memberikan


jasa bantuan hukum dan membuat surat kuasa khusus guna mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lainnya
untuk kepentingan terdakwa selaku pemohon bantuan hukum.
Penetapan dan penunjukan advokat diatas wajib dilengkapi dengan:
- surat kuasa khusus.
- surat keterangan tidak mampu dari lurah kepala desa setempat atau
kartu keluarga miskin (KKM), atau kartu jaminan kesehatan
masyarakat (jamkesmas), atau kartu keluarga harapan (KKH), atau
kartu bantuan langsung tunai(BLT), atau surat keterangan tidak
mampu yang dibuat dan ditandatangani oleh pemohon bantuan
hukum dan diketahui oleh ketua pengadilan negeri.
2) Berdasarkan penetapan penunjukan advokat untuk memberikan jasa
bantuan hukum tersebut, selanjutnya dikeluarkan pula :
a) Penetapan ketua pengadilan negeri yang memerintahkan kuasa
penggunaan anggaran untuk membayar dana bantuan hukum
kepada advokat yang telah ditunjuk untuk memberikan jasa
bantuan hukum kepada terdakwa.
b) Surat keputusan panitera atau sekretaris pengadilan negeri
selaku kuasa penggunaan anggaran membuat surat keputusan
pembebanan dana bantuan hukum ke dalam DIPA pengadilan.
3) Pencairan anggaran bantuan hukum kepada advokat dilakukan setelah
perkara diputus oleh pengadilan negeri dengan melampirkan :
- Surat kuasa khusus.
- surat keterangan tidak mampu dari lurah kepala desa setempat atau
kartu keluarga miskin (KKM), atau kartu jaminan kesehatan
59

masyarakat (jamkesmas), atau kartu keluarga harapan (KKH),


atau kartu bantuan langsung tunai(BLT), atau surat keterangan
tidak mampu yang dibuat dan ditandatangani oleh pemohon
bantuan hukum dan diketahui oleh pengadilan negeri.
- Salinan/petikan putusan perkara tersebut
4) Komponen yang dibiayai dan dibayarkan dengan anggaran dana
bantuan hukum untuk kepentingan terdakwa (pemohon bantuan
hukum) dalam proses pemriksaan di pengadilan negeri terdiri dari :
advokat, saksi, saksi ahli, dan penerjemah.
5) Saksi yang dimaksud didalam angka 4 adalah saksi yang meringankan
terdakwa (saksi adecharge).
6) Anggaran danbantuan hukum yang dialokasikan untuk empat
komponen diatas merupakan biaya transport.
7) Pengaturan pengeluaran dana bantuan hukum sebesar Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah) untuk empat komponen tersebut diperinci masing-
masing sebagai berikut :
a) Advokat sebesar Rp. 600.000,-(enam ratus ribu rupiah);
b) Saksi maksimal sebesar Rp. 200.000,-(dua ratus ribu rupiah);
c) Saksi ahli maksimal sebesar Rp. 100.000,-(seratus ribu
rupiah); dan,
d) Penterjemah maksimal sebesar Rp. 100.000,-(seratus ribu
rupiah).
8) Pengeluaran atau pencairan uang oleh bendahara pengeluaran
pengadilan negeri untuk biaya saksi adecharge, atau saksi ahli atau
penterjemah tersebut harus dilengkapi dengan penetapan majelis
hakim dan/ atau berita acara persidangan saksi adecharge, atau saksi
ahli, atau penterjemah serta menandatangai kwitansi tanda bukti
pengeluaran.
9) Bendahara pengeluaran mencatat dan membukukan semua
pengeluaran dalam buku register khusus dan menyimpan bukti-bukti
yang berkaitan.

Berdasarkan pedoman hakim dalam memberikan bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada terdakwa yang tidak mampu tersebut, maka hakim

dalam memberikan bantuan hukum kepada terdakwa telah didasarkan atas

prosedur yang berlaku sehingga hakim hanya menjalankan tugas-tugas serta

fungsi dan kewenangannya tanpa mengalami kendala-kendala yang berarti

dalam pemeriksaan sidang pengadilan.


60

B. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum


secara cuma-cuma terhadap tersangka atau terdakwa yang tidak
mampu.

1. Tersangka atau terdakwa sendiri menolak pemberian bantuan hukum yang

telah ditawarkan oleh aparat penegak hukum yaitu aparat kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan untuk didampingi oleh penasihat hukum yang

telah ditunjuk oleh aparat penegak hukum tersebut.

2. Pencairan dana bantuan hukum yang dilakukan oleh pengadilan setelah

adanya putusan oleh hakim menjadi penghambat terselenggaranya bantuan

hukum secara cuma-cuma dikarenakan advokat sebagai aparat penegak

hukum yang bebas dan mandiri harus mengeluarkan biaya-biaya yang

dibutuhkan sejak awal pemeriksaan menggunakan biayanya sendiri,

berbeda halnya dengan jasa hukum yang dilakukan dengan cara

honorarium yang dibebankan kepada pemohon dari awal pemeriksaan

sidang di tingkat kepolisian sampai putusan sidang pengadilan

menggunakan biaya dari pemohon jasa bantuan hukum itu sendiri.


61

3. Anggaran dana bantuan hukum yang diberikan Negara melalui pengadilan

terbilang cukup rendah sehingga pelaksanaan bantuan hukum tidak

optimal seperti bantuan hukum yang diberikan secara honorarium.

Pemberian dana bantuan hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh

Negara melalui pengadilan terhadap pemberi bantuan hukum atau advokat

hanya sebesar Rp. 600.000.00,- (Enam Ratus Ribu Rupiah), sedangkan

bantuan hukum yang diberikan oleh advokat secara honorarium mencapai

jutaan hingga puluhan juta rupiah.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi pasal 56 KUHAP dalam pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma terhadap tersangka atau terdakwa yang tidak mampu

secara ekonomi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan telah dilakukan sesuai dengan pasal 56 KUHAP

dengan menunjuk advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-

cuma, walaupun masih banyak tersangka atau terdakwa yang tidak ingin

didampingi oleh penasihat hukum namun aparat penegak hukum tetap

menawarkan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka atau

terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi.

Hal ini dilakukan oleh aparat penegak hukum agar tidak melanggar

ketentuan yang digariskan dalam pasal 56 KUHAP yang mengharuskan


62

penunjukan kepada advokat untuk memberikan bantuan hukumnya kepada

tersangka atau terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi. Namun apabila

terjadi penolakan pemberian bantuan hukum yang ditawarkan oleh aparat

penegak hukum maka akan dibuatkan berita acara penolakan oleh aparat

penegak hukum, pemberian bantuan secara cuma-cuma ini tidak dapat

dipaksakan karena aparat penegak hukum tidak ingin melanggar hak asasi

manusia.

B. Saran

1. Kepada aparat penegak hukum diharapkan untuk tetap melaksanakan

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma menurut pasal 56 KUHAP

secara profesional tanpa melanggar hak asasi manusia sehingga tersangka

atau terdakwa yang tidak mampu dapat melakukan pembelaan terkait

dengan perbuatan pidana ataupun permasalahan hukum lain yang

dialaminya.

2. Diharapkan kepada penuntut umum sebelum melakukan pemeriksaan

kepada tersangka atau terdakwa terlebih dahulu menawarkan pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka atau terdakwa yang

tidak mampu.

3. Kepada para advokat yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi dapat

memberikan bantuan hukumnya dengan optimal, profesional dan penuh


63

tanggung jawab untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat yang

tidak mampu yang dihadapkan dengan permasalahan hukum.

4. Anggaran dana bantuan hukum yang diberikan oleh Negara kepada

advokat diharapkan dapat ditingkatkan karena anggaran yang selama ini

diberikan yaitu sebesar Rp.600.000,00 jauh dari kesejahteraan advokat

sebagai aparat penegak hukum yang bebas dan mandiri, karena advokat

dalam memberikan jasa hukumnya juga memerlukan kebutuhan-kebutuhan

seperti transportasi dan akomodasi yang menunjang pemberian bantuan

hukum secara cuma-cuma ini dapat dilaksanakan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah dan Artikel.

Aminah, Siti. 2009. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia “Pedoman Anda


Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum”, Edisi kedua, Jakarta:
yayasan obor Indonesia.

Harianto, Aries dan Sunggono, Bambang. 2001. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, cet, II Bandung: Mandar Maju.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana indonesia, Edisi kedua, Jakarta: sinar
grafika.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Penyelidikan dan Penuntutan, Edisi II, Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Penyidikan dan Penuntutan, Edisi keII, Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan Peninjauan
kembali, Edisi keII, Jakarta: Sinar Grafika.
64

Ibrahim johny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
banyu media publishing.

Lamintang, Theo dan Lamintang, P.A.F. 2010. Pembahasan Kuhap Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Ed I, cet. II, Jakarta:
Sinar Grafika.

Muladi, Lilik. 2002. Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Cet. II, Bandung: Citra
Aditya Bakti.

Soekanto, soerjono. 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Cet. I.
Jakarta: Ghalia Indonesia.

Poernomo, Bambang. 1988. Pola Dasar Teori Dan Azas Umum Hukum Acara
Pidana, cet, I Yogyakarta: Liberty.

Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.II, Jakarta: Balai


Pustaka.

Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet, II edisi revisi
Jakarta: djambatan.

Zainal Asikin dan amiruddin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Jakarta:Raja grafindo persada.

B. Peraturan-peraturan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan


Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tentang Pedoman pelaksanaan


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 1982 Nomor:
M.01.PW.07.03.

Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Untuk Melaksanakan
65

Ketentuan pasal 22 Tentang Bantuan Hukum Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2003 Tentang Bantuan Hukum.

Anda mungkin juga menyukai