0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan6 halaman
Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 17 Februari
2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan akta penerimaan berkas
Permohonan Nomor 56/PAN.MK/2014 pada tanggal 17 Februari 2014 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
21/PUU XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014, yang telah diperbaiki dan
telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.
Judul Asli
Resume tentang Pertimbangan mahkamah konstitusi dalam perluasan
Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 17 Februari
2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan akta penerimaan berkas
Permohonan Nomor 56/PAN.MK/2014 pada tanggal 17 Februari 2014 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
21/PUU XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014, yang telah diperbaiki dan
telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.
Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 17 Februari
2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan akta penerimaan berkas
Permohonan Nomor 56/PAN.MK/2014 pada tanggal 17 Februari 2014 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
21/PUU XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014, yang telah diperbaiki dan
telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.
Kelas : Hukum Acara Pidana dan Praktik Peradilan Pidana (C)
Resume tentang Pertimbangan mahkamah konstitusi dalam perluasan
objek praperadilan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 17 Februari
2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan akta penerimaan berkas Permohonan Nomor 56/PAN.MK/2014 pada tanggal 17 Februari 2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 21/PUU XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014, yang telah diperbaiki dan telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.
Pemohon mengajukan permohonan adapun petitum atau tuntutan
yang diminta agar penegakan proses hukum dalam hal judicial review dapat melaksanakan hal konstitusional pemohon. Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan putusan
Pada tanggal 28 April 2015 terdapat putusan Mahkamah Konstitusi
No.21/PUU-XII/2014 dalam permohonan pengujian Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Permasalahan utama pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP). Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK No.21/PUU-XII/2014, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar dimasukkannya penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan yaitu sebagai berikut :
1. Sebagai upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi tersangka;
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah Negara hukum. Dalam Negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, Negara terutama pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka / terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
2. Agar upaya penegakan hukum dalam hal ini praperadilan harus
sesuai dengan amanat pancasila dan UUD NRI 1945 yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan melindungi segenap rakyat indonesia; 3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam rangka melindungi hak tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum 4. KUHAP tidak memiliki chek and balance system atas penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat; 5. Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh; 6. Penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh Negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa tanpa adanya batas waktu yang jelas. Sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh Negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. 7. Seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan penetapan status
tersangka, penyitaan, dan penggeledahan sebagai objek praperadilan. Dengan demikian Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tersebut telah memperluas cakupan objek praperadilan yang terdapat di dalam pasal 77 huruf a KUHAP. Perluasan kewenangan Praperadilan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan walaupun wewenang praperadilan sebagaimana diatur dalam hukum positif terbatas sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, namun pada penerapannya kewenangan tersebut diperluas terhadap upaya paksa lainnya yang dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini proses penyidikan, seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain telah dilakukan sesuai dengan undangundang) oleh karena upaya paksa tersebut berkaitan dengan pelanggaran atas hak asasi manusia, apabila tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Perluasan wewenang tersebut bertujuan untuk menciptakan dan memberi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang yang mengalami tindakan upaya paksa dari aparat penegak hukum. Walaupun lembaga praperadilan telah diatur dalam KUHAP, akan tetapi dalam kenyataannya masih saja terdapat kelemahan-kelemahan dalam sarana kontrol. Dengan kelemahan-kelemahan tersebut, maka perlindungan hak asasi tersangka akan terabaikan, maka untuk itu perlu adanya pembaharuan (revisi KUHAP) terhadap lembaga praperadilan.
Carilah putusan pengadilan tentang praperadilan, kemudian analisis
apa yang menjadi dasar pengajuan praperadilan.
Putusan hakim praperadilan Nomor 31/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel. tentang
penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Permohonan Praperadilan atas nama Manajer Permata Hijau Group (PHS Group) Toto Chandara kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusan No.31/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel, hakim menafsirkan bahwa seseorang yang telah dikeluarkan dari Daftar Buku Register Perkara Tindak Pidana dapat dikatakan bahwa penyidikan terhadap seseorang tersebut telah berhenti walaupun surat perintah penghentian penyidikan belum diterbitkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 memberikan penjelasan mengenai Pihak Ketiga Yang Berkepentingan. Dalam Putusan Nomor 76/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memberikan interpretasi baru mengenai Pihak ketiga Yang Berkepentingan bahwa yang dimaksud Pihak Ketiga Yang Berkepentingan tidak hanya sebatas saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili organisasi masyarakat. Peran serta masyarakat baik perorangan ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk memperjuangankan kepentingan umum sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Berdasarkan penjelasan diatas, maka pihak ketika yang berkepentingan dalam pasal 80 KUHAP adalah pihak yang mengalami kerugian ketiga penyidik menghentikan penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) atas diri tersangka.
Dilakukannya penghentian penyidik atas diri tersangka berarti
tersangka sudah bebas dan status bukan lagi seorang tersangka. Hal ini jelas merupakan sebuah keuntungan yang dirasakan seseorang ketika penghentian penyidikan atas dirinya dihentikan. Dari penjelasan ini, maka kedudukan tersangka bukanlah termasuk pihak ketiga yang berkepentingan. Hal ini karena dengan dihentikannya penyidikan atas diri tersangka, tersangka tidak merasakan bahwa kepentingannya dilanggar. Tentu saja keuntungan yang sangat besar bagi tersangka ketika penyidikan dihentikan. Bukan hanya karena bebas dan tidak berstatus sebagai tersangka lagi, tetapi juga tersangka dapat menuntut ganti kerugian dan atau rehabilitasi karena perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan pihak ketiga yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud diatas. Pihak ketiga yang berkepentingan adalah pihak yang merasa dirugikan dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan, oleh karena itu mereka mencari keadilan dengan cara memeriksa penghentian itu apakah benar dan sesuai dengan hukum atau tidak. Hal ini tentu berbanding jauh dengan kondisi yang dialami tersangka yang tentunya mendapat keuntungan dari penghentian penyidikan.
Analisa Putusan Praperadilan No. 04pid - prap2015PN - Jkt.sel. Tentang Gugatan Praperadilan Komjenpol Budi Gunawan, SH., M.si Terhadap Penetapan Status Tersangka Atas Dirinya Oleh KPK
Penyelesaian Perselisihan Wanprestasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Jasa Konstruksi Antara PT Schott Igar Glass Dan PT Rol Natamaro Indonesia.
Penyelesaian Perselisihan Wanprestasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Jasa Konstruksi Antara PT Schott Igar Glass Dan PT Rol Natamaro Indonesia.