Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ashar Ramadhan M

NIM : B011181470

Kelas : Hukum Acara Pidana dan Praktik Peradilan Pidana (C)

Resume tentang Pertimbangan mahkamah konstitusi dalam perluasan


objek praperadilan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014.

Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 17 Februari


2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan akta penerimaan berkas
Permohonan Nomor 56/PAN.MK/2014 pada tanggal 17 Februari 2014 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
21/PUU XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014, yang telah diperbaiki dan
telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.

Pemohon mengajukan permohonan adapun petitum atau tuntutan


yang diminta agar penegakan proses hukum dalam hal judicial review dapat
melaksanakan hal konstitusional pemohon. Pemohon memohon kepada
Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan putusan

Pada tanggal 28 April 2015 terdapat putusan Mahkamah Konstitusi


No.21/PUU-XII/2014 dalam permohonan pengujian Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang diajukan oleh
Bachtiar Abdul Fatah. Permasalahan utama pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21
ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP).
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK No.21/PUU-XII/2014,
dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar dimasukkannya penetapan status
tersangka sebagai objek praperadilan yaitu sebagai berikut :

1. Sebagai upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan


pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi tersangka;

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa


Indonesia adalah Negara hukum. Dalam Negara hukum, asas due
process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi
manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus
dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak
hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana
dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah
hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana,
khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam
mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, Negara
terutama pemerintah, berkewajiban untuk memberikan
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap
HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945]. KUHAP sebagai
hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah
merumuskan sejumlah hak tersangka / terdakwa sebagai pelindung
terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

2. Agar upaya penegakan hukum dalam hal ini praperadilan harus


sesuai dengan amanat pancasila dan UUD NRI 1945 yakni keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan melindungi segenap rakyat
indonesia;
3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur yaitu tersangka
atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai
harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Dalam rangka melindungi hak tersangka atau terdakwa, KUHAP
memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum
4. KUHAP tidak memiliki chek and balance system atas penetapan
tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme
pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak
menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang
diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat;
5. Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due
process of law secara utuh;
6. Penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik
pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, Upaya paksa
pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada
penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun
pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai
perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah
“penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh Negara
dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada
seseorang tanpa tanpa adanya batas waktu yang jelas. Sehingga
seseorang tersebut dipaksa oleh Negara untuk menerima status
tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan
upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari
penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi
tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika
kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih
dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih
baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah
dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang
menjadi tersangka.
7. Seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dijamin haknya untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Menurut Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan penetapan status


tersangka, penyitaan, dan penggeledahan sebagai objek praperadilan.
Dengan demikian Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tersebut telah
memperluas cakupan objek praperadilan yang terdapat di dalam pasal 77
huruf a KUHAP. Perluasan kewenangan Praperadilan tersebut dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan walaupun wewenang praperadilan
sebagaimana diatur dalam hukum positif terbatas sebagaimana yang diatur
dalam KUHAP, namun pada penerapannya kewenangan tersebut diperluas
terhadap upaya paksa lainnya yang dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini
proses penyidikan, seperti penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan lain-lain telah dilakukan sesuai dengan
undangundang) oleh karena upaya paksa tersebut berkaitan dengan
pelanggaran atas hak asasi manusia, apabila tidak dilakukan secara
bertanggung jawab. Perluasan wewenang tersebut bertujuan untuk
menciptakan dan memberi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang yang mengalami tindakan upaya paksa dari aparat penegak
hukum. Walaupun lembaga praperadilan telah diatur dalam KUHAP, akan
tetapi dalam kenyataannya masih saja terdapat kelemahan-kelemahan
dalam sarana kontrol. Dengan kelemahan-kelemahan tersebut, maka
perlindungan hak asasi tersangka akan terabaikan, maka untuk itu perlu
adanya pembaharuan (revisi KUHAP) terhadap lembaga praperadilan.

Carilah putusan pengadilan tentang praperadilan, kemudian analisis


apa yang menjadi dasar pengajuan praperadilan.

Putusan hakim praperadilan Nomor 31/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel. tentang


penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Permohonan
Praperadilan atas nama Manajer Permata Hijau Group (PHS Group) Toto
Chandara kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusan
No.31/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel, hakim menafsirkan bahwa seseorang
yang telah dikeluarkan dari Daftar Buku Register Perkara Tindak Pidana
dapat dikatakan bahwa penyidikan terhadap seseorang tersebut telah
berhenti walaupun surat perintah penghentian penyidikan belum
diterbitkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 memberikan
penjelasan mengenai Pihak Ketiga Yang Berkepentingan. Dalam Putusan
Nomor 76/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memberikan interpretasi
baru mengenai Pihak ketiga Yang Berkepentingan bahwa yang dimaksud
Pihak Ketiga Yang Berkepentingan tidak hanya sebatas saksi korban atau
pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal
ini diwakili organisasi masyarakat. Peran serta masyarakat baik perorangan
ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk
memperjuangankan kepentingan umum sangat diperlukan dalam
pengawasan penegakan hukum. Berdasarkan penjelasan diatas, maka
pihak ketika yang berkepentingan dalam pasal 80 KUHAP adalah pihak
yang mengalami kerugian ketiga penyidik menghentikan penyidikan melalui
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) atas diri tersangka.

Dilakukannya penghentian penyidik atas diri tersangka berarti


tersangka sudah bebas dan status bukan lagi seorang tersangka. Hal ini
jelas merupakan sebuah keuntungan yang dirasakan seseorang ketika
penghentian penyidikan atas dirinya dihentikan. Dari penjelasan ini, maka
kedudukan tersangka bukanlah termasuk pihak ketiga yang
berkepentingan. Hal ini karena dengan dihentikannya penyidikan atas diri
tersangka, tersangka tidak merasakan bahwa kepentingannya dilanggar.
Tentu saja keuntungan yang sangat besar bagi tersangka ketika penyidikan
dihentikan. Bukan hanya karena bebas dan tidak berstatus sebagai
tersangka lagi, tetapi juga tersangka dapat menuntut ganti kerugian dan
atau rehabilitasi karena perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.

Hal ini jelas berbanding terbalik dengan pihak ketiga yang


berkepentingan sebagaimana dimaksud diatas. Pihak ketiga yang
berkepentingan adalah pihak yang merasa dirugikan dengan adanya Surat
Perintah Penghentian Penyidikan, oleh karena itu mereka mencari keadilan
dengan cara memeriksa penghentian itu apakah benar dan sesuai dengan
hukum atau tidak. Hal ini tentu berbanding jauh dengan kondisi yang dialami
tersangka yang tentunya mendapat keuntungan dari penghentian
penyidikan.

Anda mungkin juga menyukai