Anda di halaman 1dari 21

ARTIKEL TENTANG PRAPERADILAN

Disusun oleh:

1. Bagas Pamungkas (C100200154) D


2. Mahendra Jaya Gumilang (C100200173) E
3. Muhammad Satriyo Pramudita (C100200193) D
PRAPERADILAN

ABSTRAK

Sistem hukum Indonesia melindungi kemerdekaan individu dengan melarang keras perampasan
kebebasan orang tersebut dan menegakkan pelanggaran tersebut dengan hukuman yang keras.
Kebebasan individu dari hukum adalah hak universal. Pasal 50 KUHP, yang menyatakan bahwa
jika seseorang bertindak menurut hukum, ia tidak akan dipidana, namun membatasi kebebasan
seseorang untuk tujuan menegakkan hukum. Apabila hal ini kita terapkan pada kewajiban dan
tanggung jawab utama penyidik, yang berwenang menahan, menangkap, dan melakukan proses
pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana, maka penyidik akan melaksanakan kewajiban
dan kewajiban tersebut sesuai dengan hukum acara pidana, yang meniadakan hak yang diakui
secara umum atas kebebasan individu.

Metode artikel ini menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai kajian pemecahan


masalah. Pengadilan adalah peradilan umum yang diperintah oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang bertugas menjalankan kekuasaan kehakiman untuk mencapai keadilan dan
menegakkan hukum. Setiap perkara yang menjadi urusan pengadilan harus diterima, diperiksa,
dan diputus. Di Indonesia, pengadilan menjalankan fungsi integrasi karena kehadiran hakim.
Hakim bertugas menegakkan kebenaran (mencari kebenaran) dan keadilan (membawa keadilan
bagi rakyat) dalam rangka membina integrasi sosial, bukan sebaliknya, membina disintegrasi
sosial. Oleh karena itu, diharapkan para hakim dapat menjadi hakim yang independen dengan
memperhatikan prinsip-prinsip dasar Mahkamah Agung Rhode Island, termasuk
ketidakberpihakan, keterbukaan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Penyidik diinformasikan
bahwa tidak ada konsekuensi pengabaian putusan praperadilan, masa praperadilan singkat,
adanya perbedaan penafsiran terhadap undang-undang oleh hakim, dan perilaku serta penafsiran
hakim dapat ditafsirkan secara negatif.

Kata Kunci : Praperadilan, Kepolisian, Pengadilan, Hakim.


PENDAHULUAN

Sejak 17 Agustus 1945, Negara Indonesia berdiri sendiri. Atas dasar itu pula Negara
Indonesia telah memberikan kemerdekaan yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyatnya. Hal
ini ditunjukkan oleh undang-undang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengancam 8 tahun penjara jika kemerdekaan dicabut dengan sengaja atau melawan hukum dan
perampasan itu dibiarkan terus berlangsung. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Negara Indonesia
memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk mengejar kepentingannya.

Adanya Pasal 50 KUHP yang mengatur bahwa Anda tidak akan dipidana jika Anda
bersedia melakukan perbuatan demi kepentingan hukum, mengungkapkan bahwa Negara
Indonesia tidak hanya memberikan kebebasan dan kebebasan sepenuhnya kepada penduduknya.
Oleh karena itu, jika kita menerapkan pembahasan pasal ini tentang peran dan kewajiban
penegak hukum, maka terlihat bahwa semua aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk
melindungi moralitas dan keamanan negara dengan menjalankan keadilan. Dalam prosedur
hukum, penyidik berada di garis depan. Di mana investigasi dimulai di dalam agensi itu, di mana
itu diakhiri dengan penuntutan.

Kenyataannya, banyak kasus di mana aparat penegak hukum gagal menjalankan


mandatnya. Dengan kata lain, beberapa orang menyalahgunakan kekuatan yang sudah mereka
miliki. sehingga individu merasa seolah-olah hak-hak mereka dilanggar. Konsekuensinya,
dibentuk lembaga praperadilan oleh Negara Indonesia.

Ini berfungsi sebagai alat kontrol penegakan hukum. Sedangkan tugas praperadilan
adalah mengkaji dan menentukan sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan/penuntutan, ganti rugi, dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang tersangkut perkara
pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Berkat putusan Mahkamah Konstitusi, proses
praperadilan kini meliputi penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Penegak hukum adalah perwakilan Negara yang memiliki kekuasaan untuk melakukan
penyelidikan hukum atas dugaan kegiatan ilegal. Dalam hal ini penegakan hukum dilakukan oleh
penyidik yang merupakan aparat kepolisian negara yang bertanggung jawab untuk melakukan
proses penyidikan perkara, dan penuntut umum yaitu jaksa/pejabat yang berwenang untuk
menuntut dan melaksanakan putusan/putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang telah diberi
kekuatan hukum. tetap bekerja di Kejaksaan Agung. Atas permintaan tersangka atau keluarga
kuasa tersangka, praperadilan berwenang mengajukan gugatan negara guna memeriksa dan
memutus menurut hukum tentang sah tidaknya penangkapan, pencabutan, penghentian
penyidikan. /penuntutan, permintaan ganti rugi, atau rehabilitasi.

Ada banyak contoh polisi di masyarakat setempat yang bertindak dengan cara yang
bertentangan dengan hukum. Apakah mereka masih menjalankan perannya sebagai pengayom
masyarakat atau bertindak di luar kewajiban tersebut, persepsi masyarakat terhadap anggota
polisi yang dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan perilaku yang
tidak pantas masih beragam. Apakah semua itu benar atau tidak, mari kita fokus pada masalah
salah tangkap, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, dan penuntutan oleh penyidik,
termasuk juga aparat kepolisian. Hal-hal tersebut kesemuanya turut mendorong terciptanya
lembaga praperadilan sebagai kontrol terhadap tindakan penyidik terhadap perbuatan yang diatur
dalam Praperadilan.

Kebebasan dan hak asasi tersangka dikurangi dan dibatasi dengan tindakan seperti
penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lain-lain. Oleh karena itu tidak dapat disangkal bahwa
tujuan dari Lembaga Praperadilan ini adalah untuk mencegah penyalahgunaan dan pengingkaran
terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa. Menurut peraturan perundang-undangan, penyidik
dan penuntut umum diperbolehkan menggunakan upaya pemaksaan antara lain penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan lain-lain guna memajukan kepentingan penyidikan tindak pidana..

Oleh karena upaya paksaan yang dilakukan aparat penegak hukum mengurangi dan
membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka, maka upaya tersebut harus dilaksanakan
sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada (due process of
law). Tindakan pemaksaan yang dilakukan bertentangan dengan isi dan semangat hukum adalah
pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka.

Ada banyak masalah atau tuduhan yang kontroversial seputar aplikasi Praperadilan.
Tuduhan tersebut menyentuh berbagai persoalan, antara lain sulitnya menolak permohonan
Praperadilan, potensi konflik terselubung antara Hakim dan Termohon Praperadilan, persoalan
ganti rugi yang dianggap tidak cukup mengingat kerugian yang sebenarnya ditanggung oleh
pemohon. , dan sulitnya proses pemulihan kerugian.
PEMBAHASAN

Praperadilan merupakan lembaga anyar dalam sistem hukum Indonesia. Praperadilan


bukanlah lembaga hukum yang berdiri sendiri. Pada hakekatnya merupakan suatu sistem karena
sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang bekerja sama sebagai satu
kesatuan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ada beberapa langkah dalam proses peradilan pidana,
dan masing-masing memiliki dampak pada yang lain. Dua tindakan penyidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk dalam rangkaian sistem peradilan
pidana di Indonesia.

Praperadilan adalah lembaga dalam mengontrol kewenangan-kewenangan yang


dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan, dimana pelaksanaannya didasarkan pada KUHAP,
dengan ketentuan hakim yang memeriksa dan memutuskan adalah Hakim iTunggal. Hakim satu-
satunya berwenang memeriksa dan memberikan putusan mengenai sah tidaknya penahanan,
ganti rugi, dan/atau pemulihan tersangka yang diminta oleh tersangka, keluarganya, atau
kuasanya, serta penghentian penyidikan dan ipenuntutan.

Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif umumnya diatur dalam pasal 77
sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang iKUHAP. Ketentuan hukum yang
mengatur tentang praperadilan juga menyangkut tuntutan ganti rugi, termasuk ganti rugi karena
“perbuatan lain”, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang
menekankan kerugian yang timbul karena perbuatan lain, khususnya kerugian yang timbul
karena rumah yang tidak sah, penggeledahan, dan penyitaan. Padahal, upaya praperadilan tidak
sebatas itu.

Sehingga dalam konteks ini pra-peradilan lengkapnya diatur dalam pasal 1 butir 10
KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 iKUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46,
pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 iKUHAP.

Upaya prapradilan dapat dilakukan terhadap kesalahan konfigurasi yang tidak


menyertakan alat. barang bukti, atau seseorang yang melakukan tindakan lain tanpa alasan
berdasarkan undang-undang, karena kesalahan tentang orang tersebut atau hukum yang
diterapkan. Dalam konteks ini, praperadilan tidak hanya menyangkut sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau pengucilan, atau sah atau tidaknya penyidikan atau penuntutan, atau tentang
permintaan ganti rugi atau irehabilitasi. Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ),
atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah,
penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut ihukum.

Selama ini yang diketahui, proses praperadilan sering dilakukan oleh tersangka atau
keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan mengajukan gugatan atau permohonan
praperadilan kepada kepolisian atau kejaksaan ke pengadilan negeri setempat. Klaim utama
gugatan tersebut menyangkut legalitas penangkapan tersangka, pembebasannya, dan apakah
penyelidikan atau penuntutan dihentikan dengan ibenar.

Namun demikian, upaya hukum praperadilan juga dapat dilakukan oleh Kepolisian
terhadap Kejaksaan dan sebaliknya. Penting untuk diingat bahwa pasal 77 s/d 83 KUHAP yang
mengatur praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya kepada
Kepolisian dan Kejaksaan, tetapi juga memberikan hak kepada Kepolisian, kepada Kejaksaan
dan hak atas Kantor Kejaksaan.

Praperadilan adalah hal yang biasa dalam membangun saling kontrol antara Kepolisian,
Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau menciptakan saling kontrol antara
sesama penegak ihukum. Suatu negara hukum yang berupaya menegakkan negara hukum sangat
membutuhkan suatu lembaga kontrol independen, yang salah satu tugasnya adalah
mengamati/mengawasi legalitas suatu penangkapan, penahanan, atau sah tidaknya hasil
penyidikan atau sah tidaknya suatu menghentikan penuntutan suatu perkara pidana adalah sah,
baik dilakukan secara resmi dengan menerbitkan SP3 maupun SKPPP i(Devonering), terutama
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu, diharapkan Polri memiliki kewenangan untuk mengawasi kerja Kejaksaan
Agung, termasuk apakah kasus yang dilimpahkan kepadanya benar-benar dilimpahkan ke
pengadilan. Kejaksaan juga diharapkan mampu mengatur kinerja Polri dalam penanganan
perkara pidana, terlepas dari apakah perkara yang sudah diserahkan ke Kejaksaan melalui SPDP
(P.16) akhirnya dilimpahkan ke Kejaksaan. atau bahkan diam-diam berhenti.
i

Di dalam era supremasi hukum ini sudah saatnya dibangun budaya saling ikontrol, antara
semua komponen penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) agar kepastian hukum
benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari ikeadilan.
Setelah dipilih oleh Ketua Mahkamah Agung, hakim diberi waktu tujuh (tujuh) hari
untuk memeriksa perkara, mempertimbangkan bukti-bukti, dan menarik ikesimpulan. Hakim
harus mendengar keterangan dari tersangka dan penyidik dalam waktu yang singkat. Putusan
hakim dibentuk secara bebas dan tidak memihak. karena hakim bebas mengambil keputusan
tanpa ada paksaan dari para pihak.

Undang-undang acara pidana menggunakan ketentuan-ketentuan yang memaksa untuk


mengesampingkan konsep hak kebebasan seseorang yang diakui secara global sehubungan
dengan kegiatan penyidikan, yang pelaksanaannya dapat mencakup, misalnya penangkapan dan
bahkan penahanan. Untuk menegakkan hukum pidana substantif dan menjaga ketertiban
masyarakat, hukum acara pidana memberikan kewenangan kepada beberapa pejabat untuk
menahan tersangka atau terdakwa.

Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan operasi investigasi lainnya dalam sistem
peradilan pidana Indonesia. Jaksa bertugas mengajukan tuntutan terhadap pelaku, sementara
hakim memiliki keputusan terakhir dalam sidang di ruang sidang. Hakim, jaksa, dan polisi
semuanya memiliki jenis otoritas yang berbeda, tetapi secara teori mereka semua termasuk
sebagai satu kesatuan yang kohesif yang tidak dapat dipisahkan.

Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan
Penyidik polri dalam rangka penyidikan maupun Penyidik kejaksaan dalam tingkat penuntutan,
mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang ibersangkutan. Melalui
lembaga Praperadilan ini maka dimungkinkan adanya pengawasan antara kepolisian dan
kejaksaan dalam hal penghentian penyidikan dan ipenuntutan.

Penegakan hukum dalam hukum pidana pada dasarnya merupakan proses pelaksanaan
hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa yang bertentangan atau
melawan ihukum. Hal ini dapat diartikan bahwa penegak hukum pidana juga memilih perilaku
mana yang harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum pidana formal, pedoman perilaku,
dan petunjuk tentang cara bertindak, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
bahwa hukum dilaksanakan secara efektif baik sebelum dan sesudah perbuatan melawan hukum
itu iterjadi.
Adanya asas praduga tak bersalah tersebut sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam
pembentukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
disebut iKUHAP), yang dijiwai prinsip perlindungan terhadap harkat dan martabat imanusia. Hal
tersebut pada prinsipnya juga sesuai dengan tujuan KUHAP yaitu untuk memberi perlindungan
terhadap hak-hak asasi dalam keseimbangan dengan kepentingan iumum.

Pasal 77 s/d 83 KUHAP tentang praperadilan dapat dianggap sebagai salah satu contoh
perlindungan hak asasi manusia. Praperadilan hanyalah merupakan kewenangan tambahan yang
dimiliki oleh Pengadilan Negeri, dan tujuannya adalah untuk memverifikasi legalitas prosedur
penanganan perkara. Dengan demikian, apa yang diperiksa dalam praperadilan tidak ada
kaitannya dengan pokok perkara. Sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, khususnya Pasal 77
tentang Praperadilan yang berbunyi: “Pengadilan negeri berwenang menilai dan memutus, sesuai
dengan syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang ini yang berkaitan.:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian


ipenuntutan

2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
i

Dalam kenyataannya, peradilan pidana sering menemukan pelanggaran. Mengenai


penangkapan dan penahanan yang tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan
penahanan sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini
merupakan salah satu pelanggaran yang paling sering terlihat. Dalam situasi ini, aparat penegak
hukum seringkali merespon dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan dan pemenjaraan
dengan tanggal ipenundaan. Kondisi ini jelas sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban,
karena pada prinsipnya untuk melakukan suatu penangkapan dan penahanan harus disertai
adanya surat perintah penagkapan dan penahanan dari aparat penegak hukum yang
i bersangkutan.

Gagasan bahwa penyidik tidak boleh membicarakan masalah praperadilan adalah satu hal
yang perlu segera dilakukan dan sama pentingnya. Hal yang sama berlaku untuk penyelidik yang
lebih berpengalaman atau pihak lain dengan keahlian yang relevan. untuk meminimalkan
kesalahan penyidik dan keberpihakan selama proses penyidikan. Seorang petugas polisi dengan
keahlian investigasi yang memadai memegang posisi penyelia investigasi juga. Pekerjaan yang
dilakukan oleh supervisor investigasi bersifat otonom. Selain itu mekanisme pengawasan internal
juga berlaku terhadap setiap keberatan atau komplain dari pihak-pihak tertentu. Hal ini tidak lain
menunjukkan adanya transparansi di dalam proses ipenyidikan. Oleh karena itu pra peradilan
adalah suatu hal yang wajar dalam proses penyidikan dan untuk menjamin hakhak tersangka atau
pihak-pihak tertentu yang merasa idirugikan.

Proses praperadilan memainkan peran penting dalam sistem penegakan hukum pidana di
Indonesia mengingat keadaan yang dijelaskan di atas. Hal ini mengingat tahap praperadilan
sangat penting untuk melindungi orang (tersangka, kerabat, atau wakilnya) yang menjadi sasaran
perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum terkait (khususnya terkait penangkapan
dan penahanan yang tidak sah). Adanya praperadilan ini membuat pihak-pihak yang menjadi
korban (tersangka, keluarga atau kuasanya) tersebut diberi ruang untuk menuntut kembali hak-
haknya yang dilanggar oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 79 iKUHAP.

Permintaan penilaian sah atau tidaknya penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh
penuntut umum atau orang lain yang berkepentingan sesuai dengan Pasal 80 KUHAP. Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan, Pasal 80 memberikan kewenangan kepada penuntut umum
atau pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan praperadilan untuk
menentukan sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

Dalam kebanyakan kasus, pihak yang berkepentingan dalam penyidikan suatu perkara
pidana adalah saksi yang ternyata menjadi korban selama penyidikan tindak pidana yang
ibersangkutan. Saksi korban yang mempunyai kepentingan dalam penyidikan tindak pidana dan
yang mempunyai hak menurut hukum untuk itu dapat meminta pemeriksaan tentang sah tidaknya
kesimpulan pemeriksaan praperadilan. Pemberian saksi hak tersebut dapat dilihat sebagai
pemenuhan kebutuhan masyarakat luas. Karena pendekatan ini, kewenangan kejaksaan untuk
mengawasi penyelesaian penyelidikan diperluas dengan menyertakan isaksi.

Seseorang yang perkara pidananya diberhentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
juga berhak mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi menurut KUHAP, sebagaimana diatur dalam
Pasal 77. Padahal tujuan ganti kerugian dan rehabilitasi dalam sidang praperadilan adalah
terutama untuk melindungi orang-orang yang Diduga melakukan kejahatan, tujuan ini tidak
selalu tercapai karena perilaku aparat penegak hukum yang seringkali mengabaikan hak asasi
manusia ketika bertindak dalam kapasitas resminya.

Melihat fakta-fakta yang ada, terlihat bahwa praperadilan memiliki peran yang signifikan
dalam rangka penegakan hukum pidana Indonesia. Adanya praperadilan memberikan
kesempatan kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia untuk
menuntut kembali hak-haknya yang dirugikan, dan dengan demikian menjadi alat pembuktian.
Perlindungan harkat dan martabat manusia yang merupakan nilai fundamental KUHAP dan
secara khusus dilindungi dalam Pasal 28 UUD 1945 bagian Hak Asasi Manusia jelas dijunjung
tinggi oleh ketentuan iini. Buktinya adalah adanya Praperadilan merupakan bagian kontrol sosial
terhadap aparat penegak hukum dalam melaksanakan kewenangannya dimana tujuannya adalah
untuk melindungi kepentingan individu yang dirugikan dalam rangka penegakan hukum pidana
di iIndonesia.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jelaskan peranan praperadilan


dalam penegakan hukum di Indonesia. Praperadilan adalah bagian dari pengadilan negeri yang
melakukan peran pengawasan, terutama bila penyidik atau penuntut umum menggunakan taktik
pemaksaan terhadap tersangka. Untuk menjaga agar aparat penegak hukum tidak bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, maka pengawasan yang dimaksud adalah
pengawasan terhadap bagaimana aparat penegak hukum menjalankan kewenangannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang iberlaku.Sedangkan bagi tersangka atau
keluarganya sebagai akibat dari tindakan menyimpang yang dilakukan oleh aparat hukum dalam
melaksanakan tugasnya berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.
i

Fungsi Praperadilan Pada Proses Pengawasan Penahanan dan Penangkapan Dalam


Rancangan iKUHAP. Maksud dan tujuan utama yang hendak ditegakkan dan dilindungi, dalam
proses praperadilan yaitu tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat
pemeriksaan penyidikan dan ipenuntutan. Akibatnya, dibentuk lembaga yang disebut
praperadilan sesuai dengan Pasal 77 s/d 83 KUHAP untuk mengawasi terpeliharanya hak-hak
tersangka selama pemeriksaan pendahuluan. Metode ini digunakan untuk mengimplementasikan
kontrol ini::

1. kontrol vertikal yaitu kontrol dari atas ke bawah.


i
2. kontrol horisontal, yaitu kontrol ke samping, antara penyidik, penuntut umum timbal
balik dan tersangka, keluarganya atau pihak ilain. Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam
Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang menyatakan bahwa:
“Penghentian penuntutan bukanlah penyampingan perkara demi kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa iAgung”. Pasal 80 KUHAP menyebutkan: “Permintaan untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan ialasannya”. Untuk melindungi supremasi hukum, keadilan, dan
kebenaran, pertimbangan ini merupakan metode pengawasan horizontal. Mengingat hal ini,
Jaksa Penuntut Umum harus menghindari pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan berdasarkan
Pasal 80 iKUHAP. Upaya yang dilakukan untuk mencegah penuntut umum mengikuti ujian
praperadilan adalah dengan saling membantu mengarahkan penyidik agar dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, lancar, dan sempurna untuk waktu yang sedikit.
i

Dalam memutuskan suatu penahanan sah atau tidak sah, pengadilan praperadilan harus
mempertimbangkan empat faktor berikut:

1. Apakah penahanan didasarkan atau sudah sesuai pada tujuan yang telah
ditentukan KUHAP ?
Penahanan hanya diperbolehkan, menurut Pasal 20 KUHAP, "untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan." Oleh karena itu, suatu tindakan
penahanan dilakukan sebagai bagian dari penyidikan untuk “mengenal dan mengumpulkan
bukti-bukti dengan bukti-bukti itu guna memperjelas tindak pidana yang terjadi dan menemukan
tersangkanya” (Pasal 1 angka 2 KUHAP). . Tersangka dalam kejahatan dapat ditemukan tanpa
penahanan ketika "bukti yang mengungkap kejahatan dapat dikumpulkan tanpa penahanan"
dan/atau "bukti yang memperjelas kejahatan dapat diperoleh tanpa penahanan," menurut iini.
2. Apakah ada landasan (hukum) penahanan dalam hukum yang berlaku, khususnya
landasan hukum bagi pejabat yang melakukan penahanan?
Selanjutnya, sesuai dengan gagasan kewenangan dan ketentuan Pasal 3 KUHAP yang
mengamanatkan bahwa acara pidana hanya diatur dengan undang-undang, maka kewenangan
untuk melakukan penahanan hanya dapat ada sepanjang telah diberi kewenangan oleh undang-
undang. . Menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) huruf d, penyidik Polri
memiliki kewenangan untuk menahan orang selama pemeriksaan.
Sebaliknya, kewenangan penahanan biasanya tidak diberikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil lainnya (Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP). Namun karena melanggar undang-undang
yang unik (lex specialis), penyidik penuntut umum berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 dan
penyidik KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 masing-masing memiliki delapan
kewenangan penahanan.
Secara khusus, kewenangan menahan penyidik KPK dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
kewenangan melakukan penahanan langsung (Pasal 38 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002) dan
kewenangan penahanan secara tidak langsung yaitu dengan bantuan dari kepolisian atau pihak
berwenang lainnya. hal-hal yang terkait (Pasal 12 huruf I UU No. 30 Tahun 2002). Sebagian
kewenangan lembaga tersebut, yang merembes ke dalam semua kewenangan penyidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP, adalah kewenangan untuk langsung
memenjarakan penyidik KPK. Kewenangan ini hanya dapat dilakukan terhadap tersangkayang
disangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 (Pasal 39 ayat (1) UndangUndang No. 30
tahun i2002.
3. Apakah ada pembenaran atas penahanan tersebut, baik pembenaran subyektif
(lihat Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun pembenaran obyektif (lihat Pasal 21 ayat (4))?
Alasan subyektif melakukan penahanan adalah dalam hal adanya kekhawatiran tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
Hanya saja, seperti istilahnya (alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini
dipandang ada tanpa ukuran-ukuran yang iobjektif.
Dengan demikian, tanpa kriteria objektif dalam menentukan alasan subyektif penahanan
maka telah mengubah prinsip penahanan menjadi: “arrested is principle, and non arrested is
exception” Alasan subyektif penahanan menjadi konkretisasi dari“discretionary power” yang
terkadang sewenang-wenang, yang bukan tidak mungkin dijadikan modus pemerasan oleh
oknum itertentu.
Padahal, penyebab masalah penahanan ini adalah penerapan KUHAP Pasal 21 ayat (1)
yang tidak tepat. Perintah penahanan atau penahanan tambahan harus dikeluarkan terhadap
tersangka atau terdakwa yang diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, menurut pasal ini, jika ada indikasi bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti, atau melakukan kejahatan yang sama lagi.
3. Apakah penahanan dilakukan sesuai dengan pedoman atau petunjuk yang
digariskan dalam KUHAP?
Surat perintah penyelidik menjadi tidak ambigu dalam situasi ini. Surat perintah tersebut
harus mencantumkan nama tersangka, alasan penahanan, ringkasan singkat dugaan tindak
pidana, dan lokasi penahanan (dalam hal penahanan di Rutan Negara). Selain itu, surat perintah
penahanan sebenarnya harus mencantumkan lama penahanan, asalkan masih dalam parameter
hukum.
Turunan surat perintah ini diserahkan kepada keluarga ipesakitan. Ada baiknya, jika dalam
pemeriksaan sebelumnya tersangka didampingi satu atau lebih penasihat hukum, turunan surat
perintah penahanan juga diserahkan kepada penasihat ihukumnya. Sebagai kelengkapannya
adalah surat perintah/tugas melakukan penahanan dan Berita Acara penahanan. Pengabaian atas
prosedur penahanan ini dapat berakibat tidak sahnya tindakan itersebut.

Pihak-Pihak yang dapat mengajukan Praperadilan. Ketentuan mengenai pihak-pihak mana


saja yang bisa mengajukan Permohonan Praperadilan di atur juga dalam iKUHAP. Hal ini berarti
dalam mengajukan permohonan Praperadilan tidak bisa diajukan oleh setiap orang, karena
berdasarkan ketentuan dalam iKUHAP.

Para pihak dapat mengajukan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79


KUHAP tentang penilaian sah sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan. yang berkaitan
dengan keluarga tersangka, wakilnya, dan legalitas penangkapan tersangka. Apakah sah atau
tidak untuk menahan tersangka, terdakwa, keluarga mereka, atau agen mereka dalam tahanan.

Para pihak yang diizinkan mengajukan praperadilan berdasarkan Pasal 80 KUHAP


mempersoalkan apakah Penuntut Umum, pihak ketiga yang berkepentingan, menghentikan
penyidikan adalah sah. Hal ini terkait dengan permintaan praperadilan untuk pemeriksaan hukum
atau apakah penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah. Mengenai sah atau tidaknya
penghentian penuntutan Penyidik, Pihak ketiga yang iberkepentingan.

Mengenai permohonan Praperadilan terhadap permintaan ganti rugi dan/atau rehabilitasi,


pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 81 KUHAP adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga yang
iberkepentingan. Mengenai permohonan Praperadilan karena adanya benda yang disita yang
tidak termasuk alat pembuktian, pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan 12
permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP
adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga atau darimana benda tersebut idisita.

Pihak-pihak yang dapat diajukan Praperadilan Pihak-pihak yang bisa diajukan dalam
Praperadilan selaku termohon, juga ditentukan secara limitatif dalam iKUHAP. Pihak-pihak
tersebut antara lain adalah:

1. Penyidik

Salah satu pihak yang dapat diajukan sebagai termohon adalah penyidik. Berikut adalah
beberapa alasan untuk membawa penyidik ke dalam kasus ini:

a. Tidak sahnya penangkapan dan/atau ipenahanan.


b. Tidak sahnya penghentian ipenyidikan.
c. Ada benda yang disita, yang tidak termasuk alat ipembuktian.
d. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap tidak sahnya penangkapan atau
ipenahanan.

e. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap sahnya penghentian ipenyidikan.


2. Penuntut umum

Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu pihak yang dapat diikutsertakan dalam
pemeriksaan pendahuluan sebagai termohon. Penuntut umum dapat diikutsertakan dalam
pemeriksaan pendahuluan karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Tidak sahnya ipenahanan.


b. Tidak sahnya penghentian ipenuntutan.
c. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap tidak sahnya ipenahanan.
d. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap sahnya penghentian ipenuntutan.
Tujuan praperadilan Praperadilan dimaksudkan untuk memantau setiap pemaksaan yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka agar kegiatan tersebut benar-
benar dilakukan sesuai dengan hukum, berimbang dengan hukum, dan tidak bertentangan dengan
hukum. . Selama masa HIR, tidak ada pemantauan atau evaluasi terhadap cara-cara pemaksaan
yang digunakan oleh para penegak hukum. Namun, perlakuan dan teknik yang digunakan untuk
melakukan tindakan pemaksaan yang digunakan oleh penyidik pada saat itu semuanya hilang
oleh otoritas yang tidak berada di bawah pengawasan dan kendali lembaga manapun yang
memberikan koreksi.
Menurut Didik Ibaryanta S.H, salah seorang jaksa di Pengadilan Negeri Sleman, tujuan
praperadilan adalah untuk memberikan kontrol lebih kepada aparat penegak hukum guna
menjaga hak-hak tersangka atau terdakwa. Dalam praktrek fungsi adanya lembaga praperadilan
adalah sebagai media kontrol atau sebagai pengingat untuk aparat penegak hukum dalam
menjalankan kewenangannya sehingga tidak melakukan tugas dengan sewenang-wenang atau
diluar ikesewengannya.
Proses praperadilan dilakukan dalam lingkup penegakan hukum saat ini untuk melindungi
hak-hak tersangka. Peran dan fungsi praperadilan tidak jauh berbeda. Peran praperadilan mulai
berlaku dalam penegakan hukum yang berlaku untuk melindungi hak-hak tersangka jika tujuan
praperadilan adalah untuk memberikan kontrol kepada aparat penegak hukum atas diri mereka
sendiri untuk melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa.
Tingkah laku dan kewenangan aparat penegak hukum sangat penting dalam memastikan
keadilan dan memberikan prioritas hak asasi manusia di pengadilan Indonesia. Karena mereka
berada di garis depan prosedur hukum, di mana saksi dan bukti digunakan untuk menyelesaikan
kejahatan.

Hambatan Dalam Pelaksanaan Fungsi Dan Peran Praperadilan Dalam Penegakan Hukum
Di iIndonesia.
Dalam praktik pemeriksaan praperadilan selama ini, ternyata hakim lebih banyak
memperhatikan perihal dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil penangkapan dan penahanan,
atau ada tidaknya perintah penahanan dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat
materilnya. Padahal syarat materil ialah yang paling menentukan seseorang dapat dikenakan
upaya ipaksa.
Meski penegakan hukum bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia, setiap kali
dilakukan upaya pemaksaan, menurut kajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), hak
tersebut selalu dilanggar. Akibatnya, upaya paksa harus dilakukan dengan hati-hati untuk
memastikan bahwa upaya tersebut masuk akal dan dilakukan dalam kaitannya dengan tujuan
awal diadakannya upaya paksa. Sementara pemeriksaan praperadilan dimaksudkan sebagai
kontrol terhadap upaya paksaan, pada kenyataannya hanya dilakukan setelah upaya paksaan
selesai dan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Sehingga, menurut BPHN, praperadilan
merupakan pengawasan yang lebih bersifat “represif “, bukan ipreventif.
Apakah penuntut atau penyidik yang dipenjarakan telah memenuhi semua kriteria materil
tidak relevan dengan pemeriksaan praperadilan. Hakim praperadilan tidak pernah
mempertanyakan apakah ada cukup bukti awal karena mereka biasanya tidak melihatnya sebagai
tanggung jawab atau wilayah kewenangan mereka. Sebaliknya, mereka telah memasukkan
materi pemeriksaan perkara yang menjadi domain hakim pengadilan negeri.
Hakim tidak mempertimbangkan apakah tersangka atau terdakwa yang diduga kuat
melakukan tindak pidana didukung oleh bukti yang cukup dalam penahanan, atau ada alasan
yang konkrit dan tulus yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan akan
melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan kejahatan yang sama lagi. Hakim
praperadilan biasanya menerima bahwa kekhawatiran adalah hasil dari penilaian subyektif
penyidik atau jaksa. Dengan kata lain, hakim tunduk kepada pembela umum dan penyidik.
Dalam hal penyidik, penyidik yang harusnya bersikap adil dan netral, malah
menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawabnya dengan sembarang, akan mengakibatkan
hukum menjadi buruk dan ihancur. Semua orang harus bisa merasakan kemerdekaan bangsa kita
karena ini adalah bangsa yang merdeka. Jika orang Indonesia melakukan tindak pidana,
sebaiknya penyidik menangani perkara tersebut secara adil dan kompeten. agar tidak ada yang
merasa haknya dilanggar atau dianiaya.
Pengawasan penyidik yang menangani perkara pidana terhambat oleh beberapa faktor,
antara lain tidak adanya sanksi bagi penyidik yang tidak mengindahkan putusan praperadilan,
singkatnya masa praperadilan, penafsiran negatif terhadap aturan hukum, perilaku hakim, dan
penafsiran hakim yang beragam. Penegakan keputusan oleh penyelidik praperadilan akan
menjadi tantangan karena tidak adanya hukuman karena tidak mematuhi perintah. Banyak pihak
yang skeptis terhadap hasil prosedur praperadilan akibat masa praperadilan yang singkat.
Sementara itu kecenderungan penyidik dan jaksa mempercepat penyerahan berkas ke pengadilan
juga memiliki akibat untuk menggugurkan ipraperadilan.

Solusi Tantangan Pelaksanaan Peran dan Fungsi Praperadilan dalam Penegakan Hukum
Indonesia
Investigasi polisi adalah serangkaian tugas yang dirancang untuk mengumpulkan dan
memperkuat bukti yang dapat dipercaya yang dapat digunakan sebagai alat untuk membuktikan
di pengadilan bahwa tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan kejahatan. Seorang
terdakwa harus benar-benar melakukan kejahatan sebelum mereka memenuhi syarat untuk
dihukum berdasarkan hukum. Dakwaan JPU dan bukti-bukti yang diajukan akan diperiksa oleh
pengadilan untuk menentukan apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk
menghukum seseorang.

Setiap unit penegak hukum di setiap lembaga perlu dikontrol secara vertikal, tetapi kontrol
ini tidak cukup karena sangat tergantung pada kesungguhan dan motivasi internal lembaga
tersebut. Oleh karena itu, pengawasan horizontal—yang dilakukan secara paralel atau setingkat
dengan pengawasan—diperlukan. KHN berkesimpulan bahwa perlu dilakukan perubahan
KUHAP, terutama terkait dengan sistem pengawasan timbal balik antar lembaga dalam
subsistem peradilan dan penegak hukum. Antara penyelidikan, penuntutan, pembelaan, hakim
yang diperiksa, dan beratnya tindakan ihukum.

Selain itu, KHN menyimpulkan, ketentuan praperadilan dalam KUHAP hanya sebatas
menguji (examinator judge) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan tetapi tidak meliputi menguji tindakan menyimpang dari penyidik
jadi di harapkan dari posisi examinator judge harusnya menjadi investigating ijudge. Oleh karena
itu, menurut KHN, lembaga praperadilan sebagai instrumen pengawasan perlu diperluas lingkup
kewenangannya atas penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak
merugikan hak pencari keadilan.

Tidak terjaganya proses yang adil dalam tahap praajudikasi mengakibatkan tidak
efektifnya tahap ajudikasi, karena perkara yang disidangkan tidak dipersiapkan pembuktiannya
secara benar. Akibatnya, hakim bekerja keras di tengah ketidaktahuan tentang yang sebenarnya
terjadi dalam tahapan ipraajudikasi. Tidak mengherankan jika banyak terjadi penolakan terhadap
berita acara pemeriksaan oleh terdakwa atau saksi di tahapan ajudikasi (persidangan).

Hakim dapat mengevaluasi apa yang terjadi pada tahap pra ajudikasi dan apa yang harus
dilakukan pada tahap pasca ajudikasi selama tahap ajudikasi, dimana mereka harus fokus
sepenuhnya untuk memutuskan temuan bukti yang diajukan di persidangan. Apa yang terjadi di
tahap praperadilan berdampak besar pada seberapa baik tahap penjurian berjalan.
Masih banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan sewenang-wenang
terhadap tersangka atau terdakwa oleh penyidik atau penuntut umum karena tidak ada tempat
yang diperkenankan untuk menganalisa dan menilainya. Sedangkan dalam sistem habeas corpus,
hal ini benar-benar menjadi titik balik apakah seseorang boleh ditahan atau tidak, atau sah
tidaknya penahanan.

Akibatnya, tidak tepat jika pengadilan hanya mempertimbangkan alat bukti formil dalam
praperadilan dan mengabaikan peristiwa yang sebenarnya (materiil). Tugas hakim ini berangkat
dari tujuan sistem peradilan pidana, yaitu mengejar realitas objektif. Ketika sebuah kasus dalam
tahap praperadilan, pengadilan hanya mempertimbangkan bukti formal, yang membuatnya
sangat sulit untuk mengasumsikan kebenaran material.

Sehingga, diperlukan peran aktif hakim dalam menggunakan kewenangannya pada saat
pemeriksaan pokok perkara untuk mempertimbangkan penyidikan atau penuntutan yang tidak
sesuai dengan ketentuan hukum acara atau yang melawan hukum daripada hanya sekedar
menunggu adanya permohonan dari para pemohon yang merasa haknya dilanggar atau dirugikan
atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dan permohonan ganti
ikerugian.
KESIMPULAN

Mengontrol penyelidik secara horizontal selama fase awal. Acara praperadilan diatur oleh
KUHAP, yang juga memberikan wewenang kepada pengadilan negeri untuk melakukan
penyidikan dan memberikan putusan atas sah tidaknya penangkapan, penahanan, penangguhan
penyidikan dan penuntutan, serta restitusi dan rehabilitasi dalam hal kasus dihentikan. .
Kemudian, sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kewenangan praperadilan
ditambah dengan penetapan tersangka serta penggeledahan dan penyitaan.

Maksud dan tujuan utama dari proses praperadilan adalah untuk menegakkan hukum dan
melindungi hak asasi tersangka pada semua tahap penyidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pasal
77 KUHAP mempertegas Pasal 1 Angka 10 KUHAP dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa perkara dan memutus sesuai dengan ketentuan hukum. Menurut Pasal 95
KUHAP, pengadilan berhak melakukan ipraperadilan.

Dengan maksud semata-mata untuk menegakkan hukum dan melindungi hak asasi
tersangka selama proses penyidikan, penyidikan, dan penuntutan diadakan Praperadilan ini.
Selain itu, Praperadilan ini berfungsi sebagai pemeriksaan terhadap penyidik atau penuntut
umum agar tidak menyalahgunakan wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya. Ada
beberapa kekurangan dan kekurangan dalam Praperadilan itersebut. Yakni

- Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai
kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga Praperadilan, misalnya tindakan
penggeldahan, penyitaan, dan pembukaan serta pemeriksaan suratsurat tidak dijelaskan
dalam iKUHAP.
- Kedua, Praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya
suatu penangkapan, penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas permintaan dan kuasa itersangka.
- Ketiga, hakim lebih banyak mempehatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat
formil dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya
surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP) dan sama sekali tidak menguji dan
menilai syarat imateriilnya.
Minimnya konsekuensi bagi penyidik yang mengabaikan putusan praperadilan, singkatnya
masa praperadilan, penafsiran yang kurang baik terhadap negara hukum, tingkah laku hakim
partikular, dan berbagai cara penafsiran hakim merupakan tantangan yang harus dihadapi
penyidik praperadilan untuk dapat penyelidik kontrol. Penegakan keputusan oleh penyelidik
praperadilan akan menjadi tantangan karena tidak adanya hukuman karena tidak mematuhi
perintah. Banyak pihak yang meragukan hasil dari prosedur praperadilan karena masa
praperadilan yang singkat.

Sementara itu kecenderungan penyidik dan jaksa mempercepat penyerahan berkas ke


pengadilan yang mengakibatkan gugurnya praperadilan. Kendala adanya perbedaan penafsiran di
antara hakim serta adanya oknum hakim yang mengambil manfaat untuk pribadi juga menjadi
sumber kendala dalam pelaksanaan kontrol praperadilan terhadap ipenyidik.

-
Referensi:

- Kristel Putri Regianna Br Pane, Gomgom T.P. Siregar, Syawal Amry Siregar ,
Universitas Darma Agung, Medan, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM
PERKARA PIDANA DI INDONESIA”, JURNAL PROINTEGRITA, Volume 4,
Nomor3, Desember Tahun 2020.
- Dodik Hartono, Maryanto , Djauhari, “Peranan Dan Fungsi Praperadilan Dalam
Penegakan Hukum Pidana Di Polda Jateng”, Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret
2018.
- Adimas, Moch, Efektivitas Penyidikan Tindak Pidana Dalam Rangka Pencegahan
Gugatan Praperadilan Pada Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang, Jurnal
Hukum Khaira Ummah Vol. 13. No. 1, 2018.
- Moningka, Paul Eliezer Tauma, Praperadilan Sebagai Mekanisme Kontrol terhadap
Tindakan Penyidik Dalam Menetapkan Tersangka Menurut Putusan MK No. 21/Puu-
XII/2014, Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017.
- Purba, Tumian Lian Daya, Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka, Papua
Law Journal, Volume 1 Issue 2, May 2017.
- Sujiono, “IMPLEMENTASI LEMBAGA PRAPERADILAN UNTUK
PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK TERSANGKA (STUDI KASUS DI
PENGADILAN NEGERI TENGGARONG)”, ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2,
Agustus 2013.
- Praperadilan dalam KUHP, https://pn-klaten.go.id/main/index.php/49-artikel/artikel-
hukum/613-praperadilan-dalam-kuhap , Diakses pada 15 November, Pukul 20:21 WIB.

Anda mungkin juga menyukai