Anda di halaman 1dari 26

KONSEP PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN, DAN PENYITAAN

DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

TUGAS KELOMPOK 2

1. Inka Dwi Octavia 05020722047


2. Muhammad Afifudin F 05020722053
3. Alisya Rahma Nisa 05030722080
4. Restu Gilang Ramadhan 05030722081

DOSEN PENGAMPU

Dr. H. Imron Rosyadi, Drs., SH., MH.

NIP. 196903101999031008

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
SURABAYA
2023
PERSETUJUAN DOSEN PENGAMPU

Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana yang ditulis oleh Kelompok 2 :

Nama dan Nim : Inka Dwi Octavia 05020722047

Muhammad Afifudin F 05020722053

Alisya Rahma Nisa 05030722080

Restu Gilang Ramadhan 05030722081

Semester : IV (empat)

Judul Pembahasan : Konsep Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Dalam


Hukum Acara Pidana di Indonesia

Tahun Akademik : Februari – Juni 2024

Makalah dan atau tugas ini telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pengampu

Mata Kuliah Hukum Pidana dan dapat diajukan sebagai persyaratan untuk

mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) pada semester genap tahun ajaran 2024

Surabaya, 18 Februari 2024

Dosen Pengampu,

Dr. H. Imron Rosyadi, Drs., SH., MH.

NIP. 196903101999031008

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berisi berbagai ketentuan hukum
acara pidana, salah satunya mengenai prosedur yang dapat dilakukan untuk kepentingan
penyelidikan atau penyidikan yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan badan,
pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Upaya tersebut antara lain pada BAB V Pasal
16 sampai dengan Pasal 19 KUHAP tentang penangkapan dan Pasal 20 sampai dengan Pasal 31
KUHAP tentang penahanan mensyaratkan bahwa penangkapan dan penahanan untuk kepentingan
penyelidikan atau penyidikan tersebut harus dilakukan oleh dan atas perintah penyidik. Adapun
fungsi penegakan hukum meliputi tindakan yaitu,1 penyelidikan-penyidikan (investigation),
enangkapan(arrest), penahanan (detention), persidangan pengadilan (trial) dan, Pemidanaan
(punishment). Dalam sistem peradilan pidana yang dianut dalam KUHAP terdapat berbagai
lembaga penegak hukum yang menjadi institusi pelaksana peraturan perundangan dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat atau Pengacara. Sistem peradilan pidana adalah intitusi
kolektif dimana seorang pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan atau
penjatuhan hukuman telah diputuskan.2

Pada penyidikan terdapat kegiatan penyelidik yang menjadi satu rangkaian yaitu
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan tindakan
pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas kepada penuntut umum yang diatur dalam
KUHAP. Penangkapan ataupun penahanan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidikan,
tanpa menjalankan prosedur yang sesuai dengan peraturan perUndangUndangan tersebut akan
membuka ruang adanya gugatan praperadilan dari pihak tersangka yang merasa dirugikan.
Praperadilan adalah suatu mekanisme kontrol terhadap kewenangan pejabat peradilan yang

1
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum (Ghalia Indonesia, 2009), hlm 77.
2
Tolib Effendi, “Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem Peradilan Pidana Di
Beberapa Negara,” Pustaka Yustisia, Yogyakara, 2013, hlm 13.

3
menggunakan upaya paksa, sehingga dapat dibuktikan sah tidaknya suatu penangkapan dan
penahanan tersebut.3

Untuk lebih mendalam, makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan serta contoh penerapan konsep
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dapat ditemui dalam kasus narkoba,
seperti yang terjadi pada Terdakwa Husnul Yaqin di Pengadilan Negeri Surabaya. Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah konsep penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam sistem hukum acara pidana Indonesia (KUHAP).
untuk mengetahui bagaimanakah penerapan konsep penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan dalam kasus narkoba, seperti yang terjadi pada Terdakwa Husnul Yaqin di Pengadilan
Negeri Surabaya

3
Wisnubroto Al and G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Cetakan Ke-1, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005), hlm 78.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Penangkapan
Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.4 Karakter utama dari penangkapan adalah
pengekangan sementara waktu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan.
Penangkapan dan pemidanaan memiliki sifat yang sama yaitu adanya pengekangan
kebebasan seseorang, hanya saja pemidanaan ditujukan untuk menghukum seseorang yang
telah terbukti kesalahannya dalam sidang pengadilan.
Sebelumnya penyidik harus melaksanakan Asas Legalitas dalam melaksanakan
Upaya Paksa berdasarkan perintah tertulis dari pihak yang berwenang. Penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis
oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara sebagaimana yang diatur dalam undangundang. Melalui proses tahap penangkapan
tersebut, seseorang itu harus terbukti melakukan tindak pidana terlebih dahulu sehingga
dapat dijatuhkan hukuman terhadapnya.
Sebab, asas equality before the law/asas Isonamia/asas persamaan di muka hukum
adalah perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan dan
sebagainya.5
Maksud perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan adalah bahwa di depan pengadilan kedudukan semua
orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Ketentuan atas asas tersebut
dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

4
KUHAP Pasal 1 butir 20:
5
Aloysius Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005), h. 11

5
Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa,”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”.

Tujuan dari asas ini adalah agar memberikan jaminan kepada hak–hak asasi
manusia yang mendapat perlindungan didalam negara yang berdasarkan Pancasila. Hal ini
memberikan suatu jaminan hukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atau
perbuatan tindak pidana yang memungkinkan sanksi hukum bagi yang melakukannya baik
itu dilakukan oleh pejabat negara atau masyarakat biasa, apabila mereka melakukan
perbuatan hukum. Maka digunakan sanksi hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Berdasarkan Asas Miranda Rule terhadap seorang tersangka, sejak dilakukan
penangkapan atau penahanan terhadap dirinya, ialah wajib diberitahu yang jelas mengenai
dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan terhadap dirinya, dan juga wajib
diberitahukan apa saja yang menjadi haknya, termasuk hak untuk menghubungi dan
meminta bantuan penasihat hukum yang dimiliki tersangka/terdakwa.
Tujuan dilakukannya penangkapan antara lain guna mendapatkan waktu yang
cukup untuk mendapatkan informasi yang akurat. Seseorang ditangkap apabila diduga
keras melakukan tindak pidana dan ada dugaan kuat yang didasarkan pada permulaan bukti
yang cukup.
1. Cara Melakukan Penangkapan
Penangkapan merupakan bentuk pelanggaran hak bebas seseorang yang belum
terbukti bersalah, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP, 30 waktu
penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari. Mengenai cara pelaksanaan
penangkapan, terdapat dua pembahasan yakni petugas yang berwenang melakukan
penangkapan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan penangkapan.
Petugas yang berwenang melakukan penangkapan adalah Polisi Republik Indonesia
(Polri) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP.31 Jaksa penuntut umum tidak
berwenang melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya sebagai penyidik.
Petugas keamanan seperti satpam atau hansip juga tidak berwenang melakukan
penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan, sebab dalam kasus tertangkap
tangan setiap orang berhak melakukan penangkapan.

6
Pelaksanaan penangkapan menurut Drs. DPM Sitompul, SH dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:

a. Penangkapan Tanpa Surat Perintah


Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan penangkapan dengan syarat dalam
keadaan tertangkap tangan. Tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP
adalah tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana, dengan
segera setelah dilakukannya tindak pidana, sesaat setelah masyarakat meneriaki
pelaku tindak pidana, dan setelah ditemukan benda yang diduga keras digunakan
untuk melakukan tindak pidana, dimana benda tersebut menunjukkan bahwa ia
adalah pelakunya atau turut melakukan atau melakukan tindak pidana tersebut.
Setelah dilakukan penangkapan tanpa surat perintah, polisi harus memperhatikan
hal-hal ketentuan dalam Pasal 111, Pasal 18 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) KUHAP.
b. Penangkapan Dengan Surat Perintah
Syarat penangkapan dengan surat perintah adalah sebagaimana syarat
penangkapan pada umumnya yang dinilai sah apabila memenuhi syarat yang telah
ditentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1) Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa
surat perintah penangkapan. Surat perintah penangkapan merupakan
syarat formal yang bersifat imperatif. Hal ini demi kepastian hukum dan
menghindari penyalahgunaan jabatan serta menjaga ketertiban
masyarakat.
2) Surat perintah penangkapan harus diperlihatkan kepada orang yang
disangka melakukan tindak pidana. Surat tersebut berisi :
a) Identitas tersangka, seperti nama, umur, dan tempat tinggal.
Apabila identitas dalam surat tersebut tidak sesuai, maka yang
bersangkutan berhak menolak sebab surat perintah tersebut dinilai
tidak berlaku.
b) Alasan penangkapan, misalnya untuk pemeriksaan atas kasus
pencurian dan lain sebagainya.

7
c) Uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan terhadap
tersangka, misalnya disangka melakukan kejahatan pencurian
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP.
d) Tempat pemeriksaan dilakukan.

Salinan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga


tersangka segera setelah penangkapan dilakukan, pemberitahuan tidak
dapat diberikan secara lisan. Apabila salinan surat perintah penangkapan
tidak diberikan kepada pihak keluarga, mereka dapat mengajukan
pemeriksaan Praperadilan tentang ketidakabsahan penangkapan
sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.

2. Batas Waktu Penangkapan


Batas waktu penangkapan ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP, yaitu
dilakukan untuk maksimum satu hari. Berdasarkan ketentuan ini seseorang hanya
dapat dikenakan penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Lebih dari satu hari,
berarti sudah terjadi pelanggaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan
dianggap tidak sah, konsekuensinya tersangka harus dibebaskan demi hukum. Jika
batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya atau keluarganya dapat
meminta pemeriksaan pada praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan
dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.
Batasan lamanya penangkapan yang sangat singkat itu akan menjadi masalah bagi
pihak penyelidik, terutama di tempat-tempat atau daerah yang transportasinya
sangat sulit, apalagi jika daerah masih tertutup dari sarana komunikasi. Keadaan
yang demikian tidak memungkinkan dalam waktu satu hari dapat menyelesaikan
urusan penangkapan dan menghadapkan tersangka kepada penyidik.6

B. Konsep Penahanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Penahanan ialah perbuatan
menahan; penghambatan. Penahanan sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1
butir 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah penempatan tersangka atau

6
Sitompul, Polisi dan Penangkapan, (Bandung: Tarsito, 1985), h. 10.

8
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan merupakan salah satu upaya paksa dalam penegakan hukum yang
dikenal dalam sistem peradilan pidana. Aparat penegak hukum memiliki kewenangan
absolut untuk menahan seseorang yang disangka keras berdasarkan bukti permulaan yang
cukup telah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman tertentu. Penahanan itu
“dapat” dilakukan terhadap setiap tersangka, sehingga penahanan bukan menjadi suatu
keharusan untuk dilakukan sekalipun tindak pidana yang disangkakan memenuhi syarat
untuk dilakukan penahanan.

A. Kewenangan Penahanan
Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dijelaskan dalam Pasal
20 KUHAP antara lain:
a. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan
adalah penyidik atau pembantu penyidik atas perintah penyidik
b. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang melakukan penahanan
adalah penuntut umum
c. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, yang berwenang
melakukan penahanan adalah hakim.
B. Dasar penahanan
Dasar dilakukan penahanan menurut Pasal 21 KUHAP yaitu:
1) adanya surat perintah. Penahanan atau penahan lanjutan terhadap tersangka
atau terdakwa dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dengan
menyerahkan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang
mencantumkan identitas tersangka/terdakwa. Penyidik atau penuntut umum
juga harus menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan dan tempat ia akan ditahan. Selanjutnya surat
tersebut harus diberitahukan kepada keluarga tersangka/terdakwa.
2) adanya bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan Putusan MK
No.21/PUU-XII/2014 yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup
yang dapat digunakan sebagai awal dari suatu penahanan adalah bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

9
3) harus memenuhi persyaratan penahanan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
meliputi syarat objektif dan syarat subjektif.
1. Syarat objektif penahanan (kepentingan menurut hukum) terdapat dalam
Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu:
a. tindak pidana diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
b. tindak pidana diancam kurang dari lima tahun, tetapi disebut secara
limitative oleh Pasal 21 ayat (4) huruf b, tindak pidana yang disebutkan
secara limitatif misalnya;
a) Pasal 282 ayat (3): tindak pidana kesusilaan sebagai mata
pencaharian. Ancaman penjara 2 tahun 8 bulan atau denda Rp 4.500
b) Pasal 296: menghubungkan/memudahkan perbuatan cabul sebagai
mata pencaharian. ancaman penjara 1 tahun 44 bulan atau denda Rp
15.000
c) Pasal 335 ayat (1): perbuatan tidak menyenangkan. Ancaman
penjara 1 tahun atau denda Rp 4.500
d) Pasal 351 ayat (1): penganiayaan biasa. Ancaman penjara 2 tahun 8
bulan atau denda Rp 4.500
e) Pasal 353 ayat (1): penganiayaan dengan rencana. Ancaman penjara
2 tahun
f) Pasal 372: penggelapan. Ancaman penjara 4 tahun atau denda Rp
900
g) Pasal 378: penipuan. Ancaman penjara 4 tahun
h) Pasal 379a: penipuan sebagai mata pencaharian. Ancaman penjara 4
tahun.
2. Syarat subjektif penahanan digantungkan pada aparat penegak hukum
yang memerintahkan melakukan penahanan karena bersifat menurut
kepentingan/keperluan. berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) yaitu
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa:
a. tersangka atau terdakwa akan melarikan diri
b. tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan
barang bukti

10
c. tersangka atau terdakwa akan mengulangi tindak pidana yang
sama.7

C. Tenggang Waktu Penahanan


Lamanya waktu penahanan bergantung pada penegak hukum yang melakukan
penahanan. Berikut rentang waktu penahanan bagi tersangka/terdakwa:
a. Penahanan di tingkat penyidikan menurut pasal 24 KUHAP dapat dilakukan
paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari atas persetujuan jaksa
penuntut umum.
b. Penahanan di tingkat penuntut umum menurut pasal 25 KUHAP dapat
dilakukan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang 30 hari atas persetujuan
ketua pengadilan negeri.
c. Penahanan di tingkat pemeriksaan pengadilan negeri menurut pasal 26
KUHAP dapat dilakukan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 60 hari
atas persetujuan ketua pengadilan negeri.
d. Penahanan dalam proses banding menurut pasal 27 KUHAP dapat dilakukan
paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 60 hari atas persetujuan ketua
pengadilan tinggi.
e. Penahanan dalam proses kasasi menurut pasal 28 KUHAP dapat dilakukan
paling lama 50 hari dan dapat diperpanjang 60 hari atas persetujuan ketua
mahkamah agung.
f. Pasal 29 KUHAP penahanan sebagaimana dimaksud pada pasal 24, 25, 26, 27,
dan 28 KUHAP dapat diperpajang lagi dengan alasan khusus yaitu
tersangka/terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter atau perkara yang diperiksa diancam pidana 9
tahun atau lebih. Waktu perpanjangan adalah 30 hari + 30 hari.
D. Jenis Penahanan
Jenis penahanan diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) KUHAP antara lain;
1. Tahanan Rutan (Rumah tahanan negara)

7
Suyanto, “Hukum Acara Pidana” Zifatama Jawara, Sidoarjo, 2018, halaman 52

11
Mengenai siapa saja yang ditempatkan di rutan diatur lebih lanjut dalam Pasal 19
PP No.27 tahun 1983 jo. Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman
No.M.04.UM.01.06 tahun 1983 yaitu tahanan yang masih dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung. Pemisahan tahanan di rutan dilakukan
berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. Dalam hal rutan belum
ada pada suatu tempat, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara,
kantor kejaksaan negeri, lembaga permasyarakatan, rumah sakit, dan dalam
keadaan mendesak dapat dilakukan di tempat lain.
2. Tahanan rumah
Penahahan rumah dilakukan di rumah tempat tinggal tersangka atau terdakwa.
Tersangka/terdakwa yang menjalani masa tahanan rumah harus diberikan
pengawasan pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah. Mengenai
mekanisme pengawasan tahanan rumah sepenuhnya tergantung kebijaksanaan
pejabat yang bersangkutan. Tujuan utama dari pengawasan untuk menghindari
terjadinya sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. tersangka/terdakwa hanya
boleh keluar rumah dengan izin dari penyidik, penuntut umum, atau hakim yang
memberi perintah penahanan.
3. Tahanan kota
Pelaksanaan penahanan kota dilakukan di kota kediaman tersangka atau terdakwa.
Dalam pasal ini yang dimaksud kota meliputi pengertian desa atau kampung sebab
tidak semua wilayah di Indonesia merupakan perkotaan. Terhadap
tersangka/terdakwa yang sedang menjalani tahanan kota tidak dilakukan
pengawasan langsung seperti tahanan rumah, namun ia wajib melapor pada
waktu-waktu yang telah ditentukan. Mengenai waktu pelaporan diserahkan pada
kebijaksanaan pejabat yang memerintahkan penahanan kota tersebut. Sama
halnya dengan tahanan rumah, tahanan kota juga dilarang untuk keluar kota.
Mereka dapat keluar kota apabila mendapatkan izin dari pejabat yang
bersangkutan.8

8
Ibid, halaman 58-62

12
E. Pengalihan Jenis Penahanan
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat 1 KUHAP pengalihan jenis penahanan dapat
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim. Pengalihan jenis
penahanan ini dinyatakan secara tersendiri yaitu surat perintah dari penyidik atau
penuntut umum dan atau dengan penetapan hakim, dan tembusannya dikirimkan
kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang
berkepentingan.
F. Upaya Hukum atas Penahanan
a. Permohonan penangguhan penahanan. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) KUHAP
permohonan penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan atau tanpa
menyerahkan jaminan. Jaminan dapat berupa orang atau uang. Berdasarkan
Pasal 35 dan 36 PP No.27 tahun 1983, jaminan uang ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di
kepaniteraan pengadilan negeri. Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri
dan setelah waktu tiga bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi
milik negara dan disetor ke kas negara. Dalam ketentuan tersebut juga
dijelaskan mengenai jaminan orang manakala tersangka/terdakwa melarikan
diri dan dalam waktu tiga bulan tidak diketemukan, maka penjamin diwajibkan
membayar uang yang jumlahnya ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan
dan uang tersebut disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri.9
b. Pengajuan keberatan atas penahanan. Berdasarkan Pasal 123 KUHAP
pengajuan keberatan dapat dilakukan ke pimpinan instansi yang melakukan
penahanan. Dalam upaya ini akan dilakukan penyelidikan apakah penahanan
sudah dilakukan sesuai prosedur atau belum.
c. Pra peradilan. Praperadilan merupakan lembaga yang lahir dengan tujuan
mengadakan pengawasan atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan
oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka apakah sudah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 77 jo. Pasal 124 KUHAP keluarga atau penasihat hukum
tersangka berhak mengajukan pra peradilan ke pengadilan negeri apabila

9
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2015, halaman 79

13
terdapat penahanan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus perkara
praperadilan terkait sah atau tidak sahnya upaya penahanan serta terkait ganti
kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.10

C. Konsep Penggeledahan
Pengertian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)11, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan
“penyidikan”. Akan tetapi perlu diketahui bahwa, penyelidikan bukan tindakan yang
berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Jika dilihat dari kata-kata yang
dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan
salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan
lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada
penuntut umum. Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-
undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman
seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.12
Pada dasarnya menurut KUHAP, penggeledahan itu terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Penggeledahan rumah Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP.13
2) Penggeledahan badan Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.14

10
Riadi Asra Rahmad, Hukum Acara Pidana, Rajawali Pers, Depok, 2019, halaman 69
11
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
12
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016), h. 249
13
Pasal 1 angka 17 KUHAP
14
Pasal 1 angka 18 KUHAP

14
Tata Cara Penggeledahan Penggeledahan dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam
Pasal 33 KUHAP, yang berbunyi:

1. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan
penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.
2. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian
negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan ole h dua orang saksi dalam hal
tersangka atau penghuni menyetujuinya.
4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak
atau tidak hadir.
5. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus
dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah yang bersangkutan.

Dengan demikian pada dasarnya menurut Pasal 33 ayat (1) KUHAP, penggeledahan itu
dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebelum melakukan
penggeledahan, penyidik lebih dahulu meminta surat izin Ketua Pengadilan Negeri dengan
menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan penggeledahan bagi
keperluan penyelidikan atau penyidikan sesuai dengan penjelasan Pasal 33 ayat (1)
KUHAP.

Tujuan keharusan adanya surat izin Ketua Pengadilan Negeri dalam tindakan
penggeledahan rumah, dimaksudkan untuk menjamin hak asasi seseorang atas rumah
kediamannya, juga agar penggeledahan tidak merupakan upaya yang dengan gampang
dipergunakan penyidik tanpa pembatasan dan pengawasan. Demi untuk membatasi laju
penggeledahan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan serta tidak dipergunakan secara
semau sendiri, pembuat undang-undang membebani syarat, yaitu harus lebih dulu ada surat
izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penggeledahan dalam Keadaan Mendesak
Selanjutnya Pasal 34 KUHAP mengatur mengenai penggeledahan dalam keadaan
mendesak, yaitu berbunyi sebagai berikut:

15
1. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada
di atasnya;
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat berkasnya;
d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
2. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1)
penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain
yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang
bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya. Berdasarkan uraian tersebut dapat kita
simpulkan bahwa dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penggeledahan
tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal mendesak ini dilakukan
jika di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa
yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau
benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan. Adapun
tujuan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik adalah untuk mendapatkan
barang bukti sehubungan dengan adanya tindak pidana. Oleh sebab itu dalam Pasal
32 KUHAP menjelaskan mengenai tujuan dilakukanya penggeledahan adalah untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.

D. Konsep Penyitaan
Penyitaan, berasal dari kata "sita," dalam konteks hukum pidana merujuk pada
tindakan penyitaan yang dilakukan terhadap barang, baik yang dapat bergerak maupun
tidak, yang dimiliki oleh seseorang. Tujuan utama dari penyitaan ini adalah untuk
memperoleh bukti dalam suatu perkara pidana. Pasal 1 angka 16 KUHAP memberikan

16
definisi resmi tentang penyitaan sebagai "serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan menyimpan barang bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki wujud atau tidak,
untuk kepentingan pembuktian selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Penyitaan juga dapat diartikan sebagai "proses yang dilakukan oleh pejabat berwenang
untuk sementara waktu menguasai barang-barang, baik itu milik tersangka/terdakwa
maupun bukan, yang terkait dengan atau berasal dari suatu tindak pidana. Hal ini dilakukan
untuk keperluan pembuktian."15 Pandangan ini sejalan dengan penjelasan penyitaan
sebagai "langkah yang diambil oleh pejabat berwenang untuk sementara waktu menguasai
barang-barang, termasuk yang bukan milik terdakwa, namun terkait dengan suatu tindak
pidana. Barang tersebut akan dikembalikan apabila ternyata tidak ada keterkaitan dengan
tuduhan kejahatan."16
Dengan kata lain, penyitaan adalah proses di mana pejabat berwenang mengambil
kendali atas barang untuk sementara waktu, baik yang dimiliki oleh tersangka maupun
bukan, yang terkait dengan atau memiliki hubungan dengan suatu tindak pidana. Tindakan
ini dilakukan untuk kepentingan pembuktian selama berlangsungnya proses penyidikan,
penuntutan, dan peradilan. Barang yang disita akan dikembalikan jika ternyata tidak terkait
dengan tuduhan kejahatan. Tujuan penyitaan adalah sebagai alat pembuktian di muka
persidangan dan memastikan adanya bukti yang cukup kuat untuk mendukung kasus di
setiap tahap proses hukum. Barang bukti yang diperoleh melalui penyitaan menjadi krusial
dalam membawa suatu perkara ke pengadilan. Tanpa keberadaan barang bukti tersebut,
suatu kasus tidak dapat diajukan ke pengadilan.

a) Tata Cara Penyitaan dan Benda Yang Dapat Disita


Pasal 39 ayat (1) butir a KUHAP menyatakan bahwa benda yang
dapat disita adalah "benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana". Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyitaan,
sesuai dengan Pasal 38 KUHAP, adalah penyidik yang memerlukan izin

15
Darwan Prints, , Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), Pen. Djambatan kerjasama dengan Yayasan LBH,
Jakarta, 1989. h. 54
16
J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h. 137-138

17
dari ketua pengadilan negeri setempat.17 Dalam keadaan mendesak, jika
tidak memungkinkan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu, penyidik
dapat menyita benda bergerak setelah melaporkan dan mendapat
persetujuan dari ketua pengadilan. Selanjutnya, pada saat penyitaan
menurut Pasal 128 KUHAP, penyidik harus menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang dari mana benda itu akan disita. Proses
penyitaan, seperti diatur dalam Pasal 129 KUHAP, melibatkan
pemperlihatkan benda kepada pemiliknya, pencatatan berita acara
penyitaan dengan saksi, dan pemberian tanggal serta tanda tangan oleh
penyidik, pemilik benda, atau kepala desa. Pasal 130 KUHAP mengatur tata
cara terhadap barang sitaan. Sebelum dibungkus, benda sitaan dicatat berat,
jumlah, jenis, ciri, tempat, hari, tanggal penyitaan, dan identitas pemiliknya.
Catatan tersebut kemudian diberi lak dan cap jabatan oleh penyidik. Jika
benda tidak bisa dibungkus, catatan diberikan pada label yang ditempelkan
atau dikaitkan pada benda.
b) Penyimpanan Barang Yang Disita
Menurut Pasal 44 KUHAP, benda sitaan disimpan di rumah
penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan dilakukan dengan sebaik-
baiknya dan tanggung jawab ada pada pejabat yang berwenang sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Benda sitaan dilarang
dipergunakan oleh siapapun juga. Pasal 45 KUHAP mengatur penyimpanan
benda sitaan yang dapat lekas rusak atau membahayakan. Jika penyimpanan
terlalu mahal atau tidak mungkin sampai putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, dengan persetujuan tersangka atau kuasanya, benda
tersebut dapat dijual lelang atau diamankan oleh penyidik atau penuntut
umum. Hasil lelang yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
Sebagian dari benda juga dapat disisihkan untuk kepentingan pembuktian.
Benda sitaan yang bersifat terlarang dapat dirampas untuk dipergunakan
bagi kepentingan negara atau dimusnahkan.

17
KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 217-218

18
c) Penyelesaian Barang Yang Disita
Penyelesaian barang sitaan diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Benda
yang dikenakan penyitaan dapat dikembalikan kepada pemiliknya jika
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi, perkara
tidak jadi dituntut, atau perkara ditutup demi hukum. Jika perkara sudah
diputus, benda dikembalikan ke pemiliknya kecuali jika dirampas untuk
negara, dimusnahkan, atau masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain. Jika benda lekas rusak atau membahayakan, tindakan serupa
dapat diambil dengan persetujuan tersangka atau kuasanya. Hasil penjualan
lelang yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti dengan sebagian kecil
benda disisihkan untuk kepentingan pembuktian. Benda yang bersifat
terlarang dilarang dilelang, tetapi dirampas untuk kepentingan negara atau
dimusnahkan18

E. Analisis Kasus
a) Penangkapan
Secara kronologis saksi menerangkan berawal dari informasi masyarakat dimana
diduga ada seorang yang mengedarkan narkotika jenis sabu, kemudian saksi bersama
rekan yang lain yaitu AIPDA MASKORI, BRIPTU M.BUKHORI dan BRIPDA RIZA
FAHLEFI melakukan Penyelidikan, setelah memastikan kebenaran informasi tersebut
kemudian pada hari Sabtu, tanggal 04 November 2023, sekira pukul 20.00 WIB di
dalam kamar kos lantai dua alamat Sawahpulo Gg.1 Kel. Ujung Kec. Semampir Kota
Surabaya, dilakukan penangkapan terhadap seorang laki-laki yang mengaku bernama
HUSNUL YAQIN als ASMAD Bin ZAHRAH dan sar WIJAYA SANTOSO
SANDRA kemudian dilakukan penggeledahan dan ditemukan dibawah kolong lemari
kamar kos terdakwa HUSNUL YAQIN als ASMAD Bin ZAHRAH ditemukan barang
bukti narkotika jenis sabu sebanyak 3 (tiga) plastic klip, 2 (dua) bendel plastic klip dan
1(satu) buah timbangan elektrik. Selanjutnya Terdakwa Husnul Yaqin als Asmad Bin
Zahrah ditangkap tanggal 6 November 2023.

18
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Rangkang Education, Yogyakarta, Hal. 171-172

19
b) Penahanan
Setelah dilakukan penangkapan terhadap Husnul Yaqin Als Asmad bin Zahrah pada 6
November 2023, tersangka mulai ditahan di rutan. Penahanan dilakukan oleh:
1) Penyidik sejak tanggal 7 sampai 26 November 2023. total penahanan pertama
oleh penyidik adalah 20 hari sesuai dengan pasal 24 ayat (1) KUHAP.
Selanjutnya Penyidik melakukan Perpanjangan penahanan atas persetujuan
Penuntut Umum sejak tanggal 27 November 2023 sampai dengan tanggal 5
Januari 2024. Masa perpanjangan penahanan oleh penyidik sesuai dengan pasal
24 ayat (2) adalah 40 hari. Namun sebelum genap 40 hari yaitu pada hari ke- 39
penyidik melimpahkan berkas pemeriksaan kepada penuntut umum.
2) Penahanan oleh penuntut Umum dimulai sejak penyerahan berkas oleh penyidik
pada tanggal 4 Januari 2024 sampai dengan tanggal 23 Januari 2024 dengan
waktu total penahanan adalah 20 hari. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 25
ayat (1) KUHAP. Namun, belum genap 20 hari tepatnya penahanan oleh
penuntut umum hanya dilakukan selama 8 hari. Selanjutnya penuntut umum
akan melimpahkan berkas pemeriksaan untuk persidangan di pengadilan.
3) Penahanan oleh Hakim Pengadilan Negeri dimulai sejak berkas dilimpahkan
oleh penuntut umum yaitu tanggal 11 Januari 2024 sampai dengan Tanggal 9
Februari 2024. total masa penahanan pertama oleh hakim adalah 30 hari sesuai
dengan ketentuan pasal 26 ayat (1) KUHAP. Kemudian Hakim Pengadilan
Negeri mengajukan Perpanjangan penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri
sehingga penahanan dilanjutkan mulai Tanggal 10 Februari 2024 sampai dengan
tanggal 9 April 2024. Total masa perpanjangan penahanan oleh hakim adalah 60
hari sesuai dengan pasal 26 ayat (2) KUHAP.D
Dalam sidang putusan pengadilan, tersangka Husnul Yaqin Als Asmad bin Zahrah
diadili bersalah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak pidana
tanpa hak dan melawan hukum membeli dan menjual Narkotika Golongan I dan
dijatuhi hukuman pidana penjara 7 tahun. Berdasarkan ketentuan MENGADILI pada
putusan Nomor 84/Pid.Sus/2024/ PN Sby nomor 3 bahwa Menetapkan masa
penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya

20
dari pidana yang dijatuhkan. Jadi putusan pengadilan (7 tahun) dikurangi masa
penangkapan dan penahanan (158 hari).

c) Penggeledahan
Bahwa terdakwa HUSNUL YAQIN ALS ASMAD BIN ZAHRAH pada hari Sabtu
tanggal 04 Oktober 2023 sekira pukul 20.00 WIBatau setidak-tidaknya pada suatu hari
dalam bulan Oktober 2023 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2023, bertempat didalam
kamas kos terdakwa yang berlamatkan Jl.Sawahpulo Gg.I Kel.Ujung Kec.Semampir
Surabaya atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Surabaya, tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai,atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
yang dilakukan oleh para terdakwa dengan cara sebagai berikut :
1) Bahwa masih pada waktu yang sama pada hari Sabtu tanggal 04 November 2023
sekira pukul 20.00 Wib saksi EDO RANTO PERKARA dan saksi MUKHAMAD
BUKHORI yang sebelumnya mendapatkan informasi dari masyarakat bertempat
kamar kos lantai dua Jl.Sawahpulo Gg.I Kel.Ujung Kec.Semampir Surabaya
langsung melakukan penangkapan terhadap terdakwa HUSNUL YAQIN ALS
ASMAN BIN ZAHRAH dan melanjutkan dengan melakukan penggeledahan,
setelah melakukan penggeledahan didapatkan barang berupa kotak handphone
merk Redmi Note 9 yang berada diatas rak buku didalamnya berisikan 3 (tiga) klip
plastik kecil yang di dalamnya diduga berisi narkotika jenis sabu, 1 (satu) buah
sekrop warna ungu, 2 (dua) bendel klip plastik dan 1 (satu) unit timbangan elektrik
ditemukan dibawah lemari pakaian terdakwa sedangkan 1 (satu) unit handphone
merk Oppo warna hitam merah dan uang sebesar Rp.200.000,-(dua ratus ribu
rupiah) yang ditemukan didalam saku sebelah kana depan celana pendek yang
dikenakan terdakwa

2) Bahwa terhadap barang berupa 3 (tiga) poket yang di dalamnya diduga berisikan
narkotika jenis sabu dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Polri
Cabang Surabaya pada hari Senin Tanggal 13 November 2023 berdasarkan Berita
Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab :08639/NNF/2023 atas

21
nama terdakwa terdakwa GATUT SETYO UTOMO BIN SURATNO yang
ditandatangani oleh DYAN VICKY SANDHI, S.Si, TITIN ERNAWATI, S.Farm,
Apt, RENDY DWI MARTA CAHYA, ST, selaku pemeriksa menerangkan dalam
kesimpulannya bahwa barang bukti:

a. No. :29471/2023/NNF,- : berupa 1 (satu) kantong plastik berisikan kristal


warna putih degan berat netto sekitar 0,416 gram tersebut di atas adalah
benar kristal metamfetamina terdaftar dalam golongan I nomor urut 61
Lampiran 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
b. No. :29472/2023/NNF,- : berupa 1 (satu) kantong plastik berisikan kristal
warna putih degan berat netto sekitar 0,205 gram tersebut di atas adalah
benar kristal metamfetamina terdaftar dalam golongan I nomor urut 61
Lampiran 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
c. No. :29473/2023/NNF,- : berupa 1 (satu) kantong plastik berisikan kristal
warna putih degan berat netto sekitar 0,018 gram tersebut di atas adalah
benar kristal metamfetamina terdaftar dalam golongan I nomor urut 61
Lampiran 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;
Adapun berat total keseluruhan barang bukti tersebut di atas dengan berat
netto 0,639 gram Sisa pemeriksaan labfor yang dikembalikan dan menjadi
barang bukti nomor:
i. -No. :29471/2023/NNF,- :seperti tersebut dalam (I) dikembalikan
dengan berat netto 0,396 gram;
ii. -No. : 29472/2023/NNF,- :seperti tersebut dalam (I) dikembalikan
dengan berat netto 0,185 gram;
iii. -No. : 29472/2023/NNF,- :seperti tersebut dalam (I) dikembalikan
tanpa isi Bahwa perbuatan terdakwa tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman tersebut dilakukan tanpa izin dari pihak
yang berwenang serta tidak digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

22
maupun tidak digunakan sebagai reagensia atau reagensia
laboratorium

d) Penyitaan
Telah dilakukan penyitaan terhadap sejumlah barang bukti yang menjadi bagian
integral dari suatu perkara. Barang bukti tersebut mencakup tiga kantong plastik
berisikan kristal warna putih dengan berat netto masing-masing sekitar 0,416 gram,
0,205 gram, dan 0,018 gram, dengan berat total keseluruhan sekitar 0,639 gram. Selain
itu, barang bukti lainnya yang turut disita melibatkan 1 buah timbangan elektrik warna
hitam, 1 buah secrop dari sedotan warna putih, 2 bendel plastik klip, 1 buah HP OPPO
warna hitam merah dengan nomor telepon 083845024941, dan uang tunai sebesar Rp.
200.000,-. Penyitaan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
dan dianggap sah sebagai bukti yang akan digunakan dalam persidangan. Materi
penyitaan ini mencerminkan upaya penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana
yang sedang diselidiki atau disidangkan.

23
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam penutup makalah ini, kita telah menjelajahi secara mendalam konsep serta praktik
penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam konteks penangkapan, penahanan,
pengeledahan, dan penyitaan. Analisis yang telah dilakukan membuka cakrawala baru dalam
memahami kompleksitas sistem hukum Indonesia dan tantangan yang dihadapi dalam menerapkan
prinsip-prinsip keadilan. Konsep-konsep yang telah dibahas, mulai dari proses penangkapan yang
diatur oleh undang-undang, hingga pelaksanaan penahanan yang mengikuti ketentuan hukum,
menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam setiap tahapan proses
hukum. Penegakan hukum yang efektif tidak hanya mengandalkan kepatuhan terhadap peraturan,
tetapi juga memastikan perlindungan terhadap hak-hak individu.

Dalam konteks pengeledahan dan penyitaan, perlu ditekankan perlunya transparansi dan
akuntabilitas dalam tindakan aparat penegak hukum. Kedua aspek ini merupakan pilar utama
dalam memastikan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada penegak hukum tidak disalah gunakan
dan tetap dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum.Namun demikian, kendala-kendala yang
dihadapi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia tidak dapat diabaikan. Mulai dari
permasalahan terkait dengan korupsi, kekurangan sumber daya, hingga tantangan dalam
memberikan perlindungan kepada para saksi dan korban, semua itu menandai perlunya reformasi
terus-menerus dalam sistem peradilan kita.

Dalam rangka memperbaiki sistem penegakan hukum, diperlukan upaya bersama dari
semua pihak, baik itu pemerintah, lembaga penegak hukum, maupun masyarakat sipil. Dengan
membangun kerja sama yang kuat dan berkesinambungan, kita dapat mengatasi berbagai
tantangan yang dihadapi dalam menciptakan sistem peradilan yang adil dan efektif. Dengan
demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa penegakan hukum yang berkualitas
merupakan fondasi yang penting bagi terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan beradab.
Dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, kita dapat
menuju arah yang lebih baik dalam memperkuat kedaulatan hukum dan mengamankan hak-hak
warga negara Indonesia.

24
SARAN

Dalam implementasi penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan di Indonesia


masih ada terjadi tidak ketidaksesuaian prosedur maupun kejadian imbas dari tindakan aparat
negara dalam menjalankan tugas yang tidak sesuai dengan mekanisme dalam KUHAP. Penulis
menilai bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dari segi substansi, metode, dan
contoh kasus yang dihadirkan penulis. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan substansi yang
mendalam guna kesempurnaan makalah ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al, Wisnubroto, dan G. Widiartana. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Cetakan Ke-1,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Effendi, Tolib. “Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem
Peradilan Pidana Di Beberapa Negara.” Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013.
Harahap, M Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan. Sinar Grafika, Jakarta, 2016
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 butir 20.
KUHAP dan KUHP. Sinar Grafika, Jakarta
Pasal 1 angka 17 KUHAP.
Pasal 1 angka 18 KUHAP.
Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar). Djambatan kerjasama dengan
Yayasan LBH, Jakarta, 1989
Purwoleksono, Didik Endro. Hukum Acara Pidana. Airlangga University Press, Surabaya,
2015.
Rahmad, Riadi Asra. Hukum Acara Pidana. Rajawali Pers, Depok, 2019
Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Ghalia Indonesia,
2009.
Simorangkir, J.C.T., dkk. Kamus Hukum. Aksara Baru, Jakarta, 1983
Sitompul. Polisi dan Penangkapan. Tarsito, Bandung, 1985.
Sofyan, Andi. Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar). Rangkang Education, Yogyakarta.
Suyanto. “Hukum Acara Pidana.” Zifatama Jawara, Sidoarjo, 2018.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Anda mungkin juga menyukai