Anda di halaman 1dari 13

BENTUK-BENTUK TINDAKAN UPAYA

PAKSA DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu: Ridwan Eko Prasetyo, SH.I, M,H

oleh
Raka Anugrah Pratama 1223030093
Riya Eka Prasetyaningrum 1223030101
Umar Syaifullah 1223030119
Virgiawan Fadhil 1223030120

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2024
Hukum Acara Pidana | 1

Dosen Pengampu : Ridwan Eko Prasetyo, S.H,I M,H


Jurusan Hukum Tata Negara (siyasah) Fakultas Syariah dan hukum, UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung

BENTUK-BENTUK TINDAKAN UPAYA


PAKSA DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Raka Anugrah Pratama, Riya Eka Prasetyaningrum, Umar Syaifullah,
Virgiawan Fadhil
*email: rakaanugrah0803@gmail.com, riyaeka62@gmail.com,
umarsyaifullah12@gmail.com, virgifadhil@gmail.com.

Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syari’ah dan hukum UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung 2023

ABSTRAK:

Bentuk-bentuk upaya paksa dalam hukum acara pidana sesuai urutannya ada
4 yaitu; penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Secara
umum, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan penuntutan atau
peradilan yang menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penggeledahan adalah tindakan
penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan
pemeriksaan dirumah tempat kediaman seorang atau untuk melakukan
pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seorang. Sedangkan penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Kata Kunci : penangkapan, penahanan, penggeladahan, penyitaan.
Hukum Acara Pidana | 2

ABSTRACT:
There are 4 forms of coercive measures in criminal procedural law, namely;
arrest, detention, search and confiscation. In general, arrest is an
investigator’s action in the form of temporary restraint on the freedom of a
suspect or defendant if there is sufficient evidence for the purposes of
investigation and prosecution or trial according to the method regulated in
the Criminal Procedure Code. Detention is the placement of a suspect or
defendant in a certain place by an investigator or public prosecutor or judge
with his or her determination, in the terms and according to the method
regulated in this law. A search is an investigator’s action permitted by law
to enter and carry out an inspection of a person’s residence or to inspect a
person’s body and clothing. Meanwhile, confiscation is a series of actions by
investigators to take over and/or keep under their control movable or
immovable, tangible or intangible objects for evidentiary purposes in
investigations, prosecutions and trials.
Keywords: arrest, detention, search, confiscation.

PENDAHULUAN
Penegakkan hukum pidana mendasari pada aturan hukum formil yaitu
UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
selanjutnya disebut KUHAP, menjelaskan teknis prosedur beracara aparat
penegak hukum (Polisi, KPK, Jaksa, Hakim, Advokat) ketika hendak
menerapkan aturan hukum materiil dalam proses penegakkan hukum pidana.
Sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan penegakkan hukum yang
berkeadilan dan berdasar pada nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system). Diperlukan
koordinasi antar instansi (Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Kehakiman)
bersinergi dan mengesampingkan ego sektoral dalam rangka mewujudkan
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sebagai tujuan dari penegakkan hukum
yang terpadu.
Hukum pembuktian merupakan entrypoint dalam proses penegakkan
hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) untuk meyakinkan majelis hakim dalam mejatuhkan
vonis bersalah, bebas, atau lepas dari tuntutan pidana (vide:pasal 191
KUHAP). Menurut Eddy Os. Hiariej, hukum pembuktian adalah ketentuan-
ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara
mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di
pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian.
Setiap upaya paksa selalu berpotensi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia, oleh karenanya berdasarkan sistem peradilan pidana dianut asas
Hukum Acara Pidana | 3

praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang diadopsi berdasar


prinsip due process of law (Magna Charta), untuk mencegah atau
meminimalisir adanya pelanggaran hak asasi manusia selama proses
peradilan pidana. Dinamika perkembangan masyarakat tidak dapat diimbangi
dengan perubahan aturan (hukum positif) secara berimbang, sehingga
terkesan aturan hukum positif tidak mampu mengakomodir kepentingan
masyarakat atau subjek hukum yang seharusnya dilindungi.

METODOLOGI
Pada penulisan jurnal penelitian ini, penulis menggunakan metode
kualitatif. Studi pustaka (Study research) yang mana mencari dari beberapa
sumber seperti buku atau majalah, jurnal, makalah, berita dan sumber-
sumber lain yang berkaitan dengan materi ini.

PEMBAHASAN
1. PENANGKAPAN
Secara umum, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
dan penuntutan atau peradilan yang menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Lebih detail, KUHAP mendefinisikan penangkapan dalam
Pasal 1 butir 20, berbunyi:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidik atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur mengenai
penangkapan terdapat pada Pasal 1 butir 19 dan butir 20, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19. Dalam Pasal 16 KUHAP, untuk
melakukan penangkapan guna penyelidikan, seorang penyelidik
berwenang melakukan penangkapan dengan terlebih dahulu ada
perintah dari penyidik, termasuk juga perintah dari penyidik
pembantu1. Penyelidik hanya dapat melakukan penangkapan terhadap
seseorang yang diduga keras terlibat dalam suatu tindak pidana yang
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Pelaku pelanggaran

1
Fauziah Lubis, Op.Cit., h. 48.
Hukum Acara Pidana | 4

tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali telah dipanggil secara sah


sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa
alasan yang sah (Pasal 19 ayat (2) KUHAP).
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa (Pasal 18 ayat (1) KUHAP)2.
A. Alasan Dasar Hukum Penangkapan
Menurut Pasal 17 KUHAP, bahwa seseorang dapat ditangkap
atau perintah penangkapan, apabila terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup3. Demikian pula menurut Pasal 19 ayat (2)
KUHAP, bahwa “terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak
diadakan penangkapan, kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara
sah dua kali berturut-turut dan tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah”.
B. Persyaratan Penangkapan
Untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang
terhadap tersangka atau terdakwa, maka pelaksanaan penangkapan
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur KUHAP,
sebagai berikut4:
a) Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan / peradilan (Pasal 1 butir 20 KUHAP).
b) Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, baru dilakukan apabila penyidik
telah memiliki alat bukti permulaan yang cukup (Pasal 1 butir
20 jo. 17 KUHAP).
c) Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah
penangkapan (model serse: A-5) yang ditanda tangani oleh
kepala kesatuan / instansi (Kapolwil, Kapolres atau Kapolsek)
selaku penyidik (Pasal 1 angkat 60 jo. Pasal 16 ayat (2));

2
Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana, Medan: Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1995, h. 36
3
Penjelasan: yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga
adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-
betul melakukan tindak pidana.
4
Fauziah Lubis, Loc.Cit., h. 48-49.
Hukum Acara Pidana | 5

apabila yang melaksanakan penangkapan adan penyidik /


penyidik pembantu, maka petugasnya cukup memberikan 1
(satu) lembar kepada tersangka dan 1 (satu) lembar kepada
keluarga tersangka (Pasal 18 KUHAP).
d) Surat perintah penangkapan yang berisi:
1. Pertimbangan dan dasar hukum tindakan penangkapan.
2. Nama-nama petugas, pangkat, NKP jabatan.
3. Identitas tersangka.
4. Uraian singkat tentang tindak pidana.
5. Tempat / kantor di mana tersangka diperiksa.
6. Jangka waktu berlaku surat perintah penangkapan.
e) Setiap kali selesai melaksanakan SPRIN Penangkapan petugas
pelaksana membuat Berita Acara Penangkapan (model serse:
A.11.03, Pasal 75 KUHAP).

2. PENAHANAN
Maksud penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP:
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas menyatakan bahwa
semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk
melakukan penahanan, begitu juga terkait dengan keseragaman istilah
yang digunakan di dalam KUHAP yaitu tindakan penahanan. Berbeda
dengan HIR yang membedakan dan mencampur-adukan antara
penangkapan, penahanan sementara dan tahanan sementara, yang
dalam peristilah Belanda disebut dengan de verdachte aan te houden
(Pasal 60 ayat (1) HIR) yang berarti “menangkap tersangka”, dan
untuk menahan sementara digunakan istilah voorlopige aan houding
(Pasal 62 ayat (1) HIR), serta untuk perintah penahanan yang
dimaksud Pasal 83 HIR digunakan istilah zijin gevangen houding
bevele5.
Di dalam KUHAP semua disederhanakan, termasuk istilah
“penahanan”, yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi

5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h. 164.
Hukum Acara Pidana | 6

penegak hukum dan masing-masing mempunyai batas waktu yang


ditentukan secara “limitatif”. Penetapan waktu yang sangat terbatas ini
merupakan angin segar dalam dunia penegakkan hukum di Indonesia.
Dengan adanya pembatasan waktu penahanan tersebut menciptakan
tegaknya kepastian hukum dalam tindakan penahanan yang jauh
berbeda dari HIR. Pada masa HIR, Ketua Pengadilan Negeri
mempunyai keleluasaan untuk memberi perpanjangan penahanan tanpa
batas, sehingga sering terjadi perpanjahan tahanan yang lebih dari satu
atau dua tahun6.
A. Dasar Penahanan
Unsur yang menjadi landasan dasar penahanan, sebagai berikut7:
1) Landasan Dasar atau Unsur Yuridis
Unsur yuridis ini memberikan batasan yang menentukan
terhadap pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana saja yang
dapat dilakukan tindakan penahanan, karena tidak semua
tindak pidana dapat dilakukan penahanan terhadap tersangka
atau terdakwa. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP: “penahanan hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana
dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak
pidana”. Unsur yuridis yang harus terpenuhi dalam melakukan
tindakan penahanan, yaitu:
Yang diancam dengan pidana penjara “lima tahun atau
lebih”. Pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun ke
atas yang diperbolehkan dilakukan penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa. Jika ancaman hukuman yang
tercantum dalam pasal tindak pidana yang dilanggar di bawah 5
(lima) tahun, secara objektif tersangka atau terdakwa tidak
boleh dikenakan penahanan, misalnya kejahatan terhadap
nyawa orang lain dalam Bab XIX KUHP, mulai dari Pasal 338
dan seterusnya tindak pidana yang dilanggar di bawah 5 (lima)
tahun, secara objektif tersangka atau terdakwa tidak boleh
dikenakan penahanan, misalnya kejahatan terhadap nyawa
orang lain dalam Bab XIX KUHP, mulai dari Pasal 338 dan
seterusnya.

6
Ibid., h. 165.
7
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 166-167.
Hukum Acara Pidana | 7

3. PENGGELEDAHAN
A. Penegertian

Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-


undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat
kediaman seorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan
dan pakaian seorang. Bahkan tidak hanya melakukan pemeriksaan, tapi
bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan8. Hal
ini sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 32 Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan
rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut
tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Mengenai
penggeledahan hal ini diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 pasal 32
sampai 37.

B. Waktu Penggeladahan

Penggeledahan yang baik dan tepat adalah apabila penggeledahan


dilakukan disiang hari,hal ini disebabkan pada siang hari anak-anak
tersangka sedang berada di sekolah dan tetangga pun sibuk diluar
rumah, kecuali dalam hal-hal tertentu. Sama-sama kita ketahui bahwa
penggeledahan menimbulkan akibat yang luas terhadap kehidupan
pribadi dan mengundang perhatian masyarakat, maka waktu
penggeledahan harus dipilih dengan tepat. Sementara itu
penggeledahan pada malam hari adalah saat yang tidak tepat dan tidak
baik, karena penggeledahan pada tengah malam akan menimbulkan
ketakutan dan kekagetan yang sangat trauma bagi anak-anak, itu
sebabnya berdasarkan Stbl 1865, pasal 3, melarang penggeledahan
rumah dilakukan pada malam hari.

C. Penggeladahan Rumah Kediaman

Membicarakan penggeledahan rumah tempat kediaman, dapat


dibedakan sifatnya. Pertama bersifat biasa atau dalam keadaan normal,
kedua bersifat atau dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.9

 Penggeladahan Biasa

8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi
kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 249
9
Andi Hamzah, Jur Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Hukum Acara Pidana | 8

Penggeledahan biasa diatur dalam pasal 33 KUHAP. Tata


cara penggeledahan yang diatur dalam pasal 1 ayat 17
KUHAP. Tata cara penggeledahan dalam hal biasa: harus
ada surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat petugas
Kepolisian membawa dan memperlihatkan surat tugas
setiap penggeledahan rumah tempat kediaman harus ada
pendamping.

 Penggeledahan dalam keadaan mendesak

Hal ini diatur dalam pasal 34 KUHAP yang menegaskan:


dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana
penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
lebih dulu mendapat surat izin ketua Pengadilan Negeri,
penyidik dapat langsung bertindak mengadakan
penggeledahan. Tata cara penggeledahan dalam keadaan
mendesak : Penggeledahan dapat langsung dilaksanakan
tanpa terlebih dahulu ada izin ketua Pengadilan Negeri.

 Larangan memasuki tempat tertentu

Pembuat undang-undang telah memberikan penghormatan


yang tinggi dan mulia kepada beberapa lokasi, selama
lokasi tersebut masih berlangsung. Kecuali dalam hal
tertangkap tangan, adapun tempat pengecualian tersebut
adalah; Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR,
DPR, atau DPD, tempat yang sedang berlangsung ibadah
atau upacara keagamaan, dan ruang yang dimana sedang
berlangsung sidang pengadilan.

 Penggeledahan diluar daerah hukum

Dalam hal ini penyidik memperkirakan alternatif terbaik


yang harus ditempuh, ditinjau dari efektivitas dan efisiensi
penyidik yang bersangkutan kurang memahami seluk beluk
daerah lain tampak dimana penggeledahan akan dilakukan,
demikian juga halnya mengenai efisiensi, untuk apa harus
membuang tenaga biaya dan waktu jika penggeledahan
dapat dilimpahkan atau didelegasikan kepada penyidik yang
ada di daerah tersebut. Dalam Pasal 36 KUHAP disebutkan;
Hukum Acara Pidana | 9

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah


di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi
ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan
tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan
didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana
penggeledahan itu dilakukan.

 Penggeledahan Badan

Mengenai penggeledahan badan dijelaskan pada ayat 1


angka 18 KUHAP yang berbunyi “Penggeledahan badan
adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan
badan dan pakaian tersangka untuk mencari benda yang
diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk
disita.

Selanjutnya, penjelasan pasal 37 mengutarakan lagi,


penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita
dilakukan oleh pejabat wanita.Jangkauan Penggeledahan Badan:

Untuk mengetahui sejauh mana penggeledahan badan, harus


menggabungkan pasal 1 butir 18 dengan penjelasan pasal 37.

Pasal 1 butir 18 dijelaskan, penggeledahan badan meliputi pemeriksaan


badan atau pakaian tersangka. Pada penjelasan pasal 37 disebutkan,
penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan.

Dengan pengembangan pasal 1 butir 18 dengan penjelasan pasal 37


dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan penggeledahan badan
adalah meliputi seluruh bagian badan luar dan dalam, meliputi bagian
luar badan dan pakaian serta serta juga bagian dalam ,termasuk seluruh
anggota badan.

4. PENYITAAN
Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan,
dan pengadilan10.
Adapun pihak yang berwenang melakukan penyitaan adalah

10
Hma Kuffal, S.H. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 2007:47
Hukum Acara Pidana | 10

penyidik. Bentuk-bentuk penyitaan dapat dibagi menjadi 3 yaitu11:


a. Penyitaan biasa atau umum;
Tata Caranya harus ada surat izin penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri memperlihatkan atau menunjukkan Tanda
Pengenal (Pasal 128), memperlihatkan benda yang akan disita
(Pasal 129) penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus
disaksikan oleh Kepala Desa dan ketua lingkungan dan dua
orang saksi, membuat berita acara penyitaan, menyampaikan
turunan berita acara penyitaan, membungkus benda sitaan.
b. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak;
Cara Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak :
 Tanpa Surat izin Ketua Pengadilan Negeri
 Hanya terbatas pada benda bergerak saja
 Wajib segera melaporkan guna mendaptkan persetujuan
 Ketiga poin diatas diatur dalam Pasal 128 sampai 130.
c. Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan.
Penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan merupakan
pengecualian penyitaan benda biasa. Dalam keadaan tertangkap
tangan penyidik dapat langsung menyita benda atau alat.

Benda Sitaan atas Benda Terlarang


Benda terlarang seperti senjata api tanpa izin, bahan peledak,
bahan kimia tertentu dan lain-lain benda yang dilarang untuk
diedarkan, seperti Narkotika, buku atau majalah dan kaset porno,
uang palsu dan lain-lain.
Penyelesaian terhadap benda terlarang dan yang terlarang
diedarkan hanya dapat diselesaikan dengan dua cara saja :
 Benda tersebut dipergunakan untuk kepentingan
negara.
 Alternatif kedua atas benda terlarang atau benda yang
dilarang diedarkan untuk dimusnahkan.
Hukum Acara Pidana | 11

KESIMPULAN
 KUHAP mendefinisikan penangkapan dalam Pasal 1 butir 20,
berbunyi: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidik atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”. Ketentuan-ketentuan dalam
KUHAP yang mengatur mengenai penangkapan terdapat pada Pasal
1 butir 19 dan butir 20, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19.
Dalam Pasal 16 KUHAP, untuk melakukan penangkapan guna
penyelidikan, seorang penyelidik berwenang melakukan
penangkapan dengan terlebih dahulu ada perintah dari penyidik,
termasuk juga perintah dari penyidik pembantu.
 Maksud penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP: “Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan bahwa semua
instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan, begitu juga terkait dengan keseragaman istilah yang
digunakan di dalam KUHAP yaitu tindakan penahanan.
 Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-
undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat
kediaman seorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan
dan pakaian seorang. Bahkan tidak hanya melakukan pemeriksaan,
tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan
penyitaan.
 Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Hukum Acara Pidana | 12

REFERENSI

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Hma Kuffal, S.H. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 2007.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2014,

h. 164.

Rahmad Riadi Azra, 2019, Depok, Hukum Acara Pidana, Rajawali Pers.

Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana,

Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum

USU, 1995, h. 36

Suyanto, Maret 2018, Hukum Acara Pidana, Zifatama Jawara.

Anda mungkin juga menyukai