Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu: Ridwan Eko Prasetyo, SH.I, M,H
oleh
Raka Anugrah Pratama 1223030093
Riya Eka Prasetyaningrum 1223030101
Umar Syaifullah 1223030119
Virgiawan Fadhil 1223030120
Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syari’ah dan hukum UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung 2023
ABSTRAK:
Bentuk-bentuk upaya paksa dalam hukum acara pidana sesuai urutannya ada
4 yaitu; penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Secara
umum, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan penuntutan atau
peradilan yang menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penggeledahan adalah tindakan
penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan
pemeriksaan dirumah tempat kediaman seorang atau untuk melakukan
pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seorang. Sedangkan penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Kata Kunci : penangkapan, penahanan, penggeladahan, penyitaan.
Hukum Acara Pidana | 2
ABSTRACT:
There are 4 forms of coercive measures in criminal procedural law, namely;
arrest, detention, search and confiscation. In general, arrest is an
investigator’s action in the form of temporary restraint on the freedom of a
suspect or defendant if there is sufficient evidence for the purposes of
investigation and prosecution or trial according to the method regulated in
the Criminal Procedure Code. Detention is the placement of a suspect or
defendant in a certain place by an investigator or public prosecutor or judge
with his or her determination, in the terms and according to the method
regulated in this law. A search is an investigator’s action permitted by law
to enter and carry out an inspection of a person’s residence or to inspect a
person’s body and clothing. Meanwhile, confiscation is a series of actions by
investigators to take over and/or keep under their control movable or
immovable, tangible or intangible objects for evidentiary purposes in
investigations, prosecutions and trials.
Keywords: arrest, detention, search, confiscation.
PENDAHULUAN
Penegakkan hukum pidana mendasari pada aturan hukum formil yaitu
UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
selanjutnya disebut KUHAP, menjelaskan teknis prosedur beracara aparat
penegak hukum (Polisi, KPK, Jaksa, Hakim, Advokat) ketika hendak
menerapkan aturan hukum materiil dalam proses penegakkan hukum pidana.
Sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan penegakkan hukum yang
berkeadilan dan berdasar pada nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system). Diperlukan
koordinasi antar instansi (Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Kehakiman)
bersinergi dan mengesampingkan ego sektoral dalam rangka mewujudkan
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sebagai tujuan dari penegakkan hukum
yang terpadu.
Hukum pembuktian merupakan entrypoint dalam proses penegakkan
hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) untuk meyakinkan majelis hakim dalam mejatuhkan
vonis bersalah, bebas, atau lepas dari tuntutan pidana (vide:pasal 191
KUHAP). Menurut Eddy Os. Hiariej, hukum pembuktian adalah ketentuan-
ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara
mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di
pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian.
Setiap upaya paksa selalu berpotensi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia, oleh karenanya berdasarkan sistem peradilan pidana dianut asas
Hukum Acara Pidana | 3
METODOLOGI
Pada penulisan jurnal penelitian ini, penulis menggunakan metode
kualitatif. Studi pustaka (Study research) yang mana mencari dari beberapa
sumber seperti buku atau majalah, jurnal, makalah, berita dan sumber-
sumber lain yang berkaitan dengan materi ini.
PEMBAHASAN
1. PENANGKAPAN
Secara umum, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
dan penuntutan atau peradilan yang menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Lebih detail, KUHAP mendefinisikan penangkapan dalam
Pasal 1 butir 20, berbunyi:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidik atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur mengenai
penangkapan terdapat pada Pasal 1 butir 19 dan butir 20, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19. Dalam Pasal 16 KUHAP, untuk
melakukan penangkapan guna penyelidikan, seorang penyelidik
berwenang melakukan penangkapan dengan terlebih dahulu ada
perintah dari penyidik, termasuk juga perintah dari penyidik
pembantu1. Penyelidik hanya dapat melakukan penangkapan terhadap
seseorang yang diduga keras terlibat dalam suatu tindak pidana yang
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Pelaku pelanggaran
1
Fauziah Lubis, Op.Cit., h. 48.
Hukum Acara Pidana | 4
2
Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana, Medan: Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1995, h. 36
3
Penjelasan: yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga
adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menentukan bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-
betul melakukan tindak pidana.
4
Fauziah Lubis, Loc.Cit., h. 48-49.
Hukum Acara Pidana | 5
2. PENAHANAN
Maksud penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP:
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas menyatakan bahwa
semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk
melakukan penahanan, begitu juga terkait dengan keseragaman istilah
yang digunakan di dalam KUHAP yaitu tindakan penahanan. Berbeda
dengan HIR yang membedakan dan mencampur-adukan antara
penangkapan, penahanan sementara dan tahanan sementara, yang
dalam peristilah Belanda disebut dengan de verdachte aan te houden
(Pasal 60 ayat (1) HIR) yang berarti “menangkap tersangka”, dan
untuk menahan sementara digunakan istilah voorlopige aan houding
(Pasal 62 ayat (1) HIR), serta untuk perintah penahanan yang
dimaksud Pasal 83 HIR digunakan istilah zijin gevangen houding
bevele5.
Di dalam KUHAP semua disederhanakan, termasuk istilah
“penahanan”, yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi
5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h. 164.
Hukum Acara Pidana | 6
6
Ibid., h. 165.
7
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 166-167.
Hukum Acara Pidana | 7
3. PENGGELEDAHAN
A. Penegertian
B. Waktu Penggeladahan
Penggeladahan Biasa
8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi
kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 249
9
Andi Hamzah, Jur Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Hukum Acara Pidana | 8
Penggeledahan Badan
4. PENYITAAN
Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan,
dan pengadilan10.
Adapun pihak yang berwenang melakukan penyitaan adalah
10
Hma Kuffal, S.H. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 2007:47
Hukum Acara Pidana | 10
KESIMPULAN
KUHAP mendefinisikan penangkapan dalam Pasal 1 butir 20,
berbunyi: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidik atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”. Ketentuan-ketentuan dalam
KUHAP yang mengatur mengenai penangkapan terdapat pada Pasal
1 butir 19 dan butir 20, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19.
Dalam Pasal 16 KUHAP, untuk melakukan penangkapan guna
penyelidikan, seorang penyelidik berwenang melakukan
penangkapan dengan terlebih dahulu ada perintah dari penyidik,
termasuk juga perintah dari penyidik pembantu.
Maksud penahanan menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP: “Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan bahwa semua
instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan, begitu juga terkait dengan keseragaman istilah yang
digunakan di dalam KUHAP yaitu tindakan penahanan.
Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-
undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat
kediaman seorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan
dan pakaian seorang. Bahkan tidak hanya melakukan pemeriksaan,
tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan
penyitaan.
Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Hukum Acara Pidana | 12
REFERENSI
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Hma Kuffal, S.H. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 2007.
h. 164.
Rahmad Riadi Azra, 2019, Depok, Hukum Acara Pidana, Rajawali Pers.
USU, 1995, h. 36