Anda di halaman 1dari 13

"TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP KUHAP

DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA"

(STUDI KRITIS KASUS PENEMBAKAN

TERHADAP 6 ANGGOTA LASKAR FPI)

Oleh :

1. Banu Adi Mahendra

2. Purwanto

3. Septian Dwi Prakoso

4. Muhammad Arif Nurahman

5. Muhammad Bahrul Ulum

Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Janabadra Yogyakarta

2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai ketentuan KUHAP Pasal 7 ayat (1) huruf j mengenai wewenang

penyidik yang berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab”, yang dimaksud “tindakan lain” sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf

a angka 4 adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan

syarat :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan

jabatan;

c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;

e. menghormati hak asasi manusia.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

KUHAP.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

2
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang

melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana

itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang

yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang

diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang

menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu

melakukan tindak pidana itu.

Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,

dilakukan dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan

tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik

pembantu yang terdekat. (Pasal 18 ayat 2).

Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang memegang

peranan penting dalam Negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum

serta memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya dibidang penegakan

hukum harus berpedoman pada Hukum Acara yang berlaku yaitu UU No 8 Tahun

1981 atau lebih dikenal dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana) sebagai hukum pidana materiil.

Dalam insiden ini, berdasarkan Penelusuran Komnas HAM menemukan

terjadi kejar-mengejar, saling serempet dan seruduk, kemudian berujung saling

3
serang dan kontak tembak antara mobil laskar khusus FPI dan mobil petugas.

Insiden ini terjadi di sepanjang Jalan Internasional Karawang Barat dan diduga

hingga kilometer 49 ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek.

Berdasarkan insiden tersebut, dimana terjadi peristiwa saling serang yang

menggunakan senjata api, anggota Polri dalam melakukan tindakannya harus

mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku yaitu dalam Peraturan Kapolri

No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

sesuai Pasal 8 ayat (1) yaitu penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila:

a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan

luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;

b. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal

untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka

tersebut;

c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang

merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk

menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sesuai dengan Pasal 8

ayat (2) Perkapolri No 1 Tahun 2009.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Perspektif KUHAP terhadap tindakan penangkapan dan penembakan

oleh Aparat dalam perkara pidana?

4
C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum

normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan

sekunder belaka. Penelitian Yuridis Normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu

studi kepustakaan karena yang diteliti serta dikaji adalah pasal-pasal dan proses

penerapan pasal terkait dengan tindakan aparat terhadap penembakan 6 anggota

laskar FPI dalam penanganan kasus tindak pidana, serta literatur-literatur yang

berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Metode pendekatan yang

digunakan ialah metode Statute aprroach atau pendekatan undang-undang yakni

pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif KUHAP terhadap Tindakan Penangkapan dan Penembakan

oleh Aparat dalam Perkara Pidana

Sebagaimana kita telah mengetahui, penegakan hukum merupakan salah

satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam

masyarakat,baik itu meruapakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atas

penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, baik secara preventif maupun

represif. Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau

setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari seiapakah pelaku yang

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

melakukan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.1

Pada pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, mendefinisikan penagngakap

sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hasl serta menurut cara yang

diatur dalam KUHAP.2

1
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, 1982.
2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 1 angka 20.
6
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penangkapan.

Pertama, pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan.

KUHAP hanya memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan

penangkapan. Tapi untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dapat

memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat (1)

KUHAP). Jadi, kewenangan penyelidik untuk melakukan penangkapan hanya

dalam tahap penyelidikan dan itu atas perintah penyidik. Jika tidak ada perintah

oleh penyidik, penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan.

Kedua, alasan penangkapan. Berdasarkan definisi penangkapan di atas,

penangkapan diperbolehkan jika memang ‘terdapat cukup bukti’. Dengan

mengacu kepada Pasal 17 KUHAP, frase ini dimaknai sebagai ‘seseorang yang

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup’.

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu, sehingga

dalam praktik hal itu diserahkan sepenuhnya kepada penyidik. Maka, perlu ada

definisi yang tegas mengenai makna bukti permulaan yang cukup, misalnya

penangkapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah

penyidik jika didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur

dalam Pasal 184 KUHAP. Alasannya, selain meminimalisir penggunaan

subjektifitas penyidik atau penyelidik dalam melakukan penangkapan, juga agar

penangkapan yang dilakukan penyidik tetap memperhatikan dan menghormati hak

asasi manusia tersangka/terdakwa.

Ketiga, tata cara penangkapan. Penyidik atau penyelidik yang melakukan

penangkapan memperlihatkan surat tugas, memberikan kepada tersangka surat

7
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan

alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan

serta tempat ia diperiksa. Jika tertangkap tangan, surat perintah penangkapan tidak

diperlukan. Tapi, penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang

bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18).

Jika dikaitkan dengan kasus yang penulis bahas, yaitu mengenai

penangkapan sekaligus penembakan terhadap 6 (enam) orang anggota Front

Pembela Islam (FPI) yang terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Dalam

insiden yang dilatarbelakangi adanya kegiatan pembuntutan tehadap Imam Besar

FPI Habib Rizieq Shihab yang secara aktif dialkukan oleh kepolisian Polda Metro

Jaya sejak 6-7 Desember 2020. Didapatkan fakta telah terjadi kejar-mengejar, dan

aksi saling tempel, dan serempat dan seruruk yang berujung saling serang dan

kontak tembak antara mobil Laskar Khusus FPI (Chevrolet Spin), dengan mobil

petugas pembuntutan. Terdapat 6 (enam) orang anggota Laskar Front Pemebela

Islam (FPI) di eksekusi mati oleh aparat polisi. Pada kasus ini terduga pelaku

belum dapat dikatakan sebagai tersangka tindak pidana, dikarenakan belum

adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwasanya terduga pelaku sebagai

terdakwa tindak pidana dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.

Pada kaitan kasus ini penangkapan sekaligus penembakan yang dilakukan

oleh anggota polri tidak sesuai dengan KUHAP yang berlaku. Disebut dalam

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi : “Setiap orang

yang disangka a, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang

8
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Hal ini jelas

dapat dikatakan bahwa tindakan aparat kepolisian dalam melakukan penembakan

pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tidak dapat dibenarkan, karena

bertentangan dengan Pasal 3c Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, mengenai

asas proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus

dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan

atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/

korban/penderitaan yang berlebihan. Berdasar sudut pandang HAM, tentu tidak

salah apabila perbuatan itu diklaim sebagai tindakan melanggar HAM.

B. Pertanggungjawaban Aparat Kepolisian yang Menyalahi Prosedur dalam

Melakukan Penembakan terhadap Pelaku yang Diduga Melakukan Tindak

Pidana

Ada dua alasan yang sering dijadikan alasan pembenar oleh aparat

kepolisian setelah menembak mati tersangka ketika akan melakukan penangkapan

terhadap tersangka. Pertama, polisi berdalih bahwa tersangka melarikan diri, dan

kedua, tersangka melawan petugas ketika hendak ditangkap. Kedua informasi dan

alasan diatas hanya diperoleh secara sepihak dari petugas aparat kepolisian, tapi

bisakah dipertanyakan lebih lanjut ketika alasan yang dikemukakan itu adalah

dikarenakan tersangka melawan petugas, memakai apakah tersangka melakukan

perlawanan? Alangkah tidak adilnya ketika tersangka melakukan perlawanan

9
hanya dengan tangan kosong, lalu petugas melawan dengan menembakkan timah

panas dari pistolnya.

Di sisi lain dirasa tidak adil, walaupun dengan alasan tersangka melawan

petugas, dibalas dengan tembakan yang mematikan. Seseorang memiliki hak atas

kebebasan, hak hidup dan hak-hak lainnya yang dijamin oleh HAM, lalu

bagaimana apabila aparat kepolisian dalam melakukan tugasnya menggunakan

kekuatan sehingga mengakibatkan luka-luka hingga kematian, perlu ditanyakan

kembali dimana HAM seseorang itu. Padahal HAM sendiri adalah hak kodrati

yang dimiliki oleh seseorang dibawa sejak lahir.

Pertanggungjawaban aparat kepolisian yang melakukan kesalahan dalam

menjalankan tugas dan fungsi jabatannya yakni yang melampaui batas

wewenangnya, tidak mengindahkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh

undang-undang, merugikan orang lain atau pihak-pihak, tidak sesuai dengan

kebijaksanaan sosial, kriminal dan atau pimpinan, diskriminatif, kasar dan

sewenang-wenang serta dilakukan dengan maksud untuk kepentingan diri atau

kelompoknya dan bila tidak ada alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban.

Sehingga setiap anggota kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan seperti

diatas layak untuk mendapatkan hukuman. Kepada aparat penegak hukum yang

menyalahi prosedur hingga timbul korban dalam melakukan

tembakan/penembakan terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana

dapat dijatuhi hukuman berupa tindakan hukum administratif, sanksi etik, maupun

juga sanksi pidana dan perdata.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan pada kaitan kasus

ini penangkapan sekaligus penembakan yang dilakukan oleh anggota polri tidak

sesuai dengan KUHAP yang berlaku. Disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan

umum butir 3c KUHAP yang berbunyi : “Setiap orang yang disangka a,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Hal ini jelas

dapat dikatakan bahwa tindakan aparat kepolisian dalam melakukan penembakan

pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tidak dapat dibenarkan, karena

bertentangan dengan Pasal 3c Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, mengenai

asas proporsionalitas.

B. Saran

Dari hasil pembahasan dan kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran

yang penulis rekomendasikan yakni sebagai berikut :

1. Penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman

yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak

menimbulkan kerugian/ korban/penderitaan yang berlebihan.

11
2. Kepada aparat penegak hukum yang menyalahi prosedur hingga timbul korban

dalam melakukan tembakan/penembakan terhadap pelaku yang diduga melakukan

tindak pidana layak untuk mendapatkan hukuman.

12
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Pers, komnasham.go.id, 2021.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Mahkamah

Agung Republik Indonesia, Jakarta.

Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Jakarta.

Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Presiden Republik Indonesia, Jakarta, 2002.

Republik Indonesia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia (HAM), Presiden Republik Indonesia, Jakarta, 2000.

Republik Indonesia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), Presiden Republik Indonesia, Jakarta,

1981.

13

Anda mungkin juga menyukai