Anda di halaman 1dari 71

125

BAB IV

ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK MILITER DALAM MELAKUKAN

PENYADAPAN DAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI PENYADAPAN

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA MILITER

A. Pengantar.

Dalam membahas suatu persoalan hukum yang ada diperlukan

adanya suatu keseimbangan antara keberadaan hukum yang sudah ada

dan berlaku didalam masyarakat tetapi juga harus melihat perkembangan

didalam masyarakat itu sendiri apakah hukum yang sudah diberlakukan

telah memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, serta perkembangan

situasi sosial yang berlaku dalam masyarakat dan tentunya

perkembangan jaman yang telah didominasi oleh teknologi dan

informatika. hal ini juga berlaku pada institusi TNI dimana anggota TNI

juga dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan jaman dan anggota

TNI juga tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di

Indonesia.

Pada pembahasan terkait analisis kewenangan penyidik militer dan

penggunaan alat bukti hasil penyadapan dalam sistem peradilan militer

125
126

serta tindakan penyadapan dalam rancangan hukum nasional kedepan,

Penulis membaginya menjadi 4 (empat) bagian yaitu pengantar, analisis

kewenangan penyidik militer dalam melakukan tindakan penyadapan,

analisis alat bukti penyadapan dalam sistem peradilan militer dan analisis

tindakan penyadapan dalam rancangan peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

B. Analisis Kewenangan Penyidik Militer Dalam Melakukan

Tindakan Penyadapan.

Melandasi asas specialitas (specialiteitbeginselen), bahwa pada

hakekatnya dalam menjalankan wewenangnya lembaga penegak hukum

harus berorientasi pada tujuan diberikannya wewenang. Wewenang

lembaga penegak hukum sendiri diperoleh secara atributif, yakni diatur

dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tindakan dalam

penegakan hukum melekat suatu tanggungjawab dan konsekuensi

hukum, artinya setiap tindakan yang dilakukan harus dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum.1

Hakekat wewenang yang diberikan kepada lembaga penegak

hukum adalah menjaga dan mengawal hukum agar tetap di taati dan di

patuhi oleh masyarakat termasuk aparat penegak hukum sendiri,

sehingga hukum akan berfungsi dan bekierja sesuai dengan cita-cita dan

tujuannya (rechsidee). Dengan demikian nilai-nilai yang ada dalam hukum

tetap terjaga untuk menuju tujuan dibentuknya hukum.


1
H. Sadjijono, Hukum antara Sollen dan Sein, (Surabaya: UBHARA, 2016), hlm.
48.
127

Di dalam KUHAP disebutkan mengenai penyidik yaitu: Penyidik

adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

untuk melakukan penyidikan.2 Dan didalam KUHAP dibedakan antara

penyidikan dengan penyelidikan yaitu:

1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang guna mencari

serta mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan bukti itu

sehingga membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangka.3

2. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.4

Jadi peyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri

terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu

cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan, yang mendahului

tindakan lain yaitu tindakan yang berupa penangkapan, penahanan,

pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian

dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Dengan

ditetapkannya Polri sebagai penyidik dan penyelidik utama maka penuntut

2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana, Pasal 1 Ke-1.
3
Ibid, Pasal 1 Ke-2.
4
Ibid, Pasal 1 ke-5.
128

umum tidak mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan dan

penyelidikan.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1997 Tentang Peradilan Militer disebutkan bahwa; yang dimaksud dengan

penyidik adalah: 5

(1) a. Atasan Yang Berhak Menghukum


b. Polisi Militer
c. Oditur MIliter

Kemudian pada ayat (2) menyatakan tentang penyidik pembantu


yaitu:
(2) a. Provos TNI Angkatan Darat
b. Provos TNI Angkatan Laut
c. Provos TNI Angkatan Udara

Apabila melihat dari bunyi Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah atasan yang berhak

menghukum adalah Komandan suatu kesatuan, maka tidak mungkin ia

melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana dikarenakan

banyak beban pekerjaan yang dilakukan oleh seorang komandan satuan ,

oleh karena itu demi efektifitas pelaksanaan kewenangan penyidikan dari

atasan yang berhak menghukum dan untuk membantu atasan yang

berhak menghukum untuk lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan

waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya, maka pelaksanaan

penyidikan tersebut dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur

Militer seperti yang dimaksud dalam pasal 74 butir a Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan MIliter, sedangkan wewenang

5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer., Pasal 69.
129

penyidik pembantu apabila ia melakukan penyidikan dibawah bimbingan

Polisi Militer atau Oditur Militer.

Penyidik militer adalah penyidik khusus untuk perkara-perkara

tindak pidana di lingkup peradilan militer. Menurut Pasal 9 angka 1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan MIliter, tindak pidana yang masuk dalam wewenang peradilan

militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada

waktu melakukan tindak pidana adalah:6

1. Prajurit;
2. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan
Prajurit;
3. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan
undang-undang;
4. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b,
dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Penyidik Militer dalam melakukan penyidikan terhadap suatu

peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang atau diduga sebagai tersangka, mempunyai wewenang: 7

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang


terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat dan ditempat
kejadian;
c. Mencari keterangan dan barang bukti;
d. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai
tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
e. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat-surat;

6
Ibid, Pasal 9 Angka 1
7
Ibid, Pasal 71.
130

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;


g. Memanggil seseorang untuk didengar dan di periksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.

Kewenangan penyidik militer secara khusus untuk melakukan

tindakan penyadapan terhadap tindak pidana psikotropika, korupsi,

terorisme, perdagangan orang, informasi dan teknologi dan pencucian

uang, diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999

Tentang Telekomunikasi, Pasal 42 yaitu:8

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan


informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan
jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan
atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana
tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan
pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.
131

Dalam Pasal 42 ayat (2) point b Undang-Undang diatas

menyatakan bahwa penyidik dapat meminta tindakan penyadapan

terhadap tindak pidana tertentu kepada penyelenggara jasa

telekomunikasi. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dan jelas

namun dalam pasal tersebut dapat di jadikan dasar bagi penyidik

militer untuk dapat melakukan tindakan penyadapan, itupun tidak

secara langsung melainkan dengan meminta bantuan kepada

penyelenggara jasa telekomunikasi. Tentunya hal ini dibutuhkan

suatu kerjasama antara penyidik militer dengan penyelenggara jasa

telekomunikasi dalam hal permintaan tindakan penyadapan dalam

mengungkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh militer. Hal

ini juga diperlukan penjelasan lebih lanjut dalam pasal diatas terkait

kewenangan penyidik militer dalam melakukan tindakan

penyadapan dan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana

khusus saja sehingga hal ini harus dapat dijabarkan lebih lanjut.

2. Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dimana dalam penjelasannya disebutkan:

“Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang


untuk melakukan penyadapan (wiretapping).”

Dalam ketentuan undang-undang ini disebutkan secara

tegas bahwa penyidik dapat melakukan tindakan penyadapan

berkaitan dengan tindak pidana korupsi tidak disebutkan secara

spesifik penyidik mana yang dimaksud, sehingga penulis


132

berpendapat bahwa penyidik militer dapat melakukan tindakan

penyadapan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

seseorang militer.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, pasal 31 menyebutkan

bahwa Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berhak

melakukan tindakan penyadapan melalui telepon atau alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,

merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme. Dan

tindakan penyadapan tersebut hanya dapat dilakukan atas perintah

Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)

tahun. Dan hasil dari tindakan penyadapan tersebut harus

dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.9

Dalam ketentuan undang-undang ini penulis berpendapat

bahwa penyidik militer mempunyai kewenangan untuk melakukan

tindakan penyadapan terhadap seorang militer yang diduga

melakukan tindak pidana terorisme. Namun adanya persyaratan

adanya surat perintah dari ketua pengadilan negeri membuat suatu

kerancuan hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kewenangan

pengadilan dimana penyidik militer tunduk pada peradilan militer

9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Pasal 31.
133

sesuai yang di atur dalam Undang – Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hal senada juga di

ungkapkan oleh Kolonel Chk Tiarsen Buaton yang menyatakan

bahwa sejak peralihan organisasi, administrasi, dan finansial

peradilan militer, pembinaan personel di lingkungan peradilan

militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang mengatur personel militer, kecuali pegawai negeri sipil di

lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil

pada Mahkamah Agung. 10

Namun demikian hal tersebut diatas tidak perlu di

permasalahkan dikarenakan tiap-tiap badan peradilan sesuai

dengan kekuasaan kahakiman masih di bawah lembaga yang

sama yaitu Mahkamah Agung sehingga hanya diperlukan suatu

kerjasama yang baik saja diantara lembaga peradilan tersebut.

4. Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21

Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

disebutkan bahwa dengan bukti permulaan yang cukup, penyidik

berwenang melakukan tindakan penyadapan telepon atau alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,

merencanakan dan melakukan tindak pidana perdagangan orang

atas ijin dari Ketua Pengadilan dengan jangka waktu paling lama 1

10
Tiarsen Buaton, Peradilan Militer Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,
(Jakarta: Sari Ilmu Pratama, 2012), hlm. 11.
134

(satu) tahun.11 Dalam ketentuan undang-undang ini penulis

berpendapat bahwa penyidik militer dapat melakukan tindakan

penyadapan terhadap militer yang diduga melakukan tindak pidana

perdagangan orang, hal ini dikarenakan dalam undang-undang ini

tidak disebutkan secara limitatif penyidik mana yang di tunjuk

sehingga dapat dikatakan penyidik mana saja sesuai undang-

undang dapat melakukan tindakan penyadapan terhadap tindak

pidana perdagangan orang, dan walaupun dipersyaratkan harus

ada ijin dari pengadilan juga tidak disebutkan pengadilan mana

yang bisa mengeluarkan ijin untuk melakukan tindakan

penyadapan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan militer

dapat mengeluarkan ijin melakukan tindakan penyadapan untuk

dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan

oleh militer.

5. Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronika disebutkan bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan

dapat dilakukan atau diijinkan dalam rangka penegakan hukum

atas permintaan kepolisian, kejaksaan atau institusi lainnya yang

ditetapkan oleh undang-undang.12

11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Pasal 31.
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronika, Pasal 31.
135

Dalam ketentuan pasal undang-undang ini juga dapat

dijadikan dasar dari penyidik militer dalam melakukan tindakan

penyadapan terhadap militer yang diduga melakukan suatu tindak

pidana karena didalam undang-undang ini disebutkan bahwa dapat

dilakukan tindakan penyadapan dalam rangka penegakan hukum

oleh kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lain

yang ditetapkan oleh undang-undang, tentunya penyidik militer

disini termasuk dalam substansi penegak hukum lain yang

ditentukan sesuai undang-undang. Namun tentunya tindakan

penyadapan oleh penyidik militer tidak dapat langsung di lakukan

tetapi harus melalui badan yang di tunjuk sesuai dengan yang

termaktub dalam peraturan menteri komunikasi dan informasi

nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 tanggal 22 februari 2006

tentang teknis penyadapan terhadap informasi.

Dari 5 (lima) ketentuan undang-undang yang menyatakan

kewenangan penyidik militer dalam melakukan tindakan penyadapan

hanya ada 2 (dua) ketentuan saja yaitu penjelasan Pasal 26 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika yang

menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa tindakan intersepsi atau

penyadapan dapat dilakukan atau diijinkan dalam rangka penegakan


136

hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan atau institusi lainnya yang

ditetapkan oleh undang-undang, hal ini merupakan suatu dasar bagi

penyidik militer untuk dapat melakukan tindakan penyadapan terhadap

militer yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tentunya dalam

melakukan tindakan penyadapan tersebut penyidik militer harus

berpedoman dengan Peraturan Menkominfo Nomor

11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang teknis penyadapan terhadap

informasi, dimana dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa

penyadapan informasi didefinisikan sebagai kegiatan atau proses

mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara memasang alat atau

perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan

orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut, sedangkan

penyadapan informasi secara sah (lawful interception) adalah kegiatan

penyadapan informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk

kepentingan penegakan hukum yang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan

ke Pusat Pemantauan (Monitoring Center) milik aparat penegak hukum,

hal ini dikarenakan penyidik militer dalam hal ini polisi militer belum

memiliki peraturan tersendiri yang mengatur mengenai tata cara tindakan

penyadapan tersebut.

Kolonel Chk S. Santosa, S.H, M.H menyatakan bahwa penyidik

militer mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan penyadapan,

hal ini di atur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur


137

tentang kewenangan melakukan penyadapan oleh penyidik dan penyidik

militer termasuk kategori di dalamnya. Penyidik militer sendiri sesuai

undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer ada tiga

yaitu; ankum, oditur dan polisi militer, di sisi lain polisi militer selaku

penyidik utama tidak memiliki peralatan untuk melakukan penyadapan.

Penyidik militer dapat meminta tindakan penyadakan terhadap instansi

yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan

penyadapan. Di institusi TNI sendiri sudah memiliki teknologi dalam

melakukan tindakan penyadapan yang ada di staf pengamanan, namun di

gunakan untuk kepentingan yang lebih besar dalam hal ini kepentingan

TNI. Kalaupun kewenangan tindakan penyadapan di berikan kepada

penyidik militer maka hanya akan menambah beban kerja penyidik militer,

sedangkan pembuktian tindak pidana khusus selama ini dapat dilakukan

tanpa perlu di lakukan suatu tindakan penyadapan 13

Mayor Cpm Irianto, S.H. menyatakan bahwa penyidik militer sendiri

dalam hal ini polisi militer adalah penyidik pasif yang artinya bahwa

penyidik menunggu adanya laporan adanya dugaan tindak pidana yang

dilakukan oleh militer maka di lakukan tindakan penyelidikan dan

penyidikan. Polisi militer selaku penyidik militer memiliki kewenangan

untuk melakukan tindakan penyadapan dalam hal penegakan hukum

sesuai yang di atur dalam peraturan perundang-undangan namun sampai

sekarang polisi militer tidak memiliki alat untuk melakukan tindakan

13
Hasil wawancara dengan Kolonel Chk S. Santosa, S.H, M.H selaku Kepala
Oditur Milter II-08 Jakarta pada tanggal 7 Juli 2017 pukul 11.15 WIB
138

penyadapan sehingga apabila ada dugaan tindak pidana yang perlu di

lakukan untuk melakukan tindakan penyadapan akan berkoordinasi

dengan instansi yang memiliki alat penyadapan dan di tunjuk sesuai

peraturan perundang-undangan. Contohnya berkaitan dengan tindak

pidana korupsi apabila ada militer yang di duga melakukan tindak pidana

korupsi hasil penyadapan dari KPK, maka KPK akan mengirimkan

informasi ke polisi militer dan akan di tindak lanjuti oleh polisi milter

dengan meminta hasil penyadapan tersebut sebagai petunjuk dalam

melakukan penyelidikan dan penyidikan.14

Kegiatan penyadapan secara sah (Lawful Interception) oleh

penyidik militer perlu dilakukan tentunya ini berkaitan dengan keabsahan

alat bukti dari tindakan penyadapan yang akan digunakan dalam

pembuktian dalam pemeriksaan di pengadilan sehingga di harapkan alat

bukti tersebut dapat memenuhi unsur-unsur dari alat bukti dan dapat

membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan

oleh militer, dengan demikian dapat menjadi dasar bagi hakim untuk dapat

dijadikan pertimbangan dalam membuat suatu keputusan yang dapat

memenuhi unsur keadilan.

Penyidik militer dalam melakukan tindakan penyadapan untuk

mencari dan menemukan adanya suatu peristiwa tindak pidana yang

dilakukan oleh militer dimana hasil dari tindakan penyadapan tersebut

14
Hasil wawancara dengan Mayor Cpm Irianto, S.H, selaku Kepala Seksi
Admimistrasi Penyidikan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat pada tanggal 26 Juli 2017
pukul 10.00 WIB.
139

hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan di

persidangan, dan hasil dari tindakan penyadapan ini sebenarnya hanya

dapat dijadikan sebagai landasan dalam mencari alat bukti lain

sehubungan dengan perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam hal ini

penyidik militer dalam melakukan tindakan penyadapan hanya dapat

dilakukan terhadap tindak pidana khusus yang mengatur mengenai

tindakan penyadapan dan penyidik militer harus bekerja sama dengan

instansi yang memang di tunjuk sesuai peratuiran perundang-undangan

untuk dapat melakukan tindakan penyadapan, namun tentunya dalam

melakukan tindakan penyadapan tersebut penyidik militer harus

memperhatikan hak privasi dari seorang militer dimana seorang militer

juga memilik hak asasi yang di lindungi oleh undang-undang. Ini artinya

bahwa seorang penyidik militer harus berhati-hati dalam menentukan

adanya suatu tindakan penyadapan dimana tindakan penyadapan

merupakan jalan terakhir dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan

penututan suatu perkara tindak pidana yang dilakukan oleh militer.

Apabila dibandingkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan

tindakan penyadapan tentunya kita dapat melihat bahwa KPK diberi

kewenangan secara jelas dan tidak terbatas untuk melakukan tindakan

penyadapan pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,

sehingga KPK tidak ragu dalam menggunakan alat bukti hasil penyadapan

dalam mengungkap adanya suatu tindak pidana korupsi dan

menggunakan alat bukti hasil penyadapan tersebut dalam persidangan.


140

Di Kepolisian tindakan penyadapan sering dilakukan untuk mencari

dan menemukan adanya suatu peristiwa pidana namun hasilnya jarang

terdengar di media yang telah digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Disini hasil dari tindakan penyadapan dapat di jadikan landasan untuk

mencari alat bukti lain yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang

terjadi, salah satu contoh yang cukup dikenal baru-baru ini adalah

penggunaan hasil tindakan penyadapan pada kasus pembunuhan yang

dilakukan oleh Jessica Kumala Wongso terhadap Wayan Mirna Salihin.

Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan tindakan penyadapan

tidak secara tegas dinyatakan seperti yang di atur pada institusi KPK dan

kepolisian, sehingga prestasi kejaksaan dalam memanfaatkan hasil

tindakan penyadapan dan digunakan dalam persidangan sebagai alat

bukti tidak terdengar di publik, namun terdengar adanya penangkapan

pelaku tindak pidana korupsi yang telah diputus bersalah oleh pengadilan

tetapi pelakunya melarikan diri untuk menghindari eksekusi oleh penuntut

umum. Sehingga tindakan penyadapan yang dilakukan oleh kejaksaan

bukan mencari atau menemukan peristiwa pidana atau membuktikan,

mengungkap suatu perkara tetapi untuk mencari dan menemukan

terpidana yang melarikan diri. Disini dapat dikatakan bahwa tindakan

penyadapan yang dilakukan oleh kejaksaan disini adalah untuk

menjalankan perintah pengadilan dan memasukkan terpidana ke lembaga

pemasyarakatan untuk menjalani pidananya.


141

Asas yang digunakan sebagai landasan bagi penegak hukum

dalam menjalankan wewenangnya, bertumpu pada asas legalitas

(rechmatigheid), yakni sebagai sebagai norma hukum yang harus dipatuhi

dan ditaati sebagai dasar tindakannya. Disamping itu adanya asas

kepatutan untuk bertindak dan berlandaskan pada norma etika yang

berbasis pada moralitas. Dengan demikian pelaksanaan penegakan

hukum yang tidak sesuai dengan asas dalam penegakan hukum

merupakan tindakan yang menyimpang dari norma atau kaidah yang

memberikan dasar kewenangan.15

Apabila melihat permasalahan mengenai tindakan penyadapan

dimana secara umum di seluruh dunia masalah kehidupan pribadi setiap

warga mutlak harus dilindungi. Penyadapan liar dan illegal adalah

pelanggaran HAM dan hukum. Setiap orang tidak punya hak sama

sekali memasuki wilayah pribadi orang lain, tidak dibenarkan oleh hukum

untuk melakukan penyadapan dan pengintaian. Larangan ini bisa

dilanggar karena konstitusi mengatur bahwa larangan penyadapan

bisa dikecualikan apabila diatur dalam undang-undang (UU) demi

kepentingan penegakan hukum. Dengan demikian penyadapan dikatakan

tidak melanggar HAM, manakala dilakukan demi kepentingan

pengungkapan kasus. Dengan kata lain, pelanggaran HAM terjadi jika

hasil sadapan tersebut digunakan untuk kepentingan di luar penegakkan

hukum. Sehingga ini berarti bahwa hak privasi seseorang tersebut harus
15
H. Sadjijono, Hukum Antara Sollen dan Sein. (Surabaya: UBHARA, 2016), hlm.
59.
142

hilang terlebih dahulu dikarenakan dirinya mengetahui adanya tindakan

penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya ataupun seseorang

melakukan tindak pidana yang tentunya guna proses penyelidikan dan

penyidikan hak privasinya hilang sehingga dapat dilakukan tindakan

penyadapan tanpa perlu persetujuan dari yang bersangkutan.

Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah

adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan

(indikasi) dan bukti permulaan yang cukup. Walaupun penyidik militer

secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan

penyadapan, tidak berarti penyidik militer dapat sewenang-wenang dalam

penggunaannya, namun harus terdapat prosedur yang dapat

dipertanggungjawabkan serta ada batasan sebelum melakukan

penyadapan sehingga tidak sampai melanggar hak asasi manusia dan

mengganggu hak pribadi seseorang.

C. Analisis Alat Bukti Penyadapan dalam Sistem Peradilan Militer

Dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana haruslah

didukung dengan alat-alat bukti yang didapatkan di tempat kejadian

perkara (TKP). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 172 ayat (1), menentukan

bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari : a. keterangan saksi; b.

keterangan ahli; c. keterangan terdakwa; d. surat; dan e. petunjuk. Alat-

alat bukti ini dipakai untuk mengungkap kebenaran suatu tindak pidana

yang diduga telah terjadi.


143

Sesuai dengan ketentuan Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter

diatas, ditentukan lima jenis alat bukti yang sah secara limitatif. Sehingga

diluar alat bukti itu, tentunya dapat dikatakan bahwa diluar ketentuan

diatas tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan

mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana

militer yang bersifat memaksa, artinya semua jenis alat bukti yang telah

diatur dalam Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tersebut tidak dapat

ditambah atau dikurangi.

Pembuktian dalam peradilan pidana militer di Indonesia,

sebagaimana diatur dalam Pasal 171 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter, menganut sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk

stelsel),16 maksudnya adalah bahwa kesalahan terdakwa harus dibuktikan

berdasarkan:

1. alat-alat bukti dan cara pembuktian yang diatur dalam

undang-undang; dan

16
Negatif Wettelijk Stelsel menurut Yahya Harahap merupakan teori antara
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan system pembuktian
menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini menempatkan keyakinan Hakim
paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
144

2. keyakinan Hakim berdasarkan alat-alat bukti dan cara

pembuktian tersebut.

Kedua unsur diatas merupakan satu kesatuan. Seseorang tidak

dapat dinyatakan bersalah hanya berdasarkan keyakinan Hakim saja.

Keyakinan Hakim harus memiliki sumber, dan sumber itu ialah fakta-fakta

hukum yang terkandung atau diberikan oleh alat bukti yang telah

ditetapkan sebelumnya dalam undang-undang. Sebaliknya, walaupun alat

bukti yang diajukan menujukkan bahwa terdakwa bersalah, hakim tidak

dapat menghukumnya tanpa ada keyakinan yang didasarkan pada alat

bukti yang diajukan itu.17

Seperti telah dikemukakan diatas dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terdapat lima

jenis alat bukti yang sah dan diatur secara limitatif yaitu: keterangan saksi,

keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat, dan petunjuk. Semua alat

bukti dinyatakan sah apabila telah memenuhi persyaratan formil maupun

syarat materil. Selanjutnya dapat kita uraikan sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling

utama dalam suatu tindak pidana. Boleh dikatakan, tidak ada tindak

pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

17
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positif wettelijk
stesel) mengatur bahwa kesalahan terdakwa ditentukan berdasarkan alat-alat bukti yang
diatur dalam undang-undang. Dalam sistem pembuktian ini, keyakinan hakim tidak
memiliki peranan.
145

Hampir semua pembuktian bersandar kepada pemeriksaan

keterangan saksi.18

Syarat formil keterangan saksi antara lain dinyatakan di

persidangan, dan mengucapkan sumpah atau janji sebelum saksi

memberikan keterangan.19 Sedangkan syarat materil untuk

keterangan saksi , antara lain: a) keterangan yang diberikan ialah

mengenai peristiwa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dengan

menyebutkan alasan dari pengetahuannya;20 b) bukan pendapat,

rekaan, maupun keterangan ahli; 21 c) ada lebih dari satu orang


22
saksi sesuai dengan asas unus testis nullus testis; d) bukan

keterangan yang ia peroleh dari orang lain (testimonium de

auditu);23 dan e) adanya persesuaian antara keterangan saksi yang

satu dengan yang lain dan keterangan saksi dengan alat bukti yang

lain.24

2. Keterangan Ahli

Pada masa HIR, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti

dalam pemeriksaan tindak pidana. HIR tidak memandang

keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, tetapi menganggapnya

sebagai keterangan keahlian yang dapat dijadikan hakim menjadi

18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), hlm. 286.
19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer , Pasal 154.
20
Ibid., Pasal 1 angka 28.
21
Ibid., Pasal 173 ayat (4).
22
Ibid., Pasal 173 ayat (2).
23
Ibid., Penjelasan pasal 173 ayat (1).
24
Ibid., Pasal 173 ayat (6).
146

pendapatnya sendiri, jika hakim menilai keterangan ahli tersebut

dapat diterima.25

Dalam Pasal 174 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diatur mengenai

syarat formil bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli

nyatakan di siding pengadilan. Yang disebut sebagai ahli ialah ahli

kedokteran kehakiman dan ahli lainnya. Dalam hal ahli harus

memberikan keterangan pada tingkat penyidikan, ahli harus

mengangkat sumpah atau mengucapkan janji didepan penyidik. 26

3. Keterangan Terdakwa.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi

pernyataan “pengakuan” dan “pengingkaran”, dan menyerahkan

penilaiannya kepada hakim, yang mana dari keteranga terdakwa

sebagai ungkapan pengakuan dan yang mana pula dari keterangan

itu bagian yang berisi pengingkaran. 27

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri.28 Oleh karena keterangan terdakwa

terkandung makna pengakuan dan pengingkaran seperti tersebut

diatas maka keterangan terdakwa di luar sidang tidak termasuk alat

bukti keterangan terdakwa, tetapi dalam Pasal 175 ayat (2)

25
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 286
26
UU Nomor 31 Tahun 1997., Op.Cit, pasal 166.
27
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 318.
28
UU Nomor 31 Tahun 1997., Op.Cit, Pasal 175 ayat (1).
147

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer mengatur bahwa keterangan tersebut masih

berguna untuk membantu menemukan alat bukti di sidang dengan

syarat bahwa keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti

yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

4. Surat

Menurut Pasal 176 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer , jenis surat yang

diakui sebagai alat bukti yang sah ialah surat yang dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Syarat formil surat

sebagai alat bukti ialah seperti yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur jenis surat sebagaimana

dimaksud dalam pasal 176 huruf a, huruf b, dan huruf c.

Sedangkan syarat materil alat bukti surat ialah bahwa isi surat

berisi tentang: a) keterangan mengenai kejadian atau keadaan

didengar, dilihat, atau dialami sendiri; b) hal administrasif yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan; c) pendapat ahli atas

suatu keadaan; dan d) hal yang berhubungan dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.29

5. Petunjuk

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997

tentang Peradilan MIliter mengatur petunjuk sebagai perbuatan,

29
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw, Tinjauan Aspek Hukum
Pidana. (Jakarta: Tatanusa, 2012)., hlm. 268.
148

kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara

yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.30

Dalam Undang-Undang ini juga diatur secara limitatif tentang

sumber petunjuk , yaitu bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Untuk dapat

dijadikan sumber petunjuk ketiga alat bukti tersebut harus sah.

Yang dapat menentukan alat bukti petunjuk adalah hakim dengan

memeriksa sumber bukti petunjuk tersebut secara cermat dan

seksama berdasarkan keyakinannya dan penilaian atas petunjuk

dengan kekuatan pembuktiannya secara arif dan bijaksana.

Apabila melihat ketentuan Pasal 172 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter ini, maka hasil

penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui

secara sah oleh hukum. Namun hasil penyadapan atau rekaman

pembicaraan ini dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Pengkategorian

hasil penyadapan atau rekaman pembicaraan yang dilakukan oleh

penyidik kedalam ‘alat bukti petunjuk’ sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

30
UU Nomor 31 Tahun 1997., Op.Cit, pasal 166.
149

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26A. Dalam Pasal 26A ini

ditentukan bahwa: 31

“Alat bukti yang sah dalam petunjuk sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP),
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan/atau didengar dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang
memiliki makna.”

Adapun ketentuan-ketentuan peraturan perundangan-

undangan yang mengatur alat bukti elektronik adalah sebagai

berikut:

1. Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang

menyebutkan:32

“Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:


a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana;

31
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 26A.
32
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Pasal 27.
150

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,


dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikelaurkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau
memahaminya”.

2. Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang, disebutkan:33

“Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam undang-


undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang diatas kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau
memahaminya.

33
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 29.
151

3. Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang

berbunyi:34

“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di


sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini
adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3).

Pasal 1 Angka 1:35

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data


elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik, (elektronik mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses,
symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.

Pasal 1 Angka 4:36

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang


dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui computer atau Sistem Elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.

34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, Pasal 44.
35
Ibid., Pasal 1 Angka 1.
36
Ibid., Pasal 1 Angka 4.
152

Pasal 5:37

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik


dan/Atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang
sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.

4. Pasal 86 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, yang berbunyi:38

(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optic
atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang
tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain
kertas maupun yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau
perforasi yang memiliki makna dapat
dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.

37
Ibid., Pasal 5
38
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Pasal 86.
153

Pengajuan alat bukti rekaman sebagai hasil penyadapan digunakan

oleh penyidik Militer untuk membuktikan peristiwa-peristiwa atau fakta-

fakta yang berkenaan dengan kasus tindak pidana khusus di sidang

pengadilan. Penggunaan alat bukti rekaman suara yang dilakukan oleh

penyidik militer adalah untuk menunjukkan kepada hakim bahwa terdakwa

telah melakukan perbuatan yang disangkakan kepadanya. Rekaman

suara merupakan hasil penyadapan yang dijadikan sebagai alat bukti

petunjuk. Pembuktian suatu tindak pidana telah diatur secara tegas dalam

sistem hukum pidana militer formil (UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer)

Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti

untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materil

yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan

mengenai terbukti tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya. Mengenai hal ini dalam Pasal 171 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

MIliter disebutkan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.39

Dari bunyi pasal ini, maka alat bukti rekaman suara sebagai hasil

penyadapan yang dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk belum dapat

39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, Pasal 171.
154

untuk dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk mengambil suatu

kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Oleh

karenanya, masih diperlukan satu alat bukti lagi untuk mendukung

keyakinan hakim dalam mengambil keputusan.

Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama

dengan alat bukti lain, namun demikian alat bukti petunjuk tidak dapat

berdiri sendiri dalam membuktikan kesalahan dari terdakwa. Oleh karena

itu, rekaman suara yang merupakan hasil penyadapan bisa juga

dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang

dikategorikan sebagai perluasan dari alat bukti surat. Dengan

mengkategorikan rekaman suara sebagai alat bukti petunjuk dan alat bukti

surat maka ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter sudah terpenuhi sehingga

hakim dapat mengambil keputusan bersalah tidaknya terdakwa dalam

melakukan suatu tindak pidana.

Rekaman pembicaraan atau hasil penyadapan dari penyidik militer

mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter, karena hasil

penyadapan tersebut merupakan bagian dari informasi elektronik,

sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti petunjuk dan

juga karena hasil penyadapan merupakan perluasan dari ketentuan alat

bukti petunjuk sesuai hukum acara pidana militer yang berlaku, dalam hal
155

ini Pasal 172 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997

tentang Peradilan MIliter, khususnya sebagai alat bukti petunjuk.

Alat bukti yang paling lemah adalah petunjuk. Alat bukti petunjuk

bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri seperti halnya alat bukti

yang lain. Alat bukti petunjuk baru ada diperoleh dari alat bukti lain melalui

suatu proses analisis. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan

yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain,

maupun bersesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi atau keadaan yang bersesuaian satu sama lain

dengan diperoleh dari alat bukti yang sudah ada, baik dari keterangan

saksi, keterangan ahli, surat maupun keterangan terdakwa sendiri.

Oleh sebab petunjuk merupakan alat bukti yang lemah maka

pembuat undang-undang memperingatkan kepada hakim agar tidak

mudah menggunakan petunjuk sebagai alat bukti. Hakim disini harus

dapat secara arif dan bijaksana serta secara cermat dan seksama

berdasarkan hati nuraninya untuk melakukan penilaian kekuatan

pembuktian suatu petunjuk. Petunjuk sebagai suatu alat bukti yakni yang

berkenaan dengan hasil dari tindakan penyadapan harus dapat

bersesuaian dengan alat bukti yang lain.

Alat bukti petunjuk baru dapat digunakan oleh hakim apabila alat

bukti lain seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat maupun

keterangan terdakwa dinilai oleh hakim belum cukup untuk membuktikan

benar atau tidak terjadinya suatu tindak pidana, jadi dalam ketentuan
156

Pasal 172 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997

tentang Peradilan MIliter disebutkan bahwa alat bukti petunjuk berada di

urutan terakhir hal ini dikarenakan hakim dalam menerapkan alat bukti

petunjuk harus melihat alat bukti lain yang dikemukakan dalam

persidangan seperti halnya keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan

terdakwa dan surat, dari keterangan-keterangan tersebut hakim dapat

menilai alat bukti mana yang layak atau harus ditetapkan dalam

pembuktian tindak pidana tersebut sebagai petunjuk dengan minimal 2

(dua) alat bukti.

Dalam ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter, alat bukti petunjuk

adalah:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang


karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa sudah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. keterangan terdakwa; dan/atau
c. surat.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan
arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan
hati nuraninya.40

Dalam ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter, petunjuk hanya sebagai

penyesuaian tentang alat bukit, sedangkan dalam ketentuan ayat (2)

40
Ibid., Pasal 177.
157

dijelaskan bahwa alat bukti petunjuk diantaranya dapat diperoleh dari

keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan/atau surat.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter

menjelaskan bahwa:

Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak


dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah
Agung menetapkan disertai petunjuk supaya Pengadilan yang
memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai
bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu
Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa
oleh pengadilan setingkat lain.41

Dari keterangan diatas dapat dijelaskan apabila pengadilan

terhadap tindak pidana dalam putusannya membatalkan tindak pidana

tersebut maka Mahkamah Agung harus memberikan petunjuk, dimana

perkara tersebut harus ditinjau kembali akibat yang membatalkan putusan

tersebut.

Ketentuan Pasal 289 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter, menjelaskan bahwa:

Demi kelancaran pemeriksaan sengketa di dalam sidang, Hakim


Ketua berhak memberikan petunjuk kepada para pihak yang
bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang digunakan
oleh mereka dalam sengketa.

41
Ibid., Pasal 242 ayat (2).
158

Demi kelancaran proses persidangan dimana Ketua Majelis Hakim,

dapat memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa

mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan.

Kolonel Chk S. Santosa S.H, M.H menyatakan bahwa alat bukti

hasil penyadapan tidak dapat di ajukan dalam persidangan di karenakan

alat bukti hasil penyadapan berupa rekaman secara elektronik yang tidak

menunjukkan suatu tempat atau perbuatan nyata dari adanya suatu tindak

pidana. Alat bukti penyadapan hanya dapat digunakan sebagai petunjuk

sebagai bahan pertimbangan hakim, pembuktian sendiri yang di perlukan

adalah fakta materil dari adanya perbuatan yang melanggar hukum. Alat

bukti hasil penyadapan bukan merupakan alat bukti yang sempurna

karena hanya menunjukkan bahwa seseorang akan melakukan atau

sudah melakukan suatu tindak pidana tetapi tidak menyatakan adanya

suatu tindak pidana secara nyata dalam hal ini tindakannya dilakukan

dimana, kapan, pada saat siang hari/malam hari dan lain sebagainya

(fakta materil). Beliau menyampaikan bahwa penyadapan hanya

mengungkapkan suatu fakta formil saja karena hasil penyadapan di ketik

dalam suatu berita acara tidak menunjukkan fakta materil, dimana dalam

penyadapan ada jeda. Contohnya penyadapan di lakukan selama 1 bulan,

tempos mana yang akan di gunakan untuk melakukan suatu tuntutan

pidana dimana memerlukan syarat formil dan materil.42

42
Hasil wawancara dengan Kolonel Chk S. Santosa, S.H, M.H selaku Kepala
Oditur Milter II-08 Jakarta pada tanggal 7 Juli 2017 pukul 11.15 WIB.
159

Letkol Sus Tri Achmad, S.H, M.H menyatakan bahwa alat bukti

penyadapan dapat di jadikan sebagai alat bukti di persidangan yaitu

sebagai alat bukti petunjuk, tentunya harus juga di perhatikan sesuai

undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan milter dimana alat

bukti petunjuk adalah alat bukti di urutan terakhir ini artinya bahwa alat

bukti petunjuk baru dapat di pergunakan apabila alat bukti keterangan

saksi, ahli, terdakwa, dan surat masih belum belum dapat meyakinkan

hakim untuk dapat mengambil kesimpulan tentang bersalah atau tidaknya

seorang terdakwa. Alat bukti penyadapan pun hanya dapat digunakan

dalam perkara tindak pidana korupsi saja karena sudah di atur oleh

undang-undang. Jadi untuk tindak pidana selain tindak pidana korupsi

tidak bisa di gunakan dalam persidangan militer karena nantinya akan

bersifat unlawfull interception, karena tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai penyadapan.43

Apabila melihat ketentuan Pasal 184 ayat (1) di atas, hasil

penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui sah

secara hukum. Sementara itu, pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ditegaskan

bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti petunjuk. Di samping itu, Pasal 5

ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau

43
Hasil wawancara dengan Letnan Kolonel Sus Tri Achmad, S.H, M.H selaku
Hakim Pengadilan Milter II-08 Jakarta pada tanggal 7 Juli 2017 pukul 13.30 WIB
160

dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang

sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai menurut hukum

acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, terdapat berbagai

ketentuan hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda diantara

para penegak hukum di Indonesia mengenai keabsahan hasil penyadapan

oleh aparat penegak hukum menjadi suatu alat bukti pada proses

peradilan pidana, salah satunya adalah tindak pidana korupsi dan tindak

pidana penyuapan, sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary

crimes), di satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan penyidik

terhadap percakapan seseorang dianggap melanggar hak individu/privasi

seseorang, namun di sisi lain dalam proses pemberantasan tindak pidana

korupsi sangat diperlukan upaya pembuktian yang mendukung

diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat bukti dalam

proses peradilan pidana tersebut, sehingga adanya kesenjangan antara

ketentuan hukum yang ada (das sollen) dengan kenyataan di masyarakat

(das sein).

Apabila alat bukti hasil penyadapan yang dilakukan menggunakan

metode penjebakan (entrapment) yang belum di atur dalam peraturan

perundang-undangan mengenai tindakan penyadapan maka

pengungkapan hasil dari tindakan penyadapan tersebut dapat dikatakan

melanggar hak privasi seseorang yang di atur dalam dan di lindungi dalam

sistem hukum di Indonesia, antara lain dalam Pasal 28 G (1) UUD 1945

Amandemen ke-empat, Pasal 33 ayat (1), 43, dan 47 UU Nomor 8 Tahun


161

1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penjelasan

Pasal 40 UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Pasal 29

UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 27 ayat (3)

UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

dan Pasal 7 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

dimana keseluruhan undang-undang tersebut juga berlaku bagi militer.

Dalam hal ini majelis hakim juga tidak dapat dipersalahkan apabila

tetap menggunakan alat bukti hasil penyadapan dengan menggunakan

metode penjebakan, hal ini dikarenakan standar pembuktian di Indonesia

tidak mengatur pengujian keabsahan perolehan dan penggunaan alat

bukti, sedangkan yang diatur dalam sistem hukum di Indonesia hanya

klasifikasi alat bukti saja. Dengan tidak diaturnya standar pembuktian

tersebut maka segala alat bukti yang diajukan di persidangan dapat diakui

sebagai alat bukti yang sah di persidangan oleh hakim, selama alat bukti

tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia.

Di sisi lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer tidak mengatur pengawasan terhadap cara memperoleh

alat bukti yang sah, sehingga alat bukti dari hasil tindakan penyadapan

yang diajukan sebagai bentuk penyampaian fakta-fakta yang akurat di

persidangan merupakan rangkaian utama proses pidana untuk

menentukan kebenaran materil. Selain untuk menentukan kebenaran


162

materil, alat bukti hasil tindakan penyadapan dapat juga melindungi orang

yang tidak bersalah di hukum.

D. Analisis Tindakan Penyadapan Dalam Rancangan Peraturan

Perundang-Undangan Di Indonesia.

Tindakan penyadapan yang dilakukan di Indonesia dilakukan

terhadap tindak pidana khusus yang sudah diatur dalam hukum pidana

khusus juga hal ini dikarenakan tidak pidana tersebut merupakan tindak

pidana yang memerlukan tindakan khusus (extra ordinary crime). SR.

Sianturi menyebutkan bahwa hukum pidana khusus adalah karena

pengaturannya yang secara khusus yang adakalanya bertitik berat kepada

kekhususan suatu golongan tertentu (militer dan yang dipersamakan) atau

suatu tindakan tertentu seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi,

korupsi dan lain sebagainya. Titik berat kekhususan adakalanya pada

acara penyelesaian suatu perkara, biasanya perkara “kakap” atau yang

dilakukan oleh “kakap”, seperti tokoh-tokoh/pelaku kejahatan terhadap

keamanan negara. Prinsip pemberlakuan ialah bahwa hukum pidana

khusus lebih di utamakan daripada hukum pidana umum. Adagium untuk

itu ialah “Lex specialis derogate lex generalis”. Ketentuan seperti ini dalam

KUHP ditentukan dalam Pasal 63 ayat 2.44

Tindakan artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan,

sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Suatu

tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu

44
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: PSHM, 2013), hlm. 22.
163

tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu

golongan jenis kelamin atau dari suatu golongan yang bekerja pada

Negara/pemerintah atau dari golongan lainnya. 45

S.R. Sianturi juga mengatakan bahwa untuk merumuskan suatu

tindakan yang dilarang/diharuskan secara sempurna sangat sulit.

Karenanya untuk memperkecil timbulnya perbedaan pendapat mengenai

apakah suatu perumusan termasuk pengertian “tindakan” atau tidak, perlu

diperhatikan hal-hal yang khusus pada suatu perumusan delik, atau

ketentuan-ketentuan khusus mengenai suatu delik. 46

Penyadapan sendiri seperti yang telah diuraikan dalam penjelasan

Bab II tulisan ini adalah suatu tindakan mendengarkan (merekam)

informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa

sepengetahuan orangnya. Dalam peraturan perundang-undangan di

jelaskan arti dari penyadapan secara tegas dan jelas adalah kegiatan

untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat,

dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel

komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis

atau radio frekuensi.

Seperti di ketahui bersama juga bahwa tindak pidana jenis baru

atau bentuk baru ataupun tindak pidana modern dewasa ini telah

dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang canggih serta modus

45
Ibid., hlm. 205.
46
Ibid., hlm. 206.
164

operandi yang semakin sulit untuk dapat di deteksi. Dengan adanya

kondisi seperti ini mengakibatkan hukum dan aparat penegak hukum sulit

untuk dapat mengiringinya. Untuk itu untuk dapat mengiringi jenis tindak

pidana baru diperlukan juga upaya-upaya baru yang penuh dengan

terobosan (terobosan hukum) dan salah satunya adalah dengan

melakukan tindakan penyadapan. Tetapi harus di tekankan bahwa

tindakan penyadapan tersebut tidak dapat dilakukan terhadap semua jenis

tindak pidana, namun hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana

tertentu saja yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Tindakan penyadapan dapat dilakukan terhadap tindak pidana

yang bersifat ekstra ordinary (extra ordinary crime), kejahatan atau tindak

pidana yang bersifat atau dapat dikelompokkan sebagai kejahatan kerah

putih (white collar crime), kejahatan atau tindak pidana yang bersifat

terorganisasi (organized crime), tindak pidana yang memiliki dimensi-

dimensi baru yang belum diatur secara tegas oleh hukum (new dimention

crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan

kejahatan-kejahatan lain yang dipandang sebagai kejahatan yang berat

seperti kejahatan yang mengancam Negara, pembunuhan berencana,

penganiayaan yang terencana, penyerangan atau penyerbuan yang

direncanakan, dengan kata lain tindak pidana yang memiliki dampak

buruk dan meluas atau sistemik bagi kehidupan bermasyarakat,


165

berbangsa dan bernegara serta tindak pidana yang sifatnya rumit atau

kompleks dalam pengungkapan dan pembuktiannya.47

Ketentuan tindakan penyadapan secara yuridis diatur dalam

beberapa peraturan perundangan-undangan secara khusus, diantaranya

undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan

korupsi, undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, undang-

undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan orang, undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika, undang-undang nomor 17 tahun 2011 tentang intelijen,

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Menteri

Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis

Penyadapan Terhadap Informasi dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan

Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam peraturan perundang-undangan diatas disebutkan bahwa

tindakan penyadapan secara sah (lawful Interception) dapat dilakukan

dalam rangka penegakan hukum dan untuk kepentingan Negara (intelijen)

yang dilakukan oleh penyidik atas adanya bukti permulaan yang cukup

tentang adanya dugaan suatu tindak pidana dan diantaranya

47
Kristian dan Yopi Gunawan, Sekelumit tentang Penyadapan Dalam Hukum
Positif Di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), hlm. 262.
166

mensyaratkan adanya ijin dari ketua pengadilan. Jadi apabila syarat

tersebut tidak dilakukan ataupun tindakan penyadapan tersebut dilakukan

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka

tindakan penyadapan tersebut dianggap tidak sah (unlawful interception)

sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan.

Politik Hukum Pidana dalam proses pembaharuan hukum pidana

nasional (national criminal law reform) melalui RUU KUHP, khususnya

dalam pembahasan tindak pidana sebagai salah satu permasalahan

pokok hukum pidana tidak dimungkinkan terlepas dari 2 (dua)

permasalahan pokok yang lain yaitu pertanggungjawaban pidana dan

sanksi, baik berupa pidana dan/atau tindakan. Tentu saja hal ini harus

dikaitkan dengan latar belakang yuridis, sosiologis, historis dan filosofis

dari reformasi sistemik hukum pidana nasional.48

Secara epistomologi dan aksiologi, penegakan hukum dijalankan

untuk menjaga, mengawal dan menghantar hukum agar tetap tegak

searah dengan tujuan hukum dan tidak dilanggar oleh siapapun. Kegiatan

penegakan hukum merupakan tindakan penerapan hukum terhadap

setiap orang yang perbuatannya menyimpang dan bertentangan dengan

norma hukum, artinya hukum diberlakuakan bagi siapa saja dan

pemberlakuannya sesuai dengan mekanisme dan cara dalam sistem

penegakan hukum.49

48
Muladi, dan Diah Sulistyani, Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana dan
Kebijakan Kriminal, (Bandung: PT. Alumni, 2016), hlm. 79.
49
H. Sadjijono., Op.Cit, hlm. 40.
167

Kebijakan hukum adalah merupakan bagian dari pembaharuan

hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan

bagian dari kebijakan /politik hukum pidana (penal policy). Makna dan

hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang

dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar

belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat

ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari

berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal

dan kebijakan penegakan hukum). Artinya, pembaruan hukum pidana

juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan

pembaruan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang

melatarbelakanginya itu. Dengan demikian, pembaruan hukum pidana

pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai

sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia.50

Menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh

harus meliputi pembaharuan hukum pidana materil (substantif), hukum

pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana

(strafvollstreckungsgesetz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus

bersama-sama diperbaharui, kalau hanya satu bidang yang diperbaharui

50
Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup 2008), hlm.22.
168

dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya

dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya.51

Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan

kejahatan bersama-sama diperbaharui, kalau hanya satu bidang yang

diperbaharui dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam

pelaksanaannya dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai

sepenuhnya. Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah

penanggulangan kejahatan

Di sadari sejak awal bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di

Indonesia tidak dapat dilakukan hanya dengan mengajukan

konsep/rancangan Undang-undang KUHP (Hukum Pidana Materiel),

tetapi juga juga harus disertai dengan konsep/rancangan mengenai

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Usaha pembaharuan hukum acara

pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik hukum yang

bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan

terhadap hukum yang ada agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

baru di dalam masyarakat.

Adanya salah satu syarat yang menuai banyak kritikan dalam

pengaturan tindakan penyadapan adalah kewajiban memperoleh

penetapan ketua pengadilan negeri. Cara mendapatkan penetapan itu pun

tidak mudah. Setiap permintaan penetapan harus melampirkan surat

perintah kepada penegak hukum yang bersangkutan, identifikasi sasaran,

51
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1987), hlm. 6
169

pasal tindak pidana yang disangkakan, tujuan dan alasan dilakukannya

Intersepsi, substansi informasi yang dicari, dan jangka waktu Intersepsi.

Pemerintah pernah merancang suatu aturan mengenai tata cara

penyadapan/intersepsi dimana prosedur penyadapan semakin diperketat

karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tata cara

intersepsi52 mengintrodusir pembentukan lembaga baru bernama Pusat

Intersepsi Nasional (PIN). Pasal 1 butir 14 memaparkan PIN adalah

lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh pemerintah yang berfungsi

sebagai gerbang terpadu yang melakukan pengawasan, pengendalian,

pemantauan, dan pelayanan terhadap proses Intersepsi agar proses

Intersepsi berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menjalankan tugasnya,

PIN bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas Intersepsi Nasional

yang komposisinya terdiri dari Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan

pimpinan instansi lainnya yang berwenang melakukan Intersepsi.

Sampai di sini apakah RPP tentang tata cara intersepsi yang

dirancang pemerintah sudah memberikan perlindungan terhadap hak

privasi warga negara? Jawabannya belum. Pada batang tubuh RPP

tersebut tidak satupun yang menyinggung tentang perlindungan terhadap

hak privasi. Yang ada hanyalah rumusan Pasal 6 yang sangat normatif,

bahwa penyadapan harus sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak

asasi manusia. Perlindungan privasi justru banyak disinggung pada

bagian penjelasan. Di paragraf-paragraf awal bahkan dijelaskan bahwa

52
https://anggara.files.wordpress.com/2009/12/rpp-tata-cara-intersepi-hasil-06-
oktober-09_bersih.pdf. Diakses tanggal 11 Juli 2017 Pukul 2015 WIB.
170

RPP ini dibuat dengan mempertimbangkan norma-norma HAM lingkup

nasional maupun internasional. RPP tentang tata cara intersepsi ini di

antaranya menyebut Pasal 28G UUD 1945 tentang perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasinya.

RPP tentang tata cara intersepsi juga mengutip Pasal 17 Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 53 bahwa tidak seorang pun

dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri urusan

pribadi, keluarga, rumah, atau korespondensinya, atau secara tidak sah

diserang kehormatan diri dan nama baiknya. Perlindungan hak privasi

memang tidak diatur secara tegas, tetapi RPP tentang tata cara intersepsi

setidaknya menyodorkan banyak tahap atau prosedur dan syarat untuk

melakukan penyadapan. RPP tentang tata cara intersepsi ini seolah-olah

ingin mengatakan “penyadapan itu tidak mudah”. Makanya, pada bagian

penjelasan RPP tentang tata cara intersepsi disebutkan bahwa “Demi

kepentingan perlindungan privasi, Intersepsi pada prinsipnya merupakan

upaya terakhir dalam mencari bukti terjadinya suatu tindak pidana

sehingga harus jelas alasan dan tujuan Intersepsi, serta harus dilakukan

secara proporsional dan hanya untuk jangka waktu tertentu”. 54

53
https://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.pdf. Diakses tanggal 10 Juli
2017 pukul 19.30 WIB.
54
Penjelasan umum paragraph ke-12 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
tata cara intersepsi.
171

Namun RPP tentang tata cara intersepsi ini batal di ajukan ke

hadapan DPR dikarenakan adanya uji materil ke Mahkamah Konstitusi

(MK) dengan pemohon atas nama Anggara, Supriyadi Widodo dan

Wahyudi Djafar yang menyatakan bahwa pasal yang mengamanatkan

agar penyadapan diatur dengan Peraturan Pemerintah bertentangan

dengan UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa tindakan penyadapan

merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang

merupakan bagian dari hak asasi manusia sedangkan pembatasan hak

asasi manusia harus diatur dengan undang-undang, bukan hanya lewat

peraturan pemerintah. Hal ini juga terdapat dalam putusan MK terhadap

pengujian undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang

diajukan oleh Mulyana Wirakusumah pada tahun 2006, dimana salah satu

pertimbangan putusan tersebut menyebutkan “karena penyadapan dan

rekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi

manusia, dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan

undang-undang sebagaimana ditentukan oleh pasal 28J ayat (2) UUD

1945.”55

Wahyudi M. Djafar selaku peneliti pada perkumpulan Demos

(Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia) mengatakan

seharusnya penyadapan diatur dalam Kitab Undang-Udang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), pasalnya penyadapan dilakukan ketika proses

55
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b55a9abe4094/dasar-hukum-
pembuatan-rpp-penyadapan-diuji-ke-mk, di akses tanggal 10 Juli 2017 pukul 21.00 Wib.
172

penegakan hukum berjalan jadi tidak perlu dibuat suatu undang-undang

khusus yang mengatur mengenai penyadapan. 56

Di sisi lain mahasiswa Fakultas Hukum Indonesia, berinisiatif

menyusun draft naskah akademis dan RUU Penyadapan Sebagai akibat

dari urgensi akan pengaturan penyadapan tersebut, DPR bersama

Pemerintah harus sesegera mungkin membuat Undang-Undang tentang

Penyadapan. Mengingat urgensi dan pentingnya penyadapan bagi upaya

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang dianggap sulit

pemberantasannya di Indonesia, Adapun urgensi dan pentingnya

keberadaan pengaturan tentang penyadapan di Indonesia menurut

mereka, dapat dilihat dari alasan-alasan sebagai berikut; pertama,

perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kedua, kepastian hukum.

Ketiga, penyadapan adalah cara paling efektif dan efisien dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang dianggap sebagai

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dan keempat, mencegah

penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.57

Trias Yuliana dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa selama

ini pengaturan mengenai penyadapan hanya diatur di dalam sebuah

peraturan menteri komunikasi dan informasi, dianggap tidak konstitusianal

jika perlakuan Negara yang membatasi hak asasi manusia hanya diatur

oleh peraturan setingkat peraturan menteri, maka dari itu dianggap perlu

adanya sebuah pengaturan perundang – undangan tentang penyadapan,

56
Ibid.
57
Trias Yuliana, dkk, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Penyadapan, (Tim Legislative Drafting UNPAR, 2010), hlm. 3.
173

sehingga mempunyai landasan konstitusional dan bisa menghindari

adanya kesewenang - wenangan bagi aparat penegak hukum yang

memiliki kewenangan dalam menyadap, dan bagi aparat penegak hukum

pun memperoleh keuntungan akan adanya peraturan perundang

undangan tentang penyadapan ini, yaitu adanya kepastian hukum yang

jelas tentang penyadapan sehingga tidak bertentangan dengan hak asasi

manusia.58

Menurut A. Hamid, S. Attamimi, istilah peraturan perundang-

undangan yang mengutip dari kamus hukum Fockema Andreae

Wetgeving diartikan:

1. Perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat

pusat atau tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan;

2. Keseluruhan peraturan-peraturan tingkat pusat dan tingkat

daerah. Sedangkan wettelijke regeling diartikan sebagai peraturan-

peraturan yang bersifat perundangundangan.59

A. Hamid S. Attamimi memberikan batasan mengenai peraturan

perundang-undangan sebagai berikut; semua aturan hukum yang

dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu, dengan

prosedur tertentu, biasanya disertai dengan sanksi dan berlaku umum

serta mengikat rakyat.60

58
Ibid.
59
A. Hamid, SA, Dalam Masyarakat Transparansi Indonesia, Penyusunan
Peraturan Daerah yang Partisipatif, (Jakarta: 2003), hlm. 91-92.
60
Ibid.
174

Di dalam Negara yang berdasarkan atas hukum modern

(verzorgingstaat), tujuan utama dari pembentukan undang-undang bukan

lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan

yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama

pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modifikasi atau

perubahan dalam kehidupan masyarakat.61 Dalam modifikasi terdapat

beberapa keuntungan, antara lain bahwa pembentukan hukum tidak

memakan waktu yang lama, dan hukum dapat selalu berada di depan,

walaupun kadang-kadang hukum yang di rumuskan kurang sesuai dengan

kehendak masyarakat atau tidak mencerminkan keadilan dalam

masyarakat. Pembentukan undang-undang dengan cara modifikasi yang

baik disertai kajian yang mencukupi, dapat di harapkan hukum akan

menjadi pedoman dan menjadi panglima serta dapat berlaku sesuai

dengan perkembangan masyarakat.

Berbagai rumusan tentang peraturan perundang-undangan dapat

diidentifikasikan menjadi sifat-sifat atau ciri-ciri dari suatu perundang-

undangan, yaitu: 62

1. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis,

jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.

2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Yang

61
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, jenis, fungsi dan materi
muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 2.
62
Adib Achmadi, Masyarakat Transparansi Indonesia, Penyusunan Peraturan
Daerah yang Partisipatif, (Jakarta, 2003), hlm. 92-93.
175

dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang

ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan

atribusi maupun delegasi.

3. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola

tingkah laku. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat

mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan (einmahlig).

Dalam suatu teori tata urutan (hierarki) peraturan perundang-

undangan, terdapat prinsip-prinsip tata urutan, yakni:63

1. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat

mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan

perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya

dapat.

2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau

ditambah oleh/ atau dengan perundang-undangan yang sederajat

atau lebih tinggi tingkatannya.

3. Ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah

tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat

apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih

tinggi tingkatannya. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan

yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum

serta mengikat, walaupun diubah, diganti atau dicabut oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

63
Ibid., hlm. 105.
176

4. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-

undangan yang lebih rendah. Tetapi yang sebaliknya dapat di atur.

Dalam pasal 5 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dirumuskan mengenai

asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu:64

1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan;
7. Keterbukaan.

Penyadapan sebagai salah satu cara penyidik dalam membongkar

suatu tindak pidana harus mempunyai dasar yang jelas dan alasan-alasan

tertentu. Tentunya disini diperlukan suatu asas-asas yang menyatakan

bahwa penyadapan adalah suatu tindakan rasional yang di perbolehkan,

sehingga dengan adanya asas-asas ini penyadapan memiliki dasar yang

jelas dan pasti. Di sisi lain asas-asas ini menjadi dasar legitimasi bagi

penyadapan, untuk apa penyadapan tersebut harus dilakukan. Untuk itu

dalam fungsinya penyadapan perlu dilakukan untuk membongkar suatu

tindak pidana dengan melihat asas-asas sebagai berikut:

1. Asas Legalitas

Asas ini bersumber dari adanya kesewenang-wenangan

penguasa (raja), pada saat itu kekuasaan raja bersifat mutlak

64
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 5.
177

pemidanaan dilakukan sesuai dengan selera dari penguasa.

Ketentuan pidana dan pemidanaan tergantung pada subjektivitas

penguasa. Hal ini membuat rakyat bergolak dan menuntut

perlakuan yang adil, sehingga timbul beberapa ajaran/faham

mengenai hak-hak manusia yang harus dilindungi. Salah satunya

adalah ajaran sarjana Anselm Von Feuerbach dengan bukunya

yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen yang dalam bahasa latin

dirumuskan dengan “NULLUM DELICTUM NULLA POENA SINE

PRAEVIA LEGE POENALI” yang artinya tidak ada (nullum) delik,

tiada pidana (poena) tanpa (sine) terlebih dahulu diadakan

(praveia) ketentuan pidana (lege poenali).65

Hukum pidana harus bersumber dari undang-undang yang di

sebut juga asas legalitas, berarti pemidanaan harus berdasarkan

undang-undang (lege). Yang dimaksud undang-undang disini

adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja secara tertulis telah

dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh

Pemerintah dengan DPR, akan tetapi juga produk perundang-

undangan lainnya seperti Peraturan pemerintah pengganti undang-

undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan-

peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri,

Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya. Karena penguasa

dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat

65
S.R. Sianturi., Op.Cit, hlm 73.
178

kepada kepada ketentuan perundang-undangan, maka akan

terhindar kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya.

Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari

keadilan yang juga terikat kepada peraturan perundang-undangan

tersebut.

Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara

berbeda dibandingkan Wetboek van Straftrecht (WvS). Asas

legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang

harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii)

peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu

dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine

praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat

dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini: Pertama, tiada

seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali

perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan. Kedua, dalam menetapkan adanya tindak

pidana dilarang menggunakan analogi. Ketiga, ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan

bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut

tidak diatur dalam peraturan perundang undangan. Dan keempat,

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana


179

dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh

masyarakat bangsa-bangsa.66

Dengan adanya asas legalitas ini tentunya berkaitan dengan

penyadapan perlu dibentuk suatu undang-undang tersendiri yang

mengatur mengenai tindakan penyadapan sehingga ada dasar

legal bagi aparat penegak hukum yang melaksanakannya serta

adanya ketegasan dan kepastian hukum dalam rangka tindakan

penyadapan.

2. Asas Efisiensi

Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Otonomi Daerah tercantum bahwa asas efisiensi adalah

asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber

daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.67 efisiensi lebih

melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu.

Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah

ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik

untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat

dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan

antara masukan dan keluaran yang diterima.

66
Fajrimei A. Gofar,dkk., Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP 2005 (Position
Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1), ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
Jakarta, 2005. hlm. 6.
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi
Daerah, Pasal 20.
180

Tentunya jika dikaitkan dengan penyadapan sebagai metode

baru dalam mengungkap suatu tindak pidana dapat menjadi

jawaban dari inefisiensi yang ada. Dimana dengan adanya

tindakan penyadapan, suatu tindak pidana dapat di ungkap secara

cepat demikian juga pelaku dapat di tangkap secara cepat.

3. Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah

hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta

sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan

apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat

mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan

merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam

kehidupan manusia.68

Pemikiran Jhon Locke terhadap HAM merupakan reaksi

terhadap sistem pemerintahan kerajaan yang cenderung absolutis,

bahwa pada hakekatnya HAM bersifat pra negara artinya HAM

yang melekat pada manusia ada jauh sebelum munculnya negara.

Dengan adanya kontrak sosial dari individu-individu yang

memunculkan negara sehingga negara memiliki kewajiban untuk

melindungi warga negara.69

68
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 3.
69
Wahyu Wibowo, Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PSHM, 2014),
hlm. 7.
181

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia disebutkan bahwa :70

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang


melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.

Pengaturan tindakan penyadapan harus dapat

memperhatikan hak asasi manusia dalam hal ini adalah hak privasi

dari seseorang yang telah di atur sesuai peraturan perundang-

undangan dimana hak privasi tersebut merupakan hak dasar yang

di miliki oleh setiap orang dalam hal ini adalah warga Negara

Indonesia. Disini tindakan penyadapan haruslah merupakan

tindakan akhir dalam mengungkap suatu tindak pidana sehingga

tidak serta merta langsung melanggar hak privasi seseorang

tersebut.

4. Asas kerahasiaan Demi Kepentingan Umum

Penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian,

Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi

kewenangan melakukan penyadapan. Dan tidak seperti yang

70
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1.
182

dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa

sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini. 71

Pengaturan penyadapan menuntut tanggung jawab dari

aparat penegak hukum untuk merahasiakannya, baik pra, pada

saat, maupun pasca penyadapan dilakukan. Penyadapan adalah

persoalan integritas. Apabila aparat penegak hukum ingin bertindak

di luar tupoksinya, pemanfaatan penyadapan untuk kepentingan

pribadi begitu mudah dilakukan. Aturan hukum tidaklah tegas

dalam mengatur mekanisme penyadapan, terutama terkait aspek

pertanggung jawaban. Kemungkinan pembocoran informasi

tetaplah menjadi momok mengerikan. Dan menjadi benalu dalam

upaya pemberantasan tindak kejahatan.

Pelaksanaan tindakan penyadapan haruslah memperhatikan

faktor kerahasiaan, demikian juga hasil dari tindakan penyadapan

itu sendiri harus tetap dirahasiakan di karenakan aparat penegak

hukum juga harus memperhatikan asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) terhadap seorang tersangka sampai

tindak pidananya dapat di buktikan dan dinyatakan bersalah oleh

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana

disebutkan bahwa tindakan penyadapan diperkenankan, akan tetapi diberi

persyaratan yang ketat. Pasal 83 ayat (1) RUU KUHAP berbunyi :72

71
Antasari Azhar, 2008, “Upaya Pemberantasan Korupsi Seiring Kemajuan
Teknologi Informasi”, (Jurnal Legislasi Indonesia Vol.5 No.4, Desember 2008), hlm.14-
15.
183

“Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat


telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap
pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga
keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat
diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.”

Jadi, pada prinsipnya penyadapan dilarang. Penyadapan dengan

demikian bersifat pengecualian. Tindak pidana serius dijelaskan dalam

Pasal 83 ayat (2) RUU KUHAP, adalah tindak pidana :73

a. terhadap keamanan Negara (Bab I Buku II KUHP);


b. perampasan kemerdekaan/penculikan (Pasal 333 KUHP);
c. pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP);
d. pemerasan (Pasal 368 KUHP);
e. pengancaman (Pasal 368 KUHP);
f. perdagangan orang;
g. penyelundupan;
h. korupsi;
i. pencucian uang;
j. pemalsuan uang;
k. keimigrasian;
l. mengenai bahan peledak dan senjata api;
m. terorisme;
n. pelanggaran berat HAM;
o. psikotropika dan narkotika; dan
p. pemerkosaan.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya


dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan
penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari hakim
komisaris.
(4) Penuntut umum menghadap kepada hakim komisaris bersama
dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk
melakukan penyadapan kepada hakim komisaris, dengan
melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan
dilakukan penyadapan tersebut.
(5) Hakim komisaris mengeluarkan penetapan izin untuk
melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

72
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Tahun 2010 yang didapat dari https://dfcsurabaya.files.wordpress.com/2011/12/ruu-
kuhap-tahun-2010.pdf, di unduh pada tanggal 3 Juli 2017 pukul 21.00 Wib.
73
Ibid.
184

(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk


waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dalam hal hakim komisaris memberikan atau menolak
memberikan izin penyadapan, hakim komisaris harus
mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut.
(8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan hakim
komisaris.

Pasal 84;74
(1) Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan
penyadapan tanpa surat izin dari hakim komisaris, dengan
ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada
hakim komisaris melalui penuntut umum.
(2) Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang
mendesak;
b. permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
keamanan negara; dan/atau
c. permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak
pidana terorganisasi.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada hakim komisaris paling lambat 2 (dua) hari
terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk
mendapatkan persetujuan.
(4) Dalam hal hakim komisaris tidak memberikan persetujuan
penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka
penyadapan dihentikan.

Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik

setempat setelah mendapat izin hakim komisaris. Dengan demikian, tidak

ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim

komisaris. Pengecualian izin hakim komisaris dalam keadaan mendesak

dibatasi dan tetap dilaporkan kepada hakim melalui penuntut umum. 75

74
Ibid.
75
A. Hamzah, dkk, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta,
2008), hlm. 16.
185

Melihat RUU KUHAP tahun 2010 tersebut diatas, pengaturan

penyadapan telah dirumuskan dengan lebih detail dan terperinci. Namun

demikian dengan adanya pengaturan penyadapan dalam RUU KUHAP

tersebut dapat menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, hal ini

dikarenakan pengaturan penyadapan dalam RUU KUHAP sangat berbeda

dengan pengaturan penyadapan dalam peraturan perundang-undangan

lain yang telah ada dan di bahas oleh penulis sebelumnya, hal ini akan

tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam RUU KUHAP mengenai alat bukti juga ada perubahan,

sehingga berdasarkan Pasal 175 RUU KUHAP alat bukti yang sah

mencakup:76

a. barang bukti;
b. surat-surat;
c. bukti eletronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;
f. keterangan terdakwa;
g. pengamatan hakim.

Yang baru ialah “barang bukti” yang lazim disebut di Negara lain

real evidence atau material evidence, yaitu bukti yang sungguh-sungguh.

Disebut surat-surat (jamak) maksudnya ialah jika ada seratus surat,

dihitung sama dengan satu alat bukti.77

Sebaliknya, disebut “seorang ahli” atau “seorang saksi” maksudnya

jika ada dua saksi maka memenuhi bukti minimum dua alat bukti. Ini sama

dengan KUHAP Belanda yang menyebut geschriftelijke bescheiden (surat-

76
RUU KUHAP.,Op.Cit, Pasal 175.
77
A. Hamzah., Op.Cit. hlm 25.
186

surat) dan verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi). Bukti

elektronik misalnya e-mail, SMS, foto, film, fotokopi, faximail, dst. 78

Keterangan saksi ditempatkan bukan pada urutan satu (sama

dengan KUHAP Belanda) agar jangan dikira jika tidak ada saksi tidak ada

alat bukti. Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa.

Alat bukti “petunjuk” yang berasal dari KUHAP Belanda tahun 1838 yang

sudah lama diganti dengan eigen waarneming va de rechter (pengamatan

hakim sendiri) berupa kesimpulan yang ditarik dari alat bukti lain

berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Amerika Serikat

disebut judicial notice. Tidak ada KUHAP di dunia yang menyebut

petunjuk (Belanda: aanwijzing; Inggris: indication) sebagai alat bukti

kecuali KUHAP Belanda dahulu (1838); HIR dan KUHAP 1981). 79

Dalam requisitoirnya penuntut umum dapat menguraikan dan

menjelaskan hal-hal yang terjadi di sidang pengadilan dan memberi

kesimpulan dari semua alat bukti yang telah dikemukakan, untuk

memancing opini hakim yang menjurus kepada adanya bukti berupa

“pengamatan hakim sendiri”.80

Di dalam RUU KUHP yang di tandatangani oleh Presiden Republik

Indonesia Joko Widodo pada tanggal 5 Juni 2017, memiliki struktur

sebagai berikut: buku I terdiri dari 6 BAB dan 218 pasal yang merupakan

Ketentuan Umum, Buku II terdiri atas 39 BAB dan 568 pasal tentang

tindak pidana, selanjutnya terdapat penjelasan umum dan penjelasan

78
Ibid.
79
Ibid.
80
Ibid.
187

pasal demi pasal yang tidak ada dalam KUHP saat ini (WvS); secara

keseluruhan RUU KUHP terdiri dari 786 pasal. Sebagai perbandingan

bahwa KUHP saat ini terdiri dari 569 pasal berupa; Buku I yang berisi

aturan umum terdiri dari 9 BAB dan 103 pasal, Buku II tentang kejahatan

terdiri atas 31 BAB dan 385 pasal, Buku III tentang Pelanggaran terdiri

atas 9 BAB dan 81 pasal, banyaknya pasal dalam RUU KUHP bukan

berarti terjadinya “overcriminalization” tetapi akibat apresiasi dan

konsolidasi terhadap perkembangan hukum pidana di luar KUHP. 81

Dalam RUU KUHP tersebut aturan mengenai tindakan penyadapan

di atur dalam RUU KUHP Pasal 302, yang berbunyi:82

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan alat


bantu teknis mendengar pembicaraan yang berlangsung di
dalam atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup,
atau yang berlangsung melalui telepon padahal bukan
menjadi peserta pembicaraan tersebut, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori II.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak


berlaku bagi setiap orang yang melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau melaksanakan perintah
jabatan sebagaimana perintah jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33.

Pasal 303:

“Setiap orang yang secara melawan hukum memasang alat


bantu teknis pada suatu tempat tertentu dengan tujuan agar
dengan alat tersebut dapat mendengar atau merekam suatu
pembicaraan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

81
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
didapatkan dari Kolonel Chk Agustinus M.P.H, S.H, M.H. pada tanggal 3 Juli 2017.
82
Ibid., Pasal 302.
188

Pasal 304:

“Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki barang


yang diketahui atau patut diduga memuat hasil pembicaraan
yang diperoleh dengan mendengar atau merekam, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II.”

Pasal 305:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun


atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang
yang”:

(1) mempergunakan kesempatan yang diperoleh dengan tipu


muslihat, merekam gambar dengan mempergunakan alat
bantu teknis seorang atau lebih yang berada di dalam suatu
rumah atau ruangan yang tidak terbuka untuk umum
sehingga meru-gikan kepentingan hukum orang tersebut;
(2) memiliki gambar yang diketahui atau patut diduga diperoleh
melalui perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
atau
(3) menyiarkan gambar sebagaimana dimaksud dalam huruf b.

Larangan terkait penyadapan pada dasarnya pernah diatur dalam

UU ITE. Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :83

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke,
dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan
perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.

83
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
189

Penjelasan Ayat (1):84

“Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan”


adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel
komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran
elektromagnetis atau radio frekuensi.”

Dalam UU ITE diatas terdapat adanya kerancuan karena ada dua

arti, yaitu intersepsi dan penyadapan, dalam penjelasan, pengertian

keduanya disamakan, namun dalam beberapa pasal, penggunaannya

dipisah. Pada dasarnya penyadapan adalah kegiatan untuk masuk ke

dalam pembicaraan milik orang lain, dengan menggunakan alat tertentu,

secara prinsipal, hal ini melanggar hak atas privasi.

Dalam UU ITE, penyadapan tidak terbatas hanya dalam hasil

pembicaraan, namun juga melingkupi transmisi informasi dan/atau

dokumen Elektronik, cakupan ini lebih luas dari peraturan yang ada dalam

RUU KUHP secara mendasar, RUU KUHP hanya mengatur mengenai

“pembicaraan” meskipun tidak secara jelas menjabarkan bentuk dari

pembicaraan tersebut, apakah yang dilakukan secara langsung ataupun

menggunakan media lain.

Meskipun memiliki cakupan yang lebih luas, namun UU ITE sangat

fokus pada penyadapan yang dilakukan dengan media Komputer atau

sistem elektronik lainnya, berbeda dengan RUU KUHP yang mengatur

penyadapan secara meluas yaitu pembicaraan yang berlangsung di dalam

84
Ibid.
190

atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup, atau yang berlangsung

melalui telepon. Pengaturan penyadapan dalam RUU KUHP hanya

terbatas pada pembicaraan langsung atau dengan telepon, sehingga

apabila penyadapan dilakukan melalui surat elektronik atau alat

komunikasi dua arah lainnya belum diatur.

Pengaturan lainnya terdapat dalam Pasal 303 yaitu mengenai

perekaman, hal ini merupakan hal baru yang diatur dalam hukum

Indonesia. Dalam ketentuan perekaman diatur mengenai larangan untuk

melakukan perekaman pada “suatu tempat tertentu”, pengaturan ini cukup

baik karena pengaturan sebelumnya di UU ITE belum menyentuh

ketentuan dalam hal perekaman dan perekaman di tempat terbuka atau

meminjam bahasa RUU KUHP di “suatu tempat tertentu”.

Permasalahan lain dari pengaturan penyadapan di RUU KUHP

adalah ketentuan ini belum memuat pemberatan pidana dalam hal

penyadapan dilakukan oleh pejabat secara melawan hukum. Hal ini perlu

diatur karena bisa jadi suatu saat penegak hukum menggunakan

kewenangan penyadapan secara sewenang-wenang dan berlindung

dengan menggunakan alasan mekanisme prosedural.

Kesewenang-wenangan aparat penegak hukum ini harus

dibedakan dengan kesalahan prosedural atau penyadapan yang tidak

sesuai dengan hukum. Penyadapan ilegal (unlawfull interception) oleh

aparat penegak hukum tidak berhubungan dengan penegakan hukum

dengan kata lain penyadapan digunakan untuk alasan lain diluar


191

penegakan hukum, atau dengan kewenangannya melakukan penyadapan

untuk kebutuhan pihak lain yang tidak berhubungan dengan penegakan

hukum atau dengan maksud lain untuk mendapatkan keuntungan dari

rekaman atau hasil penyadapan tersebut. Sedangkan apabila aparat

penegak hukum melakukan penyadapan untuk tujuan penegakan hukum,

namun dalam perjalanannya terjadi pelanggaran secara prosedural, maka

yang digunakan adalah adanya mekanisme komplain dan uji penyadapan

secara hukum acara atau prosedural pula.

Mengacu pada rumus Lord Acton plus asumsi bahwa tidak semua

aparat penegak hukum adalah ‘malaikat’, maka penyadapan seyogyanya

memang harus diawasi atau setidaknya diperketat mekanismenya.

Dengan begitu, dapat di minimalisir potensi penyalahgunaan wewenang

yang dapat merugikan warga negara Indonesia. Saat ini, memang ada

sebuah komite pengawas. Dengan komposisi unsur KPK, Departemen

Komunikasi dan Informatika, dan pihak operator telekomunikasi, komite

diberi tugas melakukan pengawasan agar penyadapan berjalan sesuai

koridor hukum. Namun, sebagaimana pernah diutarakan Wakil Ketua KPK

Chandra M Hamzah, komite yang dibentuk berdasarkan Permenkominfo

No 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 ini bekerja dengan melakukan audit

terhadap kegiatan penyadapan yang dilakukan KPK. Dengan kata lain,

komite mulai bekerja setelah penyadapan dilakukan selama periode

tertentu. Di sini terlihat masih ada celah penyalahgunaan wewenang,

karena peran komite pengawas sebatas represif bukan preventif.


192

Kewenangan komite pengawas tampaknya tidak bisa menjangkau sampai

pada saat rencana penyadapan itu diajukan pertama kali. Yang terjadi

selama ini adalah mekanisme internal yang menentukan apakah rencana

penyadapan disetujui atau tidak. Kita semua pastinya sudah paham,

sesuatu yang berlabel internal biasanya bersifat tertutup, dan tertutup

identik dengan tidak transparan.

Menurut DR. Reda Manthovani, S.H., LLM bahwa pengaturan

penyadapan dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP sudah tepat walaupun

perlu direvisi ulang karena ada hal-hal mengenai penyadapan yang

dimaksud tidak secara spesifik diterangkan. Dan seharusnya tindakan

penyadapan diatur oleh satu undang-undang saja yang berlaku umum

sehingga seluruh penyidik dapat mempunyai kewenangan dalam

melakukan tindakan penyadapan dalam hal penegakan hukum terutama

pada tindak pidana khusus. Dan pelaksanaannya diatur oleh Peraturan

Pemerintah yang juga mengatur secara keseluruhan bagi penyidik sesuai

peraturan perundang-undangan. Hal ini juga agar dapat mengurangi ego

sektoral masing-masing aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tindakan penyadapan karena di Indonesia masing-masing aparat penegak

hukum memiliki peralatan penyadapan dikarenakan kewenangan yang

dimilikinya tentunya hal ini dapat menjadikan di tiap instansi saling

melakukan penyadapan apabila instansinya diganggu. Di Amerika dan

Perancis pengaturan penyadapan diatur dalam undang-undang tersendiri

dan ada satu badan yang khusus menangani mengenai penyadapan


193

sehingga badan tersebut dapat melakukan penyadapan apabila ada

tindak pidana khusus yang telah diatur dalam undang-undang tersebut

dan tentunya harus mendapat ijin dari kepala pengadilan. Sehingga dalam

pelaksanaan penyadapan terdapat satu pintu tidak berdiri sendiri-sendiri

seperti yang ada di Indonesia, tentunya hal ini dapat membuat keabsahan

alat bukti hasil penyadapan dapat dipertanggungjawabkan. 85

Dalam hal ini penulis sependapat dengan beberapa dasar dan

pendapat diatas bahwa seharusnya aturan penyadapan di Indonesia di

atur dalam undang-undang tersendiri tentunya dengan memperhatikan

beberapa faktor diantaranya adalah hak privasi seseorang yang telah ada

dan diatur dalam UUD 1945. Dalam pelaksanaannya pun harus dibuat

peraturan pemerintah sehingga tidak ada lagi tumpah tindih ataupun

banyaknya kewenangan melakukan tindakan penyadapan oleh aparat

penegak hukum, sehingga hanya ada 1 (satu) badan saja yang di beri

tanggung jawab khusus untuk melakukan penyadapan baik untuk

penegakan hukum maupun untuk keamanan negara. Potensi

penyalahgunaan penyadapanpun dapat di kurangi apabila hanya 1 (satu)

badan saja yang khusus menangani mengenai tindakan penyadapan. Hal

ini juga kita belajar dari Amerika Serikat yang sudah mengalami baik

buruknya adanya penyadapan sejak 100 (seratus) tahun yang lalu,

sehingga mereka belajar dari banyak kesalahan dan akhirnya membuat

suatu undang-undang khusus (United States Foreign Intelligence

85
Hasil wawancara dengan DR. Reda Manthovani, S.H., LLM, selaku Kepala
Kejaksaan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 1 Agustus 2017 pukul 09.00 WIB.
194

Surveillance Act) yang mengatur mengenai penyadapan dan juga

membuat lembaga khusus (United States Foreign Intelligence

Surveillance Court) yang menangani mengenai penyadapan.

Kewenangan penyadapan seyogyanya memang harus diatur

dengan jelas, termasuk di dalamnya mekanisme pengawasan yang ketat.

Aturan jelas tidak semata-mata demi perlindungan privasi seseorang,

lebih dari itu adalah untuk menegakkan due process of law yang

memberikan jaminan konstitusi bahwa setiap warga negara berhak atas

perlindungan terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.

kewenangan penyadapan mau tidak mau memang akan bersinggungan

dengan hak privasi warga negara. Persinggungan itu akan menjadi

masalah besar jika ternyata penyadapan yang dilakukan melenceng dari

tujuan penegakan hukum. Implikasinya, tidak hanya akan merugikan hak

privasi warga negara, tetapi juga mengakibatkan macetnya due process of

law. Banyak negara merapihkan regulasi penyadapan mereka, sebagian

diantaranya melakukannya dengan membuat aturan khusus penyadapan

yang di dalamnya terdapat mekanisme yang super ketat, sementara

sebagian lagi dengan menyandingkan aturan penyadapan dengan aturan

perlindungan hak privasi.

Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas, baru sebatas

menyisipkan pasal-pasal penyadapan dalam undang-undang yang bersifat

umum. Berangkat dari kondisi ini, Indonesia sudah saatnya membenahi

regulasi mengenai penyadapan yang berlaku sekarang. Dengan dasar


195

hukum yang jelas, maka kinerja aparat penegak hukum ketika melakukan

penyadapan tidak lagi diragukan legitimasinya. Model pembenahan

regulasinya bisa mengadopsi ketentuah hukum mengenai penyadapan di

negara-negara lain. Namun yang pasti, prinsip-prinsip yang harus

diakomodir dalam pembenahan regulasi penyadapan nanti adalah

bagaimana upaya penegakan hukum tidak terhambat tetapi tetap

menghormati hak asasi warga negara Indonesia, termasuk hak privasi.

Anda mungkin juga menyukai