Anda di halaman 1dari 6

"TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP KUHAP DALAM

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA"


( STUDI KRITIS KASUS PENEMBAKAN TERHADAP 6 ANGGOTA LASKAR FPI)

[Banu Adi Mahendra, Purwanto, Septian Dwi Prakoso, Muhammad Arif Nurahman,
Muhammad Bahrul Ulum]

[Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Janabadra]

Pendahuluan

Sesuai ketentuan KUHAP Pasal 7 ayat (1) huruf j mengenai wewenang penyidik yang
berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Yang
dimaksud “tindakan lain” sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 adalah tindakan dari
penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. menghormati hak asasi manusia.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan


suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak
pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dilakukan
dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (Pasal 18 ayat 2)

Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang memegang peranan penting
dalam Negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bertugas memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberi perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.
Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya dibidang penegakan hukum
harus berpedoman pada Hukum Acara yang berlaku yaitu UU No 8 Tahun 1981 atau lebih
dikenal dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai hukum
pidana materiil.

Dalam insiden ini, berdasarkan Penelusuran Komnas HAM menemukan terjadi kejar-
mengejar, saling serempet dan seruduk, kemudian berujung saling serang dan kontak tembak
antara mobil laskar khusus FPI dan mobil petugas. Insiden ini terjadi di sepanjang Jalan
Internasional Karawang Barat dan diduga hingga kilometer 49 ruas Jalan Tol Jakarta-
Cikampek.

Berdasarkan insiden tersebut, dimana terjadi peristiwa saling serang yang menggunakan
senjata api, anggota Polri dalam melakukan tindakannya harus mengikuti ketentuan undang-
undang yang berlaku yaitu dalam Peraturan Kapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan
Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sesuai Pasal 8 ayat (1) yaitu penggunaan senjata api
oleh polisi dilakukan apabila:
a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka
parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
b. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk
menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang
merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Perkapolri No 1
Tahun 2009.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perspektif KUHAP terhadap tindakan penangkapan dan penembakan oleh


Aparat dalam perkara pidana.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif atau yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka.1 penelitian Yuridis Normatif dapat
juga dikatakan sebagai suatu studi kepustakaan karena yang diteliti serta dikaji adalah pasal-
pasal dan proses penerapan pasal terkait dengan tindakan aparat terhadap penembakan 6
anggota laskar FPI dalam penanganan kasus tindak pidana, serta literatur-literatur yang
berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Metode pendekatan yang digunakan
ialah metode Statute aprroach atau pendekatan undang-undang yakni pendekatan yang
dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.
BAB I

PEMBAHASAN

A. Perspektif KUHAP terhadap tindakan penangkapan dan penembakan oleh


Aparat dalam perkara pidana.

Sebagaimana kita telah mengetahui, penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk
menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat,baik itu meruapakan
usaha pencegahan maupun pemberantasan atas penindakan setelah terjadinya pelanggaran
hukum, baik secara preventif maupun represif. Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari
dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari seiapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya melakukan pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.1

Pada pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, mendefinisikan penagngakap sebagai suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hasl
serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.2

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penangkapan. Pertama, pejabat
yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan. KUHAP hanya memberikan
kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Tapi untuk kepentingan
penyelidikan, penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan
(Pasal 16 ayat (1) KUHAP). Jadi, kewenangan penyelidik untuk melakukan penangkapan
hanya dalam tahap penyelidikan dan itu atas perintah penyidik. Jika tidak ada perintah oleh
penyidik, penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan.

Kedua, alasan penangkapan. Berdasarkan definisi penangkapan di atas, penangkapan


diperbolehkan jika memang ‘terdapat cukup bukti’. Dengan mengacu kepada Pasal 17
KUHAP, frase ini dimaknai sebagai ‘seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup’. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan bukti
permulaan yang cukup itu, sehingga dalam praktik hal itu diserahkan sepenuhnya kepada
penyidik. Maka, perlu ada definisi yang tegas mengenai makna bukti permulaan yang cukup,
misalnya penangkapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah
penyidik jika didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 KUHAP. Alasannya, selain meminimalisir penggunaan subjektifitas penyidik atau

1
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, 1982.
2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 1 angka 20.
penyelidik dalam melakukan penangkapan, juga agar penangkapan yang dilakukan penyidik
tetap memperhatikan dan menghormati hak asasi manusia tersangka/terdakwa.

Ketiga, tata cara penangkapan. Penyidik atau penyelidik yang melakukan penangkapan
memperlihatkan surat tugas, memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Jika tertangkap tangan,
surat perintah penangkapan tidak diperlukan. Tapi, penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang
terdekat (Pasal 18).

Jika dikaitkan dengan kasus yang penulis bahas, yaitu mengenai penangkapan sekaligus
penembakan terhadap 6 (enam) orang anggota Front Pembela Islam (FPI) yang terjadi di
Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Dalam insiden yang dilatarbelakangi adanya kegiatan
pembuntutan tehadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihabyang secara aktif dialkukan oleh
kepolisian Polda Metro Jaya sejak 6-7 Desember 2020. Didapatkan fakta telah terjadi kejar-
mengejar, dan aksi saling tempel, dan serempat dan seruruk yang berujung saling serang dan
kontak tembak antara mobil Laskar Khusus FPI (Chevrolet Spin), dengan mobil petugas
pembuntutan. Terdapat 6 (enam) orang anggota Laskar Front Pemebela Islam (FPI) di
eksekusi mati oleh aparat polisi. Pada kasus ini terduga pelaku belum dapat dikatakan sebagai
tersangka tindak pidana, dikarenakan belum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
bahwasanya terduga pelaku sebagai terdakwa tindak pidana dan belum memiliki kekuatan
hukum tetap.

Pada kaitan kasus ini penangkapan sekaligus penembakan yang dilakukan oleh anggota
polri tidak sesuai dengan KUHAP yang berlaku. Disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir
3c KUHAP yang berbunyi : “Setiap orang yang disangka a, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap”. Hal ini jelas dapat dikatakan bahwa tindakan aparat kepolisian dalam melakukan
penembakan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tidak dapat dibenarkan, karena
bertentangan dengan Pasal 3c Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, mengenai asas
proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara
seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri,
sehingga tidak menimbulkan kerugian/ korban/penderitaan yang berlebihan. Berdasar sudut
pandang HAM, tentu tidak salah apabila perbuatan itu diklaim sebagai tindakan melanggar
HAM.

B. Pertanggungjawaban Aparat Kepolisian Yang Menyalahi Prosedur Dalam


Melakukan Penembakan Terhadap Pelaku Yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana

Ada dua alasan yang sering dijadikan alasan pembenar oleh aparat kepolisian setelah
menembak mati tersangka ketika akan melakukan penangkapan terhadap tersangka. Pertama,
polisi berdalih bahwa tersangka melarikan diri, dan kedua, tersangka melawan petugas ketika
hendak ditangkap. Kedua informasi dan alasan diatas hanya diperoleh secara sepihak dari
petugas aparat kepolisian, tapi bisakah dipertanyakan lebih lanjut ketika alasan yang
dikemukakan itu adalah dikarenakan tersangka melawan petugas, memakai apakah tersangka
melakukan perlawanan? Alangkah tidak adilnya ketika tersangka melakukan perlawanan
hanya dengan tangan kosong, lalu petugas melawan dengan menembakkan timah panas dari
pistolnya.

Di sisi lain dirasa tidak adil, walaupun dengan alasan tersangka melawan petugas,
dibalas dengan tembakan yang mematikan. Seseorang memiliki hak atas kebebasan, hak
hidup dan hak-hak lainnya yang dijamin oleh HAM, lalu bagaimana apabila aparat kepolisian
dalam melakukan tugasnya menggunakan kekuatan sehingga mengakibatkan luka-luka
hingga kematian, perlu ditanyakan kembali dimana HAM seseorang itu. Padahal HAM
sendiri adalah hak kodrati yang dimiliki oleh seseorang dibawa sejak lahir.

Pertanggungjawaban aparat kepolisian yang melakukan kesalahan dalam menjalankan


tugas dan fungsi jabatannya yakni yang melampaui batas wewenangnya,tidak mengindahkan
batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, merugikan orang lain atau pihak-
pihak, tidak sesuai dengan kebijaksanaan sosial, kriminal dan atau pimpinan, diskriminatif,
kasar dan sewenang-wenang serta dilakukan dengan maksud untuk kepentingan diri atau
kelompoknya dan bila tidak ada alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban. Sehingga
setiap anggota kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan seperti diatas layak untuk
mendapatkan hukuman. Kepada aparat penegak hukum yang menyalahi prosedur hingga
timbul korban dalam melakukan tembakan/penembakan terhadap pelaku yang diduga
melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman berupa tindakan hukum administratif,
sanksi etik, maupun juga sanksi pidana dan perdata.

Penutup

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Saran

Dari hasil kesimpulan pembahasan diatas, maka ada beberapa saran yang

penulis rekomendasikan yakni sebagai berikut :

Daftar Pustaka

BUKU :

Undang-undang :
KUHAP UU No 8 Tahun 1981

KUHP

UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

UU tentang Pengadilan HAM

Perkap

Internet :

Website Komnas HAM ( Keputusan Pers)

Anda mungkin juga menyukai