Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS PELAKSANAAN KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM

ACARA PIDANA TERHADAP KASUS SALAH TANGKAP DALAM


PEMBUNUHAN DICKY MAULANA
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1055 K/PID/2014)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Menyelesaikan Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Acara Pidana
Di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

DOSEN PENGAMPU :
HERY FIRMANSYAH, S.H., M.Hum., MPA.Aff.WM

NAMA PENELITI :

1. JEVONS PANGESTU (205160126)


2. MUHAMMAD ARIZA AL GHANI (205160178)
3. WILLIAM JOSEPH HUTAURUK (205160199)
4. RICKY VANDRE TEGUH JAYA (205160225)
5. RECKY YACHOP PARDOSI (205160229)
6. REFLY ADIDJASA SAHETAPY (205160244)
7. VANNESIA IMANUELLA PANDELAKI ( 205160246)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
TAHUN AJARAN 2017/2018
ABSTRAK
Suatu tindakan yang dilarang dan patut diduga melanggar hukum pidana materiil, sejatinya
harus diproses sesuai dengan sistem peradilan pidana/KUHAP(Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan
hukum pidana formal, mengatur mengenai bagaimana penegakan hukum pidana materiil,
Sayangnya didalam praktik keseharian hal-hal yang diakomodir KUHAP tidak berjalan
sebagai mana mestinya,, Seperti contoh kasus Nomor 1055 K /PID/2014, Terjadi
penyalagunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum didalam proses
beracara pidana. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk kualitatif. Metode pendekatan yang
digunakan pada penelitian ini berupa metode yuridis-normatif. Tahapan penelitian
dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang membantu dalam menganalisa dan memahami bahan
hukum primer. Teknik dan alat pengumpulan data dilakukan dengan menganalisa data
kepustakaan.

ABSTRACT
An act that is prohibited and reasonably suspected of a criminal offense, must in fact be
processed by the criminal justice system. Criminal procedure law or better known as formal
criminal law regulating criminal law enforcement.Unfortunately daily practice in the
Criminal Procedure Code does not work properly, the example is case Number 1055
K/PID/2014, there is abuse of power commited by law enforcement officers in criminal
proceedings. This research is in qualitative form. The method used is juridical-normative
method. Stages of research conducted by conducting library research consisting of primary
legal materials and secondary legal materials that assist in analyzing and understanding the
primary legal materials. Techniques and data collection tools are done by analyzing
bibliographic data.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana adalah suatu kejahatan yang telah diatur dalam undang-undang dan
begitu pula didalam KUHP. Tindak pidana pembunuhan adalah hal yang sangat sering kita
dengar di masyarakat. Pembunuhan dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja sehingga
membuat kita harus waspada.
Dalam proses penegakan terhadap tindak pidana materiil yakni dalam kasus
pembunuhan tentunya kita akan mengacu pada KUHAP sebagai hukum formal guna
menegakan hukum materiil.
Hukum acara pidana menurut Simons yakni : “Hukum acara pidana adalah ketentuan-
ketentuan yang mengatur bagaimana caranya Negara dengan perantara alat-alat kekuasaanya
menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. Jadi, hukum acara
memuat ketentuan beracara pidana (hukum acara pidana)”1.
Dalam pengertian hukum acara menurut Simons perlu ditekankan bahwa hukum acara
mengatur alat alat kekuasaan negara menggunakan haknya untuk menjatuhkan hukuman,
sayangnya hal tersebut seringkali tidak sesuai daripada apa yang di atur didalam KUHAP
sehingga menimbulkan polemik dalam proses beracara pidana.
Dalam KUHAP kita mengenal proses penyelidikan dan penyidikan, Sebagaimana kita
tahu Pasal 1 Angka 4 : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Sementara yang di maksud dengan penyidikan terdapat didalam Pasal 1 angka 2:” Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” .namun, Proses
penetapan tersangka seringkali menjadi permasalahan yang serius dalam penegakan hukum,
Karena terkadang aparat penegak hukum mengabaikan aturan aturan didalam KUHAP yang

1
Simons (P.A.F. Lamintang, 1997:11)
semestinya menjadi pedoman dalam bagi aparat penegakan hukum terutama mengenai
penetapan tersangka.

Penetapan Tersangka sendiri menurut KUHAP diatur dalam :


Pasal 1 ayat 14 KUHAP yang berbunyi “Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya berdasar bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana”
Pasal 1 ayat 17 KUHAP yang berbunyi “perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.”
Dalam penetapan tersangka yang diatur dalam pasal pasal KUHAP diatas terdapat
frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” yang menimbulkan kerancuan.
Kerancuan inilah yang seringkali memicu aparat penegak hukum sewenang wenang terhadap
penetapan tersangka karena tidak disebutkan secara pasti bagaimana maksud dari “bukti
permulaan” maupun “bukti permulaan yang cukup”. Seringkali aparat penegak hukum
menjadi bersifat subjektif daripada objektif dalam penetapan tersangka sehingga bisa saja
terjadi salah tangkap/error in persona.
Pengertian mengenai istilah salah tangkap (error in persona) tidak terdapat dalam
KUHAP maupun peraturan perundang – undangan yang lain. Namun secara teoritis
pengertian salah tangkap (error in persona) ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-
ahli hukum. Secara harfiah arti dari salah tangkap (error in persona) adalah kekeliruan
mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya2.
Terjadinya salah tangkap oleh aparat penegak hukum tentunya memberi dampak yang
sangat besar terhadap korbannya dalam segala segi.
Dalam mini skripsi ini, peneliti mencoba mengangkat kasus pembunuhan Dicky
Maulina ( Nomor 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel ) yang dilakukan oleh terdakwa Andro
Supriyanto dan Nurdin Prianto dalam upaya hukum pengadilan negri terbukti bahwa memang
terjadi tindak pidana pembunuhan dan putusan pengadilan negri menyatakan bahwasanya
merekalah yang melakukan pembunuhan.
Namun para terpidana mengajukan banding pada tingkat pengadilan tinggi ( Nomor
50/PID/2014/PT.DKI ) dan dinyatakan tidak bersalah dan membatalkan putusan pengadilan
negri, Serta diperkuat dengan putusan kasasi yang mendukung putusan daripada pengadilan

2
M. Marwan, Rangkuman Istilah dan pengertian dalam hukum (2009: 18)
tinggi. Pelaku yang divonis tidak bersalah tersebut bisa dikatakan menjadi terpidana salah
tangkap karna ketidaktelitian penyidik dalam menetapkan status terdakwa, Mini skripsi ini
akan meneliti bagaimana perlindungan terhadap hak hak terpidana salah tangkap tersebut dan
penetapan saksi.
Saksi selain berposisi sebagai salah satu pihak dalam hukum acara pidana juga
merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana. Kedudukan saksi di dalam proses
pembuktian begitu menentukan, karena saksi adalah alat bukti pertama yang akan diperiksa di
dalam persidangan. Menurut ketentuan KUHAP dalam pasal 1 ayat 26, Saksi adalah orang
yang dapat memperikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penurutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri3.
Dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana bahwasannya saksi-saksi didalam
pengadilan negri nomor 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel yang diajukan oleh penuntut umum
tidak seorangpun melihat / mengetahui secara langsung terdakwa-terdakwa melakukan
pembunuhan.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan yakni:
1. Bagaimanakah perlindungan terhadap hak-hak terpidana salah tangkap?
2. Bagaimana ketentuan penetapan saksi menurut kitab undang-undang hukum acara pidana
di dalam kasus Dicky maulana?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan yang dijamin didalam KUHAP mengenai hak-hak
terpidana salah tangkap;
2. Untuk mengetahui sah atau tidaknya penetapan saksi sesuai dengan kitab undang-undang
hukum acara pidana didalam kasus Dicky maulina .

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat penelitian secara umum
a. Diharapkan mampu memberi gambaran kepada masyarakat mengenai perlindungan
hak-hak terpidana salah tangkap;

3
Tolib Effendi,SH.,MH,“Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana”,(Malang,2014), Hal. 64
b. Dapat menjadi literatur atau refrensi untuk penyelitian berikutnya dalam kasus yang
serupa
c. Untuk menginformasikan mengenai syarat sah nya saksi dalam proses beracara pidana

2. Manfaat bagi mahasiswa


Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai proses beracara pidana dan
mengaplikasikan ilmu agar dapat di kembangkan dalam dunia pendidikan serta meningkatkan
kemampuan untuk menerangkan lebih spesifik mengeni kasus salah tangkap(error in persona)
dan dapat mengidentifiasi pasal pasal dan teori teori yang relevan dalam merumuskan
masalah agar pendalaman ilmu dapat di tergetkan dengan baik.

3. Manfaat bagi universitas


Menjadi bahan referensi dalam pengumpulan hasil riset secara teoritis untuk universitas
dan di harapkan dapat membantu menjadi salah satu kumpulan laporan penelitian guna
menambah kumpulan laporan penelitian untuk di kaji dengan permasalahan yang sama.

4. Manfaat bagi masyarakat


Dapat memberi pengetahuan bahwa pentingnya suatu upaya penegakan hukum acara
pidana oleh penegak hukum agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalam kitab
undang-undang hukum acara pidana, Sehingga menghindari adanya terjadi penyalagunaan
kekuasaan oleh aparat penegak hukum terhadap masyarakat
BAB II

TINJAUAN UMUM

1. Perlindungan Hak – Hak Terpidana Salah Tangkap


Pengertian mengenai istilah error in persona tidak terdapat dalam KUHAP maupun
peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teori pengertian error in persona ini
bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari error in
persona adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya.
Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau
penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus.
Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau kekeliruan mengenai orangnya.
Titik berat yang akan dibahas dalam pasal ini adalah mengenai terpidana, hal ini
mengandung arti bahwa peradilan telah mengeluarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, akan tetapi putusan mengandung diktum bebas dari tuduhan, lepas dari
segala tuntutan hukum (putusan tingkat pertam, banding maupun kasasi)4.
Ketentuan hukum perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana
pembunuhan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No.48
Tahun 2009 :
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan
pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang. Dalam ketentuan Pasal 9,
nyatalah bahwa meskipun seseorang yang di dakwa telah melakukan suatu tindak
pidana, haruslah dianggap belum bersalah sampai suatu Pengadilan menyatakan
kesalahannya dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan

4
Hanafi Asmawie. Ganti rugi dan rehabilitasi menurut KUHAP.(Jakarta,1992).hlm 14-15
dengan demikian maka orang yang di dakwa telah melakukan tindak pidana harus
dijamin hak asasinya.
Hukum yang berhubungan dengan perlindungan Hak Terpidana terdapat di
Pasal 95 ayat 1 KUHAP menyebutkan bahwa Tersangka, terdakwa atau terpidana
berhak menuntuk ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-ndang atau karena
kekeliaruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Pasal ini menjadi dasar
yang kuat bagi korban salah tangkap atau salah tindakan kepolisian untuk menuntut
ganti rugi. Didalam hukum pidana terdapat kebijakan hukum perlindungan korban
salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia.

a. Kebijakan Penal (Penal Policy)


Kebijakan dengan menggunakan sarana penal (penal Policy), yaitu
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui
sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut,
dalam jangka pendek adalah resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah
adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan
akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial. Hukum pidana disini berfungsi
ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional, serta sebagai
sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan oleh Negara
dengan alat perlengkapannya. Kebijakan kriminal dengan menggunakan Penal Poilcy
dalam perkara salah tangkap yang dimajukan ke depan pengadilan, ditentukan atas
dasar adanya dua masalah.
Yang pertama adalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
yaitu untuk menyatakan seseorang melanggar hukum, pengadilan harus dapat
menentukan “kebenaran” akan hal tersebut, dan untuk menentukan kebenaran
diperlukan bukti-bukti. Dan yang kedua adalah rumusan tentang bentuk perlindungan
bagi korban akibat kekeliruan penangkapan, penahanan, penuntutan oleh aparat
penegak hukum yang tidak berdasarkan undang-undang. Setiap pelanggaran terhadap
hak asasi manusia, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa menerbitkan
kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan kepada korbannya, apakah itu
pemulihan secara materill maupun immaterill.
b. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy)
Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat dilakukan tanpa menggunakan
upaya hukum pidana, upaya lain yang dapat dilakukan, adalah penyantunan dan
pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga
masyarakat; penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan
sebagainya; serta kegiatan pengawasan yang efektif dan berkesinambungan oleh polisi
dan aparat keamanan, serta penyantunan dalam rangka mempertanggungjawabkan
kelalaian yang dilakukan oleh alat kelengkapan Negara dan lainnya.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan dan tidak
berdasarkan undangundang, diantaranya rendahnya budaya hukum aparat penegak
hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.

Teori Perlindungan Hukum menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn


hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukandengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.Perlindungan hukum mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab
yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum, yang
sangat penting untukdijadikan agenda utama bagi negara adalah bagaimana kebijakan
pengaturan tindak pidana terorisme tersebut harus berada dalam dua titik keseimbangan yaitu
antara prinsip “kebebasan” dan prinsip “keamanan”. Akan menjadi kontradiktif jika negara
tidak bisa menjaga keseimbangan antara prinsip “liberty”(kebebasan) dan “security”
(keamanan) tersebut.

Teori Hak Asasi Manusia Menurut Jack Donnely,hak asasi manusia adalah hak-hak
yang dimiliki manusia semata- mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan
karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkanhukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak Asasi Manusia adalah tidak
terpisahkan (inhaerent) dengan dan merupakasn perlindungan terhadap nilai martabat manusia
(The dignity of the human person), sehingga oleh sebab itu harus dijunjung tinggi oleh
Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila.Menurut Theo Hujibers
membedakan hak kodrati ke dalam 2 bagian, yaitu hak manusia (HumanRights) dan hak
undang-undang (Legal Rights). Hak Manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap
manusia. Jadi hak manusia mempunyai sifat dasar, asasi, sehingga disebut juga hak manusia
(human rights). Sedang hak Undang-Undang adalah hak yang melekat pada manusia karena
diberikan oleh undang-undang. Hak ini adanya lebih kemudian dari manusia, bukan
merupakan bagian dari eksistensi manusia. Karena diberikan oleh Undang-undang, maka
pelanggaran hak ini dapat dituntut di depan pengadilan berdasarkan Undang-undang.

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut Hak Asasi Manusia
Menurut Yahya Harahap bahwa kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya
diistilahkan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat
kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya
yang dimaksud hendak ditahan atau ditangkap.22 Sementara itu Sugeng mendefenisikan
bahwa korban salah tangkap adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan kesalahan aparat
negara dalam hal ini kepolisian dalam menangkap pelaku sebenarnya dengan kesewenang-
wenang atau tidak berdasarkan undang-undang.
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut KUHAP :
1. Ganti Kerugian ganti kerugian merupakansuatuupaya untuk
mengembalikan hak-Hak korban, yang karena kelalaian aparat penegak hukum telah
salah dalam menentukan seseorang untuk dijadikan sebagai tersangka/terdakwa dalam
suatu tindak pidana Menurut Pasal 1 ayat 22 KUHAP, yaitu: "Ganti kerugian adalah
hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.
2. Rehabilitasi Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk
memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah
sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
2. Pengertian Saksi dalam ruang lingkup hukum acara pidana
Saksi merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana, kedudukan saksi di
dalam proses persidangan sangat menentukan, karena saksi merupakan alat bukti pertama
yang di periksa dalam persidangan. Kata Saksi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia/KBBI adalah “orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa
(kejadian)”5.
Usaha untuk mencari titik terang terhadap dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana
maka diperlukan bukti yang mendukung bahwa memang telah terjadi tindak pidana tersebut.
Adapun bukti yang dimaksudkan disini adalah bukti yang berhubungan langsung maupun
tidak langsung terhadap tindak pidana yang terjadi. Untuk bukti yang bersifat langsung
diantaranya adalah dengan adanya korban yang jelas-jelas dirugikan baik kerugian jasmani
maupun kerugian rohani yang dideritanya, sedangkan adanya saksi yang melihat, mengetahui
atau mendengar sendiri telah terjadinya tindak pidana6.
7
Ketentuan mengenai saksi juga di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP dalam Pasal 1 butir 26 “saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Berdasarkan pengertian daripada pasal 1 butir 26 KUHAP maka dapat diambil
beberapa kesimpulan yang merupakan syarat-syarat dari saksi adalah :
1. Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tindak pidana
2. Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana
3. Orang yang mengalami sendiri dan atau orang yang langsung jadi korban peristiwa yang
merupakan tindak pidana
Dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP, di katakan
bahwa saksi termasuk dalam alat bukti yang sah.
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk

5
Dapat di lihat di Kamus besar bahasa indoesia
6
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelasaian Perkara Pidana Menurut KUHAP bagi penegak
hukum), (Bogor:Politea,1982), hlm.54.
7
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Acara PIdana (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm.81.
5. Keterangan terdakwa
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, tetapi terdapat ketentuan dalam
KUHAP yang menjadikan tidak semua orang dapat bersaksi, hal ini di atur dalam Pasal 168
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP, yang berisikan :
“Kecuali ketentuan lain dalam undang-undang ini maka tidak dapat di dengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa.
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-
anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Saksi dalam pemberian keterangan harus berdasarkan apa yang di dengar, di lihat, dan
di alami olehnya, tidak boleh di lebih-lebih kan atau di kurang-kurangi/sesuai dengan yang
terjadi. Jika di dapatkan saksi meberikan keterangan palsu, maka hakim ketua sidang dengan
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah
penahanan dan selanjutnya tuntutan dengan dakwaan sumpah palsu seperti yang di atur dalam
Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :
1. Apabila keterangan saksi di sidang disangkal palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya
dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
2. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntun umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya di tuntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
3. Dalam hal demikian, oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang
memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut di tandatangani oleh hakim ketua sidang
serta panitera dan segera di serahkan kepada penuntut umum untuk di selesaikan
menurut ketentuan undang-undang ini.
4. Jika perlu, hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai
pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 9 terdapat ketentuan yang mengatakan bahwa saksi tidak harus hadir dalam
persidangan8:
1. Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar,
atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa.
2. Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan
kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut.
3. Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat
yang berwenang.
Menurut D.Simons berpendapat bahwa “satu keterangan saksi yang berdiri sendiri,
tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi dapat membuktikan suatu keadaan
tersendiri dan suatu petunjuk dasar pembuktian untuk seluruh unsur delik”9

a. Macam Macam Saksi


Saksi merupakan suatu kewajiban hukum, maka oleh itu jika ditinjau kedudukan saksi
secara yuridis, keterangan saksi itu merupakan alat bukti yang utama dalam menentukan
terbukti atau tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa. Orang-orang yang didengar
keterangannya sebagai saksi diperlukan beberapa syarat-syarat tertentu10, Oleh karna itu saksi
terbagi kedalam golongan-golongan sebagai berikut :

1. Yang Memberatkan (Saksi A Charge)


Dapat dikatakan bahwa saksi A Charge merupakan saksi yang mana memberatkan
tersangka, dimana keterangan daripada saksi ini biasanya diajukan oleh jaksa penutut umum,
saksi korban juga termasuk kedalam kategori saksi yang memberatkan, hal ini dilakukan oleh
jaksa penuntut umum karena dalam persidangan dia harus dapat membuktikan akan segala
sesuatu hal yang ia tuntut dari si pelaku tindak pidana tersebut sehingga dalam melaksanakan

8
Dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 pasal 9
9
D.Siimons,op.cit hlm 161-162
10
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Sumur,1977)., hlm.110.
tugasnya sebagai penuntut umum dipersidangan ia harus mampu meyakinkan hakim dengan
bukti-bukti yang kuat bahwa benar telah terjadi peristiwa yang merugikan korban.11

2. Yang Meringankan (Saksi de Charge)


Saksi A de charge adalah saksi yang meringankan terdakwa guna melakukan
pembelaan terhadap dirinya, saksi A de Charge pada umumnya di ajukan oleh terdakwa atau
penasehat hukum sewaktu sidang pengadilan, Pasal 65 KUHAP mengatakan : “Tersangka
atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki
keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya”. Tetapi
terhadap saksi A de Charge ini penuntut umum boleh mengajukan keberatan terhadap saksi-
saksi dengan menyebutkan alasan-alasanya. Dan hakim menjadi peran penting dalam
menentukan apakah saksi tersebut diperbolehkan untuk memberikan keterangan guna
kepentingan persidangan, yang mana diatur dalam pasal 159-179 KUHAP.

3. Saksi Ahli
Pasal 1 butir 28 KUHP, bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suati perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Definisi apa yang dimaksud dengan saksi ahli didalam pasal 343 Ned.Sv adalah sebagai
berikut : “Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya”
Jadi, Dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari(dimiliki) seseorang, pengertian ilmu pengetahuan
(wetenschap)12

4. Saksi Mahkota
Menurut Ilman Hadi Saksi Mahkota adalah : “Saksi mahkota adalah istilah untuk
tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama
melakukan suatu perbuatan pidana”13
Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam
bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang

11
Ibid., hlm120
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta , 2015).Hlm 273
13
Dapat dibaca dihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbae50accb01/definisi-saksi-mahkota
sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan
yang pernah dilakukan.bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama
terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan14.
Maka dapat disimpulkan bahwasanya saksi mahkota adalah saksi yang bersedia membokar
atau menjadi saksi darpada perbuatan pidana daripada komplotan yang dilakukan dan menurut
Andi Hamzah syarat saksi mahkota adalah : “syaratnya ialah dia bersedia membongkar
komplotan itu”15.

14
Putusan Mahkamah Agung (No. 1989K/Pid.Sus/1989)., Tanggal 6 Agustus 1989.
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesi,(Jakarta,2015).hlm 272
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Spesifikasi Penelititian
Peneltian ini dilakukan dalam bentuk kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu sebuah metode yang bertujuan untuk menjelaskan
hasil dari data yang didapat dalam penelitian. 16

2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan pada peneltian ini berupa metode pendekatan
yuridis –normatif, yaitu menekankan hasil penelitian dari segi-segi yuridis yang difokuskan
pada penelitian kepustakaan (library research).

3. Tahapan Penelitian
Berdasarkan pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, tahapan
penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang
dimaksudkan untuk memperoleh data berupa :
1) Bahan hukum primer, berupa undang-undang yang mengatur tentang proses beracara
pidana mengenai hak-hak terpidana salah tangkap mengenai ganti rugi dan rehabilitasi
pada pasal 95 ayat 1 KUHAP, dan ketentuan sahnya saksi menurut pasal 1 angka 26
KUHAP
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan berupa buku referensi dan jurnal yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang membantu dalam
menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

4. Teknik Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan, yaitu
dengan mengumpulkan dan menganalisa data kepustakaan.

5. Alat Pengumpulan Data


Alat yang penulis gunakan dalam menyusun hasil penelitian ini adalah dengan studi
kepustakaan, yaitu dengan
A) Menggunakan buku-buku dan dokumen yang berisi teori dan pandangan dari para ahli
hukum.
B) Menggunakan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan proses beracara pidana.

6. Analisis Data
Analisis dilakukan dengan proses penguraian data yang didapat secara sistematis
terhadap gejala yang terjadi. Adapun data penelitian ini diuraikan secara kualitatif.

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press : Jakarta. 1986
7. Lokasi Penelitian
Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis
mengadakan penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian
Berdasarkan data yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta,
pengaduan atas kasus salah tangkap hingga penyiksaan oleh oknum kepolisian dalam 3 tahun
terakhir yaitu dari tahun 2015, 2016 hingga 2017 tercatat sebanyak 37 kasus yang dilaporkan.
Usia korban terpidana salah tangkap berkisar dari usia muda/belum dewasa hingga usia
dewasa. Kasus salah tangkap ini sudah seringkali terjadi di lingkungan aparat penegak hukum
khususnya polisi, bukan hanya terhadap orang yang disangka pelaku kriminal. Ini
membuktikan bahwa kinerja polisi di lapangan tidak profesional dan hanya untuk memenuhi
target saja. Untuk kasus – kasus yang banyak mndapat sorotan masyarakat, polisi sering
bertindak tidak sesuai prosedur demi menuntaskan kasus sehingga menyebabkan salah
tangkap. Ada juga beberapa kasus yang tidak dipublikasikan oleh aparat penegak hukum
dikarenakan pandangan masyarakat terhadap aparat penegak hukum akan mengalami
perubahan. Perubahan tersebut berupa Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum akan berkurang dan konsistensi aparat penegak hukum akan semakin dipertanyakan
seiring dengan bertambahnya kasus salah tangkap di Indonesia17.
Grafik Kasus Fair Trial pada tahun 2016

Fair trial

11

23

Salah tangkap korban salah tangkap yang disiksa korban salah tangkap dibawah umur

17
Dapat dibaca di Catatan Akhir Tahun BantuanHukum
Dapat dilihat pada grafik di atas pada kasus fair trial klaim daripada LBH (lembaga
bantuan hukum) pada tahun 2016 mengenai kasus salah tangkap , yang mana pada tahun 2016
mencapai 23 orang diantaranya 11 merupakan korban salah tangkap dibawah umur , dan 6
merupakan korban salah tangkap yang disiksa oleh pihak aparat penegak hukum

Komite Anti Penyiksaan PBB dalam laporannya pada bulan Mei tahun 2008
menyatakan bahwa praktik penyiksaan di Indonesia cenderung meluas meski Indonesia
merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Hal tersebut jelas-jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UU No. 39
Tahun 1999 karena dari segi perlindungan hak asasi manusia, baik terhadap terpidana maupun
pemidana, maka peristiwa salah tangkap adalah hal yang sangat fatal dan memprihatinkan.
Adapun seperti adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana “lebih baik membebaskan
seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang benar”.

Pada kerangka akses terhadap keadilan, tercatat sebanyak 7 peristiwa penyiksaan


dilakukan oleh aparat kepolisian yang dilakukan institusi Kepolisian Daerah (Polda) dan
Kepolisian Resor (Polres) dalam menjalankan kewenangannya sebagai penyidik. Banyak
peristiwa yang di antaranya terjadi seperti salah tangkap yang disertai penyiksaan hingga
menyebabkan korban tewas, seperti yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Peristiwa ini dialami oleh lansia berusia 68 Tahun yang disiksa hingga tewas oleh aparat
Polres Tanjung Perak atas tuduhan kepemilikan narkoba. Jumlah Korban penyiksaan pada
bulan Februari 2017 tercatat sebanyak 3 orang tewas dan 7 orang mengalami luka-luka.
Kemudian, tindakan penganiayaan berat dilakukan oleh aparat TNI terjadi sebanyak 2
peristiwa dengan jumlah korban 1 orang tewas dan 4 orang mengalami luka-luka. Serta
terdapat 2 peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh sipir lembaga pemasyarakatan di Lapas
Bengkalis dan Rutan Panjang, Riau dengan akibat korban tewas 1 orang dan 1 orang
mengalami luka-luka18

18
http://www.kontras.org/data/20170504_Laporan_Kondisi_Hak_Asasi_Manusia_di_Indonesia_Periode_Janua
ri_Maret_2017_9ug9un43er.pdf
Seperti yang kita tau bahwa hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil yang
mana dibutukannya hukum acara pidana (formal), karena itu pembuktian didalam hukum
pidana sejatinya harus jauh lebih teliti dan berhati hati, demi menentukan apakah suatu
kejadian dapat digolongkan sebagai tindakan pidana dan guna menduga seseorang sebagai
tersangka, hal ini dikarenakan di dalam hukum pidana pemberian sanksi yang diberikan
kepada terpidana memberikan hukuman yang berat sehingga seyogyanya hal tersebut harus
dilakukan dengan berhati-hati, sehingga dalam hakim merasa ragu terhadap alat bukti
dipesidangan maka hakim sebaiknya menjatuhkan putusan bebas.

Perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap korban


termasuk korban salah tangkap merupakan salah satu bentuk perwujudan atas penghormatan,
penegakan , dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan menunjukkan adanya persamaan
prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat digambarkan bahwa antara negara hukum dan
penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda19.

Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah terjadinya
pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Pelanggaran tersebut dapat
berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif , pelanggaran terhadap diri pribadi
tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-
bukti suatu perkara20

B. PEMBAHASAN
Pengertian mengenai istilah salah tangkap (error in persona) tidak terdapat dalam
KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teoretis
pengertian salah tangkap ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum
seperti M. Marwan yang secara harfiah mengartikan bahwa salah tangkap berarti adalah
keliru mengenai orang yang dimaksud. Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan
penangkapan,atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya
diputus. Menurut M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa kekeliruan dalam penangkapan
mengenai orangnya dapat diistilahkan Disqualification in person yang berarti orang yang
ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah

19
H.A.Mansyur Effendi., Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, (Bogor: Ghalia
Indonesia,1993),halaman . 33
20
O.C.Kaligis.,Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.(Bandung:
PT.Alumni,2006),halaman . 233
menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan.
Menurut Sugeng bahwa korban salah tangkap adalah orang/sekelompok orang yang
mengalami penderitaan fisik,mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
kesalahan aparat Negara dalam hal ini kepolisian dalam menangkap pelaku sebenarnya
dengan kesewenang-wenangan atau tidak berdasarkan Undang-Undang.
Dari beberapa kasus salah tangkap yang ada peneliti mencoba menganalisa putusan
kasus pengadilan nomor 1055/K/PID/2014 yang merupakan kasus salah tangkap atas
pembunuhan DICKY MAULANA, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung terdakwa
bernama ANDRO SUPRIANTO dan NURDIN PRIANTO terbukti tidak bersalah dengan
menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kronologinya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa awalnya Dicky Maulana (korban) sebagai pengamen pendatang baru di
sekitar Jembatan layang Cipulir Jakarta Selatan, di wilayah tempat
tongkrongan Para Terdakwa (ANDRO SUPRIYANTO als ANDRO dan
NURDIN PRIANTO als BENGES) bersama dan teman-temannya sebagai
pendatang baru ia tidak meminta izin lebih dahulu kepada Para Terdakwa dan
teman-temannya dimana di tempat tersebut Terdakwa ANDRO
SUPRIYANTO ALS ANDRO ditunjuk sebagai wakil ketua sedangkan
Terdakwa NURDIN PRIANTO als BENGES diangkat sebagai ketua dengan
istilah panggilan Abang Abangan;
2. Bahwa pada hari Minggu tanggal 30 Juni 2013 sekitar jam 08.00 WIB
Terdakwa ANDRO SUPRIYANTO ALS ANDRO datang dari Parung Panjang
Jawa Barat bersama dengan istrinya (Saksi OKY OKTAVIA) dan ARGA
PUTRA als UCOK, MUHAMAD FATAHILAH als FATA dan NURDIN
PRIANTO alias BENGES setelah mereka sampai di Stasiun Kebayoran Lama
sekitar jam 9.30 WIB langsung menuju Jembatan Layang Cipulir Jakarta
Selatan tempat mereka Terdakwa dan teman-temannya berkumpul sebelum
mengamen;
3. Bahwa pada saat sampai di atas jembatan layang cipulir Jakarta Selatan
tersebut Para Terdakwa selanjutnya mereka mengobrol-ngobrol dan bercanda
tidak lama kemudian korban DICKY MAULANA (alm) datang dari arah
Kebayoran Lama baru saja turun dari Metro mini 69 dan Para Terdakwa
bersama-sama dengan teman-temannya berubah topik obrolan dan
membicarakan korban DICKY MAULANA (alm) sebagai pengamen
pendatang baru saja sudah Songong dan kalau mabuk suka bikin reseh di
tempat tersebut dan terhadap Ade Adean sesama pengamen terlalu menindas
selanjutnya Terdakwa II. NURDlN PRIANTO alias BENGES berbicara
kepada Terdakwa. I. ANDRO SUPRIYANTO ALS ANDRO dan Saksi ARGA
PUTRA als UCOK, MUHAMAD FATAHILAH als FATA, dan Saksi
BAGUS FIRDAUS als PAU, FIKRI PRIBADI als FIKRI berbicara "Bagai
mana kalau kita kasih pelajaran / digulung / disekolahkan;
4. Bahwa kemudian Saksi BAGUS FIRDAUS als PAU memanggil korban
DICKY MAULANA (alm) dan pada saat itu korban DICKY AMULANA
(alm) dalam keadaan Mabok selanjutnya Terdakwa NURDIN PRIANTO alias
BENGES berbicara kepada korban dan mengajak korban DICKY MAULANA
(alm) ke bawah jembatan lalu korban bertanya kepada Terdakwa NURDIN
PRIANTO alias BENGES " Ngapain kita ke bawah (kolong jembatan layang)
lalu dijawab oleh Terdakwa l. NURDIN PRIANTO alias BENGES "Kita
minum-minum di bawah yuk" kemudian Terdakwa l. ANDRO SUPRIYANTO
ALS ANDRO. Dan Saksi ARGA PUTRA ats UCOK, MUHAMAD
FATAHILAH als FATA dan Terdakwa l. NURDIN PRIANTO AIs BENGES
DAN BAGUS FIRDAUS als PAU, serta FIKRI PRIBADI als FIKRI
mengikuti korban DICKY MAULANA (alm) dari belakang;
5. Bahwa kemudian setelah sampai di bawah / kolong Jembatan Cipulir Jakarta
Selatan di pinggir kali Cipulir korban DICKY MAULANA langsung diputeri
(dikelilingi) oleh Para Saksi, (ARGA PUTRA als UCOK, MUHAMAD
FATAHILAH als FATA ) dan Terdakwa NURDIN PRIANTO alias BENGES,
BAGUS FIRDAUS als PAU pada saat dikelilingi oleh mereka tersebut
(ARGA PUTRA als UCOK, MUHAMAD FATAHILAH als FATA dan
NURDIN PRIANTO alias BENGES, BAGUS FIRDAUS als PAU, FIKRI
PRIBADI als FIKRI) kemudian Terdakwa NURDIN PRIANTO alias
BENGES (ketua) langsung berbicara kepada korban DICKY MAULANA
(alm) "Selama ini kok lo songong banget sama anak-anak dan kenapa lo suka
nyuruh-nyuruh yang kecil terus dan sekarang kok lo ngelunjak di diemin ma
anak-anak" selanjutnya Terdakwa NURDIN PRIANTO alias BENGES
langsung menusukan pisau lipat yang selalu dibawanya ke bagian belakang
kuping kanan korban DICKY MAULANA dan saat itu korban sempat
menangkis selanjutnya pisau lipat tersebut (milik NURDIN PRIANTO alias
BENGES) diambil alih oleh Terdakwa ANDRO SUPRIYANTO ALS
ANDRO langsung menusukkan ke tubuh korban mengenai bagian kiri rusuk
korban DICKY MAULANA dan korban jatuh tersungkur dalam posisi sujud
6. Bahwa Setelah korban DICKY MAULANA jatuh tersungkur selanjutnya pisau
lipat tersebut direbut kembali oleh Terdakwa NURDIN PRIANTO alias
BENGES dari tangan Terdakwa ANDRO SUPRIYANTO ALS ANDRO yang
kemudian ditusukkan kembali pisau lipatnya ke bagian atas tangan korban
sebelah kanan kemudian telapak tangan kanannya korban DICKY MAULANA
disayat dengan pisau lipat oleh Saksi NURDIN PRIANTO alias BENGES;
7. Bahwa pada saat itu ketika korban yang sedang jatuh tersungkur dengan posisi
sujud kepalanya korban (DICKY MAULANA) ditegakan oleh Saksi Bagus
Firdaus als Pau kemudian dipukul sebanyak dua kali oleh Saksi Bagus Firdaus
als Pau dan Muhamad Fatahilah als Fata mengambil potongan kayu yang
sudah berada di pinggir kali selanjutnya memukulkan ke tangan korban
sebanyak satu kali dan Saksi Argo Putro als Ucok membangunkan tubuh
korban (DICKY MAULANA (alm) yang saat itu posisi sujud dengan kepala
tersungkur dengan cara Saksi ARGA PUTRA als UCOK mengangkat pundak
korban dan setelah tubuh korban terbangun Saksi ARGA PUTRA ats UCOK
memukul sebanyak dua kali ke bagian dada korban. Dan Saksi FIKRI
PRIBADI als FIKRI mengambil sebilah golok yang selanjutnya menebas /
membacok korban (DICKY MAULANA) di bagian pipi korban sebelah
kanan;
8. Bahwa Kemudian pisau lipat milik Terdakwa Nurdin Prianto als Benges
diambil Terdakwa Andro Supriyanto als Andro selanjutnya pisau tersebut
tusukan ke pipi kiri korban (DICKY MAULANA) lalu pisau lipat tersebut
diletakan di pinggir kali sedangkan Saksi Fikri Pribadi als Fikri memegang
golok ditebaskan ke kening korban DICKY MAULANA sebelah kanan
Sedangkan pisau lipat yang berada di pinggir kali yang dipakai menusuk
korban diambil oleh Terdakwa Nurdin Prianto alias benges di buang ke tengah
kali Cipulir Jakarta Selatan;
9. Bahwa korban Diky Maulana masih dalam posisi sujud dengan kepala
tersungkur dan mereka Terdakwa Andro Supriyanto als Andro dan Saksi
(Arga Putra als Ucok, Muhamad Fatahilah als Fata dan Nurdin Prianto alias
Benges, Bagus Firdaus als Pau, Fikri Pribadi als Fikri) masih berada di kolong
jembatan layang Cipulir tersebut, saat itu korban (DICKY MAULANA)
mengulet dan terpeleset jatuh nyemplung ke dalam kali Cipulir Jakarta Selatan.
Selanjutnya oleh Terdakwa ANDRO SUPRIYANTO ALS ANDRO bersama
Para Saksi menarik korban dan menaikkan ke pinggir kali di bawah kolong
jembatan layang yang kemudian korban DICKY MAULANA terbangun dan
bersandar ke pinggir tembok dan dudukan bersandaran tembok di pinggir kali
Cipulir di bawah Jembatan / Kolong Jembatan layang Cipulir Jakarta Selatan;
10. Bahwa selanjutnya korban meminta minum dan Saksi Muhamad Fatahilah als
Fata naik ke atas jembatan layang mencari minuman Aqua gelas yang
selanjutnya Saksi Muhamad Fatahilah als Fata turun kembali ke kolong
jembatan layang Cipulir dan memberikan minuman Aqua tersebut kepada
korban (DICKY MAULANA) selanjutnya korban DICKY MAULANA
ditinggal begitu saja sendirian di bawah kolong jembatan layang Cipulir
tersebut lalu Para Terdakwa naik kembali ke atas jembatan layang Cipulir
setetah sampai di atas jembatan layang Cipulir Terdakwa ANDRO
SUPRIYANTO ALS ANDRO, Terdakwa NURDIN PRIANTO alias BENGES
dan Saksi ARGA PUTRA als UCOK, MUHAMAD FATAHILAH als FATA,
BAGUS FIRDAUS als PAU dan Saksi FIKRI PRIBADI als FIKRI mereka
berpencar;
11. Bahwa setelah mereka berpencar meninggalkan korban sendirian. Terdakwa
ANDRO SUPRIYANTO ALS ANDRO dan Saksi ARGA PUTRA als UCOK,
Saksi BAGUS FIRDAUS als PAU Saksi FIKRI PRIBADI als FIKRI
nongkrong-nongkrong di gardu pos ojek Jembatan Layang Cipulir sedangkan
Terdakwa NURDIN PRIANTO alias BENGES mengamen dan Saksi
MUHAMAD FATAHILAH als FATA langsung menuju ke Ragunan Pasar
Minggu;
12. Bahwa kemudian pada sekitar jam 13.00 WIB datang petugas Polisi (Saksi
JAIDI PENDI) yang sedang bertugas (persembangan) naik motor berhenti di
gardu ojek di atas jembatan layang, Cipulir tersebut lalu didekati oleh Saksi
ARGA PUTRA als UCOK dan melapor mengatakan "Di bawah kolong
jembatan layang ada mayat pak katanya maling motor habis dikeroyok masa"
namanya DIKI PAK dan dicatat oleh petugas tersebut" selanjutnya petugas dan
Saksi FIKRI PRIBADI als FIKRI Terdakwa ANDRO
Kemudian putusan Pengadilan Tinggi DKI nomor 50/PID/2014/PT.DKI. yang kemudian
diperkuat dengan putusan kasasi nomor 1055/K/PID/2014 adalah:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa I ANDRO SUPRIYANTO alias ANDRO dan Terdakwa II
NURDIN PRIANTO alias BENGES tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair maupun
Subsidair dari Dakwaan Penuntut Umum
2. Membebaskan Terdakwa I dan Terdakwa II oleh karena itu dari seluruh dakwaan tersebut
3. Memulihkan hak Terdakwa I dan Terdakwa II dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabat mereka ;
4. Memerintahkan agar Terdakwa I danTerdakwa II dikeluarkan dari tahanan. 5.
Membebankan biaya perkara dalam dua tingkat pengadilan kepada negara;
Menurut analisis peneliti berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang
diperkuat dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung bahwa para terdakwa tidak terbukti
melakukan tindak pidana pembunuhan adalah kasus salah tangkap. Berdasar pertimbangan
Hakim pada Tingkat banding, bahwa dari keterangan para saksi tidak ada satu pun yang
melihat langsung kejadian pembunuhan tersebut. Kemudian tidak ada alat bukti lain yang
memperkuat tuduhan terhadap terdakwa kasus pembunuhan Dicky Maulana. Peneliti menilai
bahwa kasus salah tangkap ini terjadi karena kelalaian polisi yang tidak melakukan proses
penyelidikan dan penyidikan yang mendalam. Penyelidikan dan Penyidikan yang tidak
mendalam tersebut mengakibatkan kesalahan yang fatal karena pada akhirnya terdakwa
terbukti tidak bersalah di Pengadilan. Saksi-saksi yang diajukan di Pengadilan tidak satupun
yang melihat langsung kejadian tersebut sehingga menimbulkan keraguan. Tidak ada alat
bukti lain yang mendukung dakwaan tentunya menunjukkan kelemahan Polisi dalam proses
penyelidikan dan penyidikan dan terbukti dalam putusan Pengadilan Tinggi dan Kasasi di
Mahkamah Agung yang memutus bebas terdakwa karena tidak terbukti melakukan tindak
pidana pembunuhan.
Saksi menjadi hal yang sangat penting dalam kasus ini karena keterangan saksi
menjadi alat bukti yang diajukan dalam pengadilan.

Di dalam Pasal 1 angka 26 di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


No.8 Tahun 1981, saksi didefinisikan sebagai :
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
Iihat sendiri dan ia alami sendiri".
Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana diperluas menjadi termasuk pula
“orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri”.
Pada dasarnya menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun ancaman hukuman bagi
orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang
berbunyi:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat
dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:
1. Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau
juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;
2. Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut
undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan
memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan.
Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan
sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk
datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 atas uji materi


KUHAP. menyebutkan bahwa definisi saksi juga termasuk orang yang dapat memberikan
keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang
tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, tetapi juga setiap orang
yang punya pengetahuan yang terkait langsung dengan terjadinya tindak pidana wajib
didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan
tersangka/terdakwa .
Mahkamah Konstitusi menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65
KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27
KUHAP. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau
dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.

Definisi saksi yang menguntungkan yang diatur Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4)
KUHAP tidak harus dikualifikasikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami
sendiri suatu peristiwa pidana seperti diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP.
Didalam Pasal 65 KUHAP disebutkan pula bahwa :
"Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi
dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya".

Kemudian di Pasal 116 ayat (3) disebutkan bahwa :


“Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi
yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita
acara”

Kemudian di Pasal 116 ayat (4) disebutkan bahwa :


“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.”
Selain itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
2. Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal
167 KUHAP);
3. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

Sedangkan hak dari saksi antara lain:


1. Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta
berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
2. Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi
dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik
(Pasal 113 KUHAP);
3. Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam
bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
4. Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya
dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
5. Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166
KUHAP);
6. Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat
(1) KUHAP);
7. Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak
dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).

Pasal 160 KUHAP ayat (3) KUHAP mengatur kewajiban saksi untuk mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya sebelum memberikan
keterangan di pengadilan
Dan dalam kasus ini, saksi-saksi yang dihadir kan ke persidangan pada tahap
Pengadilan Negeri memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam
BAP nya.Berarti saksi-saksi tersebut tidak memberikan keterangan yang bersifat pasti atau
yang benar-benar terjadi, mungkin karena dia sedang berada di bawah tekanan saat
memberikan keterangan di BAP atau alasasan lainnya.Dan dengan seperti itu keterangan dari
saksi-saksi tersebut di anggap kabur atau tidak jelas, sehingga tidak pantas untuk dijadikan
pertimbangan oleh majelis hakim untuk memutus perkara ini.Serta keterangan dari saksi-saksi
yang di hadirkan oleh penuntut umum tidak kuat,karena semua saksi tidak berada di tempat
kejadian perkara berlangsung serta tidak ada yang melihat secara langsung kejadian tersebut
terjadi.Maka dari itu keterangan saksi-saksi tersebut hanya dari mendengar saja,penyaksian
menurut kata orang,keterangan tangan kedua atau Testimonium de auditu .
Yang kemudian pada saat di lakukan banding ke Pengadilan Tinggi baru lah
semua terungkap bahwa keterangan saksi pada persidangan di tingkat Pengadilan Negeri
tersebut tidak bisa dijadikan pertimbangan dan tidak bisa menguatkan dugaan atas
pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa karena semua keterangan saksi terebut dinyatakan
Testimonium de auditu. Dan juga karena bukti-bukti yang kurang kuat untuk menjadi dasar
pemberatan terhadap terdakwa tersebut, sehingga pada tingkat Pengadilan Tinggi terdakwa di
Putus bebas oleh hakim.
Karena penuntut umum tidak puas dengan putusan hamin pada tingkat
Pengadilan Tinggi, maka penuntut umum mengajukan kasasi. Dan hasilnya dari tingkat kasasi
adalah memutus bebas juga,bahkan memperkuat hasil dari putusan dari Pengadilan Tinggi
tersebut.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penulisan yang telah diuraikan oleh penulis, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut :

1. salah tangkap(error in persona) diatur didalam :

a. Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-


undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1981
tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), serta Peraturan
Pelaksanaan KUHAP No. 27 Tahun 1983

2. Perlindungan terhadap korban salah tangkap

a. Bahwasanya tidak ada satu pasal pun yang diatur didalam KUHAP yang
mengakomodir kepentingan daripada korban
b. Tidak ada batasan yang cukup pasti untuk menetapkan seseorang sebagai
tersangka sehingga dapat menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak sesuai
dan seringkali membuat aparat penegak hukum menjadi besifat subjektif dari
pada objektif
c. Kedudukan korban didalam peraturan perundang – undangan tersebut kurang
diperhatikan, dan tidak memberikan perlindungan secara langsung, jikalau
korban hendak mendapatkan ganti rugi akibat kesalahan yang diperbuat
penegak hukum, maka ia harus mengusahakannya sendiri melalui proses
praperadilan, terutama jika sudah menjadi terpidana, khususnya didalam pasal
95 KUHAP angka 1, sehingga tidak ada treatment khusus bagi korban salah
tangkap
3. Masih banyak permasalahan penegakan hukum acara pidana sehingga tidak sesuai
daripada KUHAP

a. Masih lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses


penegakan hukum, hal ini dapat dilihat bahwa didalam perkara di atas adanya
pemaksaan daripada aparat penegak hukum sehingga tidak mencerminkan
ketentuan yang berlaku daripada kuhap
b. Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata dalam
Mempertimbangkan Judex Facti Pengadilan. Kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata berupa tidak cermat dan kurang hati-hati dalam pertimbangan semua
faktor dan aspek yang relevan dan urgen oleh Hakim, merupakan kekhilafan
yang mengabaikan fungsi mengadili.
c. Penetapan saksi a charge oleh Jaksa penuntut umum didalam bercara
membuktikan bahwa semua saksi tersebut dinyatakan Testimonium de auditu
sehingga tidak ada seorang pun saksi yang benar benar ia dengar sendiri, ia
lihat sendri dan alami sendiri
B. Saran

1. Bagi Negara / Lembaga Pembuat undang – undang


Mengingat bahwasanya KUHAP menekanan kepada segi perlindungan hak
asasi manusia yang mana menjamin hak-hak, sehingga perlu nya ada peraturan yang
juga melindungi korban daripada tindakan yang tidak sesuai daripada ketentuan yang
berlaku, hal ini dirasa perlu karna mengingat sejatinya perlindungan tersebut lah yang
harusnya di akomodir didalam proses beracara pidana, sehingga hal – hal seperti diatas
yakni salah tangkap tidaklah terjadi lagi dan merugikan masyarakat, sehingga perlu
adanya pembahuruan.

2. Bagi Aparat Penegak Hukum


Adanya hal-hal mengenai salah penangkapan, kepada pejabat pembuat suatu
peraturan perundang-undangan, sesungguhnya diperlukan pengawasan terhadap
pelaksanaan penegakan hukum guna penyempurnaan peraturan perundang-undangan
demi terlaksananya rasa keadilan dan kepastian hukum. Sehinggai diperlukannya
aparat yang lebih profesional dan tidak mengabaikan hak-hak yang diatur didalam
KUHAP, sehingga proses pengadilan berjalan secara adil dan sesuai daripada
peraturan. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum, penyempurnaan
kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas, fungsi dan
wewenang masing-masing harus di percepat peningkatan kemampuannya maupun
kewibawaan peradilan disertai upaya untuk membina sikap aparat penegak hukum
sebagai pengayom abdi Negara dan abdi masyarakat yang memiliki keahlian, jujur,
tegas, adil, bersih dan berwibawa. Hal ini perlu dilakukan untuk menepis persepsi
masyarakat bahwa belum efektifnya penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari
kinerja dan sikap penegak hukum. Aparat penegak hukum yang diharapkan mampu
melaksanakan tugasnya secara professional dan penuh tanggung jawab , serta
penguasaan pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana sangat diharapkan dari aparat
penegak hukum. Dan dituntut tumbuhnya kesadaran akan harkat serta martabat
manusia yang harus dijunjung tinggi.

3. Bagi Masyarakat
Perlunya masyarakat yang lebih teliti dan peduli terhadap kejadian-kejadian
yang seharusnya tidak terjadi, sehingga dapat mengingatkan kembali kepada aparat
penegak hukum agar menjalankan ketentuan sebagaimana mestinya sesuai dengan
peraturan yang berlaku yakni KUHAP, oleh karena itu peran masyarakat dapat
menjadi salah satu pengingat agar apa yang dijalankan oleh aparat sesuai

4. Bagi Korban

Jika dilihat kasus di atas maka sangat amat disayangkan apa yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum guna mencari dan menemukan tersangka justru
menimbulkan korban baru, oleh karna itu bagi para korban yang diekploitasi oleh
aparat penegak hukum melakukan suatu tindakan, yakni tindakan praperadilan guna
mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi , sehingga perbuatan kesewenangan dan
kurang profesional dari aparat dapat terbayarkan dan menjadikan perkara ini sebagai
pelajaran bagi para pihak terutama pihak penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Asmawie, Hanafi. 1992. Ganti Rugi Dan Rehabilitasi menurut KUHAP. Pradnya Paramita.
Jakarta
Hamzah, Andi. 2015. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta
Effendi, Tolib. 2014. Dasar – Dasar Hukum Acara Pidana Indonesia. Setra Press. Malang
R. Soesilo.1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelasaian Perkara Pidana Menurut
KUHAP bagi penegak hukum).Politea. Bogor
Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban pasal 9
D.Siimons,op.cit hlm 161-162
Prodjodikoro, Wiryono. 1977. Hukum Acara Pidana.Sumur. Bandung
Putusan Mahkamah Agung (No. 1989K/Pid.Sus/1989)., Tanggal 6 Agustus 1989.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press : Jakarta. 1986
Makalah Catatan Akhir Tahun 2016 Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta
P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung
Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher.
Surabaya.
LAMPIRAN

https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/1272ed8e9f376bb54142a1e2bc32783e

Anda mungkin juga menyukai