Anda di halaman 1dari 66

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

Oleh

Nama: Oktria Winda Maryadi

No. Bp: 1610111141

Hukum Acara Pidana kelas 2.7 Jumat 09.20-11.50 E1.2

Dosen Mata Kuliah :

Hj. Tenofrimer, SH.,Msi

Fakultas Hukum Universitas Andalas


Padang
2017/2018
PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara menurut R.Soeroso adalah “ kumpulan ketentuan-ketentuan dengan
tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi
perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan
kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil ”.

Menurut Moelyatno, hukum formil (hukum acara) adalah “ hukum yang mengatur
tata cara melaksanakan hukum materiil (hukum pidana), dan hukum acara pidana (hukum
pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/ mempertahankan
hukum pidana materiil “.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut
peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi
jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna
mendapatkan hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak menuntut itu dapat
dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan
suatu hukuman pidana harus dijalankan. Hal ini semua harus diatur dan peraturan inilah
yang dinamakan Hukum Acara Pidana.

PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA MENURUT PARA AHLI

1. Menurut Simons : hukum acara pidana mengatur bagaimana negara dengan alat
perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan
hukuman.
2. De Bos Kemper : sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang
yang mengatur bilamana undang-undang hukum pidana dilanggar, negara
mempergunakan haknya untuk menghukum.
3. Van Bemmelen : mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,
karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana :
a. Negara melalui alat-alatmya meyidik kebenaran,
b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu,
c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan
kalau perlu menahannya,
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh
pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan
membawa terdakwa ke depan hakim tersebut,
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib,
f. Aparat hukum untuk melawan keputusan tersebut / menentukan upaya
hukum
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib
itu.

4. J.C.T. Simorangkir : “ hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan


hukum pidana materiil “.
5. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH
“ Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari
itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana “.
6. Prof. Moelyatno, SH
“Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu
negara , yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan
cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan
pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan
delik tertentu”.
7. Bambang Poernomo
“ 1. Hukum acara pidana dalam arti sempit : mengatur ketentuan tentang tata cara
suatu proses perkara, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut
paut dalam proses perkara serta mengatur pelaksanaan peradilan menurut undang-
undang.
2. Hukum acara pidana dalam arti luas : mengatur hukum acara pidana dalam arti
sempit dan susunan serta kekuasaan kehakiman yang ditetapkan dengan undang-
undang.
8. Mochtar Kusumaatmadja
“ Hukum acara pidana adalah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana
cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil
memproses bagaimana menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak
pidana”.

Jadi, Hukum Acara Pidana adalah Hukum yang mengatur tentang kaidah dalam beracara
diseluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum
dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan didalam upaya mencari dan
menemukan kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah asas untuk mencari kebenaran
hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum.

SIFAT HUKUM ACARA PIDANA


Ramelan menyebutkan bahwa hukum acara pidana memiliki sifat hukum publik dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kedudukannya dalam hukum publik adalah sebagai bagian hukum pidana formil
yang berfungsi melaksanakan hukum pidana materiil.
2. Hukum acara pidana juga dapat termasuk sebagai bagian hukum administrasi
apabila titik beratnya diletakkan pada peraturan mengenai wewenang dan tugas-
tugas alat perlengkapan negara yang menyelengarakan kegiatan pemerintahan
dalam urusan penegakkan hukum dan peradilan.
3. Hukum acara pidana yang bersifat sebagai hukum publik dapat dikelompokkan
sebagai hukum tata negara apabila titik pandangnya diletakkan pada peraturan
mengenai susunan dan kekuasaan negara melalui alat perlengkapan yaitu kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan kehakiman.
Pada mulanya sifat hukum acara pidana termasuk kedalam hukum private kemudian sesuai
dengan perkembangan masyarakat maka Hukum Acara Pidana mengarah ke sifat publik.

FUNGSI DAN TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA


Fungsi hukum acara pidana:
a. Sebagai sarana untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana
(Prof.Moeljatno,SH)
b. Sebagai sarana dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan dalam
mewujudkan kehidupan yang tertib dan tenteram dalam masyarakat (Bismar
Siregar, SH)
c. Sebagai fungsi represif dan preventif (Dr. H. Rusli Muhammad, SH.,MH)
Fungsi terbagi dua bagian :
1. Hukum Pidana Materiil -> untuk menetukan perbuatan-perbuatan apa yang dapat
dipidana/hukuman apa yang dapat dijatuhkan.
2. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana) -> untuk melaksanakan hukum
pidana materiil.

TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA


Menurut Van Bemmelen, tujuan dan tugas pokok dari Hukum Acara Pidana adalah :
1. Mencari dan mendapatkan kebenaran material atau kebenaran yang selengkap-
lengkapnya,
2. Memberi/membuat putusan oleh hakim
3. Melaksanakan keputusan hakim/eksekusi.
Soedjono. D secara tegas menyatakan tujuan hukum acara pidana yaitu : “Undang-Undang
RI No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, dibuat antara lain dengan dasar
pertimbangan dan tujuannya adalah:
1. Menjamin segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan
2. Penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan
kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari
wawasan nusantara
3. Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan
pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang
masing-masing, demi terselenggaranya negara hukum sesuai UUD 1945.
4. Perlu dicabutnya semua ketentuan Undang-Undang tentang hukum acara pidana
yang sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional
5. Dan perlunya mengadakan Undang-Undang tentang hukum acara pidana untuk
melaksanakan peradilan umum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan Mahkamah Agung.

SUBJEK DAN OBJEK HUKUM ACARA PIDANA


Subjek dalam Hukum Acara Pidana
= Yang dimaksud dengan subjek dalam Hukum Acara Pidana ialah : “siapa-siapa saja yang
tersangkut didalam Hukum Acara Pidana”. Hal ini mempunyai kaitan dengan tujuan dari
ilmu hukum acara pidana dan sifat dari hukum acara pidana itu sendiri.
Dengan demikian yang menjadi subjek dalam Hukum Acara Pidana adalah:
1. Setiap Orang (dalam arti luas)
Jadi, setiap orang dapat tersangkut, sebab setiap orang dalam hal-hal
tertentu dianggap mempunyai kewajiban hukum, baik yang terdapat dalam hukum
pidana materiil maupun yang terdapat dalam hukum pidana formil.
Kewajiban hukum tersebut adalah:
a. Setiap orang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib akan atau
terjadinya suatu tindak pidana
b. Untuk mengajukan pengaduan – untuk delik aduan (klachtdelict)
c. Dalam keadaan-keadaan tertentu setiap orang wajib atau mempunyai hak
untuk menangkap seseorang yang diketahuinya sedang melakukan tindak
pidana, kemudian dengan segera diserahkan kepada pihak yang berwajib
(Pasal 19 ayat 1 dan Pasal 18 ayat 2 dan pasal 111 ayat 1 KUHAP)
d. Setiap orang wajib menjadi saksi.

2. Para pejabat dibidang penyelidikan


3. Para pejabat dibidang penuntutan (badan penuntut umum, jaksa/penuntut
umum)
4. Para pejabat dibidang pengadilan (baik hakim ditingkat pengadilan negeri maupun
ditingkat pengadilan tinggi dan kasasi)
5. Para pejabat yang diberi tugas untuk melakukan putusan hakim/ eksekusi yaitu
jaksa, hakim pengawas dan pegawai lembaga pemasyarakatan.
Penjelasan terkait dengan subjek Hukum Acara Pidana adalah:
a. Pelaku
= tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1(14) KUHAP)
= terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang
pengadilan (Pasal 1 (15) KUHAP)
= terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Hakim
= Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
c. Jaksa / Penuntut Umum
= Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuataan hukum tetap (Pasal 1 (6) KUHAP)
= Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
d. Polisi
= Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh unang-undang untuk melakukan
penyidikan (Pasal 1 (1) KUHAP)
= Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas peniyidkan yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1(3) KUHAP)
= Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 (4) KUHAP)
e. Penasehat Hukum
Adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-
undang untuk memberi bantuan hukum (Pasal 1 (13) KUHAP)
f. Saksi-saksi
Adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 (26) KUHAP).

Objek dalam Hukum Acara Pidana


1. Kepentingan Hukum yang terdiri dari kepentingan masyarakat
Kepentingan masyarakat ini juga dinamakan dengan ketertiban hukum (ketertiban
umum) yang harus dijamin oleh negara dengan tujuan agar masyarakat aman, tenteram
dan damai.
2. Kepentingan Hukum yang terdiri dari kepentingan perseorangan
Kepentingan perseorangan ini (individu) terdiri dari HAM, serta hak kebebasan manusia
yang harus dijamin juga oleh negara.
FUNGSI DAN PERANAN PENEGAK HUKUM

1. Kepolisian
Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintaha negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI)
Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta
terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (Pasal
4).
2. Kejaksaan
Tugas: melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di daerah hukum
kejaksaan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh jaksa serta tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh jaksa
agung.
Fungsi:
a. Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung
b. Penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana
c. Pelaksanaan penegakkan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan
3. Pengadilan Tinggi
Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Negeri:
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD
1945 Pasca Amandemen)
Kewenangan:
a. Pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama
b. Pengadilan Negeri dapat memberikan keterangan,pertimbangan dan nasehat
tentang hukum kepada instansi pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta
c. Selain tugas dan kewenangan tersebut diatas, Pengadilan Negeri dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
4. LP (Lembaga Pemasyarakatan)
Fungsi LP menurut Kepmen No : M.01.PR.07.03 th 1985 Pasal 2:
a. Melakukan pembinaan narapidana/anak didik
b. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengolah hasil kerja
c. Melakukan bimbingan sosial/kerokhanian narapidana/anak didik
d. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib LAPAS
e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga

SUMBER-SUMBER DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA


Sumber sumber Hukum Acara Pidana
=adalah ketentuan-ketentuan atau undang-undang manakah yang pelaksanaan peradilan
pidana dalam lingkungan peradilan untuk keluarnya KUHP yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan HukumAcara Pidana yang lama baik yang dibuat zaman penjajahan Belanda
maupun sesudahnya:
1. HIR (Het Herziene Islandsch Reglement)
2. UU No. 1 Darurat th 1951 (Lembaran Negara th 1959 No. 9 dan Tambahan
Lembaran Negara No.80)
Dengan keluarnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka ketentuan
tersebut diatas tidak berlaku, maka yang dipergunakan sebagai sumber Hukum Acara Pidana
adalah :
1. UUD 1945 Pasal 24 dan Pasal 25
2. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
4. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
5. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
6. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
7. UU No. 8 Tahun 1958 tentang Tindak Pidana Ekonomi
8. UU No. 5 Tahun 1957 tentang Ekstasi
9. PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksaan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana
10. PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Asas-Asas Hukum Acara Pidana


1. Asas Legalitas
= Dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan “ tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada:. (Nullum Delictum
Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali).
= Setiap perkara pidana harus diajukan kedepan hakim (Lihat Konsideran KUHAP huruf a)

2. Asas Opportunitas/ Deponering


= Hak yang dimiliki oleh kejaksaan selaku penuntut umum untuk tidak mengajukan tuntutan
suaru perkara ke pengadilan atas pertimbangan demi kepentingan umum.
= Seseorang tidak dapat dituntut oleh jaksa karena dengan alasan dan pertimbangan dan
pertimbangan demi kepentingan umum jadi dalam hal ini dideponer (dikesampingkan).
Walaupun asas ini dianggap bertolak belakang dengan asas legalitas namun dalam UU
Pokok Kejaksaan Agung No. 15 tahun 1961, pasal 8 memberi kewenangan kepada Kejaksaan
Agung untuk mrndeponer/ menyampingkan suatu perkara berdasarkan “Demi Kepentingan
Umum”. Hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan KUHAP pasal 77 yang bahwa yang
dimaksud “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk
kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

3. Asas Perlakuan Yang Sama Dimuka Hukum (Equality Before The Law)
=Asas ini sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Terdapat
juga dalm penjelasan umum KUHAP butir 3a yang berbunyi “perlakuan yang sama atas diri
setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

4. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption Of Innocent)


Suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus
dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus
menganggap bagaimanapun juga tersangka/terdakwa maupun dalam menggunakan istilah
sewaktu berdialog terdakwa.
Asas ini dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c. Juga dirumuskan
dalm UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 8 yang berbunyi “ setiap
orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan,dituntut, dan atau dihadapkan dimuka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

5. Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum


Pasal yang mengatur asas ini adalah Pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP yang berbunyi “Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum, kecuali dalam perkara mengadili kesusialaan atau terdakwanya anak-anak”.

6. Asas Accusatoir
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama didepan hukum.
Asas Accusatoir menunjukkan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang
pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas
accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat
menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama
nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada diatas kedua belah pihak untuk
menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku. Asas ini tersurat dalam
KUHP yaitu pada Pasal 52, Pasal 55, Pasal 65 karena kebebasan memberi dan mendapatkan
nasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah dianut asas akusator (Accusatoir).

7. Asas Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum


KUHAP Pasal 69 sampai pasal 74 mengatur Bantuan Hukum yang mana tersangka atau
terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Asas bantuan hukum ini telah menjadi
ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan beradab.

8. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi


Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 d Pasal 9 UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 yang juga mengatur ganti rugi. Secara rinci
mengenai ganti rugi dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 95 sampai Psal 101 KUHAP. Kepada
siapa ganti rugi ditujukan, memang hal ini tidak diatur secara tegas dalam pasal-pasal
KUHAP.

9. Asas keseimbangan
Konsideran KUHAP huruf c
Bahwa dalam setiap upaya penegakkan hukum harus selalu mengusahakan keseimbangan
antara:
a. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat
b. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia

10. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.


Mengenai asas ini terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP diantaranya pada Pasal 50
yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik,
segera diajukan ke penuntut umum oleh penyidik,segera diajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan”. Juga pasal-pasal lain yaitu Pasal 102 ayat
1, Pasal 106, Pasal 107 ayat 3 dan Pasal 140 ayat 1. Tentang asas ini juga dijabarkan oleh
KUHAP dalam Pasal 98.

ILMU PENGETAHUAN PEMBANTU / RELEVANSI ILMU PENGETAHUAN YANG ERAT


KAITANNYA HUKUM ACARA PIDANA
1. Psikologi
Terutama Psychologi kriminal ialah perlu untuk memahan,i jiwa seseorang, misalnya
pandangan kita harus berbeda terhadap orang-orang desa (kampung) dengan jiwa orang
kota atau orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan, itu
mentalitasnya akan berbeda.

2. Psychiatrie
Ilmu pembantu ini penting karena tersangka mempunyai jiwa yang terganggu, umtuk itu
dibutuhkan seorang phychiater untuk menentukan apakah jiwa orang itu sehat atau
dihinggapi suatu penyakit.
3. Balistik, yaitu olmu yang mempelajari jenis-jenis kejahatan
4. Daktiloskopi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang sidik jari
5. Kriminalistik
Ialah ilmu pengetahuan tentang cara bagaimana mencari bahan-bahan bukti untuk
merangkai kembali suatu peristiwa atau kejadian
6. Ilmu Kedokteran Kehakiman, dalam hal ini hakim memerlukan keterangan dari
kedokteran yang berkaitan dengan nyawa atau badan seseorang atau keselamatan jiwa
seseorang, dan ketika ada yang menjelaskan tentang istilah-istilah medis, Hakim, Jaksa dan
Pengacara tidak terlalu buta. Dan juga kedokteran kehakiman juga dapat dipakai dalam hal
yang tidak normal, yaitu forensik.
7. Kriminologi
ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab kejahatan dan cara yang
bagaimana untuk memberantasnya.
Dalam Hukum Acara Pidana, ilmu kriminologi ini dapat dipergunakan seperti yang
dicantumkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 27 nya menyebutkan: Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib pula memperhatikan pula sifat
baik dan jahat dari si tertuduh.
Kegunaan ilmu Pengetahuan Pembantu sesuai dengan keahliannya masing-masing adalah “
untuk mencari kebenaran materil” dan hasil dari pemeriksaan tersebut digunakan untuk alat
bukti.
Kegunaan ilmu pengetahuan pembantu (hulpweten Schappen) sesuai dengan keahliannya
masing-masing adalah “untuk mencari kebenaran materiil” dan hasil dari pemeriksaan
tersebut digunakan untuk alat bukti.
Pemakaian ilmu pengetahuan ini dalam Hukum Acara Pidana ada 2 kemungkinan :
a. Ahli tersebut dipanggil ke sidang Pengadilan Negeri sebagai saksi ahli, maka alat
bukti seperti ini yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP termasuk keterangan ahli.
b. Berkemungkinan diwaktu sidang pengadilan negeri hanya dikemukakan atau
ditampilkan surat keterangan yang merupakan keterangan ahli, maka menurut Pasal 184
KUHAP dimasukkan dalam kelompok surat.

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN


Penyelidikan adalah “Serangkaian tindakan penyelidik unuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1 butir 5
KUHAP)

Kemungkinan diketahuinya suatu tindak Pidana dasarnya adalah:

1. Tertangkap Tangan (Pasal 1 angka 19 KUHAP)


= Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak
pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

2. Laporan (Pasal 1 angka 24 KUHAP)


= Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan
kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

3. Pengaduan (Pasal 1 angka 25 KUHAP)


= Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
4. Diketahui sendiri atau melalui pemberitahuan dengan cara lain seperti dari media,
pembicaraan orang dan lain-lain sehingga membuat penyidik mengetahui telah terjadi suatu
tindak pidana.

Perbedaan Laporan dan Pengaduan :


a. Laporan dapat disampaikan oleh setiap orang dan merupakan kewajibannya,
sementara pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu saja bukan
kewajibannya tetapi merupakan hak.
b. Dari segi objeknya, laporan objeknya adalah setiap delik atau tindak pidana yang
terjadi tidak ada pengecualiannya, jadi hal ini berkenaan dengan delik biasa.
Sementara pengaduan, objenya terbatas pada delik-delik aduan saja.
c. Dari segi isinya, laporan berisi tentang pemberitahuan tanpa disertai
permohonan, sedangkan pengaduan isinya pemberitahuan disertai dengan
permohonan untuk segera melakukan tindakan hukum.
d. Dari segi pencabutan, laporan tidak dapat dicabut sementara pengaduan dapat
dicabut kembali.

Pasal 4 kuhap menyatakan yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “Setiap
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”
Tugas dan Kewenangan Penyelidik (Pasal 5 KUHAP)
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Syarat “tindakan lain” untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan:


a. Tidak bertentangan dengan duatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatan
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
e. Menghormati Hak Asasi Manusia

Tujuan penyelidikan adalah untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang
sesungguhnya telah terjadi, bertugas membuat berita acara serta laporan yang nantinya
merupakan dasar permulaan penyidikan.

Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara tertentu
untuk mencari serta menumpulkan keterangan, bukti-bukti, guna mengungkap tentang
tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya” (Pasal 1 angka 2 KUHAP).
Yang dimaksud dengan ‘keterangan’ adalah:
a. Tindak apa yang dilakukan
b. Kapan dan dimana tindak tersebut dilakukan
c. Dengan apa dan bagaimana tindak tersebut dilakukan
d. Mengapa (motif) tindak tersebut dilakukan dan siapa pembuat
Tugas dan Wewenang Peniyidk (Pasal 7 KUHAP) :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tidak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
i. Mengadakan penghentian penyidikan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Tugas dan kewenangan penyidik lainnya diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pejabat Penyidik :
a. Pejabat Polisi Negara Republik indonesia (Pangkat Letnan Dua Polisi, Pasal 2ayat 1
huruf a PP No.27 Tahun 1983)
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang (Pengatur muda tingkat I atau Gol. II B) PP No. 27/1983
c. Penyidik Pembantu (Sersan Dua Polisi atau PPNS Polri berpangkat pengatur muda/
golongan II/A) PP No.27/1983

UPAYA PAKSA

Upaya Paksa merupakan kesewenangan dari penyidik untuk kelancaran pemeriksaan


perkara pidana sesuai dengan tujuan pertama dari Hukum Acara Pidana yaitu mencari
kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya.
Adapun upaya paksa tersebut adalah:

A. PENANGKAPAN
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik merupakan pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradila dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalm Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 16 KUHAP menentukan :
1. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang
melakukan penangkapan
Penangkapan harus memenuhi hal-hal berikut:
1. Adanya bukti permulaan yang cukup
Ialah bukti awal untuk menduga kemungkinan adanya tindal pidana sesuai dengan
bunyi Pasal 1 butir 14
2. Adanya surat tugas bagi pejabat yang melakukan penangkapan (Polri)
3. Adanya surat perintah penangkapan, yang berisi (mencantumkan) identitas
tersangka, alasan penangkapan serta uraian ringkas kejahatan yang disangkakan.
4. Penangkapan hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari atau 24 jam.
Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus menyerahkan dengan segera si tersangka/tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
Disamping itu mengenai penangkapan ini, jika dilihat Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP, penangkapan hanya dapat dikenakan kepada mereka yang diduga melakukan tindak
pidana kejahatan. Sedangkan pada tindak pidana pelanggaran tidak dapat dilakukan
penangkapan kecuali ditentukan Pasal 19 ayat (2) diatas.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh Pejabat Kepolisian Negara yang
berwenang dalam melakukan penyidikan dinegara hukumnya. Tembusan surat perintah
penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

B. PENAHANAN
Penahan adalah penempatan si tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik
atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur UU Hukum Acara Pidana (Pasal 1 butir 21 KUHAP).
1. Yang Berhak Menahan (Pasal 20 KUHAP) :
a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik sebagaimana termaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan
penangkapan.
b. Untuk kepentingan Penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan
c. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim disidang pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan.
2. Syarat-syarat Penahanan (Pasal 21 KUHAP):
a. Terhadap tersangka atau terdakwa harus dengan bukti yang cukup dan ada
dugaan keras bahwa ia telah melakukan tindak pidana
b. Harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana
c. Tersangka atau terdakwa harus melakukan tindak pidana dan atau percobaan
maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
- Tindak pidana diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat 3, Pasal 296, Pasal 335
ayat 1, Pasal 351 ayat 1, 353 (1), 372, 378, 379, 453, 454,455,459,480 dan Pasal 506.
Apa yang diatur dalam Pasal 21 tersebut dapat diketahui syarat material untuk dapat
dilaksanakan suatu penahanan :
a. Adanya bukti yang cukup
b. Adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri
c. Merusak atau menghilangkan barang bukti

3. Jenis-Jenis Penahanan (Pasal 22 ayat 1 KUHAP)


a. Penahanan Rumah Tahanan Negara
Dalam penahanan rumah tahanan negara, selama belumbada rumah tahanan negara
ditempat yang bersangkutan, penahanan dapt dilakukan dikantor kepolisian negara,
dikantor Kejaksaan Negeri, di Lembaga Pemasyarakatan, dirumah sakit dan dalam keadaan
memaksa ditempat lain.
b. Penahanan Rumah
Dilaksanakan dirumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa
dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang
dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan disidang
pengadilan.

c. Penahanan Kota
Dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan
kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan.
Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah atau keluar kota dengan izin dari
penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan. Lamanya masa
penangkapan dan atau penahanan kelak dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya
waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari lamanya waktu
penahanan.

4. Jangka Waktu Penahanan (Pasal 24-31 KUHAP)


Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik, hanya berlaku paling lama dua puluh
hari. Jangka waktu ini apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Dalam
praktek, perpanjangan itu diberikan secara bertahap.
Tahap pertama diperlukan 20 hari andaikata masih diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan maka diberikan perpanjangan tahap 20 hari pula. Ketentuan tersebut tidak
menuntut kemungkinan dikeluarkan tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. Setelah 60 hari
tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum
walaupun pemeriksaan belum selesai (Pasa 25 KUHAP).
Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum juga mempunyai pembatasan jangka
waktu yaitu selama 20 hari dan ini dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama
30 hari, apabila pemeriksaan itu belum selesai. Dalam waktu penahanan itu penuntut umum
harus menyelesaikan sesuatu yang berhubungan dengan hal penuntutan. Batas jangka
waktu penahanan yang dilakukan oleh Hakim, Yaitu terdapat pada ketentuan Pasal 26
KUHAP.
Disamping perpanjangan penahanan yang telah diuraikan, masih dikecualikan guna
kepentingan pemeriksaan penahanan terhadap tersangka dapat diperpanjang berdasar
alasan yang patut dan tak dapat dihindarkan karena : (Pasal 29 KUHAP)
a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih.
Perpanjangan tersebut diatas, diberikan untuk paling lama 30 hari dan dalam hal
penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk palimg lama
30 hari, sehingga paling lama 60 hari. Hal ini dilakukan atas dasar permintaan dan
laporan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan diberikan oleh ketua pengadilan
negeri. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut
diatas, dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.

C. PENGGELEDAHAN
 Diatur dalam Pasal 32-37 KUHAP.
Yang berhak utama melakukan penggeledahan adalah penyidik, adakalanya Penyelidik perlu
izin untuk melakukan penggeledahan dari ketua pengadilan, adakalanya tidak dan kemudian
penyelidik berhak menggeledah pakaian si tersangka waktu tertangkap.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau badan menurut tata cara yang ditentukan KUHAP. Penyidik
dalam melakukan penggeledahan rumah yang diperlukan, dengan surat izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat. Keharusan dengan surat izin dimaksudkan untuk menjamin
hak asasi seorang atas rumah kediamannya.
Dalam hal yang diperlukan, atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
dapat memasuki rumah. Maksudnya, jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan
penyidik sendiri, maka petugas kepolisian dapat menunujukkan selain surat izin Ketua
Pengadilan Negeri juga surat perintah tertulis dari penyidik.
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dimaksud dengan
dua orang saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan, sedangkan yang dimaksud
dengan ketua lingkungan adalah ketua atau wakil dari rukun kampung, ketua atau wakil dari
lingkungan yang sederajat.
Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin mendapatkan surat terlebih dahulu, penyidik dapat
melakukan penggeledahan
a) Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang
diatasnya
b) Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
c) Ditempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
d) Ditempat penginapan dan tempat umum lainnya
Yang dimaksud dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana ditempat yang
akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan
segere melarikan diri dan mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita
dikhawatirkan dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari ketua pengadilan
negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Penyidik,kecuali dalam hal tertangkap tangan tidak diperkenankan memasuki:
a. Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPD
b. Tempat dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan
c. Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan
Bilamana penyidik harus melakukan penggeledahan rumah diluar daerah hukumnya, maka
penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh
penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan itu dilakukan. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi melakukan penggeledahan:
a. Harus ada surat izin dari ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya sendiri
b. Harus disaksikan oleh 2 orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni
menyetujuinya
c. Harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2 orang saksi.
Dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka tersebut diatas dibawa kepada
penyidik, maka penyidik berwenang menggeledah pakaian atau menggeledakan badan
tersangka. Penggeledahan badan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak/tidak bergerak, berwujud/tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan persidangan.

D. PENYITAAN
 Diatur pada pasal 38 s/d 46 KUHAP, pada hakekatnya hak atau wewenang penyitaan
ini oleh para penegak hukum (penyidik) adalah mengurangi hak asasi manusia yang hak
kebebasan mempunyai memiliki benda.
Pasal 1 angka 16 “ Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan “.
Penyidik dalam pelaksanaan penyitaan juga harus seizin atas pengadilan setempat, tetapi
ada juga kecualinya dalam hal yang mendesak, jika sulit memperoleh izin penyidik dapat
lebih dahulu melakukan penyitaan terhadap benda-benda yang bergerak.
Macam-macam benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah (Pasal 39 KUHAP) :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
d. Benda yang khusus diperbuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Jika penyitaan tersebut dilakukan dalam suatu razia, tidak diperlukan izin dari ketua
pengadilan. Hal ini didasarkan alasan bahwa tindakan polisi dalam mengadakan razia itu
adalah merupakan tindakan preventif yang berada diluar jangkauan KUHAP, KUHAP hanya
mengatur keadaan setelah tindak pidana.
Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara, yang dimaksud
dengan benda sitaan negara adalah benda yang disita negara untuk keperluan proses
pengadilan.
Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang lekas rusak atau yang membahayakan,
sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang
bersangkutan memeperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda
tersebut akan menjadi telalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut
umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebuit dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atau hakim yang
menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah
terbakar, mudah meledak yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda
yang dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan. Benda yang dikenakan
penyitaan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti.
Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukanatau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat benda yang disita itu tidak
diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda dapat dikembalikan kepada yang
berkepentingan atau pemiliknya apabila :
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi,
b. Perkara tersebuttidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda tersebut doperoleh dari suatu tindak
pidana yang atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana
Apabila suatu perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepda mereka yang disebut dalam keputusan tersebut, kecuali jika
menurut keputusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
dirusakkan sampai tidak dapat digunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan lagi
sebagai barang bukti dalam perkara lain.
E. PEMERIKSAAN SURAT
Diatur dalam Pasal 47 s/d 49 KUHAP.
Dalam rangka penyidikan, penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain
yang dikirim melalui pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu
dari ketua pengadilan negeri.
Yang dimaksud dengan surat izin adalah surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan yang
tepat/kuat.
Dan untuk kepentingan tersebut diatas, maka penyidik dapat meminta kepada kapala
kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan dan perusahaan telekomunikasi atau
pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
Hal sebagaimana disebutkan diatas, dapat dilakukan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang berlaku. Apabila sesudah
dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang
sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkaranya.
Akan tetapi, sesudah dibuka dan diperiksa surat itu tidak ada hubungannya dengan
perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera dikembalikan kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah
dibubuhi cap yang berbunyi telah dibuka oleh penyidik dengan dibubuhi tanggal, tanda
tangan beserta identitas penyidik.
Penyidik diwajibkan membuat berita acara tentang tindakan-tindakan yang telah
dilakukannya dan mengirimkan turunan berita acara itu kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan telekomunikasi atau pengankutan yang
bersangkutan.
Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 121 KUHAP)
“Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi
tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat
dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka
dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala
sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara”.

Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa


 Diatur dalam Pasal 50-68 KUHAP.
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya
dapat diajukan kepada penuntut umum
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut
umum.
Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan :
(1) Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yan dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan
dimulai
(2) Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 177
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan tuli diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memilih sendiri penasehat hukumnya.

PENUNTUTAN
Pelaksanaan Penuntutan diatur dalam Pasal 137 s/d 144 KUHAP.
Yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
disidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP).
Didalam KUHAP telah ditegaskan tugas dan tanggung jawab para penegak hukum,
maka penuntutan diserahkan dan tanggung jawab oleh lembaga kejaksaan, pejabat dari
kejaksaan ini adalah jaksa dan penuntut umum.
Dalam ilmu Ilmu Hukum Acara Pidana, dalam penuntutan dikenal 2 asas atau sistem:
1. Asas Opportunitas
= adalah suatu asas yang menentukan tidak setiap tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang itu harus/ wajib dituntut, dengan perkataan lain jaksa tidak
berkewajiban untuk menuntut setiap tindak pidana.
2. Asas Legalitas
= asas yang menentukan setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus
atau wajib dituntut, dengan kata lain jaksa berkewajiban atau harus menuntut
setiap tindak pidana yang terjadi.
Asas yang ditempatkan dalam Hukum Acara Pidana kita adalah asas Opportunitas.
Hal ini dapat kita lihat pada UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
pada Bab III Khusus tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara demi
kepentingan umum, pada pasal 32 huruf c menyebutkan : “Jaksa Agung mempunyai tugas
dan wewenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Selain itu Penuntut Umum dapat menuntaskan untuk menghentikan penuntutan
dengan alasan :
- Tidak terdapat cukup bukti
- Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
- Perkara ditutp demi hukum, contoh: terdakwa meninggal dunia, daluarsa (Pasal 140
(2a) KUHAP).
Dengan menganut asas opportunitas dalam penuntutan maka kejaksaan (penuntut umum)
tidak menyampaikan perkara ke sidang pengadilan dengan alasan :
a. Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum (Pasal 14 huruf h jo
Pasal 140 ayat (2a) KUHAP).
b. Perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 (2a) KUHAP).
c. Penyampaian perkara untuk kepentingan hukum yang menjadi wewenang Jaksa
Agung (Pasal 32 huruf c UU No. 5 Tahun 1991).

Langkah-langkah yang diambil jaksa sebelum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan


untuk dapat dilakukan penuntutan adalah : (Pasal 14 KUHAP)
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara
b. Mengadakan pra penuntutan
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan / status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik kepada Penuntut Umum
d. Membuat surat dakwaan
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang dimulainya sidang
disertai dengan pemanggilan si terdakwa dan saksi-saksi
g. Melakukan penuntutan
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
i. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum
j. Melaksanakan penetapan hakim.

Pra Penuntutan
 Adalah tindakan yang diambil oleh Jaksa/ Penuntut Umum untuk mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi sesuai dengan petunjuk.
Dalam Pasal 138 KUHAP dijelaskan :
(1)Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan
kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum
(2)Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk tentang
hal yang harus dilengkapi dalam waktu 14 hari sejak penerimaan berkas perkara,
penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut
Umum.
Selanjutnya Pasal 139 KUHAP menjelaskan :
Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, maka ia sesegera mungkin menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat/ tidak dilimpahkan ke pengadilan.

SURAT DAKWAAN
Surat Dakwaan adalah surat akta yang memuat tindak pidana yang didakwakan yang
disimpulkan dari penyidikan penyidik yang merupakan dasar/landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan disidang pengadilan.
Isi surat dakwaan memuat penunjukan ke persidangan pengadilan negeri yaitu
penuntut umum menunjuk atau membawa suatu perkara ke pengadilan, apabila cukup
alasan untuk dapat dilakukan penuntutan terhadap terdakwa yang menurut peristiwa dan
keterangan-keterangan mengenai waktu dan tempat dimana perbuatan itu dilakukan,
keadaan-keadaan terdakwa dimana perbuatan itu dilakukan, terutama perbuatan yang
memberatkan dan meringankan.
Fungsi surat dakwaan :
1. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan disidang pengadilan
2. Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar keputusan/vonis hakim, dengan kata lain
vonis hakim harus semata-mata berdasarkan kepda apa yang dimuat dalam surat
dakwaan. Buktinya nanti ada satu jenis putusan “pembebasan dari segala tuduhan”.
Syarat-syarat Sahnya Surat Dakwaan :
1. Syarat Formil (Pasal 143 ayat 2a)
Penuntut Umum membuat surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
2. Syarat Materiil (Pasal 143 ayat 2b)
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Ratio dari syarat formil ini adalah untuk kepentingan identitas dari tertuduh atau terdakwa,
agar tidak menimbulkan salah paham orang yang dihadapkan dimuka sidang pengadilan itu
adalah benar-benar orang yang dituntut oleh jaksa atau orang yang benar-benar melakukan
tindak pidana itu.
Syarat materiil dari surat dakwaan adalah merupakan hal yang sangat penting sekali,
agar supaya surat dakwaan tidak batal, maka uraiannya harus jelas terutama mengenai
tempat, waktu tindak pidana itu dilakukan dan bahasa yang dapat dimengerti oleh
terdakwa. Mengenai tempat (locus) dalam surat dakwaan itu harus disebutkan dengan
tepat, nama jalannya, desa kampung, kota, kecamatan dan kabupaten.
Mengenai waktu (tempus) harus disebutkan dengan nyata dan tepat. Jika tidak surat
dakwaan itu akan batal dengan sendirinya menurut yuridis hukum. Supaya surat itu jangan
batal dengan sendirinya, maka dalam surat dakwaan itu dapat ditambahkan mengenai
tempat dan waktu dengan kata-kata “setidak-tidaknya dalam daerah hukum Pengadilan
negeri”.
Ratio mengenai waktu adalah untuk menentukan peraturan mana yang diperlukan
terhadap tindak pidana itu.
Ratio mengenai tempat adalah :
1. Menentukan hukum pidana manakah yang akan diberlakukan, apakah hukum
pidana Indonesia, ataukah hukum pidana negara lain.
2. Untuk menentukan hak kekuasaan mengadili dari suatu pengadilan negeri,
dengan perkataan lain pengadilan negeri manakah yang berhak mengadili perkara
tersebut.

Jenis-jenis Surat Dakwaan :


1. Surat Dakwaan Biasa, adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal
berisi satu dakwaan dan perumusan dakwaan tunggal dijumpai tindak pidana yang
jelas, tidak ada orang lain yang terlibat, sehingga pelaku maupun tindak pidana
yang dilanggar jelas.
2. Surat Dakwaan Alternatif, adalah surat dakwaan yang tindak pidananya masing-
masing dirumuskan secara saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada
pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang paling tepat untuk
dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sehubungan dengan tindak pidana.
Biasanya dalam surat dakwaan ada kata “atau”.
3. Surat Dakwaan Subsidair (Pengganti) adalah surat dakwaan yang terdiri dari 2 atau
lebih dakwaan yang disusun secara berurutan dari dakwaan pidana yang terberat
sampai yang teringan. Pemeriksaannya pun dilakukan menurut skala prioritas
yang sudah tersusun. Biasanya terdapat kalimat Primair, Subsidair, lebih subsidair,
lebih subsidair lagi.
4. Surat Dakwaan Kumulasi, adalah surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari
beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Dakwaan jenis ini bisa
merupakan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus. Biasanya terdapat kata
“dan”.

PELIMPAHAN PERKARA PIDANA


Mengenai pelimpahan perkara pidana ini oleh penuntut umum kepada pengadilan
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yang didasarkan kepada jenis perkara, yaitu:

1. Dalam acara pemeriksaan biasa (Pasal 152-182 KUHAP)


2. Dalam acara pemeriksaan singkat (Pasal 203-204 KUHAP)
3. Dalam acara pemeriksaan cepat, yang terdiri dari :
a. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan
b. Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas (Pasal 211 KUHAP dan
seterusnya).

1. Acara Pemeriksaan Biasa


 Pelimpahan perkara oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri dengan cara
pemeriksaan biasa seperti yang dimaksud dan diatur dalam Pasal 152 KUHAP ialah bahwa
penuntut umum harus membuat surat dakwaan yaitu menyerahkan berkas perkara ke
pengadilan secara sq hakim dengan suatu surat dakwaan supaya perkara pidananya
diajukan dalam persidangan oleh hakim guna diperiksa dan diadili.
2. Acara Pemeriksaan Singkat
 Acara pemeriksaan singkat ini disebut juga dengan Acara Sumier sebagaimana yang
diaturdalam Pasal 203 KUHAP dan seterusnya. Maka dalam hal ini jika menurut Penuntut
umum perkaranya sangat mudah pemeriksaannya tentang pembuktian dan pelaksanaan
hukumannya dan sekiranya perkara pidana tersebut dijatuhkan hukuman, maka ancaman
hukumannya tidak lebih berat dari hukuman penjara 1 (satu) tahun, maka penuntut umum
dapat mengajukan langsung ke dalam persidangan. Pada pemeriksaan singkat ini penuntut
umum tidak membuat surat dakwaan, maka hakim hanya berpedoman kepada berkas
perkara, dimana jaksa memberitahukan perbuatan mana yang didakwakan kepada si
terdakwa pada permulaan persig=dangan pertama, pemberitahuan ini dianggap sebagai
dakwaan yang menjadi dasar untuk pemeriksaan selanjutnya.
3. Acara Pemeriksaan Cepat
 Ini terdapat pada tindak pidana ringan maupun pelanggaran lalu lintas, maka
penyidik atas kuasa jaksa / penuntut umum dalam waktu 3 hari setelah berita acara
pemeriksaan selesai, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, saksi ahli dan
juru bahasa ke persidangan. Acara pemeriksaan cepat ini dilakukan oleh Hakim Tunggal
pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal menjatuhkan pidana perampasan,
pemeriksaan terdakwa dapat dimintakan banding.

Bedanya:
- Acara pemeriksaan cepat tindak pidana ringan menurut Pasal 205 KUHAP dan
seterusnya dan perkara terhadap perundang-undangan jalan, maka penyidik langsung
memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal dan jam
sertatempat dimana ia harus menghadap persidangan pengadilan dan berkas yang
bersangkutan dikirim ke pengadilan.
- Dalam acara cepat mengenai pelanggaran perundang-undangan lalu lintas jalan,
terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di persidangan
putusan dapat dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa dan surat amar putusan sesegera
mungkin disampaikan kepada terdakwa. Dalam jangka waktu tujuh hari terdakwa dapat
mengajukan perlawanan (verzet) kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan tanpa
hadirnya terdakwa.

PRA PERADILAN
Menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP :
Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau kelarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menurut para pakar hukum,pra peradilan adalah proses sebelum peradilan, praperadilan
terdiri dari dua suku kata yaitu pra dan peradilan. Pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan
sebelum, sedangkan peradilan adalah proses persidangan untuk mencari keadilan.
Tujuan adanya praperadilan adalah sebagai pengawas horizontal atas tindakan upaya
paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang. Dan juga sebagai alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut
umum terhadap penyalahgunaan wewenang olehnya.

Subjek / Pihak yang Mengajukan Permohonan Pra Peradilan (Pasal 79-81 KUHAP)
1. Tersangka, keluarga atau kuasanya
2. Penuntut Umum dan pihak ketiga yang berwenang
3. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
4. Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya
5. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi.

Objek Pra Peradilan diatur dalam Pasal 77 KUHAP:


Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Proses Pemeriksaan Permintaan Pra Peradilan


 Hal ini diatur dalam Pasal 78-83 KUHAP. Yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadili pra peradilan ini adalah Pengadilan Negeri (Pasal 77 KUHAP). Pra peradilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh
seorang panitera (Pasal 78 ayat 2)
Kemudian permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan
atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan
negeri yang menyebutkan alasannya (Pasal 80 KUHAP).
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau sebagai akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 81 KUHAP)
Apabila perkara tidak diajukan ke pengadilan baik karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana sedangkan terhadap tersangka telah
dilakukan penangkapan, penahanan dan tindakan-tindakan lain secara melawan hukum,
maka tuntutan tersebut diperiksa dan diputuskan oleh praperadilan. Untuk ganti rugi yang
perkaranya telah diajukan ke pengadilan maka permintaan ganti rugi tersebut diperiksa dan
diputuskan oleh hakim yang telah mengolah perkara tersebut.

Acara Pemeriksaan Pra Peradilan


 Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang.
b. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada
benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar
keterangan baik daritersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang.
c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari
hakim harus sudah menjatuhkan putusannya
d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadlan negeri, sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur.
e. Putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilanlagi pada tingkat pemeriksaan oleh
penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

Pasal 82 ayat 2 KUHAP:


(2)Putusan Hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya.
PRA PERADILAN

Pengertian Pra Peradilan

Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP


Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan dengan tegaknya hukum dan keadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menurut Hartono, pengertian Praperadilan adalah adalah proses persidangan sebelum
sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara
materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata
cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun maksud materi
pokoknya adalah materi perkara tersebut.

Tujuan / Maksud Pra Peradilan


= adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang
diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas
aquisatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan
asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri malalui
praperadilan. Secara detail Yahya Harahap (2002:4) mengemukakan
“Lembaga peradilan sebagai pengawas horizontal atas tindakan upaya paksa yang
dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas
penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
dan undang-undang”.
Tujuan dari Praperadilan dapat kita ketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang
menegaskan “ bahwa tujuan dari pra peradilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan,
kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal”. Esensi dari Praperadilan, untuk
mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum bukan merupakan
tindakan yang bertentangan dengan hukum”.
Aturan mengenai proses praperadilan diatur pada Pasal 77-88 KUHAP.
Pada hakikatnya, wewenang praperadilan terkunci dalam 4 alasan:
- Sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan
- Sah tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan
- Ganti rugi atau rehabilitasi atas upaya paksa
- Sah atau tidaknya penyitaan.

Objek Praperadilan
= diatur dalam Pasal 77 KUHAP :
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau
penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Subjek Praperadilan
= pihak-pihak yang dapat mengajuka Praperadilan adalah :
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 79 KUHAP).
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya. (Pasal 80 KUHAP).
c. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 81 KUHAP).

Putusan Hakim dalam Pra Peradilan


= Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya. (Pasal 82 (2) KUHAP).S
= Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 juga memuat
hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan tersangka
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya.
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita (Pasal 82 (3)
KUHAP).
Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 dan Pasal 95 (Pasal 82(4) KUHAP).

PEMERIKSAAN TERKHIR / PERSIDANGAN PENGADILAN NEGERI

Fungsi dan Asas Sidang Pengadilan

Setelah hakim menerima berkas perkara dari penuntut umum, maka ketua pengadilan
negeri atau hakim yang menerimanya harus memepelajari ataupun membaca dengan
seksama berkas perkara tersebut, kemudian mengambil langkah-langkah/ tindakan-
tindakan sebagai berikut :
1. Hakim menyelidiki lebih dahulu apakah menurut undang-undang ia berwenang
mengadili perkara terdakwa (Pasal 148 ayat (1) KUHAP), jika menurut undang-
undang tidak termasuk wewenangnya maka ia harus membuat surat penetapan
beserta alasan-alasannya yang mengatakan bahwa perkaratersebut bukanlah
termasuk wewenangnya untuk mengadili.
2. Hakim setelah membaca berkas perkara ada cukup alasan untuk menuntut si
terdakwa dan ia berwenang untuk mengadili perkara tersebut, maka hakim ketua
menunjuk hakim yang akan menyidangkannya, menentukan hari persidangannya
dan memerintahkan kepada penuntut umum untuk memanggil si terdakwa, saksi-
saksi dan saksi ahli supaya menghadap persidangan pada hari yang ditentukan
(Pasal 152 KUHAP)
Pada pemeriksaan terkhir disidang pengadilan, bermaksud untuk dapat membuktikan sah
atau tidaknya seseorang yang dianggap melakukan peristiwa pidana, dengankata lain dapat
atau tidaknya dijatuhi hukuman seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Juga pemeriksaan terakhir ini,sidang pengadilan adalah lanjutan dari pemeriksaan
pendahuluan, mengolah menganalisa, menilai apa-apa yang telah diperdapat pada
pemeriksaan pendahuluan, oleh karena itu pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa fungsi
pemeriksaan terkhir atau sidang pengadilan adalah melatakkan segala sesuatu atau alat-alat
bukti yang telah diperdapat pada pemeriksaan pendahuluan pada proporsi hukum yang
sebenarnya (berlaku).
Maka untuk ini hakim dalam melakukan pemeriksaan tentu akan berusaha sekuat
tenaga untuk dapat menyelesaikan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya dengan
sebaik mungkin, secermat-sermatnya, apakah betul-betul atau tidak kesalahan yang
dituduhkan kepada terdakwa oleh penuntut umum tersebut.
Karena demikian fungsinya sidang pengadilan tersebut objektif dan kebenaran
materill, maka ada asas-asas yang harus dipenuhi dalam sidang pengadilan, yaitu:
1. Asas sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
= ini asas yang pokok, jadi semua sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, dan
sebagaimana kita ketahui, mengenai hal ini diatur dalam pasal 17 (1) UU Kehakiman.
Akan tetapi, disini disebutkan pengecualiannya yaitu:
Apabila dalam undang-undang ditetapkan lain. Tetapi pada UU Pokok Kehakiman yang lama
ditambahkan : apabila menurut pendapat pengadilan yang disetujui oleh pengadilan
setingkat lebih tinggi terdapat alasan penting.
Atas kedua alasan tersebut diatas, adakalanya sidang pengadilan diadakan dengan
pintu tertutup, dasar pengecualian atas :
- Apabila undang-undang menetapkan lain
- Apabila menurut pendapat pengadilan negeri terdapat alasan-alasan penting (tapi
dalam alasan yang kedua ini pengadilan negeri harus minta persetujuan pengadilan
tinggi).
Ratio asas yang pertama ini adalah : agar supaya khalayak ramai dapat mengawasi para
hakim di pengadilan dalam melakukan peradilan, dengan perkataan lain peradilan
diletakkan dibawah pengawasan pendapat umum atau merupakan “social control”.

2. Asas Kelangsungan
Maksudnya adalah hakim (pengadilan) ataupun jaksa, harus menyandarkan segala
pendapatnya, segala putusannya atau segala yang terjadi, didengar, dilihat sendiri, dialami
sendiri dalam sidang pengadilan dari hasil pertanyaan yang diadakan oleh hakim atau jaksa
terhadap terdakwa, saksi atau saksi ahli secara langsung. Jadi terdakwa, saksi-saksi, saksi
ahli, hadir sendiri pada pemeriksaan sidang pengadilan.
Dengan demikian hakim atau jaksa tidak boleh menyandarkan pendapatnya dan atau
keputusannya dengan mempergunakan keterangan-keterangan lain yang didapatnya diluar
sidang pengadilan sebagai bahan.
Rationya adalah : untuk mencapai kebenaran yang selengkap-lengkapnya tentang apakah
perbuatan yang dituduhkan kepada si terdakwa dapat dibuktikan dan apabila dapat
dibuktikan apakah terdakwa dapat dihukum.

3. Asas yang ketiga ini disebut “Oraal Debat”


Oraal = dengan lisan (orator=ahli pidato)
Debat = tanya jawab antara dua pihak (pihak pengadilan dengan pihak yang diperiksa atau
terdakwa, saksi dan lain sebagainya)
Oraal debat adalah bahwa dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan itu harus
dilaksanakan secara lisan, jadi tidak boleh secara tertulis, tapi harus pakai mulutnya sendiri.
Rationya : untuk mencapai kebenaran yang materiil. Pengecualian dari asas ini dalam
praktek juga ada apabila terdakwa, saksi bisu atau tuli.

PERANAN PIHAK-PIHAK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PIDANA


Para pihak dalam persidangan perkara pidanan adalah para pejabat secara
fungsional yang menyidangkan suatu perkara pidana, yang mempunyai tugas masing-masing
sesuai dengan kewenangannya. Pada umumnya susunan para pejabat tersebut dalam
persidangan perkara pidana:

a. Hakim
= walaupun pada asasnya pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh 3 orang hakim,
namun beberapa hal tertentu, ditentukan oleh undang-undang, umpamanya untuk perkara-
perkara kecil baik pelanggaran ataupun kejahatan yang bersifat sederhana mengenai
pembuktiannya ataupun penjatuhan pidananya boleh disidangkan pengadilan terdiri atas
seorang hakim (hakim tunggal).
Akan tetapi, bagi perkara-perkara penting (subversif, tinak pidana ekonomi, korupsi
dan lain-lainnya), pengadilan memeriksa dan memutus harus terdiri atas lebih dari satu
orang hakim, tetapi jumlahnya harus ganjil, seorang diantaranya akan bertindak sebagai
ketua. Sistem penyidangan perkara dengan satu orang hakim atau hakim tunggal disebut
Collegial Rechtspraak (Hakim majelis/mahkamah).
Didalam persidangan ini, disamping hakim berfungsi sebagai orang yang akan memberi
suatu keputusan, juga bertugas memimpin dan bertanggung jawab jalannya persidangan,
agar selama persidangan berjalan selalu memperhatikan ketertiban (Pasal 217 KUHAP), oleh
karenanya bila dianggap perlu, hakim berhak mengeluarkan seseorang dari ruang
persidangan (ruang sidang pengadilan) bila dianggap membuat kegaduhan atau menganggu
ketertiban, bahkan kalau perlu terhadap terdakwa sendiri, sedangkan perkara dapat
diteruskan tanpa hadirnya terdakwa (Pasal 218 KUHAP).

b. Jaksa
= Jaksa sebagai penuntut umum yang akan bertindak sebagai wakil dari negara harus hadir,
kecuali dalam perkara-perkara rol. Dalam persidangan ini utama adalah terletak di tangan
jaksa sebagai orang yang bertugas membuktikan kesalahan terdakwa, karenanya dia harus
aktif melancarkan pertanyaan-pertanyaan terhadap terdakwa dan pertanyaan-pertanyaan
mana harus ditujukan/diarahkan kepada hal-hal yang berhubungan denga perbuatan
terdakwa dalam surat dakwan yang telah dibacakan.
Jadi, dengan kata lain tugas jaksa dalam persidangan adalah memberikan keyakinan
pada hakim atas kebenaran tuduhan/ dakwaan dengan membuktikan benar-benar terdakwa
yang dihadapkan itulah yang melakukan perbuatan kejahatan atau yang melakukan tindak
pidana dan dia salah melakukannya.

c. Panitera
= Panitera dalam persidangan dibebankan tugas untuk mencatat dan menyusun berita
acara, dari apa yang telah dibicarakan (harus pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban)
dan segala apa yang terjadi di sidang pengadilan, dia juga harus hadir waktu persidangan.
Disamping itu, tugas panitera juga apa yang ditentukan oleh Pasal 225 KUHAP, yaitu
Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk seluruh perkara. Dalam buku daftar tersebut
dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan, tanggal terdakwa
mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan, tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal
penerimaan, permintaan dan putusan banding atau kasasi, tanggal permohonan serta
pemberian grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi dan lain-lain yang erat hubungannya
dengan proses perkara.

Cara-cara Penyidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri


= menurut ketentuan yang diatur dalam KUHAP, ada 3 macam pemeriksaan perkara pidana
di sidang pengadilan, yaitu:
1. Acara pemeriksaan biasa (diatur dalam Pasal 152-Pasal 202)
= yang termasuk perkara pidana biasa adalah semua perkara-perkara yang dikategorikan
berat atau penting dan sulit pembuktian serta penerapan aturannya. Umpamanya
pembunuhan, penganiayaan berat, kejahatan terhadap keamanan negara, dan lain-lain.
2. Acara pemeriksaan singkat (diatur dalam Pasal 203-204 KUHAP)
= Pada acara pemeriksaan singkat atau lazimnya disebut sumier, jika menurut penuntut
umum perkaranya adalah sangat mudah dan sederhana pemeriksaannya tentang
pembuktian dan pelaksanaan hukumnya dan sekiranya akan dijatuhkan hukuman yang tidak
lebih berat dari hukuman penjara selama satu tahun, maka penuntut umum dapat
mengajukan langsung kedepan persidangan hakim. Pada acara pemeriksaan singkat,
penuntut umum tidak membuat surat dakwaan. Akan tetapi cukup penuntut umum
memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu
tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan dari catatan ini merupakan pengganti dari surat
dakwaan.
3. Acara pemeriksaan cepat (Pasal 205-216 KUHAP)
= acara pemeriksaan tindak pidana ringan (Pasal 205-210 KUHAP) dan acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 210-216 KUHAP).
= Pada acara pemeriksaan tindak pidana ringan atas perkara-perkara yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan lebih lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah. Pada pemeriksaan ini, penyidik atas kuasa penuntut umum dalam
waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa
beserta barang bukti, saksi, saksi ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
Pengadilan yang mengadili perkara tindak pidana ringan adalah hakim tunggal pada
tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan terdakwa dapat meminta pemeriksaan banding (Pasal 205 KUHAP). Saksi
dalam acara pemeriksaan ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji, kecuali hakim
menganggap perlu (Pasal 208 KUHAP).
Sedangkan pada pemeriksaan acara cepat atas perkara pelanggaran tertentu terhadap
peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan, tidak dibuatkan berita acara pemeriksaan.
Oleh karena itu, catatan dari penyidik segera menyerahkan kepda pengadilan selambat-
lambatnya hari sidang pertama berikutnya (Pasal 212 KUHAP).
Pada sidang ini, terdakwa jika tidak hadir dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang (Pasal 213 KUHAP).

TEORI PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI DAN MACAM-MACAM ALAT BUKTI YANG SAH

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana

A. Pengertian Pembuktian

KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya


memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan
tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.

Subekti (2001:1) menerangkan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang


kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”.

Martiman Prodjohamidjojo (1984: 11) mengemukakan membuktikan mengandung maksud


dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima
akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Yang dimaksud dengan pembuktian, adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa
pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst, 1998: 133).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang


cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).

Pengertian Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan
hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily
Rosita, 2003: 10).

Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur
pula beberapa pedoman dan penggarisan:

1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk


mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya
kepada terdakwa.

2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan


dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai
dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.

3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama
pemeriksaan persidangan (M. Yahya Harahap, 2003: 274).

B. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:

1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara
umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.

Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut
memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu
misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa
misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan


demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk
minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari
Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 20).

2. Menjadi saksi adalah kewajiban

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang
menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan
untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan
pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”

3. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)


Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya”.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat.
Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan
terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa
dalam perkara cepat (M. Yahya Harahap, 2003: 267).

4. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan


kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak
dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

5. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.

Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan
diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri (Adnan
Paslyadja, 1997: 8-15).

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan
sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan
setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian
sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2003: 321).

C. Ruang Lingkup Pembuktian

1. Sistem pembuktian

2. Jenis alat bukti

3. Cara menggunakan dan nilai

4. Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti


D. Teori/Sistem Pembuktian

1. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime) : Terbukti


tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau
perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat
bukti yang ada.

2. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs


theori) : Apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah
menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa
mempertimbangkan keyakinannya sendiri.

3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction
rasionnee). Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan
dan alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning yang
harus reasonable.

4. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijs


theorie) : Sistem pembuktian ini berada diantara sistem positif wettelijk dan sistem
conviction resionnee.

Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Jadi sistem pembuktian yang dianut peradilan pidana Indonesia adalah sistem pembuktian
”negatief wettelijk stelsel” atau sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
yang harus:

· Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”.

· Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah
terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

E. Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia

Pasal 183 KUHAP ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

F. Prinsip Minimum Pembuktian

Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi
untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :

· Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum
cukup).
· Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu
alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

G. Prinsip Pembuktian

1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten).

2. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).

3. Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia


bersalah.

H. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti

1) Bukti

KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bukti
ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau
peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau
memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka
mengumpulkan bukti.

Dengan perkataan lain bahwa :

a. Berita Acara Pemeriksaan Saksi;

b. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;

c. Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;

d. Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai bukti

2) Barang Bukti

Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun
yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar
dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih
dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah
hukumnya benda yang dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh
penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri
setempat.

Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya.

c. benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

3) Alat Bukti

KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada
Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.

· Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa :

a) alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.

b) hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.

c) keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.

· Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :

a. keterangan saksi

b. keterangan ahli

c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa.

4) Keterangan Saksi

Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri,
alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.

· Syarat Sah Keterangan Saksi

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan).

2. Keterangan saksi harus mengenaiperistiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri
dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de
auditu = terangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada
pasal 162 KUHAP).

4. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis
nullus testis).

5. Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang

· Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) :

a. Diterima sebagai alat bukti sah

b. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak
mengikat)

c. Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).

d. Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa
dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.

5) Keterangan Ahli

Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan
membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan.

· Syarat Sah Keterangan Ahli

a. Keterangan diberikan oleh seorang ahli

b. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu

c. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya

d. Diberikan dibawah sumpah/ janji:

ü Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan

ü Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan

· Jenis Keterangan Ahli

1. Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)

2. Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan
hakim)

3. Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum
· Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas

b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan

c. Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim

6) Surat

a) Surat Keterangan dari seorang ahli

ü Memuat pendapat berdasarkan keahliannya.

ü Mengenai suatu hal atau suatu keadaan

ü Yang diminta secara resmi dari padanya

ü Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah

Contoh : Visum et Repertum

Ada 2 bentuk surat :

1. Surat Authentik/ Surat Resmi

- Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut
ketentuan perundang-undangan

- Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah

2. Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan

- Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin
Mengemudi, dll.

Nilai Kekuatan Pembuktian Surat:

· Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas

· Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain
halnya dalam acara perdata)

· Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim :

Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai
dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai bukti
diantara para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran hasilnya.
b) Sifat Dualisme Laporan Ahli,

Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan :

1. Sebagai alat bukti keterangan ahli :

Penjelasan Pasal 186:

Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik
atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.

2. Sebagai alat bukti surat

Pasal 187 c:

Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminga secara resmi
daripadanya.

7) Keterangan Terdakwa

a. Keterangan terdakwa sendiri :

- Pengakuan bukan pendapat

- Penyangkalan

b. Tentang perbuatan yang ia sendiri

- Lakukan, atau

- Ketahui atau

- Alami

c. Dinyatakan di sidang :

- Keterangan yang terdakwa berikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan membantu
menemukan bukti di sidang.

· Keterangan Terdakwa Diluar Sidang

Dapat digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan:

- Didukung oleh suatu alat bukti yang sah.

- Mengenai hal yang didakwakan kepadanya.


Contoh : Berita Acara Tersangka oleh penyidik.

· Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa

1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan
yang bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas
minimum pembuktian.

2. Harus memenuhi asas keyakinan hakim.

3. Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan
pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.

8) Petunjuk

a. Perbuatan, atau kejadian atau keadaan.

b. Karena persesuainnya satu dengan yang lain.

c. Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri.

d. Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan,

e. Siapa pelakunya.

· Sumber Perolehan Petunjuk

Petunjuk hanya diperoleh dari :

- Keterangan saksi

- Surat

- Keterangan terdakwa

- Keterangan ahli

- Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri.

· Bukti Petunjuk Sebagai Upaya Terakhir

Petunjuk sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti :

- Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)

- Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir

- Petunjuk baru digunakan kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi


- Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim harus dengan arif dan bijaksana
mempertimbangkannya.

MACAM-MACAM ALAT BUKTI MENURUT KUHP DAN KUHAP

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang
peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak
mempunyai kekuatan yang mengikat.

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP adalah sebagai berikut

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Berikut penulis akan memberikan penjelasan mengenai alat bukti antara lain sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Pada
umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi :

Menurut M. Yahya Harahap (2002:286) bahwa:

Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi.
Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tenyang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan :

a. Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi
dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan
alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.

Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian
khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi derajat ketiga
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
samapi derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan
kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah (2002:258-259), mengatakan
bahwa:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil
sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja”.

Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

(1) Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi.

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka
sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal
185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya,
pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian
demikian adalah disebut testimonium de auditu.

Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan
sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran
material, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang
saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu
atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu
perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi
dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang lain. Andi Hamzah
(1983:242).

Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat
dalam pasal 183 yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja
tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan
kepadanya”.

Menurut D. Sions (dalam Andi Hamzah, 1983:247) : “Suatu keterangan saksi yang berdiri
sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri
tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”.

M. Yahya Harahap (1985 : 810) megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan pasal 185
ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang
dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai
sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.

Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan
kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena
selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan
terdakwa.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan
bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut
tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.

Andi Hamzah, (2002 : 268) menerangkan bahwa:

Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.
Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga
van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari
dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.

Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap (2002 : 297-302) hanya
bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang
terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179
dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat
bukti :

1. Pasal 1 angka 28

Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada
Pasal 1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:

a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus”
tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.

b. Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi
terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus.
Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki
keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.

3. Pasal 133 (1) KUHAP

Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.

4. Pasal 179 KUHAP menyatakan:

(1) Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.

Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal
sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1). Seperti yang dituliskan M. Yahya
Harahap (2002:300), ada dua kelompok ahli:

1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman
sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.

2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.

Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa
ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam
rangka pemeriksaan penyidikan.

Menurut M. Yahya Harahap (1985:819) bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal
186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui
prosedur sebagai berikut:

Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.

Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan
itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan
ahli itu dilakukan. Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu
bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et repertum. Laporan
atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli
menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu,
keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.

Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang


Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila
pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga
terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta
keterangan ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan
menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka
tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di
sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang
pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang
demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat
bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai
nilai kekuatan pembuktian.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam bentuk laporan
menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan
atau visum et repertum tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat
bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi. Apakah hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak
menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti?

M. Yahya Harahap (1985:828), menegaskan bahwa keleluasaan hakim, penuntut umum,


terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti seperti yang telah
disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian.
Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-
samamempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk
membenarkan atau menolaknya.

c. Surat

Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat adalah sesuatu


yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi
pikiran.

Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti surat adalah suatu benda
(bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).

Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya
diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.

d. Petunjuk

Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai
berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Ketrangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.

Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti
yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah
menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada
persesuaiaannya satu sama lain.

e. Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai
berikut:

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai
hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.


(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan
“keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan
apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat
bukti.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua
keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.

PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PIDANA

“Keputusan Hakim/Vonis Hakim (Putusan Pengadilan Negeri dalam Perkara


Pidana)”
Setelah hakim menganggap proses pemeriksaan disidang pegadilan selesai, maka tibalah
saatnya hakim untuk memberikan vonis (putusan pengadilan) yang menjadi tujuan utama
dari setiap keputusan hakim. Keputusan yang diberikan harus memenuhi rasa keadilan, baik
bagi masyarakat pada umumnya atau para pihak (terhukum) pada khususnya, dengan
demikian dia akan tulus ikhlas menerimanya.

Hakim dalam mengambil keputusannya adalah tidak bebas, melainkan terikat terhadap
hukum, undang-undang dan rasa keadilan. Karena demikian justru pandangan masyarakat
terhadap keputusan hakim dapat diibaratkan sebagai barometer daripada terujudnya
keadilan dan kebenaran, serta kepastian hukum dalam negara dan masyarakat.

Dengan berpangkal tolak kepada surat dakwaan sebagai dasar untuk keputusan hakim
kemudian mempertimbangkannya berdasarkan pasal 183 KUHAP yang memuat ajaran
Negatief Wettelijk Bewijstheorie yang berbunyi :

“Bahwa orang dapat dipersalahkan dan dihukum jika hakim didalam pemeriksaan dimuka
persidangan dapat memperoleh cukup dua alat bukti yang sah dan meyakinkan,bahwa
tertuduh bersalah terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.”

Yang dimaksud Putusan Pengadilan (Hakim) adalah pernyataan yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana (pasal 1 butir 11 KUHAP).

JENIS PUTUSAN HAKIM

1. Putusan Bebas / Vrijpraak


Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (pasal 191 ayat (1) KUHAP).
Jadi dalam arti kata:
= Ketidak adanya bukti minimum yang ditentukan oleh undang-undang(sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah)
Jika terdakwa diputus bebas, kemudian terdakwa dalam status tahanan,
diperintahkan untuk dibebaskan waktu itu juga, kecuali karena alasan yang sah
terdakwa ditahan (pasal 191 ayat (3) KUHAP). Diantara yang dimaksud dengan alasan
yang sah disini adalah karena tersangkut tindak pidana yang lain. Terhadap putusan
bebas tidak dapat dipergunakan upaya hukum banding (pasal 67 KUHAP) atau Kasasi
(pasal 244 KUHAP).
Bagi putusan ini hanya dapat dipergunakan upaya hukum peninjauan kembali.

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum


Istilah lepas dari segala tuntutan hukum berasal dari Onslag van Rechtsvervolging.
Menurut pasal 191 ayat (2) KUHAP, apabila menurut pendapat pengadilan perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terkawa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Hakim akan memberikan putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
apabila :
- Terdakwa dalam proses sidang pengadilan memang terbukti melakukan
suatu oerbuatan atau apa yang dituduhkan oleh jaksa pada terdakwa
terbukti
- Tetapi perbuatan atau tindakan yang terbukti itu, bukan merupakan
suatu kejahatan atau pelanggaran, tidak tepat melanggar pasal hukum
pidana, berkemungkinan merupakan perbuatan perdata.
Jika terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum, dan terdakwa berada dalam
tahanan, maka ia diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain
yang sah ia perlu ditahan.
Perbedaan putusan bebas dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat
diajukan pemohonan kasasi, sedang bagi putusan bebas tidak bisa. Terhadap putusan
lepas dari segala tuntutan hukum yang mneyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum tidak bisa diajukan banding (pasal 67 KUHAP), tetapi boleh dimintakan kasasi
(pasal 244 KUHAP).

3. Putusan Pemidanaan / Veroor deling


Pasal 193 ayat 1 KUHAP, menyatakan apabila perbuatan yang didakwakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dengan demikian pengadilan akan memberikan putusan penghukuman apabila:
a. Dalam persidangan telah cukup terdapat bukti, paling kurang bukti minimum
dikehendaki undang-undang terhadap perbuatan terdakwa
b. Perbuatan yang dilakukan terdakwa sesuai dengan yang dicantumkan dalam surat
dakwaan penuntut umum adalah merupakan perbuatan pidana.
c. Hakim berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, memang terdakwalah yang
melakukan perbuatan pidana itu.
Jika pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa, apabila
terdakwa tidak ditahan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan,
apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan tindak pidana penjara lima
tahun atau lebih, atau tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam pasal 21 ayat (4)
sub b KUHAP. Dan sebaliknya jika terdakwa telah ditahan, pengadilan dapat
menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan atau membebaskannya apa terdapat
alasan cukup untuk itu (pasal 193 ayat (2) KUHAP).
Selanjutnya apabila terdakwa telah dikenakan penahanan, maka masa penahanan
dapat dikurangi dari pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan pasal 22 ayat (4)
dan (5) KUHAP.

Disamping 3 vonis atau keputusan hakim dalam perkara pidana diatas, ada keputusan
yang bukan merupakan keputusan mengenai pokok materi perkara, yaitu:
a. Putusan hakim yang mengandung pernyataan bahwa hakim (pengadilan) tidak
berwenang mengadili terdakwa (pasal 148 KUHAP)
b. Putusan hakim yang mneyatakan bahwa surat dakwaan batal dengan sendirinya,
tidak memenuhi syarat sebagaimana dalam ketentuan pasal 143 KUHAP. Dan
kemudian jaksa akan mengulangi penyusunan surat dakwaan yang baru.
c. Putusan hakim yang mengandung pernyataan bahwa, tuntutan hukum yang
dilakukan oleh jaksa terhadap terdakwa telah gugur atau daluarsa.
d. Putusan hakim yang mengandung pernyataan bahwa tuntutan yang dilaksanakan
jaksa diajukan ke pengadilan tidak dapat diterima.
Tetapi adakalanya dalam praktek sehari-hari, pengadilan/ hakim tentu mengetahui
keadaan-keadaan yang menyebabkan adanya keputusan-keputusan tersebut diatas
sebelum perkara diajukan ke sidang pengadilan, maka hakim dalam hal ini
memberikan keputusan berupa penetapan.
Disamping itu, pengadilan dalam memutus perkara harus dengan hadirnya
terdakwa, kecuali dalam undang-undang ini menentukan lain (pasal 196 ayat (1)
KUHAP). Ayat (2) dari pasal 196 tersebut, menentukan bahwa apabila terdapat lebih
dari satu orang terdakwa dalam satu perkara, maka putusan diucapkan dengan
hadirnya terdakwa yang ada.

Setelah hakim menjatuhkan putusannya, ia wajib memberitahukan pada terdakwa


tentang apa-apa yang menjadi haknya, yaitu:
1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan
2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan
dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang
3. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi dalam hal ia menerima
putusan.
4. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ini menolak putusan.
5. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam point 1 dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

UPAYA HUKUM (RECHTMIDDELEN)

Adapun yang dimaksud upaya hukum menurut R. Atang Ranoemihardja, yaitu ”suatu
usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan
hakim yang dianggapnya kirang adil atau kurang tepat”. Sedangkan di dalam Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), bahwa ”upaya
hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan”.
Demikian pula menurut Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu ”Hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Jadi upaya hukum menurut Pasal 1 butir 12 KUHAP di atas telah membeda-kan antara
upaya hukum biasa (Bab XVII) dan upaya hukum luar biasa (Bab XVIII), terdiri atas dua, yaitu:
(1) Upaya hukum biasa:
a. Banding;
b. Kasasi.
(2) Upaya hukum luar biasa
a. Kasasi demi kepentingan hukum;
b. Peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(herziening)

UPAYA HUKUM BIASA


Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari Pasal 233 sampai
dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding, dan Bagian Kedua dari Pasal
244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi.
Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie), sehingga maksud dari upaya
hukum dari terdakwa (terpidana) atau penuntut umum tidak puas atau tidak dapat
menerima putusan tersebut, adalah:
1. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya.
2. Untuk kesatuan dalam pengadilan
3. sebagai perlindungan terhadap tindak sewenag-wenang hakim atau pengadilan.

Pemeriksaan Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau pengadilan tinggi,
maka pengertian banding sebagaimana menurut J.C.T. Simorangkir4, adalah “suatu alat
hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk
memohon, supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi.
menurut Pasal 67 KUHAP, bahwa “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta
banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”

Adapun tujuan pengajuan permohonan banding oleh terdakwa/penasihat hukum atau


penuntut umum adalah untuk memperoleh keputusan yang lebih memuaskan atau lebih
tepat. Menurut R. Soesilo7, bahwa tujuan banding itu gunanya untuk memberikan
kesempatan kepada kedua belah pihak yang berperkara, dalam hal perkara pidana,
terdakwa dan penuntut umum, untuk mendapatkan keputusan yang lebih memuaskan dari
hakim yang lebih tinggi, yaitu bagi penuntut umum untuk mendapatkan keputusan yang
lebih berat, sedangkan bagi terdakwa untuk mendapatkan putusan yang lebih ringan”.
Adapun Tujuan daripada pengajuan permohonan banding atas putusan pengadilan
negeri adalah:
1. Menguji putusan pengadilan negeri (tingkat pertama) tentang ketepatan atau
bersesuaian dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku;
2. Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu.
Yang dapat mengajukan banding ialah : si terdakwa/ terhukum dan penuntut umum

Pemeriksaan Kasasi

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kasasi adalah pembatalan, yaitu suatu tindakan
Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-
pengadilan lain.
Jadi kasasi sendiri berarti pembatalan/vernietiging dan hanya dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagai yang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan
yang lain (Pasal 39 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman).
Kasasi diadakan dengan maksud untuk menyelenggarakan dalam kesatuan hukum,
demikian pula menurut M.H. Tirtaamidjaja bahwa tujuan utama daripada lembaga kasasi itu
adalah usaha untuk mencapai kesatuan hukum”.
Adapun dasar pengajuan kasasi, sebagaimana menurut Pasal 244 KUHAP, bahwa
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa12 atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.

Adapun alasan untuk mengajukan permohonan kasasi, dalam KUHAP yang dipakai
Mahkamah Agung RI, sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung RI atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
Maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
Maka Mahkamah Agung RI menetapkan disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus
perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau
berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut
diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara
tersebut (Pasal 255 KUHAP)1
Demikian pula menurut Martiman Prodjomidjojo15, bahwa “Pemeriksaan tingkat kasasi
bukan pemeriksaan tingkat ketiga, kasasi adalah membatalkan atau memecahkan. Kasasi
merupakan upaya hukum terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh
pengadilan-pengadilan lain dalam perkara-perkara pidana maupun perdata, agar dicapai
kesatuan dalam menjalankan peraturan-peraturan dan undang-undang. Oleh karena itu
untuk pemeriksaan tingkat kasasi, maka tiap banding atau ulangan, kecuali putusan-putusan
pidana dalam acara pemeriksaan cepat”.

Adapun tata cara pemeriksaan kasasi, sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai
berikut:
1. Pasal 245 KUHAP, bahwa
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang
telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari
sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada
terdakwa17.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada
berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh
penuntut umun, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan
terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahu-kan permintaan dari pihak
yang satu kepada pihak yang lain.
2. Pasal 246 KUHAP, bahwa
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat
tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon
terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera,
mencatat dan membuat akta.mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada
berkas perkara.
3. Pasal 247 KUHAP, bahwa:
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung,
permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung,
berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan
sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani
membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat
pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
4. Pasal 248 KUHAP, bahwa:
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi 18 yang empat belas hari setelah
mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkan-nya kepada panitera yang untuk itu ia
memberikan surat tanda terima.
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera
pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia
mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori
kasasinya.
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 253 ayat (l) undang-undang ini.
(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon
terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan
kasasi gugur.
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4)
pasal ini.
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera
disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra
memori kasasi.
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori
kasasi.
5. Pasal 249 KUHAP, bahwa:
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan
dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan
untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 248 ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan ke pada panitera
pengadilan.

(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut
dalam ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan
segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.
6. Pasal 250 KUHAP, bahwa:
(1) Setelah panitera, pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra memori
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), ia wajib segera
mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan pada kartu
penunjuk.
(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan
ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatangan-an dilakukan
oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan maka dengan
surat keputusan Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam
jabatan.
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang
aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan
kepada para pihak dikirimkan tembusan-nya.
7. Pasal 251 KUHAP, bahwa:
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasa 157 berlaku juga bagi pemeriksaan
perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga
antara hakim dan.atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat
banding serta tingkat pertama, yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat
banding, kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung,
mereka dilarang bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang sama
dalam tingkat kasasi.
8. Pasal 252 KUHAP, bahwa:
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (21) berlaku juga
bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut
pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:
1. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang
berwenang menetapkan;
2. dalam hal menyangkut Ketua Mahakamah Agung sendiri, yang berwenang
menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh dan
antar hakim anggota yang seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua
dalam jabatan.
9. Pasal 253 KUHAP, bahwa:
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan :
d. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
e. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
f. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(1) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-
kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan
lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari
penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu berserta putusan pengadilan tingkat pertama dan
atau tingkat terakhir.
(2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan dilarang bertindak sebagai
hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
8. Pasal 252 KUHAP, bahwa:
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (21) berlaku juga
bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut
pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:
1. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang
berwenang menetapkan;
2. dalam hal menyangkut Ketua Mahakamah Agung sendiri, yang berwenang
menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh dan
antar hakim anggota yang seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua
dalam jabatan.
9. Pasal 253 KUHAP, bahwa:
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan :
d. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
e. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
f. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(1) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-
kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan
lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari
penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu berserta putusan pengadilan tingkat pertama dan
atau tingkat terakhir.
(2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada
ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi
atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat
pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk
mendeng’ar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(3) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak
diajukan permohonan kasasi.
(4) a. Dalam ‘waktu tiga bari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan
apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya
maupun atas permintaan terdakwa.
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak
penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.
10. Pasal 254 KUHAP, bahwa “Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi
karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246,
dan Pasal 247. mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau
mengabulkan permohonan kasasi.
11. Pasal 255 KUHAP, bahwa:
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk
agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya . lagi
mengenai. bagian yang dibatal-kan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah
Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang
lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan
pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
12. Pasal 256 KUHAP, bahwa “Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan Pasal 255
KUHAP.
13. Pasal 257 KUHAP, bahwa “Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243
berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah’Agung, kecuali tenggang waktu tentang
pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang
memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh hari.
14. Pasal 258 KUHAP, bahwa “Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampai
dengan Pasal 257 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.

UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Kasasi Demi Kepentingan Hukum


Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua putusan
yang telah memperoleh kekuataan hukum yang tetap, yang hanya dapat diajukan oleh oleh
Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya
perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum.
Adapun putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dapat
dimintakan kasasi demi kpenetingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah putusan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusam Mahkamah Agung.
Dalam pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan terpidana, sebab putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh
merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana) (Pasal 259 ayat (2) KUHAP), artinya
hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung atas permintaan kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa Agung tidak boleh lebih berat dari hukuman semula yang
telah dijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan pasal-pasal yang diatur di dalam Bab XVIII
Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi
kepentingan hukum, sebagai berikut:
1. Pasal 259 KUHAP, bahwa:
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali
permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan.

2. Pasal 260 KUHAP, bahwa:


(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus
perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera
disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera. meneruskan permintaan itu kepada
Mahkamah Agung.
3. Pasal 261 KUHAP, bahwa:
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai
berkas perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga
dalam hal ini.
4. Pasal 262 KUHAP, bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260
dan Pasal 261 berlaku bagi acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.

Peninjauan Kembali (Herziening)


Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur
tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap19.
Menurut J.C.T. Simorangkir20, bahwa herziening adalah peninjauan kembali terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi.
Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat
pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang telah
berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Adapun dasar hukum tentang peninjauan kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal
Pasal 24 Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Demikian pula di atur di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.

Alasan Peninjauan Kembali


Salah satu syarat pokok yang harus dipenuhi dalam mengajukan peninjauan kembali
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu:
1. Atas putusan pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung)
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
2. Putusan pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung) yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu bukanlah putusan bebas (vrijspraak)
atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging);
3. Yang memajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya

Demikian pula syarat-syarat lainnya sebagaimana ditentukan menurut Pasal 263 ayat
(2) KUHAP, yaitu:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie
rechtsvolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvvankelijk
verklaring) atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Demikian pula menurut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, yaitu “Terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.
Prosedur memasukkan permohonan peninjauan kembali adalah permohonan diajukan
kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara yang tertulis serta
ditandatangani oleh pemohon dan panitera, dicatat dalam daftar perkara, serta dilampirkan
dalam berkas perkara (pasal 264 KUHAP), kemudian Ketua Pengadilan Negeri segera
mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, serta
permohonan harus diperiksa. Jangka waktu pemasukan permintaan peninjauan kembali
tidak terbatas, seperti banding dan kasasi biasa.
Putusan atas peninjuan kembali akan diberikan oleh Mahkamah Agung adalah :
1. Permintaan permohonan peninjauan kembali ini ditolak atau tidak diterima, ini
disebabkan tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 263 (2) KUHAP. Dalam hal ini
menetapkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali tetap berlaku disertai
dengan dasar pertimbangan.
2. Permintaan permohonan peninjauan kembali diterima, hal ini diberikan MA karena
memberikan alasan-alasan permohonan, dalam hal ini MA membatalkan putusan
yang dimintakan PK, dan memberikan atau menjatuhkan putusan baru yang berupa :
a. Putusan bebas
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
c. Putusan tidak dapat diterima tuntutan penuntut umum
d. Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN


Bagaimana cara-cara pelaksanaan putusan pengadilan tersebut diatur dalam Bab XIX,
pasal 270 s/d 276 KUHAP dan pelaksanaan pengawasan oleh Pengadilan diatur dalam Bab
XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP.
Putusan pengadilan yang telah bisa dilaksanakan oleh jaksa adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu pada putusan itu tidak bisa lagi dipergunakan
daya upaya hukum biasa, atau telah diterima oleh yang berkepentingan.
Dasar bagi jaksa untuk pelaksanaan putusan pengadilan adalah salinan surat putusan yang
disampaikan oleh panitera, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam pasal 270 KUHAP, yang
berbunyi:
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Untuk jelasnya dapat diuraikan pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur tentang
pelaksanaan putusan pengadilan, sebagai berikut:
(1) Pasal 270 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu
panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.
(2) Pasal 271 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “Dalam hal pidana mati pelaksanaannya
dilakukan tidak dimuka umum dan menurut ketentuan undang-undang”26.
(3) Pasal 272 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “Jika terpidana dipidana penjara atau
kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani
pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut
dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu”.
(4) Menurut Pasal 273 KUHAP, yang berbunyi bahwa:
1. Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan
jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan
acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
2. Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1)
dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
3. Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk
negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan
benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual
lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
4. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling
lama satu bulan.
(5) Menurut Pasal 274 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “ Dalam H al pengadilan menjatuhkan
juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya
dilakukan menurut tatacara putusan perdata”.
(6) Menurut Pasal 275 KUHAP, yang berbunyi bahwa: Apabila lebih dari satu orang
dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-
sama secara berimbang”.
(7) Menurut Pasal 276 KUHAP, yang berbunyi bahwa: “ Dalam hal pengadilan
menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan
serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai