Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

“Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa Dispute


Settlement Mechanism (DSM) World Trade Organization (WTO)”

Nama : Oktria Winda Maryadi


No. BP : 1610111141
Hukum Ekonomi Internasional kelas 3.1 (S6) Selasa 13:30-15:10 E1.2

Dosen Mata Kuliah :


Dr. Delfi Yanti, SH.,MH

Fakultas Hukum

Universitas Andalas

Padang

2017/2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG MASALAH
World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia yang
menangani dan berfokus pada permasalahan perdagangan internasional. Organisasi ini
mengatur segala regulasi mengenai arus perdagangan internasional dan memiliki tujuan
untuk mereduksi peran pemerintah dalam restriksi kebijakan perdagangan internasional. 11
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-
aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah
ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar
Negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan
kebijakan perdagangannya. Dalam penyelesaian sengketa dagang, WTO pun sudah
mempunyai aturan main dalam penyelesaiannya. Setiap Negara yang bersengketa dan
membawa sengketa dagangnya harus melalui empat tahap aturan, yaitu konsultasi, proses
panel, banding serta implementasi. Pada tahap implementasi inilah dikenal adanya
retaliasi.
Di dalam ketentuan WTO, retaliasi merupakan tindakan suatu negara dalam
menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah
dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari
negara lain tersebut merugikan kepentingan perdagangannya. Retaliasi dilakukan sebagai
upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak
dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam teorinya, volume
perdagangan yang terkena retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi
impor yang diberlakukan oleh Negara yang mana retaliasi ingin diterapkan. Menurut Pasal
22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa ganti kerugian dan penangguhan konsesi
atau kewajiban lainnya merupakan tindakan sementara yang diberikan apabila
rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar.2 Bila
permintaan ganti rugi ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak
penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi.3 Tidak semua kasus yang diselesaikan
dalam proses penyelesaian sengketa WTO diselesaikan melalui proses retaliasi. Negara
1
Kementrian Luar Negeri, “World Trade Organization (WTO)” (daring), 2015,
<http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id>, diakses pada 11 November 2017 .
2
D. Palmeter dan Petros C. Mavroidis, 2004, Dispute Settlement in The World Trade Organization,
Cambridge University Press, New York, pp. 6-7.
3
F.J Palawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian WTO” (daring), 2007,
<http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/images/Bulletin/Bulletin%2046.pdf> , diakses pada 11
November 2017.
2
yang memenangkan sengketa belum tentu memiliki keberanian untuk mengajukan
tindakan retaliasi meskipun negara yang kalah tidak mau melaksanakan keputusan DSB
hingga batas waktu yang telah ditentukan. 4 Sejalan dengan hal tersebut, negara yang
dijatuhi tindakan retaliasi pun belum tentu dapat melaksanakan retaliasi karena kondisi
perekonomian negara tersebut yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan retaliasi.

Retaliasi pada sampai saat ini, telah dilakukan oleh beberapa negara maju anggota
WTO, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia dalam kasus European
Communities-Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas, European
Communities-Measures Concerning Meat and Meat Products (Hormones), Australia-
Measures Affecting the Importation of Salmon.5 Dari beberapa kasus tersebut retaliasi
terpaksa dilakukan karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan dan
rekomendasi DSB sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi, sampai saat ini
belum ada Negara berkembang yang berani dan berhasil melakukan retaliasi ditambah lagi
jika pihak yang diajukan untuk dilakukan retaliasi adalah Negara maju. Sebagai
contohnya, Ekuador melawan Uni Eropa pada sengketa banana serta Indonesia-Amerika
Serikat dalam sengketa rokok kretek. Jangankan melaksanakan, mengajukan permintaan
penjatuhan retaliasi pun seakan tidak berani meskipun negara berkembang dan negara
kurang maju tersebut memenangkan sengketa pada proses penyelesaian sengketa WTO.

Hal ini terjadi pada Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang tidak
melakukan tahapan retaliasi dalam sengketa perdagangan internasional dengan Amerika
Serikat dalam sengketa rokok kretek. Berdasarkan rekomendasi Panel Sengketa WTO,
Panel memutuskan memenangkan gugatan Indonesia, Section 907 dari Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act dengan menyebutkan bahwa Amerika Serikat
terbukti melanggar aturan WTO dengan melarang penjualan dan peredaran rokok kretek
namun membebaskan rokok menthol,6 sampai pada tahap akhirnya Indonesia diberikan
hak untuk melakukan retaliasi dan tetap Indonesia tidak mengimplementasikannya. Kasus
Indonesia bisa menjadi contoh pembuktian dimana prosedur pelaksanaan retaliasi memang
sulit untuk dilakukan oleh Negara anggota, terlebih lagi bagi Negara berkembang. Oleh
sebab itu, penulis ingin meneliti mengenai mengapa mekanisme retaliasi dalam kerangka
penyelesaian sengketa dagang di WTO sulit untuk diimplementasikan meskipun sudah ada
4
William J Davey, 2005, The WTO Dispute Settlement System: How Have Developing Countries Fared?,
Illinois Public Law and Legal Theory Research Paper Series, Research Paper No.05-17, p.13.
5
Peter Van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and
Materials, Cambridge University Press, USA, p. 222.
6
A. Kamaludin, Kata Data (Business Insight), “Sengketa Diakhiri AS tetap Tolak Rokok Kretek Indonesia”
(daring), 2014, <http://katadata.co.id/berita/2014/10/07/sengketa-diakhiri-tetap-tolak-rokok-kretek-
indonesia>, diakses pada 11 November 2017
3
aturan jelas mengenai tahapan pelaksanaan retaliasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh
setiap Negara anggota yang bersengketa.

II. RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian yang berjudul “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa


Dispute Settlement Mechanism (DSM) World Trade Organization (WTO) dan berdasarkan
penjelasan di atas, maka penulis menarik sebuah rumusan masalah, yaitu:

“Mengapa mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO


seringkali sulit untuk diimplementasikan terutama bagi Negara berkembang?”
Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengkaji mekanisme retaliasi
dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO melalui satu kasus antara Negara
berkembang dengan Negara maju yaitu kasus antara Indonesia dengan Amerika Serikat
mengenai sengketa rokok kretek yang terjadi pada tahun 2009-2014 lalu.

BAB II
PEMBAHASAN

Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan
XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement
of Disputes (DSU). (Article XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DSU). Salah satu
jalan keluar dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak
pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi DSB dikenal sebagai tahap retaliasi 7
atau penangguhan konsesi.
Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal
pula instrumen retaliasi. Di dalam kerangka GATT, retaliasi berarti adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh suatu Negara dimana ekspor dari negara tersebut terkena imbas
kenaikan tarif masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah
negara lain. GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan
pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi penyebab kerugian
perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan negara-negara anggota
lainnya atau negara-negara yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu

7
Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or
other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting
party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after
consultations withcountries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by
such retaliatory measures should approximate the value
4
negara tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi
nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh
negara yang mana retaliasi ingin diterapkan.8 Namun, dalam praktek di WTO, instrumen
retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal
yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Oleh karena
itu, tinjauan literatur penelitian ini meliputi tiga isu penting yakni:

a) Keefektifan mekanisme retaliasi sebagai bagian dari kerangka penyelesaian


sengketa WTO.
Prasukma Kristioadi (2012) dalam penelitiannya mengenai analisa yuridis terhadap
tindakan retaliasi dalam sistem penyelesaian sengketa WTO (World Trade Organization)
menjelaskan tentang tinjauan umum mekanisme retaliasi yang diatur dalam GATT dan
WTO. Dari mekanisme tersebut, dijelaskan pula mengenai alasan retaliasi kembali diatur
dalam Pasal 22 DSU serta penerapannya setelah WTO terbentuk, implikasi dari tindakan
retaliasi bagi negara berkembang khususya Indonesia dalam kaitannya dengan
kepentingan perdagangan internasional. Dalam penelitiannya, Prasukma (2012) ini juga
membahas tentang tinjauan umum WTO dan pengaturan WTO dalam bidang perdagangan
internasional khususnya di bidang penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya dibahas
mengenai pembentukan WTO yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem perdagangan
internasional yang diatur dalam GATT. Terkait dengan penyelesaian sengketa, penelitian
ini membahas mengenai faktor penyebab timbulnya sengketa perdagangan internasional
serta bagaimana WTO menyelesaikan sengketa tersebut terhadap negara secara umum dan
ketentuan khusus bagi negara berkembang, yaitu mulai dari konsultasi dan cara damai,
panel, banding, serta pengawasan terhadap pelaksanaan putusan. Terkait dengan
pembahasan retaliasi, penelitian ini hanya membahas tentang mekanisme retaliasi dalam
sistem GATT dan WTO, serta perbedaan retaliasi dalam WTO dan GATT dan terkait
dengan penerapan retaliasi.

Meskipun unsur politis sangat kuat mewarnai tiap kebijakan dari Negara
berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia, namun di sisi lain keberhasilan Indonesia
dalam proses ini akan memberikan stigma positif terhadap posisi Indonesia dalam dunia
internasional, khususnya dalam lingkup WTO.
b) Manfaat retaliasi sebagai bagian dari kerangka penyelesaian sengketa
perdagangan internasional.

8
Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, “Bulletin KPI Edisi
46/KPI/2007, p. 2.
5
Meskipun dari beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa mekanisme retaliasi
nyatanya sulit untuk diimplementasikan, mekanisme retaliasi ini tentunya juga mempunyai
manfaat bagi setiap Negara yang ingin dan berhasil melakukannya. Pasal 22 ayat (2) dan
(8) dari DSU menyatakan sifat sementara dari retaliasi. Sifat sementara dari retaliasi
menunjukan bahwa pada dasarnya retaliasi digunakan untuk memaksa agar negara
anggota melaksanakan putusan Panel DSB dan menyesuaikan kebijakan perdagangan
internasional sesuai dengan ketentuan WTO. Singkatnya, sifat sementara retaliasi
menunjukkan bahwa DSU memiliki preferensi yang kuat untuk peningkatan kepatuhan
dan retaliasi adalah ukuran alternatif dapat diterapkan sampai kepatuhan terjadi. Kedua
adalah sudut pandang retaliating country dengan mengembalikan kerugian yang hilang
akibat tindakan non compliance country (rebalancing), dimana ketentuan dalam Pasal 22
ayat (4) dan (7) menunjukkan bahwa retaliasi memiliki lebih menunjukan sifatnya yang
memberikan kompensasi dan bukan memberikan hukuman. Dengan adanya sifat
kompensatoris tersebut, DSU mengakui tujuan lain dari retaliasi adalah untuk
mengembalikan keseimbangan konsesi yang timbul dari ketidakpatuhan atau singkatnya
adalah tujuan penyeimbangan.
c) Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sudah ada mekanisme dan aturan
tentang sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional serta sudah dijelaskan
beberapa tujuan dan manfaat dari aturan tersebut terutama tentang retaliasi. Akan tetapi,
ada banyak pula yang berpendapat bahwa mekanisme tersebut sulit untuk dilakukan,
karena sampai saat ini mekanisme retaliasi amat jarang dilakukan oleh Negara anggota
apalagi negara berkembang melawan Negara maju. Meskipun dalam sengketa dagang
tersebut Negara sudah diberikan hak untuk melakukannya, namun kebanyakan dari negara
tersebut memilih untuk mengurungkan niatnya. Sebagai contoh adalah negara Ekuador
dalam kasus Banana dengan Uni Eropa. Seperti yang dijelaskan I.G.K Catur Bimantara
(2013) dalam penelitiannya Catur menjelaskan tentang keputusan Ekuador akhirnya untuk
tidak melakukan retaliasi silangnya. Dimana Ekuador merupakan satu-satunya negara
Amerika Latin yang mendapatkan otorisasi retaliasi silang dari WTO sejumlah US$ 201,6
juta per tahunnya. Walapun Ekuador tidak mengimplementasikan hak retaliasi silangnya,
UE mengubah rezim impor pisangnya dengan menghilangkan kuota pada negara ACP
secara gradual. Sepanjang tahun 2002-2006 merupakan transisi perubahan rezim dan
hingga tahun 2012 penetapan kouta bagi negara ACP telah dihilangkan. Perubahan dalam
rezim pisang Uni Eropa tentunya menguntungkan bagi sejumlah negara eksportif pisang,
termasuk Amerika Serikat dan Ekuador. Dalam hal ini kemudian dapat dianalisis beberapa

6
hal yang menjadi faktor pendorong UE mengubah rezim pisangnya. Adanya Amerika
Serikat yang juga mendapatkan otorisasi retaliasi silang akan memberikan tekanan bagi
Uni Eropa. Amerika Serikat berupaya untuk melindungi perusahaan asal AS yang menjadi
eksportir pisang ke Uni Eropa.

Terkait beberapa faktor tersebut terlihat bahwa walaupun tidak menggunakan hak
retaliasinya Ekuador dapat menikmati hasil perubahan rezim pisang Uni Eropa karena
adanya faktor pendorong lain. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya,
walaupun telah ada mekanisme retaliasi silang akan tetapi masih sulit diterapkan jika
sengketa tersebut melibatkan negara maju dan negara berkembang. Salah satu langkah
kemudian yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk koalisi antara beberapa negara
dengan membawa kasus yang sama, sehingga efek menekan negara pelanggar dapat lebih
besar. Banyak kalangan yang juga kemudian pesimis dengan keefektifan mekanisme
retaliasi ini sehingga selayaknya harus dirumuskan mekanisme yang dapat lebih
menguntungkan negara berkembang dalam sistem perdagangan internasional. Berdasarkan
penjelasan di atas, terbukti bahwa mekanisme retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh
Negara berkembang dan baru Negara Ekuador dan Indonesia saja yang tidak ingin
melakukan retaliasi meskipun sudah diberikan hak oleh Arbitrase untuk melakukannya
sebagai bagian dalam kerangka penyelesaian sengketa WTO.

Terkait beberapa faktor tersebut terlihat bahwa walaupun tidak menggunakan hak
retaliasinya Ekuador dapat menikmati hasil perubahan rezim pisang Uni Eropa karena
adanya faktor pendorong lain. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya,
walaupun telah ada mekanisme retaliasi silang akan tetapi masih sulit diterapkan jika
sengketa tersebut melibatkan negara maju dan negara berkembang. Salah satu langkah
kemudian yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk koalisi antara beberapa negara
dengan membawa kasus yang sama, sehingga efek menekan negara pelanggar dapat lebih
besar. Banyak kalangan yang juga kemudian pesimis dengan keefektifan mekanisme
retaliasi ini sehingga selayaknya harus dirumuskan mekanisme yang dapat lebih
menguntungkan negara berkembang dalam sistem perdagangan internasional. Berdasarkan
penjelasan di atas, terbukti bahwa mekanisme retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh
Negara berkembang dan baru Negara Ekuador dan Indonesia saja yang tidak ingin
melakukan retaliasi meskipun sudah diberikan hak oleh Arbitrase untuk melakukannya
sebagai bagian dalam kerangka penyelesaian sengketa WTO.

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan lebih berfokus pada alasan
Negara-negara anggota WTO terutama Negara berkembang belum berhasil melaksanakan
7
tahapan retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa dalam DSM WTO meskipun
sudah diberikan hak untuk melakukannya dengan melihat contoh kasus sengketa dagang
rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat pada kurun waktu 2009 sampai
pada tahun 2014.

Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar Negara dalam


kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu
kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam
ketentuan WTO9, retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu
penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.10 Dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang
dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi
tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin
dapat diterima adalah tingginya suatu Negara anggota kepada Negara anggota lainnya.

Oleh sebab itu, untuk mendukung penjelasan terkait mekanisme retaliasi dalam
kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO yang sulit untuk diimplementasikan oleh
Negara anggota khususnya Negara berkembang, penulis mencoba merangkai penjelasan
hal tersebut dari sebuah contoh kasus yaitu sengketa kasus rokok kretek antara Indonesia
dengan Amerika Serikat di atas dengan kerangka konseptual yang terkait dan bisa
menjelaskan lebih dalam antara hubungan keduanya secara teoritis.

1. Konsep Rezim Internasional

Menurut Stephen D. Krasner (1982), pengertian rezim internasional adalah suatu


tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan yang
bersifat eksplisit maupun implicit dan saling berkaitan dengan ekspektasi atau
pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan
internasional. Sedangkan Donald Puchala dan Raymond Hopkins berpendapat bahwa
rezim ada di setiap substantif isu-area dalam hubungan internasional di mana pun ada
keteraturan dalam perilaku, beberapa jenis prinsip, norma atau harus ada aturan untuk
menjelaskannya. Dalam perkembangannya, Stephen Haggard dan Beth A. Simmons

9
Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tarrifs on trade restricting
measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose
limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with
countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory
measures should approximate the value of trade affected by the precipitating chage in import protection.
10
Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.
8
(1987) mengatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, rezim internasional muncul
sebagai fokus terpenting dan utama dari hasil penelitian secara empiris dan debat teoritis
di dalam hubungan internasional.11
Akan tetapi, menurut Young ada beberapa komponen dasar yang terdapat dalam
sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan implementasi. Pertama, komponen
subtantif menetapkan hak-hak dan aturan-aturan rezim. Kedua, komponen prosedural
merupakan pengaturan yang telah diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil
pilihan kolektif dalam keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan
ketiga, yaitu implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat
membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai bersama.12 Rezim ini
dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif
mengingat tingkat interdependensi antar kedua negara yang semakin rumit dan kompleks.
Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk
menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan
kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F.
Hopkins yang juga mendukung pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional
mempunyai 5 ciri utama, yaitu:13
a) Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-
prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan
pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan
atau perilaku yang bermoral;

b) Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme atau prosedur bagi pembuatan


kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar
berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang
bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa
partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas dan aturan
apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan;

c) Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya,


sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku
yang menyimpang;
11
T. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, “ Theories of International Regimes”, International Organization,
Vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), pp. 491-493 .
12
Oran R. Young, 1982, ”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”, dalam
International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,published by The MIT Press,. pp. 277-279.
13
Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982, ”Internationalregimes: lessons from inductive analysis”,
dalam International Organization,Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press,. pp.
245-246.
9
d) Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor
utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan
tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka
sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan dan mematuhi aturan
yang telah dibuat;

e) Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan


prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan
semua partisipan.
Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional bermacam-
macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak mengikat) sampai
yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah perjanjian itu mengikat atau tidak,
salah satu caranya bisa dilakukan dengan menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan
didalam kesepakatan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu
perjanjian internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi. Menurut Judith Goldstein
dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian
yang sangat vital untuk mengukur efektifan produk hukum yang dihasilkan oleh suatu
organisasi internasional.14 Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu
perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin mengikat, namun
sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah (soft law) maka dapat dikatakan perjanjian itu
kurang mengikat yang secara teoritis implementasinya akan cenderung kurang efektif.15
Dalam konsep legalisasi menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah
perjanjian itu berbentuk hard law atau soft law, yaitu: Kewajiban (obligation), ketepatan
(precision) dan delegasi (delegation).16 Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai
keterikatan suatu negara untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam
sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau
komitmen yang telah disusun dan disepakatinya.17 Derajat kepatuhan (obligasi) sebuah
perjanjian internasional dapat diukur dari adanya indikator yang menunjukkan derajat dari
yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama
sangat penting, karena semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan
mendorong negara untuk patuh terhadap perjanjian tersebut dan sebaliknya jika tingkat
14
Judith, Goldstein .Dkk, 2000, “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International
Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p. 387.
15
Fuat Albayumi, 2012, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter)”,
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, pp. 1-2.
16
Abbot, dkk, 2000, “The Concept of Legalization” dalam International Organization Journal: Legalization
and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p. 401.
17
Fuat Albayumi, 2012, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter)”,
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, p. 4.
10
legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian yang
disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian
internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten
dalam memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut.
Perjanjian kerjasama yang disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat
dipahami kedua negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya
kooperatif dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional.
Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap
kesepakatan. Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional,
negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan-aturan yang
berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama lain dari waktu ke waktu
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
Menurut Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes (1995) telah menegaskan ada
3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk
mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma. Pertama faktor
efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam upayanya
untuk mematuhi sebuah perjanjian. Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah
perjanjian melalui proses penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil
yang akan menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan
mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit.
Kedua faktor yang mempengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan. Negara
akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Apabila tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya, negara tidak perlu
mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai
sebagai alat pemenuh national interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum
realis yang menganggap jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan
negara mengikatkan diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari
fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-masing.18
Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat istilah pacta
sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi. Maksud dari istilah
tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal untuk dipatuhi oleh negara-
negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Secara normatif perjanjian internasional
sering kali diakui sebagai sesuatu yang mengikat (legally binding) bagi negara yang telah
meratifikasinya. Sehingga dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum
18
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with International
Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press,. pp. 175-205.
11
yang harus dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni
pacta sunt servanda hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi asumsi
dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan.
Begitu pula dengan World Trade Organization (WTO) sebagai rezim internasional
yang akan dibahas dalam mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa
DSM WTO dalam perdagangan internasional terkait contoh kasus sengketa rokok kretek
antara Indonesia dan Amerika Serikat. WTO (World Trade Organization) adalah
organisasi yang berbasiskan ‘aturan-aturan main atau rules’ yang merupakan hasil
perundingan. Aturan tersebut disebut juga ‘perjanjian atau kesepakatan (agreements). Di
atas kertas, perjanjian tersebut haruslah dihasilkan dari serangkaian perundingan yang
dilakukan oleh semua Negara anggotadan mencerminkan kebutuhan anggota (member
driven). Prosedur WTO menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum WTO dan
membuat sistem perdagangan jadi lebih aman dan dapat diprediksi. Sistem WTO
didasarkan pada suatu peraturan yang jelas dan jadwal waktu tertentu untuk
menyelesaikan suatu kasus. Kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa
(Understanding on Rules dan Procedures Governing the Settlement of Disputes/DSU)
menandai dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahap-tahap prosedur yang lebih
jelas. Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang
melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan
menggunakan sistem penyelesaian multilateral dari pada melakukan aksi sepihak. Ini
berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan
menghormati putusan yang diambil. Negara yang telah melanggar aturan WTO karena
menetapkan aturan perdagangan yang tidak konsisten dengan WTO harus segera
mengkoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika
negara tersebut masih saja melanggar aturan WTO, maka negara penggugat berhak
mengajukan permintaan kepada Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan
negosiasi dengan negara tergugat dalam menyepakati kompensasi. Jika tidak tercapai
kesepakatan dalam penentuan kompensasi, negara penggugat dapat meminta otorisasi dari
DSB untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi dimaksudkan sebagai upaya terakhir (last
resort) dengan tujuan agar negara pelanggar memperbaiki tindakannya agar sesuai dengan
kewajibannya sebagai anggota WTO. Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk
peningkatan drastis pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan
ekspor dari negara pelanggar.19 Meskipun telah sampai pada tahap retaliasi, kadang kala

19
Nandang Sutrisno, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem WTO, IMR Press,
Cianjur 2012, p. 129.
12
masih saja suatu Negara (tergugat) tidak mematuhi aturan atau comply dengan aturan
WTO sebagai rezim perdagangan internasional.

Di bawah ini merupakan bagan dari proses penyelesaian sengketa di WTO sebelum
sampai akhirnya Negara yang bersengketa mencapai tahap retaliasi, yaitu:

Bagan 1.1
Proses Penyelesaian Sengketa dalam WTO:20

20
A. Alavi, Legalization of Development in The WTO; Between Law and Politics, (The Netherlands: Kluwer
Law International, 2009), p. 124.
13
Konsep Retaliasi
Retaliasi merupakan suatu tindakan suatu Negara dalam menangguhkan konsesi atau
kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmatinya, sebagai
balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari Negara lain tersebut
merugikan kepentingan perdaganganya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika
dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam
jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 Dispute Settlement
Understanding.21
Retaliasi termasuk dalam fase keempat dalam penyelesaian sengketa WTO, yaitu fase
implementasi, dimana ini merupakan tahap terakhir yang tentunya sudah harus melewati tahap
panjang sebelumnya. Dalam kasus negara berkembang melawan negara maju di WTO,
22

negara berkembang kerap mengalami kesulitan untuk menekan negara maju kembali menaati
konsesi yang dilanggarnya. Negara berkembang dianggap lebih merugikan diri sendiri jika
23

mereka melakukan retaliasi pada negara maju secara ekonomi. Implementasi retaliasi dalam
24

taraf tertentu merugikan negara penuntut, namun seringkali ancaman implementasi retaliasi
sendiri dapat menekan negara pelanggar kembali mematuhi prinsip perdagangan bebas. Hal
inilah yang terjadi kepada Indonesia melawan Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek.
Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa negara maju
seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja sudah berhasil melaksanakannya, dikarenakan
persoalan implementasi itu tidak mudah dan ada hubungannya dengan persoalan politis.
Dalam kerangka WTO, retaliasi sebagai instrument resolusi konflik harus mengakomodasi
kepentingan dari seluruh negara anggota WTO. Namun faktanya, proses retaliasi amat
jarang dilakukan oleh negara anggota. Hal ini disebabkan oleh adanya latar belakang yang
bersifat politis dan juga adanya kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai
negara berkembang mengurungkan niat dalam melakukan penengakkan hukum yang
menyangkut proses retaliasi.25

21
D.K Hardjanti, “Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam
Ranah Perdagangan Internasional” (daring), 2013, <http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=63615>, diakses pada 11
Desember 2015.
22
Pauwelyn, J. 2010, The Calculation and Design of Trade Retaliation in Context: What is the Goal of
Suspending WTO Obligations?, dalam Bown, CP & Pauwelyn, J 2010 (eds), The Law, Economics and Politics
of Retaliation in WTO Disputes Settlement, Cambridge University Press, New York, p. 46.
23
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking
Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48.
24
Zimmermann, TA, 2006, Negotiating The Review of the WTO Dispute Settlement Understanding, Cameron
May, London, p. 157.
25
Freddy Joseph Pelawi, Retaliasi Dalam Kerangka WTO, KPI, Buletin 46, 2007, p. 1.
14
Tahap yang panjang dan memerlukan waktu yang lama sebelum dan sampai pada
tahap implementasi retaliasi menjadikan hal ini salah satu fakor penyebab proses
penyelesaian sengketa ini dikatakan tahap yang rumit, karena pada dasarnya terdapat
empat fase dalam proses penyelesaian sengketa dalam Dispute Settlement Mechanism
(DSM) di WTO, yaitu:

Tabel 1.1
Tahapan Tahapan (Proses) Waktu yang
Penyelesaian dibutuhkan (Hari)
Sengketa WTO No
1 Konsultasi 60
2 Proses Panel dan Hasil 45 dan 180
Putusan Panel
3 Proses Banding 60-90
4 Pengawasan 30
Implementasi

Total 405 Hari

Secara keseluruhan jika dapat dihitung, waktu yang dihabiskan oleh suatu negara
(Indonesia) untuk melakukan retaliasi yaitu satu tahun lebih, itu belum termasuk waktu
yang dihabiskan untuk menunggu realiasasi dari Negara tergugat untuk mengajukan
banding atau mengharmonisasikan aturan domestiknya sesuai aturan WTO. Setelah Panel
memustuskan bahwa Indonesia memenangkan sengketa rokok kretek tersebut, Amerika
Serikat merasa tidak puas dengan keputusan Panel sehingga Amerika mengajukan banding
kepada Appellate Body untuk memeriksa kembali apakah putusan Panel tersebut sudah
cukup benar. Nyatanya pun, hasilnya tetap sama. Appellate Body tetap memutuskan dan
memastikan bahwa keputusannya untuk memenangkan Indonesia dalam sengketa rokok
tersebut memang benar dan Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi.
Ketika suatu sengketa telah diputuskan oleh Panel dan Appelate Body WTO, maka
negara pelanggar diperintahkan untuk memperbaiki atau mengubah pelanggarannya
terhadap prinsip WTO. Negara penuntut berhak untuk meminta dibentuknya compliance
panel untuk menilai apakah negara pelanggar telah memenuhi keputusan Panel dan
Appelate Body. Jika Compliance Panel memutuskan bahwa negara pelanggar belum
mengubah praktek dagangnya sesuai keputusan, maka negara penuntut berhak untuk
meminta hak retaliasi pada Panel Arbitrasi.

15
Berdasarkan Pasal 22.3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi, secara sederhana
retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis26 yaitu:
1. Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi pada negara pelanggar
dalam sektor perdagangan yang sama di mana pelanggaran terjadi. Retaliasi jenis ini tidak
terbatas menaikkan tarif bagi komoditas sejenis, tetapi juga bisa dalam bentuk meminta
ganti rugi dengan sejumlah uang yang setara dengan jumlah kerugian.

2. Cross‐sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara


pelanggar dalam sektor berbeda di bawah perjanjian yang sama, jika retaliasi dalam sektor
yang sama terbukti tidak efektif.

3. Cross‐Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup serius dan retaliasi beda
sektor dianggap tidak efektif, maka negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara
pelanggar dalam perjanjian perdagangan yang berbeda.
Akan tetapi pada kenyataannya sanksi atau retaliasi ini juga kemudian jarang digunakan
oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara
berkembang. Kemudian masalah muncul dari proses penyelesaian sengketa rokok kretek
ini, karena hak retaliasi yang diberikan Appellate Body kepada Indonesia nyatanya tidak
dilakukan oleh Indonesia. Indonesia lebih memilih menutup kasus ini dengan Amerika
Serikat. Kerumitan implementasi retaliasi inilah salah satu yang menyebabkan Indonesia
tidak melakukan retaliasi atas sengketa rokok kretek tersebut.
Dalam kerangka penyelesaian sengketa di WTO termasuk proses retaliasi, tahapan
ini nyatanya Negara penggugat memerlukan waktu dan proses yang panjang sampai
akhirnya retaliasi bisa dilakukan. Setelah Negara tersebut melalui tahap retaliasi (dalam
kasus ini Indonesia) dengan cara meminta sejumlah uang kepada Amerika Serikat,
kepastian akan kepatuhan Amerika terhadap keputusan atas keputusan Panel masih
diragukan. Hal ini pun terbukti dengan adanya keputusan Amerika Serikat tetap sama
yaitu tidak ingin melakukan pembayaran ganti rugi atau comply dengan aturan WTO
tersebut.
Kerugian, kerumitan dan proses panjang yang harus dilewati sampai akhirnya ingin
melakukan retaliasi pun tidak terlaksana. Setelah proses panjang, ukuran biaya pun
menjadi pertimbangan bagi suatu Negara untuk melakukan retaliasi. Berdasarkan
Peraturan Presiden (Pepres) No 54 Tahun 2010 Pasal 17, tentang pengadaan barang dan
jasa, dijelaskan bahwa anggaran pemerintah dalam proses konsultasi dalam sengketa
perdagangan maksimal senilai 100 Milyar Rupiah, akan tetapi dalam proses konsultasi dan
26
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking
Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48.
16
kajian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam sengketa rokok kretek
menghabiskan biaya sekitar 10 Milyar Rupiah. Ini sudah menjadi bukti bahwa kebutuhan
biaya akan penyelesaian suatu sengketa memang tak sedikit. Ditambah lagi,
ketidakpatuhan Negara tergugat terhadap aturan yang sudah ada bahkan saat Negara
penggugat sudah berusaha melanjutkan sengketa ke tahap berikutnya ditambah lagi
Negara penggugat (Indonesia sebagai Negara berkembang) tidak mempunyai power untuk
menekan Amerika Serikat agar patuh terhadap aturan WTO. Tak hanya itu, jika dilihat
dalam kasus ini, Indonesia juga beranggapan jika retaliasi ini diteruskan dan berhasil
untuk dilaksanakan, nantinya akan menyebabkan kerugian di masa depan bagi Indonesia
sendiri dikarenakan kekhawatiran Indonesia terhadap perang dagang di masa depan,
hubungan diplomatis yang sudah dijalin selama ini akan memburuk serta adanya tindakan
pembalasan lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam sektor perdagangan atau
sektor lainnya.
Oleh sebab itu, banyak Negara memilih untuk tidak melakukan retaliasi
dikarenakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, karena dianggap penghentian sengketa
dagang akan lebih menguntungkan dibandingkan melakukan retaliasi yang tahapannya
sangat rumit dan membutuhkan biaya besar, ditambah lagi tekanan yang di dapat dari
pihak ketiga serta ada kemungkinan tuntutan lain dari Negara tergugat akibat berlarut-
larutnya penyelesaian sengketa pada tahap retaliasi ini. Hal itulah yang kemudian
membuat Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang mengurungkan niatnya
untuk tidak melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat. Dalam hal ini terbukti bahwa
Indonesia cenderung memaksimalkan keuntungan yang didapat dari kesepakatan menutup
sengketa ini dengan Amerika Serikat salah satunya dengan memperbolehkan peredaran
produk cigars dan cigarillos (sejenis cerutu) buatan Indonesia tetap masuk ke Negara
tersebut.
BAB III
PENUTUP
Implementasi retaliasi sebagai kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO sulit
untuk dilakukan, disebabkan karena dua hal antara lain:
Pertama, kerumitan mekanisme retaliasi dan pertimbangan kalkulasi karena suatu negara
harus melalui beberapa tahap prosedural. Tahap panjang dan tak ada batasan waktu dalam
penyelesaian sengketa serta kerumitan pelaksanaannya kemudian menjadikan Negara
anggota jarang untuk memilih melakukan retaliasi dalam penyelesaian sengketa
dagangnya dengan Negara lain. Penghitungan kalkulasi ekonomi seperti biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa juga menjadi faktor penting penyebab retaliasi

17
sulit untuk diimplementasikan apalagi bagi Negara yang kondisi perekonomiannya tidak
baik.
Kedua, walaupun secara teknis, aturan pada rezim internasional pun sudah ada, tetapi
dalam implementasinya nuansa politis sangat kental diantara Negara-negara anggota
WTO, dikarenakan WTO sendiri tidak mampu membuat Negara anggotanya untuk
mematuhi aturan yang telah disepakati. Sehingga, dalam prakteknya, prosedur
pelaksanaan penyelesaian sengketa seperti retaliasi sulit untuk diimplementasikan oleh
Negara berkembang. Seperti contohnya yang terjadi pada Amerika Serikat terkait rokok
kretek. Pada kasus tersebut Amerika Serikat tidak mematuhi aturan rezim internasional
dengan tidak mengharmonisasikan kebijakan domestiknya dengan aturan WTO.
Kemudian, Indonesia yang posisinya terdesak karena khawatir hubungan diplomatis
dengan Amerika Serikat akan memburuk, serta adanya kemungkinan Amerika Serikat
akan membalas dengan tindakan lain. Oleh sebab itu, Indonesia akhirnya lebih memilih
alternatif penyelesaian sengketa yang lebih rasional (seperti penyelesaian sengketa di luar
kerangka DSM WTO) daripada melaksanakan retaliasi, dikarenakan tidak ada jaminan
bagi Amerika Serikat untuk patuh terhadap putusan panel.

18
DAFTAR PUSTAKA

Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, “Bulletin
KPI Edisi 46/KPI/2007, p. 2

DSU Agreement

T. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, “ Theories of International Regimes”,


International Organization, Vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), pp. 491-493 .

Fuat Albayumi, 2012, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean
(ASEAN Charter)”, Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional

Nandang Sutrisno, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem


WTO, IMR Press, Cianjur 2012, p. 129.

A. Alavi, Legalization of Development in The WTO; Between Law and Politics, (The
Netherlands: Kluwer Law International, 2009), p. 124.

19

Anda mungkin juga menyukai