Anda di halaman 1dari 6

ARBITRASE INTERNASIONAL KOMERSIAL

PendahuluanPeranan badan arbitrase komersial dalam menyelesaikan sengketa-sengketa


bisnis dibidang perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini menjadi semakin
penting.Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausa arbitrase. Dan memang
bagikalangan bisnis, cara mennyelesaikan sengketa melalui badan ini memberi
keuntungansendiri daripada melalui badan peradilan nasional.
Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya telah lama
dipraktekan.Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian
sengketamelaluiarbitrase sejak zaman Yunani Kuno. Praktek ini berlangsung juga pada zaman
Romawi danYahudi (Biblical Times) serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang
di Eropa,seperti Inggris dan negeri Belanda. Kemudian cara penyelesaian sengketa ini
menyebar kenegara-negara Eropa lainnya seperti Perancis pada tahun 1250, di Skotlandia
tahun 1695,di Irlandia 1700 dan Denmark 1795.
Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam bentuknya
yangsederhana. Bentuk sederhana pada arbitrase ini mempunyai tiga ciri:
1. Pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadisebelumnya
para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apbilaterjadi sengketa maka
arbitraselah yang akan menyhelesaikan.
2. Arbitrase ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetanggaatau
mereka yang hidupnya bersama-sama dan berkepentingan agar hubunganmereka berjalan
dengan baik.
3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang dikenal baik oleh para pihak dantidak
terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.
Dewasa ini (klausa) arbitrase telah pula dicantumkan disamping perjanjian pokoknya.
Jadisebelum sengketa timbulsebagai akibat dari pelaksanaan kontrak tersebut, para
pihaksebelumnya telah menunjuk badan ini sebagai badan yang akan menyelesaikan
sengketatersebut.Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LLM., secara garis besar dapat
dikatakanbahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam tiga golongan:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi yang bersifat langsungmaupun
dengan penyertaan pihak ketiga.
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupunbersifat
internasional.
3. Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad hoc maupunyang
terlembaga.
Di samping adanya penggolongan penyelesaian sengketa di atas, ada pula tiga
bentukalternatif penyelesaian lainnya, yang mirip dengan arbitrase, khususnya dikalangan
bisnisyang dewasa ini terus berkembang dan dinilai cukup positif. Bentuk-bentuk
alternatiftersebut, yaitu:

1. Mini Trial (peradilan mini) berguna bagi perusahaan yang tersangkut dalam sengketasengketa besar.
2. Mediasi yaitu seorang mediator dalam menyelesaikan suatu sengketa, menemui para pihak
atau wakilnya dengan maksud untuk mengadakan pengaturan suatu penyelesaian sengketa
yang nantinya dapat diterima oleh para pihak.
3. Med-arb merupakan kombinasi antara mediasi dengan arbitrase.
Menurut John Tillotson, pada umunya penyelesaian dengan arbitrase dipilih untuk sengketa
kontraktual (perdata. Pen!) (baik yang bersifat kompleks maupun yang sederhana), yang dapat
digolongkan menjadi:
1. Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual yang dengan sendirinya
memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen.
3. Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum.
Sehubungan dengan peristilahan, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Julian DM
Lew, ada tiga ciri yang menunjukan suatu arbitrase dapat disebut internasional yakni:
1. Internasional menurut organisasinya.
2. Internasional menurut struktur/prosedurnya
3. Internasional menurut faktanya
Ciri-ciri arbitrase komersial:
1. Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.
2. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak netral atau arbitrator yang
secara khusus ditunjuk.
3. Para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh pihak
4. Para arbitrator diharapkan memutuskan sengekta menurut hokum
5. Arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah dan bukan
negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.
6. Keputusan yang dikeluarkan badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para
pihak
7. Keputusan para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka
untuk menyerahkan sengketanya terhadap arbitrase bahwa mereka akan menerima dan
secara sukarela akan memberikan kekuatan.kepada keputusan arbitrase tersebut.
8. Bahwa pada pokoknya proses berpekara melalui badan arbitrase dan putusannya terlepas
dan bebas dari campur tangan negara.

Keuntungan arbitrase:
1. Arbitrase komersial internasional merupakan pengadilan pengusaha yang eksis untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa diantara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai
kebutuhan/keinginan mereka.
2. Masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat
bisnis agak enggan berproses perkara melalui peradilan, barbeda dengan arbitrase yang
murah.
3. Berpekara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama.
4. Banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang
berspesialisasi hukum komersial internasional, maka dengan keadaan inilah para pihak
lebih menyukai arbitrase.
5. Dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang
bersangkutan telah selesai. Sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan
tersebut, ia masih punya saluran lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke
pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Sedangkan keputusan yang dikeluarkan
melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat.
6. Berpekara melalui arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel.
7. Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih
hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka.
8. Faktor kerahasiaan proses berpekara dan keputusan yang dikeluarkan
9. Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
10. Tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu) saja, tetapi juga
dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak.
Kelemahan-kelemahan arbitrase:
1. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke
badan arbitrase tidaklah mudah.
2. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing.
3. Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum (lega presedent) atau keterikatan
kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya.
4. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua
sengketa hukum.
5. Keputusan arbitrase selalu bergantung pada bagaimana arbitrator mengeluarkan
keputusan yang memuaskan keinginan para pihak.
6. Arbitrase pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi,
terutama dalam hal arbitrase di luar negeri.
Di dalam praktek , bentuk standar klausula arbitrase yang menunjuk kepada badan
arbitrase ICSID tersebut, dapat dimodifikasi menurut keinginan para pihak. Hal ini wajar, sebab
klausula standar tersebut sudah barang tentu tidak dapat mengcover semua persyaratan yang
dapat memenuhi keinginan para pihak. Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja modifikasi
tersebut dilakukan, khususnya dalam hal,

1. Pemilihan pakar (expert) pada panel arbitrator dalam misalnya permasalahan shipping,
construction, sale of goods, dan sebagainya atau persyaratan untuk menjamin netralitas,
kewarganegaraan.
2. Untuk membatasi atau meluaskan lingkup sengketa yang dapt dicakupnya.
3. Ketentuan-ketentuan khusus tentang pembayaran.
4. Memberikan kewenangan khusus bagi para arbitrator, dalam bentuk provisional remedies,
sspesific performance, atau right to consult witness.
5. Ketentuan bahasa yang digunakan atau tempat penyelenggaraan arbitrase.
6. Ketentuan-ketentuan tenteng jangka waktu berlangsungnya arbitraseICSID.
ICSID ( Convention on the Settlement of Investment Dispute Between Statesand Nationals
of Other States) yang secara singkat disebut pula dengan Konvensi Bank Dunia, ditanda
tangani di Washington DC 18 Maret 1965. Terbentuknya konvensi ini akibat dari situasi
perekonomian dunia pada waktu itu yaitu khususnya dikala beberapa negara berkembang yang
melakukan tindakan sepihak terhadap investor-investor asing dalam wilayahnya yang
mengakibatkan konflik-konflik ekonomi berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa
terbuka ( perang ). Contoh kasus : Di antara kasus nasionalisasi yang langsung mempengaruhi
dan menggerakkan Bank Dunia membentuk konvensi ini adalah kasus nasionalisasi
perusahaan perusahaan Perancis di Tunisia. Kasus ini bermula tindakan DPR Tunisia (The
Tunisian National Assembly) yang mengeluarkan UU Nasionalisasi tanah-tanah milik orang
asing (khususnya Perancis) pada 10 Mei 1964. Tindakan itu sangat mengejutkan pihak
asingkarena dengan adanya UU tersebut berarti tanah milik orang-orang (Perancis) berikut
kekayaan tertanam didalamnya seluas 1 juta hektar ternasionalisasi. Ada tujuan utama
dibentuknya konvensi ini :
1. Menjembatani jurang atau mengisi kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan
kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus
berupa fasilitas arbitrase berupa konsiliasi.
2. Mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga (developing
countries) Tujuan pertama konvensi ini terefleksi dari peranan the Centre (ICSID).
Wewenang badan ini khusus dan terbatas pada penanaman modal saja yang salah satu
pihaknya adalah negara penerima penanaman modal (Host state). Manakala suatu sengketa
muncul,the Centre akan membentuk suatu panel Arbitrase atau Konsiliasi untuk menanganinya.
Selanjutnya,peranan the Centre hanya mengawasi jalannya persidangan dan memberikan
aturan-aturan hukum acaranya.
Yurisdiksi Mahkamah ICSID Tentang ketentuan yang mengatur yurisdiksi badan Arbitrase
ICSID nyata diatur didalam pasal 25 Konvensi Washington. Menurut pasal ini,sedkitnya ada 3
persyaratan pokok yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk dapat menggunakan sarana
Arbitrase badan ini didalam menyelesaikan sengketa yang diberikan kepadanya. Pertama
,harus ada kata sepakat. Kata sepakat ini, menurut David A. Soley, merupakan tonggak (corner
stone) bagi jurisdiksi badan arbitrase ICSID. Para pihak sebelumnya harus mencapai kata
sepakat bersama untuk menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrase ICSID. Di dalam hal
ini, Konvensi mensyaratkan adanya suatu kata sepakat tertulis yang menunjuk pemakaian

badan arbitrase ICSID. Penunjukan badan arbitrase ini tercantum dalam suatu klausula
perjanjian penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa yang kelak timbul
dari perjanjian tersebut. Namun, menurut pasal 25 ayat 1 konvensi, kata sepakat untuk
menyerahkan sengketa kepada badan ini tidak perludinyatakan di dalam suatu dokumen
tersendiri.
Negara tuan rumah melalui perundang-undangan penanaman modalnya dapat menawarkan
agar sengketanya yang timbul dari adanya perjanjian penanaman modal dengan pihak asing
diserahkan kepada (jurisdiksi) badan arbitrase ICSID. Dan si penanam modal dapat
memberikan kata sepakatnya dengan menerima tawaran tersebut dengan tertulis. Kedua,
Jurisdiksi ratione materiae. Yang menjadi jurisdiksi badan arbitrase ICSID adalah terbatas pada
sengketa-sengketa hukum saja sebagai akibat adanya penanaman modal. Istilah sengketa
hukum ini dibedakan untuk memisahkan sengketa yang murni ekonomis atau politis sifatnya. Di
samping itu, sengketa hak adalah juga termasuk ke dalam jurisdiksi badan ini. Namun
sengketanya atau konflik kepentikan tidak termasuk ke dalamnya. Sebagai kesimpulan di luar
sengketa hukum di atas, adalah penting juga untuk mengetahui penggolongan sengketa atau
konflik lain yang dikemukakan dalam konvensi MIGA (Multi Investment Guarantee Agency)
tentang sengketa yang timbul sebagai akibat adanya penanaman modal. Macam-macam
sengketa tersebut, yakni:
a) Transfer Risk, yaitu risiko kerugian sebagai akibat pembatasan terhadap konversi mata
uang oleh negara yang bersangkutan (negara penerima modal).
b) Ekspropriation Risk, yaitu resiko kerugian sebagai akibat adanya tindakan-tindakan legislatif
dan administratif, atau karena terjadinya pengambilalihan hak milik investor.
c) Repudiation Risk, yaitu resiko kerugian karena penolakan atau pelanggaran hukum oleh
negara penerima, para investor tidak dapat menuntutnya melalui pengadilan atau badan
arbitrase.
d) War and Civil Disturbance, yaitu resiko kerugian sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata
atau gangguan-gangguan lainnya oleh kaum sipil.
Ketiga, Yurisdiksi ratione personae. Maksudnya adalah bahwa badan arbitrase ICSID hanya
memiliki wewenang mengadili terhadap sengketa-sengketa antara negara dengan warga
negara asing lainnya yang negaranya juga adalah anggota atau peserta konvensi washington.
Badan arbitrase ini tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa antara negara dengan
negara atau seorang warga negara dengan seorang warga negara lainnya meskipun sengketa
yang diserahkan kepadanya itu adalah sengketa hukum yang timbul karena adanya perjanjian
penanaman modal. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan warga negara menurut pasal 25 ayat 2
Konvensi adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang yang memiliki kebahasaan dari negara peserta konvensi yang bersangkutan
pada tanggal sewaktu para pihak setuju untuk menyerahkan sengketanya kepada badan
arbitrase atau juga pada saat atau tanggal permintaan untuk berarbitrase didaftar oleh
centre (badan arbitrase).
2. Setiap subjek hukum yang memiliki kebangsaan dari negara perserta konvensi yang
bersengketa pada tanggal para pihak setuju untuk menyerahkan sengketanya pada centre.

3. Setiap subjek hukum yang memiliki kebangsaan dari negara peserta konvensi yang
bersengketa pada tanggal persetujuan dan yang karena adanya pengawasan asing (foreign
control), para pihak sepakat untuk diperlakukan sebagai warga negara dari negara peserta
konvensi lainnya Pelaksanaan Keputusan Pelaksanaan keptusan ini diatur dalam pasal 5355 konvensi ICSID. Di dalam pasal itu menjelaskan bahwa putusan bersifat mengikat bagi
para pihak dan para pihak harus mentaati ketentuan-ketentuan yang ada dalam putusan.
Setiap negara peserta harus mengakui suatu putusan yang telah dijatuhkan dalam konvensi
ini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban keuangan yang dikenakan dalam putusan ini di
wilayahnya. Dalam melaksanakan eksekusi putusannya harus di atur oleh Undang-Undang
mengenai eksekusi putusan-putusan di negara yang dalam wilayahnya eksekusi itu di
mintakan
Pembatalan Keputusan Pembatalan suatu keputusan dapat di ajukan oleh para pihak
apabila dalam putusan tersebut dalam pemeriksaan surat atau dokumennya dinyatakan palsu,
adanya dokumen yang bersifat menentukan di sembunyakan oleh salah satu pihak dan dalam
pengambilan putusan tersebut dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Dalam pengajuan permohonan pembatalan putusan oleh para
pihak dibuat secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Pengadilan Negeri

Anda mungkin juga menyukai