Anda di halaman 1dari 5

1. Jelaskan apa saja kelebihan dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase!

2.  Apabila dalam suatu kontrak tidak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, apakah para pihak dapat mengajukan penyelesaian melalui jalur arbitrase?
Jelaskan!

3.  Sengketa apa saja yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui jalur arbitrase? Jelaskan
disertai dengan contoh kasus!

Jawaban

1. Kelebihan dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase sebagai berikut :

a. Proses Arbitrase dapat menjamin kerahasiaan dan publisitas yang tidak


dikehendaki, karena sifatnya yang tertutup dan tidak konfrontatif dan berlangsung
secara kooperatif-damai. Berbeda dengan di pengadilan terbuka untuk umum,
pers seringkali membeberkan di media massa. Suatu keadaan yang dapat
merugikan para pihak, terutama reputasi yang dapat mempengaruhi integritas,
bonafiditas mereka yang bersengketa.

b. Sifatnya menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dan dapat dikatakan


ditujukan kepada posisi “winwin” dan bukan kepada apa yang biasa terjadi di
pengadilan yang mempertaruhkan “winlose” dan banyak terjadi “jualbeli hukum”

c. Dapat menentukan Hukum Acara Arbitrase, antara lain:

 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center)

 The International Chamber of Commerce (ICC)

 The International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID)

 United Nations Commission of International Trade Law (UNCITRAL)

 Singapore International Arbitration Centre (SIAC)60


 The Korean Commercial Arbitration Board (KCAB)

 Dll

d. Dapat memprediksi / menentukan waktu, tempat dan biaya perkara (tergantung


hukum acara yang dipakai)

e. Dapat memilih Arbiter tunggal/Arbiter dari masingmasing pihak yang dipercaya

f. Putusan Arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan
putusan final dan mengikat para pihak bagi sengketanya; lain lagi putusan
pengadilan yang terbuka bagi peninjauan yang memakan waktu lama.

g. Arbitrase itu baik hanya untuk para penguasa yang bonafide dan beriktikad baik
dan bukan mereka yang seringkali menggunakan pengadilan sebagai alat untuk
mengelak kewajiban atau mengulur waktu pemenuhan kewajiban, tentunya
dengan bantuan pengacara yang tidak bertanggung jawab.

h. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, tidak mahal serta
jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
pengadilan. Apalagi kalau kebetulan ditangani oleh pengacara yang kurang
bertanggung jawab sehingga masalahnya dapat saja dengan itikad buruk
diperpanjang selama mungkin.

i. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu
terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan
dan damai (“amicable”), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan
komersial para pihak dikemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian
sengketanya

j. Khusus dalam Arbitrase Internasional, menciptakan tata cara penyelesaian


sengketa komersial secara damai (Arbitrase) merupakan akibat dari hal-hal
dibawah ini, misalnya:
 Para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di peradilan
nasional.

 Apalagi kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan


warga negara tersebut. Kekhawatiran selalu saja ada.bahwa peradilan
negara yang bersangkutan tidak atau setidak-tidaknya akan terpengaruh
oleh penguasaannya dan bersikap tidak independen; (atau melalui
“Permainan” dana khusus; itulah sebabnya kini telah menjadi rahasia
umum dilingkup nasional maupun internasional bahwa putusan pengadilan
di Indonesia banyak tergantung kepada “Penawar yang tertinggi,
walaupun keadaan ini sulit dibuktikan”)

 Pihak asing itu kurang memahami tata cara /prosedur pengadilan negara
tersebut dan merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan

 Peradilan negara menggunakan bahasa nasional pada umumnya kini


sedikit banyak agak terjamin dengan telah berlakunya “United Nations
Conventional on the Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958”
(Konvensi New York 1958) 61 dan yang telah diratifikasi oleh hampir
semua negara termasuk negara industri dan negara negara berkembang.

2. Arbitrase
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak adalah
subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum public.
Adapun yang disebut dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.
UU 30/1999 mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui
alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu Pasal 7 UU 30/1999 mengatur bahwa para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak
diatur dalam perjanjian mereka. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Selain itu apabila
disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat,
maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

Menyelesaikan Sengketa dengan Perjanjian Arbitrase


Jadi menjawab pertanyan Anda, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan
apabila telah ada suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Artinya selama ada
perjanjian arbitrase sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu berupa klausula
suatu perjanjian sebelum timbul sengketa maupun perjanjian khusus arbitrase yang dibuat
setelah ada sengketa.
Hal serupa juga disampaikan oleh Husseyn Umar, Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dalam artikel Makin "Ngetrend", Ini 5 Kelebihan Penyelesaian
Sengketa Melalui Arbitrase, nyawa dari arbitrase adalah perjanjian arbitrase.
Perjanjian arbitrase akan menentukan apakah suatu sengketa bisa diselesaikan melalui
arbitrase, di mana diselesaikannya, hukum mana yang digunakan, dan lain-lain. Perjanjian
arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian pokonya.Lanjut Umar mengatakan,
tidak ada keharusan dalam UU 30/1999 yang menentukan perjanjian arbitrase harus dibuat
dalam akta notaris perjanjian arbitrase harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat.
Tujuannya untuk menghindari perjanjian arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak
sebagai kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur
pengadilan.
Maka sejalan dengan pendapat di atas, menurut hemat kami meskipun tidak terdapat klausula
arbitrase di dalam kontrak, para pihak tetap dapat menyelesaikan permasalahannya melalui
arbitrase. Dengan catatan para pihak membuat perjanjian arbitrase tersendiri setelah timbul
sengketa. Tentunya perjanjian ini harus dibuat atas dasar kesepakatan dan iktikad baik.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa Pasal 5 yang menyatakan:32 “(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
Arbitase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa”
Contoh kasus :
Kasus Mobil Nasional Timor dengan Jepang dan Uni Eropa
Pada Juli 1996, pemerintah resmi meluncurkan proyek mobil nasional bernama Timor
melalui kerja sama dengan Kia Motors, produsen mobil asa Korea Selatan. Karena berlabel
mobil nasional, bea masuk dan pajak barang mewah pada penjualan mobil ini dipangkas
sehingga harganya menjadi separuh harga rata-rata mobil saat itu.
Kebijakan Indonesia ini diprotes negara produsen mobil seperti Jepang dan Uni Eropa.
Mereka menyeret Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO. Indonesia kalah dan
WTO memutuskan agar Indonesia mencabut kebijakan diskriminatif tersebut. Selanjutnya,
nasib mobil nasional Timor bagai hilang ditelan bumi.

Anda mungkin juga menyukai