PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi
Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena
ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan
dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat
dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh
karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan
di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten
(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de
rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor
14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat
dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial
setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha
nasional terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah
berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat
menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu memenuhi
tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam soal
penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis
menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan
negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah
cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
1
dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut
"keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat"
(social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang
berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering
disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih
menunjukkan lebih kental "bau formalisme-prosedural" ketimbang kedekatan
2
1
pada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari
semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku bisnis
sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila terjadi
perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar hal itu,
maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa- sengketa bisnis merupakan
kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi
pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun
demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu
melahirkan keadilan substansial.
Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode
pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan
hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad baik,
non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan
mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus
sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam
menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan
kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan
peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus
terbelenggu pada aturan normatif yang rigid.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penyusun akan membahas “Lembaga arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan” dengan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa sajakah termasuk ke dalam ruang lingkup Arbitrase ?
2. Apa tujuan dan manfaat Alternatif Penyelesaian Sengketa?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian “Arbitration. an arrangement for taking an
abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to
establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and
vexation of ordinary litigation”.
Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional. Suatu arbitrase dianggap
internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai
tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda.Misalnya salah satu pihak
memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika
terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase,
maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.
B. LINGKUP ARBITRASE
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU
Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab
kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
C. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan Arbitrase Ad-
hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International
Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
Pengadilan memiliki arti yang sangat penting terhadap masa depan dan perkembangan
arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dagang di Indonesia. Dalam kedudukannya
sebagai "out of court dispute resolution", arbitrase tidak memiliki wewenang publik
sebagaimana terdapat pada lembaga Pengadilan (state court). Pengadilan memiliki arti
penting sebagai "supporting institution" terhadap kelancaran proses arbitrase maupun
pelaksanaan putusan arbitrase. Pada prinsipnya UU No.30/1999 melarang campur tangan
Pengadilan terhadap arbitrase kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur undang-undang.
Wewenang Pengadilan melakukan campur tangan dalam hal-hal :
(1). penunjukan arbitrator dalam al para pihak tidak mencapai sepakat dalam
pemilihan arbitrator;
(2). mengadili gugatan hak ingkar terhadap arbitrator;
(3). Mernberikan pengakuan atau penoaakan putusan arbitrase internasional;
(4). menjalankan (eksekusi) putusan arbitrase nasional maupun arbitrase
internasional;
(5). mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase. Wewenang pengadilan melakukan
campur tangan terhadap arbitase tidak dimaksudkan untuk mereduksi atau bahkan
meniadakan samasekali kedudukan maupun peranan arbitrase, melainkan justru dimaksudkan
untuk melancarkan proses-proses arbitrase agar berlangsung sebagaimana mestinya.
Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap arbitrase bermanfaat untuk mengurangi sarat-
beban pengadilan serta untuk memberikan pilihan menarik dalam penyelesaian sengketa
perdagangan secara lebih efektif dan efisien. Campur tangan Pengadilan sedapat mungkin
dihindari kecuali undang-undang membolehkan serta tidak bertentangan dengan
prinsip¬prinsip yang berlaku. Perlu dikembangkan pemahaman secara luas bahwa arbitrase
bukanlah merupakan pesaing bagi pengadilan yang akan mereduksi peran serta wewenang
Pengadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase,
Tujuan dari arbitrase adalah di mana sengketa sipil diselesaikan melalui arbitrase
ditujukan untuk mengatasi masalah makro di rumah dan di luar negeri. Hukum Indonesia
menyebutkan posisi dan penjelasan arbitrase dalam UU No 14 dari 1970, yang mengatur dasar
kekerasan peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Sitra Aditya Bhakti, Bandung, 2000
Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999, Sinar
Grafika, Jakarta.
https://pengajar.co.id/pengertian-arbitrase/
https://dunia.pendidikan.co.id/arbitrase/
https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrxgzMj3JdfZh8AbQn3RQx.;_ylu=Y29sbwMEcG9zAz
EEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1603816612/RO=10/RU=http%3a%2f
%2fhpk904.weblog.esaunggul.ac.id%2fwp-content%2fuploads%2fsites
%2f568%2f2013%2f04%2f4.-Prinsip-Prinsip-Umum-
Arbitrase.doc/RK=2/RS=pX_vx9ktIniEWPDcBbr87dtbAYw-