Anda di halaman 1dari 34

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Arbitrase

1. Pengertian Arbitrase

Berdasarakan Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 1999

menentukan bahwa pengertian Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kata

Arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal

dengan sebutan atau istilah lainnya yang memiliki maksud yang sama,

misalnya perwasitan atau Arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),

Arbitrage atau schiedspruch (Jerman), arbitrage (Perancis), kesemuanya

memiliki arti yang sama yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu

menurut kebijaksanaan. Istilah arbitrase “menurut kebijaksanaan” dapat

menimbulkan salah pengertian tentang arbitrase karena seolah-olah seorang

arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa

tidak mengindahkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan

pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan (R Soebekti 1980:

33).

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan

bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di

  25   
26 
 

bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Menurut Abdul Bari Azed (Abdul Bari Azed, 2006) yang dimaksud dengan

ruang lingkup hukum perdagangan adalah sebagai berikut:

1) Perniagaan,
Perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang dan jasa atau
keduanya.
2) Perbankan,
Perbankan adalah kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
3) Keuangan,
Keuangan adalah mempelajari bagaimana individu, bisnis, dan
organisasi meningkatkan, mengalokasi dan menggunakan sumber daya
moneter sejalan dengan waktu dan juga menghitung resiko dalam
menjalankan proyek mereka.
4) Penanaman modal,
Penanaman modal adalah suatu yang berhubungan dengan keuangan
dan ekonomi, berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan
suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.
5) Industri
Industri adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan
metode yang sama dalam menghasilkan laba.
6) Hak kekayaan intelektual.
Hak kekayaan intelektual (HaKI) adalah hak yang timbul bagi hasil olah
pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna
untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara
ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.
Obyek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul

atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Ruang lingkup HaKI

mencakup, hak cipta, hak merek, hak paten, hak rahasia dagang, hak desain

industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak perlindungan varietas

tanaman.

 
 
27 
 

Penyelesaian melalui Arbitrase memilki beberapa keunggulan jika

di bandingkan dengan proses penyelesaian melalui Peradilan, seperti

beberapa hal berikut ini:

1) Para pihak didalam Arbitrase dapat memilih Hakim yang diinginkan,

sehingga dipandang dapat menjamin netralitas dan keahlian yang

diperlukan dalam menyelesaikan sengketa.

2) Para pihak juga dapat menetapkan hukum yang mana yang akan

diaplikasikan dalam pemeriksaan sengketa, dan melalui hal ini dapat

ditekan rasa takut, was-was dan ketidakyakinan mengenai hukum

substantive dari negara.

3) Kerahasaian dalam proses penyelesaian melalui Arbitrase akan

melindungi para pihak dari pengungkapan kepada umum mengenai

segala sesuatu hal yang dapat merugikan. Selain itu proses penyelesaian

Arbitrase seringkali dipandang sebagai penyelesaian sengketa yang

lebih efisien dalam biaya maupun waktu pelaksanaannya, jika

dibandingkan penyelesaian melalui Peradilan umum.

4) Arbiter pada umumnya memiliki kearifan dalam memeriksa sengketa,

menyelesaikan dan menerapkan prinsip hukum serta pertimbangan-

pertimbangan hukum.

5) Penyelesaian melalui Arbitrase dipandang lebih cepat jika penyelesaian

sengketa melalui Peradilan umum, karena penyelesaian melalui

 
 
28 
 

Arbitrase di berikan batas waktu paling lama 180 (seratus delapan

puluh) hari sejak Arbitrase terbentuk.

Pemilihan arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa oleh para

pelaku bisnis didasarkan bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan

mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam

pelaksanaan putusan arbitrase ada perbedaan antara pelaksanaan putusan

arbitrase nasional dan arbitrase internasional. Putusan tersebut harus

diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri sedangkan

Putusan arbitrase internasional harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, dengan menyertakan Putusan otentik dan naskah terjemahan

resmi dalam Bahasa Indonesia (Gatot Soemartono 2006: 74).

Arbitrase sebagai salah satu tempat penyelesaian sengketa diluar

pengadilan mempunyai dua sifat yaitu arbitrase nasional dan arbitrase

internasional. Perbedaan antara arbitrase nasional dan arbitrase internasional

adalah arbitrase dapat dikatakan internasional apabila para pihak pada saat

dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha di negara

berbeda, misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan

pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Perselisihan yang terjadi di

antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase,

maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

 
 
29 
 

2. Jenis Arbitrase

Arbitrase terdiri dari arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc

(Joni Emirzon 2001: 102). Jenis arbitrase ini merupakan macam arbitrase

yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan

memutuskan perselisihan yang terjadiantara para pihak yang mengadakan

perjanjian. Arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan

lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen sehingga disebut

“permanent arbitral body”, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi

New York 1958. Arbitrase institusional didirikan untuk menangani sengketa

yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar

pengadilan. Arbitrase ini merupakan wadah yang didirikan untuk

menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian (M. Yahya Harahap

2006: 151). Pihak-pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan

dilakukan oleh arbitrasedapat memperjanjikan bahwa putusan akan diputus

oleh arbitrase institusional yang bersangkutan.

Arbitrase institusional tetap berdiri meskipun perselisihan yang

ditangani telah diputus, sebaliknya arbitrase ad hoc akan bubar dan berakhir

keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Pendirian

arbitrase institusional sebagai badan yang bersifat permanen, sekaligus juga

disusun organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara

pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan sengketanya. Arbitarse yang

bersifat institusional ini menyediakan jasa adminsitrasi arbitrase yang

 
 
30 
 

meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedural

sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.

Adapun terdapat beberapa arbitarse institusional, antara lain:

(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani 2000: 53-54).

1) Arbitrase institusional yang bersifat nasional, yaitu arbitrase yang ruang

lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan Negara

yang bersangkutan, misalnya:

a) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);

b) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI);

c) Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);

d) Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI);

e) The American Arbitration Association;

f) Netherlands Arbitrage Institut;

g) The Japan Commercial Arbitration Associatin; dan

h) The British Institute of Arbitrators.

2) Arbitrase institusional yang bersifat internasional, yaitu arbitrase

yangruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat

internasional,misalnya:

a) The Court of Arbitration of International Chamber of Commerce

(ICC) di Paris;

b) The International Centre fot the Settlement of Investment Disputes

(ICSID);

 
 
31 
 

c) Singapore International Arbitration Centre (SIAC); dan

d) UNCITRAL Arbitration Rules (UAR).

3) Arbitrase institusional yang bersifat regional, yaitu arbitrase yang ruang

lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan regional, misalnya:

Regional Centre for Arbitration yang didirikan oleh Asia Afrika Legal

Consultative Committee (AALCC).

Keberadaan arbitrase ini juga diakui dalam UU No. 30 Tahun 1999,

pada Pasal 34 menentukan bahwa, penyelesaian sengketa melalui arbitrase

dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau

internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Selanjutnya, penyelesaian

sengketa melalui arbitrase dilakukan menurut peraturan dan lembaga yang

dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Selanjutnya, yang dimaksud

dengan arbitrase ad hoc (arbitrase volunteer) adalah arbitrase yang dibentuk

khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.Arbitrase

ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu

diputuskan. Para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan

pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur

administratif dari arbitrase, karena proses pemeriksaan arbitarse berlangsung

tanpa adanya pengawasan atau peninjauan yang bersifat lembaga,

persetujuan para pihak terhadap metode-metode pengangkatan arbiter yang

cakap/kompeten dan berpengalaman merupakan hal penting. Akibat

kesulitan-kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan

 
 
32 
 

menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam

merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua

belah pihak, para pihak seringkali memilih jalan penyelesaian melalui

arbitrase institusional (Gary Goodpaster dan Felix O. Soebagjo 1995: 25-26).

Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, pengertian

arbitrase ad hoc diadakan dalam hal terdapat kesepakatan para pihak dengan

mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri bukan sebagai syarat

mutlak untuk para pihak dalam menentukan arbiter yang akan

menyelesaikan sengketanya. Untuk mengetahui dan menentukan apakah

arbitrase disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad hoc, dapat dilihat

dari rumusan klausula arbitrasenya yang menyatakan bahwa perselisihan

akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase

institusional. Dengan kata lain, jika klausula menyebutkan bahwa arbitrase

yang akan menyelesaikan perselisihan adalah arbitrase perorangan, jenis

arbitrase yang disepakati adalah arbitase ad hoc. Ciri pokok arbitrase ad hoc

adalah penunjukan para arbiternya secara perorangan. Pada prinsipnya

arbitrase ad hoc tidak terikat atau terkait dengan salah satu badan arbitrase.

Para arbiternya ditentukan sendiri dengan kesepakatan para pihak. Dengan

demikian, dapat dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan atau cara

tersendiri mengenai tta cara pemeriksaan sengketa (Suyud Margono 2004:

123).

 
 
33 
 

3. Sumber Hukum Arbitrase

a. Reglement op de Bergerlijk Rechsvordering atau Rv

Ketentuan yang mengatur tentang arbitrase pada awalnya

terdapat dalam kitab undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement

op de Bergerlijk Rechsvordering atau disingkat Rv) yang terdapat dalam

S. 1847 – 52 Jo. S. 1849 – 63. RV sebenarnya merupakan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan

Eropa, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang

berlaku bagi golongan bumiputera adalah Herziene Indonesisch

Reglement (HIR) yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan

Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berlaku untuk luar Jawa

dan Madura. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih

jauh lagi, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG menunjuk ketentuan-

ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan

untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Dengan

demikian, ketentuan tentang arbitrase yang terdapat dalam Rv

dinyatakan berlaku juga untuk golongan bumiputera. Selengkapnya,

Pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG menyatakan bahwa bilamana orang

Bumiputera dan Timur asing menghendaki perselisihan mereka

diputuskan oleh arbitrase, maka mereka wajib menuruti peraturan

pengadilan untuk perkara yang berlaku bagi orang Eropa.

 
 
34 
 

Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai

berikut (Gatot Soemarsono 2006: 14-15):

1) Para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa

mereka melalui juru pisah atau arbitrase;

2) Juru pisah atau arbiter diberi kewenangan hukum untuk

menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan

3) Arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan

ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.

Adapun pasal-pasal dalam Rv yang mengatur tentang arbitrase

adalah mulai dari Pasal 615 sampai dengan Pasal 651, yang meliputi

lima bagian sebagai berikut:

1) Bagian I, pasal 615 sampai dengan Pasal 623 tentang Persetujuan


Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter;
2) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan
Perkara di Depan Arbitrase;
3) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan
arbitrase;
4) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang Upaya-
Upaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase; dan
5) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya
Perkara Arbitrase.

b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman

dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

 
 
35 
 

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.83 Namun

demikian, dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman ditegaskan, upaya penyelesaian sengketa perdata

dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau

alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut menunjukkan

adanya legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Dengan perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan

baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada

umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara

Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) yang dipakai sebagai

pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan.

Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara

penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan

atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat

diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai hak yang

menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa

atas dasar kata sepakat. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999,

maka ketentuan-ketentuan yang lama digantikan oleh undang-undang

 
 
36 
 

tersebut. Hal tersebut ditegaskan UU No. 30 Tahun 1999 sebagai

berikut:

“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan


mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615
sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of
de Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377
Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglement Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227),
dinyatakan tidak berlaku.”
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian

Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai

Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan

atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan

Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the

Settlement of Invesment Disputes between States and National of Other

States). Tujuan menetapkan persetujan ratifikasi atas konvensi tersebut

adalah untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman

modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan pengakuan dan

persetujuan atas Konvensi tersebut, Indonesia menempatkan diri untuk

tunduk pada ketentuan International Centre for the Settlement of

Investment Disputes Between States and Nationals of Other States

(ICSID) yang melahirkan Dewan Arbitrase ICSID. Melalui UU Nomor

5 Tahun 1968, Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk:

 
 
37 
 

1) Memberikan persetujuan agar perselisihan tentang penanaman

modal antara Republik Indonesia dengan Warga Negara Asing

diputus menurut Konvensi dimaksud; dan

2) Pemerintah dalam hal ini bertindak mewakili Indonesia dalam

perselisihan dengan hak substitusi (M. Yahya Harahap 1997:6)

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1968. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 2 dan dikaitkan

dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968,

dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia telah menyetujui

berlakunya Konvensi tersebut, tidak dengan sendirinya setiap sengketa

penanaman modal asing tunduk pada Konvensi dan diselesaikan melalui

forum arbitrase ICSID. Syarat mutlak untuk penyelesaian menurut

Konvensi adalah persetujuan kedua belah pihak yang berselisih. Hal

tersebut merupakan salah satu asas yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1)

Konvensi.

e. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan

Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award.

Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya

arbitrase di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 34

Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus 1981. Ketentuan ini

bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and the

 
 
38 
 

Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut

Konvensi New York 1958, ke dalam tata hukum di Indonesia. Pada

Keppres ini terdapat beberapa prinsip pokok:

1) Pengakuan atau recognition atas putusan arbitrase asing. Putusan

arbitrase asing dengan sendirinya memiliki daya self execution di

negara Indonesia;

2) Namun demikian sifat self execution yang terkandung dalam

putusan arbitrase asing didasarkan atas asas “resiprositas”.

Dengan berlakunya Keppres ini, pada prinsipnya Indonesia

berkomitmen untuk mengakui dan melaksanakan eksekusi putusan

arbitrase asing yang dijatuhkan di luar wilayah hukum negara RI.

Dengan demikian, Indonesia telah mengikatkan diri dengan suatu

kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi

atas setiap putusan arbitrase asing. Namun demikian, pengakuan dan

kewajiban hukum tersebut tidak terlepas penerapannya dari asas

resiprositas yakni asas timbal balik antara negara yang bersangkutan

dengan Indonesia. Artinya, kesediaan negara Indonesia mengakui dan

mengeksekusi putusan arbitrase asing harus berlaku timbale balik

dengan pengakuan dan kerelaan negara lain mengeksekusi putusan

putusan arbitrase yang diminta oleh pihak Indonesia. Dengan kata lain,

sikap pengakuan dan kerelaan pihak Indonesia mengeksekusi putusan

arbitrase asing atas permintaan yang datang dari suatu negara lain, harus

 
 
39 
 

didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”. Tidak bisa

dipaksakan secara “unilateral”. Sekurang-kurangnya, antara negara yang

meminta pengakuan dan eksekusi putusan, sudah lebih dahulu memiliki

ikatan perjanjian dengan Indonesia, baik secara bilateral maupun

multilateral (M. Yahya Harahap 1997: 16).

f. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing yang tata caranya

telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 dan juga Keppres No. 34

Tahun 1981 ternyata secara faktual masih mengalami kegagalan.

Pengesahan dan pengikatan diri terhadap Convention on the Recognition

and Enforcement of Foreign Arbitral Award atau Konvensi New York

1958 secara yuridis mewajibkan Indonesia untuk patuh dan rela

mengakui (recognize) dan melaksanakan eksekusi (enforcement)

putusan arbitrase asing. Namun demikian pada kenyatannya, setiap

permintaan eksekusi putusan arbitrase asing selalu ditolak oleh

pengadilan. Alasan pokok pengadilan menolak pengakuan dan

pelaksanaan eksekusi tersebut adalah belum adanya peraturan pelaksana

dari Keppres No. 34 Tahun 1981. Oleh karena itu, diterbitkanlah

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret

1990, yang bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan

pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan

 
 
40 
 

dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 1990 tersebut adalah bahwa

ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana diatur

dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui dan Reglement

op de Rechtsvordering (Rv) tidak memuat ketentuan-ketentuan

mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (Gatot Soemarsono 2006:

79) Perma No. 1 Tahun 1990 mengatur tentang tata cara pelaksanaan

putusan arbitrase asing yang menurut pandangan Mahkamah Agung

perlu diatur lebih lanjut meskipun telah ada Keppres No. 34 Tahun 1968

yang mengesahkan Konvensi New York 1958.

g. UNCITRAL Arbitration Rules

Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam

sistem hukum nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules.

UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15

Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by the General Assembly in

15 December 1976). Pemerintah Indonesia termasuk salah satu negara

yang ikut menandatangani resolusi tersebut. Dengan demikian,

UNCITRAL Arbitration Rules yang menjadi lampiran resolusi, telah

menjadi salah satu sumber hukum internasional di bidang arbitrase.

Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan

dan menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam

menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan

perdagangan internasional.

 
 
41 
 

4. Perjanjian Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan

bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para

pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri

yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa, atau suatu perjanjian

arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan yaitu sebagai

berikut:

a. Klausula arbitrase tersendiri yang tercantum dalam suatu perjanjian

tertulia yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa; dan

b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah

timbul sengketa.

5. Badan Arbitrase Nasional Indonesia

a. Pengertian Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI adalah suatu

badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum

di Indonesia dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang

terjadi diberbagai sektor perdagangan, industry, dan keuangan, melalui

arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya.

Badan ini bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan

hukum dan keadilan.

 
 
42 
 

b. Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia Putusan Hakim (tidak

dibedakan antara hakim Pengadilan Konvensional ataupun hakim

arbitrase) adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat

negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

sengketa antara para pihak (Sudikno Mertokusumo 1998: 175). Putusan

hakim yang dimaksud bukan hanya diucapkan saja yang disebut

putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk

tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di muka

persidangan.Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai

kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh

hakim dan putusan yang diucapkan di muka persidangan tidak boleh

berbeda dengan yang tertulis (vonis).

Suatu putusan arbitrase haruslah memuat data, analisis,

kesimpulan dan amar putusan yang sejelas mungkin, dan putusannya

tidak boleh kabur, tetapi haruslah pasti. Selain itu, bahasa yang dipakai

pun harus bahasa yang jelas, tidak berliku-lik. Pada prinsipnya suatu

putusan arbitrase mempunyai isi yang tidak jauh berbeda dengan isi

suatu putusan Pengadilan Negeri (Munir Fuady 2000: 103).

 
 
43 
 

Pada Pasal 54 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan syarat minimum terhadap

isi putusan, yaitu sebagai berikut:

1) Putusan haruslah mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“.
2) Nama dan alamat para pihak.
3) Uraian singkat duduk sengketa.
4) Pendirian para pihak.
5) Nama dan alamat arbiter.
6) Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa.
7) Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal ada perbedaan pendapat antar
arbiter, majelis arbitrase yang memutus perkara yang bersangkutan.
8) Amar putusan.
9) Tempat dan tanggal putusan.
10) Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
Sehubungan persyaratan dari putusan arbitrase, perlu

diperhatikan beberapa ketentuan yaitu keputusan dapat berlandaskan

kepada keadilan dan kepatutan semata-mata (et aequo et bono). Pada

Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa, Arbiter

atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum,

atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.

Pada Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa,

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap

dan mengikat para pihak. Di dalam penjelasan dijelaskan bahwa putusan

arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat

diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Adanya ketentuan-

ketentuan mengenai putusan arbitrase dapat dijadikan batasan dalam

 
 
44 
 

rangka memahami tentang hakekat suatu putusan arbitrase, sementara

itu putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh suatu badan arbitrase asing

adalah mengikuti ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam pilihan

hukum yang digunakan untuk prosedur penggunaan arbitrase yang

dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.

Keputusan yang akan didaftarkan di pengadilan Indonesia,

pada Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa, yang

berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan

Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan

tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan aslinya

dan apabila segala persyaratan pendaftaran terpenuhi maka Pengadilan

dalam hal ini tidak berwenang untuk memeriksa mengenai bentuk dan

isi putusan.

B. Putusan

1. Pengertian Putusan

Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai

pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan

dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut

putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis

dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan (Sudikno

 
 
45 
 

Mertokusumo 1998: 175). Tujuan suatu proses di muka pengadilan yaitu

untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya

suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini,

hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk

selama-lamanya dengan maksud, apabila tidak ditaati secara sukarela, bisa

dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (R. Subekti 1980: 124).

2. Kekuatan Putusan

Putusan mempunyai 3 macam kekuatan yaitu sebagai berikut:

a) Kekuatan Mengikat (Bindende Kracht)

Untuk dapat melaksanakan suatu hak secara paksa diperlukan

suatu putusan pengadilan. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk

menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau

hukumnya. Jika para pihak yang bersengketa menyerahkan atau

mempercayakan sengketa kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa

atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang

bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan.

Putusan yang dijatuhkan haruslah dihormati oleh kedua belah pihak

yang bersengketa (Sudikno Mertokusumo 1998: 178).

b) Kekuatan Pembuktian (Bewijsende Kracht)

Putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, yang

merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan

sebagai alat bukti para pihak, yang mungkin diperlukan untuk

 
 
46 
 

mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya (Sudikno

Mertokusumo 1998: 182). Arti putusan itu sendiri dalam hukum

pembuktian adalah bahwa putusan itu telah diperoleh suatu kepastian

tentang sesuatu. Pasal 1916 ayat (2) nomor 3 BW maka putusan hakim

adalah persangkaan, putusan hakim merupakan persangkaan bahwa

isinya benar yaitu apa yang telah diputuskan oleh hakim dianggap benar

(res judicata pro veritate habaetur). Adapun kekuatan pembuktian

putusan perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim

mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian

putusan terdahulu (Sudikno Mertokusumo 1998: 183).

c) Kekuatan Eksekutorial (Executoriale Kracht)

Kekuatan Eksekutorial (Executoriale Kracht) Kekuatan

eksekutorial adalah putusan di maksudkan untuk menyelesaikan suatu

persoalan atau sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya saja,

melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara

paksa. Untuk itu apa yang telah ditentukan majelis hakim dalam

putusannya harus dilaksanankan walaupun banyak orang

membantahnya. Kekuatan eksekutorial putusan hakim tidak dapat

dilumpuhkan, kecuali apabila telah dipenuhi dengan sukarela dan kata-

kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan

pengadilan di Indonesia (Sudikno Mertokusumo 1998: 185).

 
 
47 
 

3. Pengertian Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase dibedakan atas putusan arbitrase nasional dan

putusan arbitrase internasional. UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan

pengertian terhadap putusan arbitrase nasional, berdasarkan Pasal 1 angka 9

UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase internasional adalah putusan yang

dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar

wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase

atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia

dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Ketentuan ini sejalan

dengan pengertian putusan arbitrse asing dalam Perma No. 1 Tahun 1990,

menentukan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan arbitrase

ataupun perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Selanjutnya,

Konvensi New York 1958 memberikan pengertian putusan arbitrase asing

adalah putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari

negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas

putusan arbitrase yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara

penafsiran argumentum a contrario, dapat dirumuskan putusan arbitrase

nasional adalah putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik

Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Sepanjang

putusan tersebut dibuat berdasarkan dan dilakukan di Indonesia, maka

putusan arbitrase ini termasuk dalam putusan arbitrase nasional.

 
 
48 
 

Putusan arbitrase mempunyai dua macam yaitu putusan arbitrase

nasional atau internasional dapat ditentukan berdasarkan pada prinsip

kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian

sengketa arbitrase tersebut. Di samping berdasarkan pada tempat dijatuhkan

putusan arbitrase, juga didasarkan pada hukum yang dipergunakan para

pihak dalam menyelesaikan sengketa arbitrase tersebut. Kalau

mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya,

walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia,

putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.

Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan

berkewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia

sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka putusan arbitrase

yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan

arbitrase internasional (Rahmadi Usman 2002: 158).

Berdasarkan hal-hal tersebut, yang menjadi ciri putusan arbitrase

asing didasarkan pada faktor wilayah atau territory. Ciri putusan arbitrase

asing yang didasarkan pada faktor teritorial, tidak menggantungkan syarat

perbedaan kewarganegeraan atau perbedaan tata hukum. Meskipun pihak-

pihak yang terlibat dalam putusan terdiri dari orang-orang Indonesia, dan

sama-sama warga negara Indonesia, jika putusan dijatuhkan diluar wilayah

hukum Republik Indonesia, dengan sendirinya menurut hukum, putusan

 
 
49 
 

tersebut dikualifikasi putusan arbitrase asing (M. Yahya Harahap 1997: 336-

337).

4. Kekuatan Putusan Arbitrase

Berdasarkan Pasal 60 Undang UU No. 30 Tahun 1999 menentukan

bahwa, Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum

tetap dan mengikat para pihak. Lebih lanjut dalam penjelasan Undang-

Undang tersebut menerangkan bahwa putusan arbitrase merupakan putusan

final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau

peninjauan kembali. Sifat final and binding dari putusan arbitrase diatur

secara tegas dalam berbagai peraturan dan prosedur arbitrase. Peraturan

Prosedur BANI Pasal 32 secara tegas menyatakan bahwa putusan arbitrase

bersifat final dan mengikat para pihak. Dalam putusan tersebut, Majelis

menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan

putusan dimana dalam putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau

denda dan/atau tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang

kalah lalai dalam melaksanakan putusan itu. Dari ketentuan tersebut, BANI

telah mengatur secara tegas kekuatan mengikat putusan arbitrase serta

konsekuensinya bagi para pihak. Sifat yang seperti ini merupakan salah satu

tuntutan pokok putusan arbitrase yang menghendaki proses yang sederhana

dan cepat. Putusan dapat langsung dieksekusi dengan cara menutup upaya

banding dan atau kasasi.

 
 
50 
 

Konsekuensi dari sifat putusan arbitrase yang final and binding,

maka para pihak wajib langsung melaksanakan putusan tersebut. Namun

pelaksanaan putusan arbitrase secara sukarela ini sangat tergantung pada

itikad baik dari para pihak yang bersengketa. Pada Pasal 61 UU No. 30

Tahun 1999 memberikan upaya yang dapat ditempuh apabila pelaksanaan

putusan arbitrase secara sukarela tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini,

putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas

permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Selanjutnya, dalam

memberikan perintah pelaksanaan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri hanya

berwenang untuk memeriksa pemenuhan Pasal 4 dan 5 UU No. 30 Tahun

1999, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa alasan atau

pertimbangan putusan arbitrase agar putusan tersebut benar-benar mandiri,

final dan mengikat. Adapun dalam suatu putusan arbitrase internasional, sifat

final and binding dapat disimpulkan dari Pasal 68 UU No. 30 Tahun 1999.

Menurut ketentuan tersebut, Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

tentang pemberian eksekuatur yang mengakui dan melaksanakan putusan

arbitrase internasional di Indonesia, tidak dapat diajukan banding atau

kasasi. Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang

menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional,

dapat diajukan kasasi. Hal ini adalah sesuai dengan prinsip final and binding

putusan arbitrase internasional (Sudargo Gautama, 1999: 138).

 
 
51 
 

5. Pendaftaran Putusan

Pendaftaran dalam rangka eksekusi putusan arbitrase nasional, ada

beberapa tahap yang akan dilalui seperti berikut ini:

1) Pendaftaran Putusan

Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli, atau salinan otentik

putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya

kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran

tersebut di laksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan

penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera

Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan

selanjutnya catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

2) Perintah Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan

salinan otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi

perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut, dilaksanakan sesuai

ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata putusannya telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini maka berlakulah

ketentuan umum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan perkara perdata

(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani 2003: 102-103).

 
 
52 
 

C. Landasan Teori

Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian mengenai

pendaftaran putusan arbitrase untuk mewujudkan kepastian hukum bagi para

pihak adalah:

1. Teori Kepastian Hukum

Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan pertama

dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, tujuan

lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan

ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Kemudian menurut Purnadi

dan Soerjono Soekanto tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi

yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.

Menurut Van Apeldoorn (Sudikno Mertokusumo 2003: 81)

kepastian hukum meliputi dua hal yang pertama kepastian hukum adalah hal

yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang

kongkrit. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui

apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai

dengan perkara dan yang kedua kepastian hukum berarti pula keamanan

hukum, artinya melindungi para pihak terhadap kewenang-wenangan hakim.

Roscoe Pound juga menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian

hukum adalah predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.

 
 
53 
 

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian

setiap pihak yang sepakat menyelesaiakan sengketa melalui lembaga

Arbitrase berhak untuk mendapatkan kepastian hukum. Secara normatif,

kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan

perundang-undangan yang secara operasional maupun mendukung

pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan

itu perlu dilaksanakan secara konsisten oleh sumber daya manusia

pendukungnya.

2. Teori Keadilan

Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan

dan isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan

tidak. Dengan kata lain, menurut teori ini hukum bertujuan merelisir atau

mewujudkan keadilan. Keadilan meliputi dua hal yaitu hakekat keadilan dan

isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.

Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan

dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan

subyektif (subyektif untuk kepentingan kelompoknya, golongannya dan

sebagainya) melebihi norma-norma lain (Sudikno Mertokusumo 2003: 77).

Keadilan merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang

menerima perlakuan saja contohnya dalam perkara perdata pihak yang kalah

 
 
54 
 

menilai putusan hakim tidak adil dan buruh yang diputuskan hubungan

kerjanya merasa diperlakukan tidak adil oleh majikannya. Keadilan kiranya

tidak harus hanya dilihat dari satu pihak saja, tetapi harus dilihat dari dua

pihak, tentang keadilan sukar untuk memberi batasannya Aristoteles

membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva

(distributive justice, verdelende atau begevende gerechtigheid) dan justitia

commutative (remedial justice, verdegeldende atau ruilgerechtighed).

Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang

menjadi hak atau jatahnya, jatah ini tidak sama untuk setiap orang,

tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan

sebagainya yang sifatnya proporsional. Nilai adil disini ialah apabila setiap

orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan

pendidikan, kedudukan, kemampuan, dan sebagainya. Justitia distributiva

merupakan tugas pemerintah terhadap warganya, menentukan apa yang

dapat dituntut oleh warga masyarakat. Justitia distributiva ini merupakan

kewajiban pembentuk unang-undang untuk diperhatikan dalam menyusun

undang-undang. Keadilan ini memberi kepada setiap orang menurut jasa dan

kemampuannya yang dituntut bunkanlah kesamaan melainkan perimbangan

dengan kata lain justitia distributiva ini sifatnya proporsional.

Justitia Commutativa memberi kepada setiap orang sama

banyaknya. Dalam pergaulan di masyarakat Justitia Commutativa

merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamannya yang dituntut

 
 
55 
 

adalah kesamaan. Adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa

memandang kedudukan dan sebagainya, jika justitia distributiva merupakan

urusan pembentuk undang-undang maka justitia commutative merupakan

urusan hakim. Hakim memperhatikan hubungan perorangan yang

mempunyai kedudukan prosesuil yang sama tanpa membedakan orang

(equality before the law). Berdasarkan sifatnya justitia distributiva sifatnya

proporsional sedangkan justitia commutativa bersifat mutlak karena

memperhatikan kesamaan (Sudikno Mertokusumo 2003: 78-79).

Teori ini menurut Prof. van Apeldoorn (C.S.T. Kansil dan Christine

Kansil 2011) berat sebelah, karena melebih-lebihkan kadar keadilan hukum,

sebab tidak cukup memperhatikan keadaan yang sebenarnya. Hukum

menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-

orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata menghendaki

keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa

yang patut diterimanya, maka ia tidak dapat membentuk peraturan-peraturan

umum. Tertib hukum yang tidak mempunyai peraturan hukum, tertulis atau

tidak tertulis, tidak mungkin. Tidak adanya peraturan umum, berarti

ketidakaturan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau

tidak adil. Ketidaktentuan inilah yang selalu akan menyebabkan perselisihan

antar anggota masyarakat. Di sisi lain, hukum harus menentukan peraturan

umum yang sama rata. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan, tetapi

keadilan menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri. Oleh

 
 
56 
 

karena itu, pembentuk undang-undang sebisa mungkin untuk memenuhi dan

mengikuti tuntutan perkembangan masyarakat.

3. Teori Sistem Peradilan Terpadu

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 setelah amandemen, menegaskan bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu

prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaran

kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan

lainnya. Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui

badan peradilan, tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan dengan

batas-batas kewenangan yang disebutkan undang-undang. Dengan

diterbitkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 diharapkan hakim

melalui putusannya sesuai harapan masyarakat dapat menerapkan hukum

dengan benar dan adil serta memberi manfaat bagi pencari keadilan dan

masyarakat pada masa kini dan masa yang akan datang. Berdasarkan Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa,

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik.

Selanjutnya, sebagai upaya memperkuat mewujudkan sistem peradilan

 
 
57 
 

terpadu (integrated justice system), hal-hal penting antara lain sebagai

berikut :

a. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.

b. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim

dan hakim konstitusi.

c. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan

untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya

dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung.

d. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan

memiliki keahlian serta pengaturan di bidang tertentu untuk memeriksa,

mengadili dan memutus suatu perkara.

e. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan.

f. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang

tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap

pengadilan.

Hakim Agung berperan dalam pembaruan hukum melalui

kekuasaan yang dilaksanakan melalui lembaga yudikatif membentuk hukum

yang bersifat inconcreto, membentuk hukum yang ditetapkan dalam vonis,

 
 
58 
 

mempunyai kekuatan tetap dan mengikat berlaku bagi para pihak yang

berperkara. Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan

peradilan yang bersih serta berwibawa, perlu dilakukan penataan sistem

peradilan yang terpadu. Pendaftaran putusan arbitrase sebagai salah satu

upaya perwujudan sistem peradilan terpadu sebagai lembaga penyelesaian

sengketa diluar Pengadilan. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU No. 48 Tahun

2009 menentukan bahwa, Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pendaftaran putusan arbitrase bertujuan untuk pengawasan kepada lembaga

penyelesaian sengketa diluar Pengadilan.

Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan

mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Diharapkan dapat menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan

memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan keadilan para pihak.

Dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik sehingga

berdampak pada badan peradilan yang berada dibawahnya.

 
 

Anda mungkin juga menyukai