Anda di halaman 1dari 13

ARBITRASE

Pengertian Arbitrase

Sejarah Arbitrase
Permanent

Jenis Arbitrase
Volunteer
ARBITRASE
- BANI
Badan Arbitrase
- BAPMI
Indonesia
- BAKTI
- BASN
- BAM HKI
Sumber Hukum
Arbitrase

Kelebihan dan
Kekurangan
Arbitrase
Pengertian Arbitrase 

Arbitrase adalah salah satu cara atau proses pemeriksaan, pemutusan dan
penyelesaian sengketa tidak menggunakan jalur pengadilan, namun berdasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis serta disepakati oleh para
pihak lebih dari satu orang dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-
bukti yang diajukan oleh para pihak.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan
pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa

Arbitrase memiliki beberapa kesamaan istilah, antara lain perwasitan


(Indonesia), Arbitrate (Latin), Arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
Arbitrage atau schiedspruch (Jerman), arbitrage (Perancis), kesemuanya
memiliki arti yang sama yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara
menurut kebijaksanaan (Subekti, 1992).
SEJARAH PERKEMBANGAN ARBITRASE DI INDONESIA
Pada zaman Hindia Belanda, Indonesia dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: Golongan
Eropa, Bumi Putera dan golongan Cina dan Timur asing. Penyelesaian persengketaan diatur
dalam ketentuan pasal 337 HIR (705 Rbg)

Tahun 1849 (berlakunya KUHAP), pada pasal 615 dan 651 Rv isinya
tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dan fungsi arbitrase.

Pada zaman Pemerintahan Jepang, peradilan Raad van Justitie dan


Residentiegerecht dihapuskan dan dibentuk Tihoo Hooin yang
merupakan peradilan kelanjutan dari Landart

Setalah Indonesia merdeka diberlakukanlah pasal 11 Aturan


Peralihan UUD 1945, yang menyatakan berlakunya kembali
arbitrase zaman Belanda di Indonesia
JENIS JENIS ARBITRASE
Menurut Emirzon (2011), berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, terdapat dua jenis
arbitrase yaitu arbitrase institusional dan arbitrase adhoc.
a. Arbitrase Institusional (Permanent) 
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen,
sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan
secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada
sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan tidak akan bubar,
sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus. Didirikannya
arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian sengketa
alternatif di luar pengadilan.Arbitrase institusional pada umumnya dipilih oleh para
pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase.
b. Arbitrase Adhoc (Volunteer) 
Arbitrase Adhoc atau Volunteer merupakan bentuk alternatif dari arbitrase institusional.
Arbitrase adhoc adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu
badan atau lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration). Arbitrase ini dilakukan
oleh tim-tim arbitrase yang sifatnya temporer dan hanya dibentuk secara insidential
untuk setiap sengketa yang terjadi. Para pihak dapat mengatur cara-cara pelaksanaan
pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari
arbitrase.
BADAN ARBITRASE DI INDONESIA
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, didirikan pada 3 Desember 19 atas prakarsa Prof. R.
Subekti, SH (Mantan Ketua MA), Harjono Tijtrosubono, SH (Ketua Ikatan Advokat
Indonesia) dan A. J. Abubakar.
2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, tujuan didirikannya lembaga ini tidak terlepas dari
keinginan pelaku pasar modal Indonesia untuk mempunyai sebuah lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengendalian khusus di bidang pasar modal yang dittangani oleh orang orang
yang memahami pasar modal, dengan proses cepat dan murah, keputusan yang final dan
mengikat serta memenuhi rasa keadilan.
3. Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia, tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu
sebagai salah satu bentuk perlindungan berjangka komoditi melalui penyediaan sarana
penyelesaian sengketa yang adil, lebih sederhana dan lebih cepat daripada pengadilan.
4. Badan Arbitrase Syariah Nasional, diresmikan pada tangga 21 Oktober 1993 yang
ditandatangani oleh Yudo Paripurno, SH oleh Dewan Pimpinan MUI Pusat yang diwakili
Hasan Basri dan HS Prodjokusumo (Ketua dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan MUI).
Tujuannya untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa perdata dengan prinsip yang
mengutamakan usaha perdamaian, menyelesaikan sengketa bisnis yang operasional
menggunakan syariat Islam dan penyelesaian yang adil dan cepat
5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual, dibentuk tanggal 19 April 2012.
lembaga ini memberikan jasa penyelesaian sengketa yang bersifat adjudikatif, yakni arbitrase
dan yang non-adjudikatif termasuk mediasi, negoisasi dan konsiliasi untuk sengketa yang
timbul dari transaksi transaksi komersial atau hubungan yang melibatkan bidang HKI
SUMBER HUKUM ARBITRASE
a. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 
Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dianut
prinsip bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa 
Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu
sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang
bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai
hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar
kata sepakat.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman
Modal (Convention on the Settlement of Invesment Disputes between States and National of
Other States). 
d. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah
Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus
1981. Ketentuan ini bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and
the Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New
York 1958, ke dalam tata hukum di Indonesia.
e. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing 
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990, yang
bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing.
f. UNCITRAL Arbitration Rules 
Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional
Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai
Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by
the General Assembly in 15 December 1976). 
KELEBIHAN ARBITRASE KELEMAHAN ARBITRASE
1. Para pihak di dalam Arbitrase dapat memilih 1. Untuk mempertemukan kehendak para
Hakim yang diinginkan, sehingga dipandang pihak yang bersengketa kepada arbitrase
dapat menjamin netralitas dan keahlian yang tidaklah mudah, karena kedua pihak harus
diperlukan dalam menyelesaikan sengketa.  sepakat terlebih dahulu  
2. Para pihak juga dapat menetapkan hukum 2. Dalam arbitrase tidak dikenal adanya
yang mana yang akan diaplikasikan dalam preseden hukum atau keterikatan kepada
pemeriksaan sengketa, dan melalui hal ini dapat putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Maka
ditekan rasa takut, was-was dan ketidakyakinan adalah logis adanya kemungkinan timbulnya
mengenai hukum substansi dari negara.  keputusan-keputusan yang saling berlawanan.
3. Kerahasiaan dalam proses penyelesaian 3. Arbitrase ternyata tidak memberikan
melalui Arbitrase akan melindungi para pihak jawaban yang definitif terhadap semua
dari pengungkapan kepada umum mengenai sengketa hukum.
segala sesuatu hal yang dapat merugikan dan 4. Keputusan arbiter selalu bergantung kepada
lebih efisien. bagaimana mengeluarkan keputusan yang
4. Arbiter pada umumnya memiliki kearifan memuaskan keinginan para pihak.
dalam memeriksa sengketa, menyelesaikan dan 5. Arbitrase dapat berlangsung lama dan
menerapkan prinsip hukum serta pertimbangan- karenanya membawa akibat biaya yang tinggi,
pertimbangan hukum. terutama dalam hal arbitrase luar negeri.
5. Penyelesaian melalui Arbitrase dipandang
lebih cepat jika penyelesaian sengketa melalui
Peradilan umum
CONTOH KASUS
Churchill Mining Plc, Planet Mining, dan Pemerintah Indonesia

Washington DC, 25/03/2019 Kemenkeu - Pemerintah RepubIik Indonesia, pada Senin,


18/03/2019 memenangkan perkara gugatan “Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd.
(“Para Penggugat”) di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) di Washington D.C. Amerika Serikat atas kasus 4 perusahaan pertambangan batu bara
Grup Ridlatama di Kecamatan Busang Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010 silam.
Dikutip dari 
situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Ha
k Asasi Manusia (Kemenkumham)
, kasus ini bermula saat Para Penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati
Kutai Timur yang dianggap melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-
Australia. Pelanggaran dimaksud adalah ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation)
yakni suatu bentuk nasionalisasi yang disertai dengan pembayaran ganti rugi atau kompensasi. 
Selain itu, tuduhan lainnya adalah terkait prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and
equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan
Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup
Ridlatama) seluas lebih kurang 350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur
pada tanggal 4 Mei 2010. 
Dari tuduhan ekspropriasi tidak langsung dan pencabutan izin tersebut, Para Penggugat
mengklaim telah mengalami kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan
gugatan sebesar USD1.3 Milyar (lebih kurang Rp18 triliun). 
Namun demikian, Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya pemalsuan yang
kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen. Terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan
oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general
survey dan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh
pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah.
Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa “investasi yang
bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum
internasional”. Tribunal ICSID juga menemukan bahwa “Para Penggugat tidak melakukan
kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses
perizinannya (lack of diligence)” sehingga Tribunal ICSID menyatakan klaim dari Para
Penggugat ditolak.
Pada tanggal 6 Desember 2016, Tribunal ICSD menolak semua klaim yang diajukan oleh
Para Penggugat terhadap Indonesia sekaligus mengabulkan klaim Pemerintah Indonesia untuk
mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD9,4 Juta.
Akhirnya, melalui perjuangan panjang, pada tanggal 18 Maret 2019 Komite ICSID
menegaskan kemenangan Indonesia melalui sebuah putusan yang final dan berkekuatan hukum
tetap (Decision on Annulment). Kemenangan ini adalah prestasi luar biasa bagi Pemerintah
Indonesia yang dicapai melalui koordinasi, dukungan, dan kerjasama dari instansi-instansi
terkait.  "Kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat
final, berkekuatan hukum tetap sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan
oleh Para Penggugat," kata Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, saat Press Conference, di
Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan Senin, (25/03/2019). (nr/ds) 
ANALISIS KASUS :
- Subjek : Chuchill Mining Plc dan Planet Mining (para penggugat), Pemerintah
Indonesia (Bupati Kutai Timur), ICSID, Ridlatama Group (Perusahaan BatuBara)
- Jenis masalah : tuduhan pelanggaran perjanjian bilateral investasi (BIT) antara RI-
UK dengan RI-Australia
kekuatan legalitas, Indonesia mendapatkan tuduhan dari penggugat. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah Bupati Kutai Timur melanggar perjanjian bilateral investasi.
Indonesia dituduh atas pencabutan izin usaha pertambangan anak perusahaan para
penggugat seluar 350 km2 di Kecamatan Busang, 4 Mei 2010. Para penggugat
mengklaim telah mengalami kerugian dan mengajukan gugatan sebesar USD 13 Miliar
(18 Triliun rupiah ). Tetapi Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya 34
dokumen palsu yang diajukan oleh penggugat dalam persidangan,termasuk izin
pertambangan.
tringual ICSID sepakat dengan argumen Pemerintah Indonesia, bahwa investasi
yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan hukum,
sebab banyak ditemukan kesalahan termasuk pengawasan terhadap mitra kerja lokal.
Pada 6 Desember 2016 ICSID menolaksemua klim yang diajukan para penggugat dan
mengabulkan klaim Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya perkara sebesar
USD 9,4 Juta. Pada 18 Maret 2019, ICSID menegaskan kemenangan Indonesia melalui
sebuah putusan final yang berkekuatan hukum tetap.
REFERENSI
Entriani, Erik.2017.Jurnal Arbitrase Dalam Sistem Hukum di
Indonesia Vol.03, No.02.
https://www.kajianpustaka.com/2019/04/pengertian-jenis-dan-su
mber-hukum-arbitrase.html?m=1
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kronologi-kemena
ngan-indonesia-atas-gugatan-churchill-mining-dan-planet-minin
g/

Anda mungkin juga menyukai