A. ARBITRASE
1. Pengertian Arbitrase
Kata Arbitrase berasal dari bahasa Latin yaitu “arbitrare”, yang berarti
menyelesaikan perkara menurut kebijaksanaan. Dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah “arbitrage”, dalam bahasa Inggris “arbitration”, “arbitrage” atau
“schiedspruch” dalam bahasa Jerman. Ketiga istilah tersebut memiliki kesamaan
arti yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1
1
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, Bandung, Alumni,
1980, hlm. 1.
2
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi Keenam, St. Paul Minnesota, West Publishing
Co., 1990, hlm.
c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Syarat-syarat Arbitrase
a. Syarat subjektif
1) Dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak hukum.
(pasal 130 dan 433 KUH Perdata)
2) Dibuat oleh mereka yang demi hukum berwenang untuk melakukan
perjanjian.
b. Syarat objektif
1) Sengketa perdata bidang perdagangan
2) Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum dan
perundangundangan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
4. Perjanjian Arbitrase
b. Akta kompromis.
Akta kompromis adalah akta yang berisi aturan penyelesaian
perselisihan yang telah timbul di antara pihakpihak yang membuat
perjanjian. Akta kompromis sebagai perjanjian arbitrase, dibuat “setelah”
timbul perselisihan antara pihak yang berbunyi: Setelah para pihak
mengadakan perjanjian, dan perjanjian sudah berjalan, timbul perselisihan.
Sedang sebelumnya, baik dalam perjanjian maupun dengan akta tersendiri,
tidak diadakan persetujuan arbitrase. Dalam kasus yang seperti ini, apabila
pihak menghendaki agar perselisihan diselesaikan melalui forum arbitrase,
mereka dapat membuat perjanjian untuk itu.
6. Jenis-jenis Arbitrasi
3
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Jakarta, Sinar Grafika, 1997, hlm. 65-66.
Ada dua jenis arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang
bersengketa. Arbitrase tersebut terdiri dari arbitrase institusional dan arbitrase ad
hoc.4 M. Yahya Harahap membagi bentuk dari perjanjian (klausula) arbitrase,
sebagai berikut:5
a. Arbitrase Iinstitusional
b. Arbitrasi Ad Hoc
4
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2011, hlm 102.
5
M.Yahya Harahap, Loc.cit.
6
Maqdir Ismail, Pengantar Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Autralia, Jakarta,
Universitas Al-Azhar, 2007, hlm. 33.
7. Putusan Arbitrasi
Putusan arbitrase itu bersifat mandiri, final and binding (mengikat). Pada
prinsipnya putusan yang telah dikeluarkan oleh arbitrase tidak bisa diajukan banding,
kasasi, maupun peninjauan kembali Para pihak menjamin akan langsung
melaksanakan putusan tersebut. Sifat yang seperti ini merupakan salah satu tuntutan
pokok putusan arbitrase yang menghendaki proses sederhana dan cepat sehingga
putusan dapat langung dieksekusi dengan cara menutup upaya banding dan atau
kasasi.
B. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
7
Priyatna Abdurrasyid, Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, BANI, 2002, hlm.
15.
8
Ibid.
Jacqeline M.Nolan-Haley, dalam bukunya yang berjudul Alternative
Dispute Resolution, menjelaskan bahwa alternatif penyelesaian sengketa terdiri
dari Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase, sedangkan Priyatna Abdurrasyid
menyimpulkan bahwa bentuk alternatif penyelesaian adalah mediasi, negosiasi,
konsiliasi, pencegahan sengketa (Disputes prevention), pendapat mengikat
(binding opinion), valuasi (valuation), penilaian (appraisal), ahli khusus (special
masters), ombudsman, peradilan mini (mini trial), hakim swasta (private judges),
peradilan juri sumir (summary jury trial), arbitrase kwalitas (quality arbitration)
dan arbitrase.9 Kemudian Joni Emirzon menyatakan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa yang paling umum saat ini dilakukan adalah negosiasi,
mediasi, konsiliasi, abitrase.
a. Konsultasi
b. Negosiasi
9
Ibid, hlm. 16.
10
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis (Hukum Arbitrase), Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2001,
hlm. 28-29.
Negosiasi adalah proses tawar menawar atau pembicara untuk mencapai
suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak,
negosiasi dilakukan baik karena ada sengketa para pihak maupun hanya belum
ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan hal tersebut. Negosiasi
dilakukan oleh dilakukan oleh negosiator.11
Tahapan Negosiasi:
11
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm. 42.
12
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2000, hlm. 5.
harus dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresifitas serta harus
bersikap manipulatif.
4) Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan
komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan
sebelumnya.
c. Mediasi
Mediasi sebagai suatu proses damai yang dilakukan mediator. Dalam mediasi,
para pihak menyerahkan sengketanya secara sukarela dan iktikad baik kepada pihak
ketiga untuk diselesaikan secara adil, efisien dan efektif tanpa mengeluarkan biaya yang
besar dan hasilnya diterima para pihak. Pembahasan mengenai mediasi terdapat dalam
Paper Mediasi di Persidangan.
d. Arbitrase
e. Konsiliasi
13
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaaan
Pembayaran, Jakarta, Djambatan, 1992, hlm. 4.
Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan suatu
proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses
yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan suatu
penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam
proses negosiasi dibandingkan seorang mediator.
14
Munir Fuady, Op.cit. hlm. 52.
Daftar Pustaka
Buku
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi Keenam, St. Paul Minnesota,
West Publishing Co., 1990.
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2000.
Peraturan Perundang-undangan