Anda di halaman 1dari 12

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

A. ARBITRASE
1. Pengertian Arbitrase

Kata Arbitrase berasal dari bahasa Latin yaitu “arbitrare”, yang berarti
menyelesaikan perkara menurut kebijaksanaan. Dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah “arbitrage”, dalam bahasa Inggris “arbitration”, “arbitrage” atau
“schiedspruch” dalam bahasa Jerman. Ketiga istilah tersebut memiliki kesamaan
arti yaitu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1

Black’s Law Dictionary mengartika arbitase adalah proses penyelesaian


sengketa dimana pihak ketiga yang bersifat netral (arbiter) membuat keputusan
setelah mendengar kedua belah pihak dan kedua belah pihak memiliki kesempatan
untuk didengarkan.2

Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa arbitras adalah cara


penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh kedua belah pihak
(penggugat dan tergugat), dimana ditengahi oleh pihak ketiga netral atau arbiter
yang membuat keputusan.

2. Dasar Hukum Arbitase di Indonesia


a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
b. Pasal 377 Herzien Inlandch Reglement (HIR) atau Pasal 705
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)

1
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, Bandung, Alumni,
1980, hlm. 1.
2
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi Keenam, St. Paul Minnesota, West Publishing
Co., 1990, hlm.
c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Syarat-syarat Arbitrase
a. Syarat subjektif
1) Dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak hukum.
(pasal 130 dan 433 KUH Perdata)
2) Dibuat oleh mereka yang demi hukum berwenang untuk melakukan
perjanjian.
b. Syarat objektif
1) Sengketa perdata bidang perdagangan
2) Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum dan
perundangundangan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.

4. Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase


yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999).

Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian,


tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa (disputes setlement) atau difference yang terjadi antara
pihak-pihak yang membuat perjanjian. Jadi, fokus perjanjian arbitrase semata-
mata ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari
perjanjian, tidak diajukan dan diperiksa oleh badan peradilan resmi, tetapi akan
diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim
disebut “wasit” atau “arbitrase”.

Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausula arbitrase” merupakan


tambahan yang diletakkan kepada perjanjian pokok. Itu sebabnya disebut
perjanjian “asesor”. Keberadaannya, hanya sebagai tambahan kepada perjanjian
pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian
pokok tidak terhalang. Batal atau cacatnya perjanjian arbitrase tidak berakibat
batal dan cacat perjanjian pokok.

5. Bentuk-Bentuk Klausula Arbitase

M. Yahya Harahap membagi bentuk dari perjanjian (klausula) arbitrase,


sebagai berikut:3

a. Pactum De Compromittendo (Kesepatakan setuju dengan putusan arbiter


atau wasit).

Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de


compromittendo, para pihak mengikat dan menyetujui klausula arbitrase,
sama sekali “belum” terjadi perselisihan. Seolah-olah klausula arbitrase
dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di
masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para
pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan
yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula arbitrase yang seperti itu
disebut pactum de compromittendo.

b. Akta kompromis.
Akta kompromis adalah akta yang berisi aturan penyelesaian
perselisihan yang telah timbul di antara pihakpihak yang membuat
perjanjian. Akta kompromis sebagai perjanjian arbitrase, dibuat “setelah”
timbul perselisihan antara pihak yang berbunyi: Setelah para pihak
mengadakan perjanjian, dan perjanjian sudah berjalan, timbul perselisihan.
Sedang sebelumnya, baik dalam perjanjian maupun dengan akta tersendiri,
tidak diadakan persetujuan arbitrase. Dalam kasus yang seperti ini, apabila
pihak menghendaki agar perselisihan diselesaikan melalui forum arbitrase,
mereka dapat membuat perjanjian untuk itu.

6. Jenis-jenis Arbitrasi

3
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Jakarta, Sinar Grafika, 1997, hlm. 65-66.
Ada dua jenis arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang
bersengketa. Arbitrase tersebut terdiri dari arbitrase institusional dan arbitrase ad
hoc.4 M. Yahya Harahap membagi bentuk dari perjanjian (klausula) arbitrase,
sebagai berikut:5

a. Arbitrase Iinstitusional

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase


yang bersifat permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body
yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga
terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada sengketa maupun
tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan tidak akan bubar,
sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus.
Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan
sarana penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan.Arbitrase
institusional pada umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa
terjadi, yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase.

b. Arbitrasi Ad Hoc

Arbitrase ini dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau


memutuskan perselisihan tertentu.Arbitrase ad hoc (voluntary arbitration)
adalah arbitrase yang dibentuk secara insidentil untuk menyelesaikan
sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu dan apabila sengketa
tersebut sudah diselesaikan, dengan sendirinya arbitrase menjadi bubar
atau dibubarkan. Pembentukan arbitrase Adhoc dilakukan setelah sengketa
terjadi.6

4
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2011, hlm 102.
5
M.Yahya Harahap, Loc.cit.
6
Maqdir Ismail, Pengantar Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Autralia, Jakarta,
Universitas Al-Azhar, 2007, hlm. 33.
7. Putusan Arbitrasi

Putusan arbitrase itu bersifat mandiri, final and binding (mengikat). Pada
prinsipnya putusan yang telah dikeluarkan oleh arbitrase tidak bisa diajukan banding,
kasasi, maupun peninjauan kembali Para pihak menjamin akan langsung
melaksanakan putusan tersebut. Sifat yang seperti ini merupakan salah satu tuntutan
pokok putusan arbitrase yang menghendaki proses sederhana dan cepat sehingga
putusan dapat langung dieksekusi dengan cara menutup upaya banding dan atau
kasasi.
B. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

1. Pengetian Alternatif Penyelesain Sengketa

Altschul mengatakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa ialah suatu


pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan
tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan
pemeriksaan yang bertele-tele.7

Menurut Pasal 1 Angka 10 UU No. 30 Tahun 1999, Alternatif


Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.

2. Tujuan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Phillp D.Bostwick mengatakan bahwa Alternative Dispute Resolution


(ADR) bertujuan:8

a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para


pihak (To permit legal dispute to be resolved outside the courts for the
benefit of all disputants)
b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang
biasa terjadi (To reduce the cost of conventional litigation and the delay to
which it is ordinarily subjected).
c. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan (To prevent legal disputes that would otherwise likely be
brought to the courts)”
3. Bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa

7
Priyatna Abdurrasyid, Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, BANI, 2002, hlm.
15.
8
Ibid.
Jacqeline M.Nolan-Haley, dalam bukunya yang berjudul Alternative
Dispute Resolution, menjelaskan bahwa alternatif penyelesaian sengketa terdiri
dari Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase, sedangkan Priyatna Abdurrasyid
menyimpulkan bahwa bentuk alternatif penyelesaian adalah mediasi, negosiasi,
konsiliasi, pencegahan sengketa (Disputes prevention), pendapat mengikat
(binding opinion), valuasi (valuation), penilaian (appraisal), ahli khusus (special
masters), ombudsman, peradilan mini (mini trial), hakim swasta (private judges),
peradilan juri sumir (summary jury trial), arbitrase kwalitas (quality arbitration)
dan arbitrase.9 Kemudian Joni Emirzon menyatakan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa yang paling umum saat ini dilakukan adalah negosiasi,
mediasi, konsiliasi, abitrase.

Bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang umum digunakan


diantaranya:

a. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU


No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat
pada Black’s law dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
konsultasi (consultation) adalah “act of consulting or conferring e.g patient with
doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject”.10

Pada prinsipnya konsultasi merupakan satu tindakan yang bersifat


“personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut “klien” dengan pihak lain
yang merupakan pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya klien tersebut
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu
rumusan yang menyatakan sifat “keterikatan” atau “ kewajiban” untuk memenuhi
dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan.

b. Negosiasi

9
Ibid, hlm. 16.
10
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis (Hukum Arbitrase), Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2001,
hlm. 28-29.
Negosiasi adalah proses tawar menawar atau pembicara untuk mencapai
suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak,
negosiasi dilakukan baik karena ada sengketa para pihak maupun hanya belum
ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan hal tersebut. Negosiasi
dilakukan oleh dilakukan oleh negosiator.11

Tahapan Negosiasi:

Menurut Howard Raiffia, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, ada


beberapa tahapan negosiasi, yaitu:12

1) Tahap persiapan, dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama


yang dipersiapkan adalah apa yang dibutuhkan/diinginkan. Dengan
kata lain, kenali dulu kepentingan sendiri sebelum mengenali
kepentingan orang lain. Tahap ini sering diistilahkan know your self.
Dalam tahap persiapan juga perlu ditelusuri berbagai alternatif lainnya
apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut
BATNA (best alternative to a negotiated agreement);
2) Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit), dalam tahap ini biasanya
perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu menyampaikan
tawaran. Apabila pihak pertama menyampaikan tawaran awal dan
pihak kedua tidak siap (ill prepared), terdapat kemungkinan tawaran
pembuka tersebut mempengaruhi persepsi tentang reservation price
dari perunding lawan.
3) Tahap Pemberian Konsesi (The Negotiated Dance), konsesi yang harus
dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang
diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini seorang perunding

11

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm. 42.
12
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2000, hlm. 5.
harus dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresifitas serta harus
bersikap manipulatif.
4) Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan
komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan
sebelumnya.
c. Mediasi

Mediasi sebagai suatu proses damai yang dilakukan mediator. Dalam mediasi,
para pihak menyerahkan sengketanya secara sukarela dan iktikad baik kepada pihak
ketiga untuk diselesaikan secara adil, efisien dan efektif tanpa mengeluarkan biaya yang
besar dan hasilnya diterima para pihak. Pembahasan mengenai mediasi terdapat dalam
Paper Mediasi di Persidangan.

d. Arbitrase

H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase


yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk
oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.13

Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin


penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan
(judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court,
sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk
kegiatan tersebut. Uraian Arbitrase terdapat pada Bagian A di atas.

e. Konsiliasi

Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak


ketiga yang netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator untuk
menemukan para pihak agar dapat dilakukan penyelesaian sengketa.

13
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaaan
Pembayaran, Jakarta, Djambatan, 1992, hlm. 4.
Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan suatu
proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses
yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan suatu
penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam
proses negosiasi dibandingkan seorang mediator.

Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak


fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat
diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak konsiliator
hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat
pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari
satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan
langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain.14

14
Munir Fuady, Op.cit. hlm. 52.
Daftar Pustaka

Buku

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis (Hukum Arbitrase), Jakarta, Rajagrafindo


Persada, 2001.

H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan


dan Penundaaan Pembayaran, Jakarta, Djambatan, 1992.

Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi Keenam, St. Paul Minnesota,
West Publishing Co., 1990.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta,


Gramedia Pustaka Utama, 2011.

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan


Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika, 1997.

Maqdir Ismail, Pengantar Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan


Autralia, Jakarta, Universitas Al-Azhar, 2007.

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,


Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Priyatna Abdurrasyid, Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta,


BANI, 2002.

R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan,


Bandung, Alumni, 1980.

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2000.

Peraturan Perundang-undangan

Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Rechtsreglement voor deBuitengewesten (RBg)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentan Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa.

Anda mungkin juga menyukai