SENGKETA
Perjanjian Arbitrase Dan Penggolongan Perjanjian Arbitrase
DOSEN PENGAMPU
Rema Syelvita, MH
FAKULTAS SYARIAH
BENGKULU
TAHUUN 2021
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
B. Perjanjian Arbitrase.............................................................................. 4
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat
ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian Arbitrase
b. Perjanjian arbitrase
c. Penggolongan Perjanjian Arbitrase
C. TUJUAN
a. Pengertian Arbitrase
b. Perjanjian arbitrase
c. Penggolongan Perjanjian Arbitrase
1
Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992, hlm.1
2
H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di
luar Pengadilan, Makalah, September 1996, hlm.1.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat
ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
3
Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992, hlm.1
4
H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di
luar Pengadilan, Makalah, September 1996, hlm.1.
5
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.1.
2
Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau
standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang
dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak
sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen,
walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani6.
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses
yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang
ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan
pilihan mereka di mana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara
tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat7.
6
Brierly J. Law, The Law of Nation, Oxford, Clarendon Press, 1983, hlm.347.
7
Frank Elkoury dan Edna Elkoury, How Arbitration Work, Washington DS., 1974, dikutip
dari M. Husseyn dan A. Supriyani Kardono, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Hukum dan
Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan
Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinasi Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, 1995, hlm.2.
3
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa,
baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa
orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan;
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang
menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di
sini dalam bidang perdagangan industri dan keuangan; dan
3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat (final and
binding).
Suatu perjanjian arbitrase adalah sah jika isinya memuat hal-hal yang
disebutkan Pasal 9 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Isinya
meliputi masalah yang dipersengketakan; nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak; nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; nama
lengkap sekretaris; jangka waktu penyelesaian sengketa; pernyataan kesediaan
dari arbiter; dan pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase yang tidak memuat kedelapan materi itu
batal demi hukum.
4
Suatu perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat (voorwaardelijke
verbintenis). M. Yahya Harahap, dalam bukunya Arbitrase (2004: 61),
menulis perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian perjanjian
bersyarat yang disebut dalam Pasal 1253-1267 KUH Perdata. Karena itu,
perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa
yang datang. Perjanjian arbitrase tak mempermasalahkan pelaksanaan
perjanjian, melainkan mempersoalkan cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa (dispute).
5
C. Penggolongan Perjanjian Arbitrase
Adapun perbedaan antara kedua jenis Arbitrase ini terletak pada terkoordinasi
atau tidak terkoordinasi.Arbitrase ad hoc adalah Arbitrase yang tidak
terkoordinasi oleh suatu lembaga.Sedangkan Arbitrase institusional adalah
suatu Arbitrase yang dikoordinasikan oleh suatu lembaga.8 Arbitrase ad hoc
dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutus
penyelesaian sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula.Setelah
memutus sengketa, berakhir pula Arbitrase ad hoc ini.Pembentukan Arbitrase
ad hoc dilakukan setelah sengketa terjadi.Para pihak yang bersengketa yang
memilih dan menentukan Arbitrasenya atau bisa pula meminta bantuan
pengadilan untuk mengangkat arbiternya, yang bertugas memeriksa dan
memutus sengketa yang berangkutan.
8
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama), 2006, hal 61-62.
6
permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk seorang arbiter
atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Pada prinsipnya Arbitrase ad hoc terikat dan terkait dengan salah satu badan
Arbitrase.Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan
kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terikat
dengan salah satu badan Arbitrase, boleh dikatakan jenis Arbitrase ini tidak
memiliki aturan tata cara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya
maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini Arbitrase ad
hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam
perundangundangan.10
Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan
menetapkan aturan-aturan prosedural dari Arbitrase serta dalam merencanakan
metode-metode pemilihan Arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para
pihak sering kali memilih jalan penyelesaian melalui Arbitrase institusional.11
9
M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta : Pustaka Kartini), 199, hal 150.
10
M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta : Pustaka Kartini), 199, hal 165
11
Gary Goodpaster, Felix Oentoeng, Soebagjo dan Fatimah Jatim, Arbitrase di Indonesia:
Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan Dalam Praktek, dalam Arbiter Indonesia, (Jakarta :
Ghalia Indonesia), 1995, hal 25-26.
7
Karena Arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan Arbitrase, para
pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat untuk menggunakan
jasa-jasa lembaga Arbitrase atau Arbitrase institusional. Aturan-aturan umum
tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak
yang menggunakan lembaga Arbitrase dapat menyesuaikan proses Arbitrase
mereka.12
12
Rachmadi Usman, Op Cit, hal 167.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Suatu perjanjian arbitrase adalah sah jika isinya memuat hal-hal yang
disebutkan Pasal 9 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Isinya
meliputi masalah yang dipersengketakan; nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak; nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; nama
lengkap sekretaris; jangka waktu penyelesaian sengketa; pernyataan kesediaan
dari arbiter; dan pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase yang tidak memuat kedelapan materi itu
batal demi hukum.
9
DAFTAR PUSTAKA
10