Anda di halaman 1dari 6

MODUL 6.

BAB VI. PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG


1.1. Alternatif Penyelesaian Sengketa Dagang (Alternative Dispute Resolution/ADR)
Penyelesaian sengketa yang muncul dalam pelaksanaan suatu perjanjian, pada
dasarnya dapat diselesaikan dengan berbagai pilihan. Bisa dilakukan melalui proses gugatan
di Pengadilan umum ( cara Litigasi), maupun dilakukan di luar Peradilan (cara Non Litigasi).
Pilihan ini sangat bergantung kepada kemauan para pihak baik yang disepakati sebelum
pelaksanaan perjanjian maupun kesepakatan setelah terjadinya perselisihan.
Dalam kontrak-kontrak dagang, para pihak jarang yang mencantumkan syarat bahwa jika
terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan melalui forum pengadilan
umum. Pilihan penyelesaian sengketa ini didukung oleh suatu anggapan bahwa penyelesaian
sengketa melalui pengadilan banyak memakan waktu, tenaga dan biaya, di samping itu dalam
proses perkara di pengadilan lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Serta timbul
anggapan bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum hanya dapat memutus
perkara tidak menyelesaikan sengketa. Sehingga prosedur penyelesaian sengketa dagang
melalui pengadilan umum jarang dipilih untuk menyelesaikan sengketa dikalangan
masyarakat bisnis. Para pengusaha sesuai dengan prinsip umum yang dianut ingin
menyelesaikan segala sesuatunya dengan cepat dan aman. Pengertian aman di sini adalah
bahwa dalam penyelesaian sengketa ini tidak mempunyai buntut munculnya sengketa yang
lain.
Di kalangan pengusaha tradisional di Indonesia, pilihan penyelesaian sengketa yang
timbul umumnya dilakukan dengan cara negosiasi, konsultasi, mediasi dan konsiliasi.
Fenomena ini dapat dilihat dalam kontrak-kontrak yang dibuat dikalangan pengusaha
Indonesia yang umumnya mencantumkan klausula penyelesaian sengketa bahwa jika terjadi
perselisihan dan atau sengketa akan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat untuk
kebaikan bersama di antara para pihak. Keadaan ini dapat dipahami karena latar belakang
budaya masyarakat Indonesia yang menganut nilai “kekeluargaan” dan “menghindari konflik”.
Sehingga segala sesuatunya diupayakan untuk diselesaikan dengan cara perundingan dan
musyawarah secara kekeluargaan. Dalam kontrak dagang yang bercirikan kontrak dagang
internasional, penyelesaian melalui forum pengadilan umum akan membahayakan unsur
tersebut. Karenanya setiap kontrak dagang yang berunsur asing atau internasional selalu
mencantumkan klausula penyelesaian sengketanya dengan cara peradilan arbitrase (tribunal
arbitrage). Pilihan ini diambil karena penyelesaian sengketa melalui arbitrase prosesnya
cepat, murah dan putusannya bersifat final juga bersifat rahasia.
Bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa dagang yang paling umum dilakukan adalah:
a. Negosiasi
b. Mediasi
c. Konsiliasi
d. Arbitrase

Keempat bentuk penyelesaian sengketa di atas dilakukan di luar pengadilan.


Keputusan untuk menggunakan metode ADR tergantung pada kebijaksanaan para pihak,
bahwa prosedur ADR lebih tepat guna daripada prosedur hukum biasa dan perlu ditentukan
mana yang paling tepat untuk jenis sengketa yang dihadapi.

Negosiasi (berunding/perundingan) adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak


tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar
kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Di sini, para pihak berhadapan langsung secara
seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif
dan saling terbuka.

Mediasi (Mediation) adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Dengan kata


lain, Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.

Konsiliasi adalah sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih


untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.

Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan


menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/
menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan
agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu
penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat (Huala Adolf, 1994:186).

Arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (pasal 1 angka 1 UU No. 30/99)
1.2. Penyelesaian Sengketa Dagang
a. Pengertian Arbitrase, dalam arti privatrecht, adalah penyelesaian secara hukum atas suatu
sengketa yang diselesaikan di luar pengadilan, dilakukan berdasarkan persetujuan para pihak
yang bersengketa, dan sekaligus menunjuk arbiter.
Indonesia menggunakan istilah arbitrase untuk peradilan wasit. Di dalam hukum acara
perdata, arbitrase merupakan peradilan yang dilakukan oleh seorang atau lebih arbiter, diatur
dalam pasal 615 s/d 651 KUHAP atau Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (Rv). Tidak
semua persengketaan dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sengketa yang boleh diselesaikan
dengan arbitrase adalah sengketa yang bersifat perorangan. Sedangkan perselisihan tentang
status perorangan seperti perceraian, kedudukan anak, kewarganegaraan dan sebagainya
tidak boleh diselesaikan dengan arbitrase (pasal 616 Rv).
b. Dasar Hukum Arbitrase
Secara internasional, dasar hukum penyelesaian sengketa internasional dengan cara arbitrase
terdapat dalam pasal 33 Piagam PBB, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa pihak-pihak
yang bersengketa, yang jika berlangsung secara terus menerus akan membahayakan
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus dicari
penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrase,
penyelesaian menurut hukum melalui badan atau pengaturan-pengaturan regional atau
dengan cara damai lainnya yang mereka pilih sendiri.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa (nasional maupun internasional) telah
diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional;
2. Arbitrase itu dapat bersifat publik, misalnya Permanent Court of Arbitration yang
berkedudukan di Den Haag, atau yang bersifat perdata misalnya dewan arbitrase ICSID
(International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di
Washington.

Dalam tata hukum Indonesia, eksistensi arbitrase dapat ditemukan landasan


hukumnya dalam pasal 377 HIR atau pasal 705 RbG yang pada pokoknya menyatakan bahwa:
“Jika orang Indonesia dan orang timur asing menginginkan persengketaannya diputus oleh
juru pemisah, maka wajiblah diturut peraturan pengadilan perkara yang berlaku buat
golongan eropa”.
Dari ketentuan pasal 377 HIR/ 705 RbG tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1. Pihak-pihak diberi keleluasaan untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase


(juru pemisah);
2. Lembaga arbitrase itu oleh undang-undang diberi wewenang untuk menyelesaikan
sengketa dalam bentuk “putusan”.
3. Arbitrase harus tunduk kepada aturan-aturan hukum acara perdata yang berlaku buat
bangsa/ golongan orang eropa ( dalam hal ini Rv, Stb. 1847 No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63).

Karena perkembangan perdagangan di era globalisasi, maka dirasa perlu


mengaturnya kembali secara lengkap dan menyeluruh termasuk mengenai berlakunya
putusan arbitrase negara asing di Indonesia. Keinginan itu terpenuhi dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. UU ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian atau sepakat
apabila atas sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase (pasal 2 UU No. 30/ 1999.

c. Klausula Arbitrase
Penyelesaian melalui peradilan wasit adalah bentuk penyelesaian yang sengaja dipilih oleh
para pihak. Sebagai pilihan, maka kemauan para pihak tersebut harus dapat dibuktikan
dengan memasukkan klausula arbitrase di dalam perjanjian.
Di dalam praktek, yang kemudian dikokohkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 30/99 terdapat
du acara yang dapat digunakan, yaitu:
1. Klausula arbitrase dicantumkan dalam perjanjian pokok, artinya, klausula arbitrase itu dimuat/
dicantumkan dalam perjanjian pokok dan klausula arbitrase merupakan kesatuan
(dirumuskan dalam satu dokumen) yang di dalamnya memuat perjanjian pokok sekaligus
klausula arbitrase yang berisi kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa (dispute)
yang mungkin timbul dikemudian hari kepada forum arbitrase. Klausula semacam ini disebut
dengan pactum de compromittendo. Kalusula arbitrase dapat dibuat tersendiri terpisah dari
perjanjian pokok. Sehingga dapat dua dokumen, yang pertama dokumen yang berisi
perjanjian pokok dan yang kedua adalah dokumen yang berisi klausul arbitrase.
2. Selain pactum de compromittendo, terdapat pula klausula arbitrase yang dinamakan Akta
Kompromis, yaitu klausula arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisishan di antara
para pihak dalam perjanjian. Jika kesepakatan untuk menyelesaiakn sengketa melalui
arbitrase dibuat setelah terjadinya sengketa (akta kompromis) maka kesepakatan itu harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara memaksa di dalam pasal 9 UU No.
30/99.
d. Jenis Arbitrase
Pada umumnya orang membedakan forum arbitrase dalam 2 (dua) jenis yaitu:
1. Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Volunter), adalah forum arbitrase yang dibentuk untuk
menyelesaiakan masalah/sengketa tertentu. Karakteristik atau sifat dari forum arbitrase ad
hoc ini adalah insidentil. Artinya keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus
sengketa tertentu saja dan setelahnya keberadaannya dan fungsinya berakhir. Ciri yang bisa
dikenali bahwa suatu forum arbitrase adalah ad hoc adalah bahwa penunjukan arbitratornya
dilakukan secara perorangan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. (pasal
13 UU No. 30/99)
2. Arbitrase Institusional (Institusional arbitration), adalah forum arbitrase yang sengaja
didirikan dan bersifat tetap/permanen serta dimaksudkan untuk menangani sengketa
kontraktual yang timbul di antara pihak-pihak yang menghendaki penyelesaian di luar
pengadilan. Dalam Konvensi New York 1958 forum ini disebut “permanent arbitral body”
(pasal 1 ayat 2).
Ciri dari arbitrase institusional ini adalah keberadaannya sudah eksis sebelum timbulnya
sengketa; bersifat permanen, artinya tetap berdiri meskipun sengketanya telah diputus;
organisasinya dan ketentuan tentang tata cara bagaimana mengangkat arbitratornya maupun
tata cara pemeriksaan sengketanya telah ditetapkan aturannya. Contoh arbitrase nasional
adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berkedudukan di Jakarta; The
American Arbitration Association yang berkedudukan di Amerika Serikat; The Japan
Commercial Arbitration Association di Jepang; Nederlands Arbitrage Instituut di Belanda.
Sedangkan arbitrase internasional yang berwawasan internasional adalah Court of Arbitration
of the International Chamber of Commerce (ICC), yang merupakan Lembaga arbitrase
internasional tertua, didirikan di Paris tahun 1919 merupakan pusat arbitrase mengenai
sengketa perdagangan tertentu antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya.
Dapatkah keputusan forum arbitrase internasional dilaksanakan di Indonesia? Bagaimana
kemungkinannya?
Berdasarkan pasal 65 UU No. 30/99 mengatur bahwa masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sedangkan
persyaratan agar putusan arbitrase luar negeri tersebut dapat diakui dan dilaksanakan di
Indonesia diatur dalam pasal 66 UU No. 30/99.
Manfaat Arbitrase bagi dunia usaha adalah antara lain, tenggang waktu penyelesaian
sengketa relatif lebih cepat dibandingkan penyelesaian sengketa di pengadilan yaitu paling
lama 6 bulan kecuali ditentukan lain oleh para pihak; dalam arbitrase, para pihak dapat
menunjuk wasit ahli yang serba mengetahui tentang masalah yang disengketakan sehingga
diharapkan putusan yang akan diambil ditunjang dengan pengetahuan dari ahlinya; dalam
sidang pengadilan, sidang terbuka untuk umum kecuali untuk kasus tertentu, sedangkan
arbitrase baik pemeriksaan maupun pemutusan perkara dilakukan dengan pintu tertutup
untuk umum (pasal 27 UU No. 30/99). Hal ini dilakukan untuk menjamin kerahasiaan para
pihak yang bersengketa agar tidak diketahui oleh umum.
Tidak semua sengketa dapat diselesaikan dengan cara arbitrase, yang dapat diselesaikan
melalui Lembaga arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa (pasal 5 ayat 1 uu no. 30/99). Selanjutnya dalam ayat (2)nya ditentukan bahwa
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui Lembaga arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Pertanyaan Latihan:

1. Sebutkan ada berapa macam alternatif penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan
(Non Litigasi)?
2. Mengapa para pebisnis menyukai penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan (Non
Litigasi)?
3. Jelaskan perbedaan penyelesaian sengketa dagang di dalam pengadilan (Litigasi) dengan
di luar pengadilan (Non Litigasi)?
4. Jelaskan singkat pengertian Arbitrase?
5. Sebutkan dasar hukum Arbitrase, baik nasional maupun internasional?
6. Sebutkan dua klausula arbitrase?
7. Jelaskan singkat dua jenis arbitrase dan perbedaannya?

Anda mungkin juga menyukai