ABSTRAK
Dalam hubungan antar negara tersebut, tidak jarang muncul
permasalahan-permasalahan hukum atau perselisihan. Untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut ada cara penyelesaian sengketa
yang lebih disukai dan lebih banyak dipakai yaitu arbitrase, cara
penyelesaian melalui arbitrase ini logis lebih lanjut dipakai penyebabnya
adalah karena pihak asing umumnya kurang agak menyetujui dan akan
merasa kuatir jika permasalahan hukum yang timbul dari kontrak dagang
mereka akan diputuskan oleh hakim negara lain. adapun permasalahan
yang hendak dibahas adalah Bagaimanakah upaya-upaya penyelesaian
sengketa Internasional melalui forum arbitrase. Dari hasil pembahasan
diperoleh kesimpulan bahwa upaya penyelesaian sengketa arbitrase
dapat melalui lembaga arbitrase ad-hoc independen dan/atau dapat
melalu lembaga arbitrase, seperti International Chamber of Commerce
(ICC), London Court International Arbitration, International Centre Dispute
Resolution (ICDR), dan beberapa institusi arbitase Internasional lainnya.
Putusan arbitrase internasional hanya bisa dimintakan penolakan
eksekusi putusan karena tidak memenuhi syarat pada Pasal 66 UUAAPS.
Putusan arbitrase internasional tidak bisa dibatalkan di Indonesia.
Kata Kunci: Arbitrase: Bisnis: Sengketa.
A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dalam suatu hubungan hukum atau perikatan selalu dimungkinkan
terjadi perselisihan di antara para pihak yang pada akhirnya menimbulkan
sengketa. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi
sengketa. Sumber potensi sengketa dapat berupa masalah perbatasan,
sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. 1
Dalam hal terjadinya perselisihan atau sengketa, penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Dalam praktik,
1
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet.IV, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014, hlm. 1.
penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui jalur pengadilan kerap
menjadi pilihan disebabkan oleh berbagai faktor.
Pada umumnya suatu negara dalam memenuhi kebutuhannya selalu
mengadakan hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara
dalam masyarakat internasional pada dasarnya merupakan naluri
sebagaimana manusia pada umumnya, yang selalu memerlukan manusia
lain, dan bahkan ingin mengelompok satu dengan lainnya. Hal ini juga
disampaikan Aristoteles bahwa manusia dikenal sebagai kelompok
masyarakat (zoon politicon), maksudnya manusia tidak dapat hidup dalam
isolasi atau terpencil sendiri karena sudah nalurinya untuk hidup
berdampingan dengan sesamanya yaitu dengan istilah ibi societas ibi ius
yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. 2
Dalam hubungan antar negara tersebut, tidak jarang muncul
permasalahan-permasalahan hukum atau perselisihan. Untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut ada cara penyelesaian sengketa
yang lebih disukai dan lebih banyak dipakai yaitu arbitrase, cara
penyelesaian melalui arbitrase ini logis lebih lanjut dipakai penyebabnya
adalah karena pihak asing umumnya kurang agak menyetujui dan akan
merasa kuatir jika permasalahan hukum yang timbul dari kontrak dagang
mereka akan diputuskan oleh hakim negara lain.
Adapun para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
internasional melalui forum arbitrase ini ialah : 3
1.Para pelaku (stake holder) dalam perdagangan internasional yang
mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan
peradilan, dan
2.Para pelaku (stake holder) dalam perdagangan internasional yang
mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di
bidang hukum perdagangan internasional.
2
I wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm. 11.
3
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hlm. 1.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan
umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.4 Dalam perjanjian perdata, klausula arbitase
banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat
hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat oleh karena
pendapat yang diberikan itu akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari perjanjian pokok yang dimintakan pendapatnya pada lembaga
arbitrase tersebut. Artinya, putusan lembaga arbitrase dianggap sah
apabila ia dianggap telah memenuhi rasa keadilan bagi para pihak. 5
Pengertian Arbitrase dapat diketahui dalam Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 1 ayat (1)
yaitu : Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada era
perkembangan industri atau dalam bidang kerjasama perdagangan
Internasional, maka ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui
lembaga Arbitrase dan landasan hukumnya juga mengikuti dinamika
perkembangan tersebut. Hal ini merupakan wujud konkrit dari
perkembagan era globalisasi hubungan Internasional.
Dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut salah
satunya dalam bidang perdagangan, setiap negara yang mempunyai
kepentingan bisnis mengikatkan diri dalam beberapa forum penyelesaian
sengketa internasional. Dengan pentingnya peran arbitrase sebagai alat
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional, maka semakin
berkembang pula forum-forum arbitrase Internasional lainnya.
Contoh kasus yang hendak akan dibahasa adalah mengenai PT
INDIRATEX SPINDO VS EVERSEASON ENTERPRISES, Ltd.dahulu
4
Konsideran Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
5
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa..... Op.cit., hlm. 19.
Pemohon pembatalan putusan arbitrase internasional telah mengajukan
permohonan kasasi terhadap Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 194/Pdt.P/2014/PN Jkt.Pst., tanggal 24 Agustus 2015 yang pada
pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: Bahwa Putusan The International
Cotton Association Limited tanggal 14 Desember 2012 (untuk selanjutnya
disebut “Putusan Arbitrase Internasional”) oleh Termohon didaftarkan
(dideponir) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari
Senin, tanggal 5 Mei 2014, terbukti dari Akta Pendaftaran Nomor
03/PDT/ARB-INT/2014/PN.JKT.PST.
2. PERMASALAHAN HUKUM
Berdasarkan uraian pendahuluan sebelumnya, maka pada bab ini
penulis mengidentifikasikan permasalahan dalam bentuk pertanyaan,
yaitu: Bagaimanakah upaya-upaya penyelesaian sengketa Internasional
melalui forum arbitrase?
3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
upaya-upaya penyelesaian sengketa Internasional melalui forum arbitrase.
Hal ini dilakukan juga guna memenuhi komponen nilai pada mata kuliah
NAMA MATA KULIAH
B. METODE PENELITIAN
C. TINJAUAN PUSTAKA
Proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase akan
berujung pada suatu putusan arbitrase. Sebelum membahas tentang sifat
final and binding, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai makna dari
putusan arbitrase itu sendiri. Broches memberikan definisi dari putusan
arbitrase sebagai berikut:6
Award means a final award which disposes of all issues to the
arbitral tribunal and any other decision of the arbitral tribunal which
finally determines any questions of substance or the question if its
competence or any other question of procedures but, in latter case,
only if the arbitral tribunal terms its decision an award.”
Pengertian putusan arbitrase Internasional secara umum tidak spesifik
ditemukan, oleh Karena itu untuk mengetahui mengenai defenisi dari
putusan ini dapat didasarkan pada Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
menyebutkan bahwa :
6
Broches, “Recource Againts Award; Enforcement of th Award”, UNCITRAL’s
Project for Model Law on International Commercial Arbitration, ICCA Congress Series
No. 2, 1984, hal. 208.
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh
suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum
Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”.
Dalam hal ini terdapat 2 (dua) jenis arbitrability, yaitu substantive dan
procedural. Substantive arbitrability berkaitan dengan apakah suatu
sengketa memang dikehendaki para pihak untuk ditutup dengan perjanjian
arbitrase mereka. Sedangkan procedural arbitrability berkaitan dengan
apakah syarat-syarat prosedural dalam pelaksnaan arbitrase, seperti
jangka waktu dan ketentuan-ketentuan khusus telah terpenuhi. 7
7
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution (St. Paul Minn: West
Publishing, Co, 1992), hlm. 131
8
Alan Redfern dan Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial
Arbitration, Third Edition (London: Sweet & Maxwell, 1999), hal. 365
9
New York Convention 1958, http://uncitral.org/english/texts/arbitration/Ny-
conv/new-york-convetion-e/pdf , diakses pada tanggal 29 Mei 2017.
Cakupan-cakupan ketentuan Konvensi tersebut yang luas dalam
memberikan pengaturan telah memberikan persamaan persepsi dan
pengaturan terhadap putusan arbitrase internasional hingga lapisan
hukum Nasional Negara-Negara anggotanya yang telah meratifikasinya.
Salah satu negara yang meratifikasi Konvensi tersebut adalah Negara
Indonesia melalui Perpres No. 34 tahun 1981, ketentuan ini merupakan
landasan filosofis dibentuknya ketentuan hukum terkait dengan Arbitrase.
Bagi Negara yang telah mengikatkan dirinya pada Konvensi New York
1958 tersebut harus patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang dimuat
dalam setiap klausulnya. Khusus yang berkaitan dengan putusan arbitrase
Internasional, Konvensi New York 1958 menyebutkan bahwa :
Article I
(3) “When signing, ratifying or acceding to this Convention, or notifying
extension under article X hereof, any State may on the basis of
reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition
and enforcement of awards made only in the territory of another
Contracting State. It may also declare that it will apply the Convention
only to differences arising out of legal relationships, whether
contractual or not, which are considered as commercial under the
national law of the State making such declaration.” 10
(Dengan penandatanganan, ratifikasi atau keikutsertaan kepada
Konvensi ini, atau memberitahu perpanjangan menurut Pasal X ini,
setiap Negara berdasarkan asas resiprositas, menyatakan bahwa
Negara tersebut akan melaksanakan pengakuan dan pelaksanaan
putusan yang dibuat di negara peserta yang lainnya. Ia juga dapat
menyatakan bahwa ia akan menerapkan Konvensi hanya untuk
sengketa-sengketa yang timbul dari hubungan-hubungan hukum,
apakah yang lahir dari kontrak atau bukan, yang dianggap sebagai
komersial di bawah hukum nasional dari Negara yang membuat
deklarasi semacam itu)
Article III
“Each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and
enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory
where the award is relied upon, under the conditions laid down in the
following articles. There shall not be imposed substantially more
onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or
enforcement of arbitral awards to which this Convention applies than
10
Ibid.
are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral
awards”.11
(Setiap Negara Penandatangan (konvensi ini) wajib mengakui putusan
arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai
dengan aturan prosedural di wilayah di mana putusan itu akan
diandalkan, sesuai dengan kondisi yang dijelaskan dalam pasal-pasal
berikut ini. Tidak boleh ada pemberlakuan kondisi yang lebih berat
atau pengenaan biaya yang lebih tinggi sehubungan dengan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase sesuai dengan
Konvensi ini, dibandingkan dengan kondisi yang diberlakukan untuk
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik).
Klausul yang termuat dalam Konvensi New York 1958 di atas,
merupakan standard general principle yang memberikan universalitas dan
stabilitas persepsi serta pengaturan terhadap pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase Internasional di dunia hukum penyelesaian
sengketa internasional serta telah menempatkan status arbitrase sebagai
forum atau mahkamah yang memiliki kewenangan absolut dalam
menyelesaikan dan memutus sengketa, apabila para pihak telah membuat
persetujuan tertulis tentang itu. Sekali para pihak membuat persetujuan
penyelesaian perselisihan/sengketa melalui arbitrase, sejak saat itu
arbitrase telah memiliki kompetensi absolut untuk memutus
persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.
Dengan demikian, kekuatan hukum mengikat dari suatu putusan
arbitrase yang diputuskan oleh lembaga arbitrase Internasional mengikat
para pihak dengan berlandaskan pada ketentuan kesepakatan para pihak
(negara-negara yang bersengketa) sebagaimana dituangkan dalam
perjanjian tentang upaya penyelesain sengketa melalui forum arbitrase
internasional. Pada pembahasan sebelumnnya, telah ditekankan bahwa
timbulnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasari atas
kesepakatan para pihak melalui suatu perjanjian atau klausula arbitrase
(arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak, baik
sebelum maupun setelah timbulnya sengketa. Dengan demikian, ini
mengandung suatu unsur pacta sunt servanda, dimana, setiap
11
Ibid.
persetujuan adalah sah, mengikat sebagai UndangUndang bagi para
pihak.
Namun putusan arbitrase juga dapat dibatalkan. Berkaitan dengan
alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase, Frank Elkouri dan Edna
Asper Elkouri berpendapat bahwa dalam sistem hukum Common Law,
secara umum alasan-alasan untuk melawan suatu putusan arbitrase
terbatas pada hal-hal sebagai berikut: 12
1) Fraud, misconduct, or partiality by the arbitrator, or gross unfairness
in the conduct of the proceedings;
2) Fraud or misconduct by the parties affecting the result;
3) Complete want of the jurisdiction of the arbitrator. Also, failure of the
arbitrator to stay stay within his jurisdiction or to carry out fully – that
is, he decides too much or too little;
4) Violation of public policy as by ordering the commission of an
unlawful act.
12
Frank Elkouri & Edna Asper Elkouri, How Arbitration Works, Revised Ed.
(Washington DC: BNA Incorporated, 1960), hal. 27.
D. PEMBAHASAN
13
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek
Hukum dan Non Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 181.
14
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian…, Op.Cit., hlm. 40.
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-
sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada
seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum
untuk diputuskan;
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa
yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya,
khususnya di sini dalam bidang perdagangan industri dan keuangan
3. Putusan tersebut meupakan putusan akhir dan mengikat (final and
binding).
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa secara
damai. Menurut Komisi Hukum Internasional (Internasional Law
Commission), arbitrase adalah a procedure for settlement of desputes
between states by binding award on basis of law and as a result of an
undertaking voluntarily accepted.15 Yang dalam kata lain arbitrase
merupakan prosedur penyelesaian sengketa antara negara yang terikat
pada suatu hukum.
Dalam penyelesaian sengketa dengan arbitrase terdapat Badan
Arbitrase Internasional yang merupakan suatu alternative penyelesaian
sengketa melalui pihak ke-tiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan
disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk memutus sengketa
yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat
(menurut Huala Adolf).
Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara,
dapat melalui seorang arbitrator secara terlembaga atau kepala suatu
Badan Arbitrase ad hoc (sementara) Badan Arbitrase terlembaga
merupakan Badan Arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan memiliki
hukum acaranya sendiri. Seperti contohnya The Permanent Court of
Arbitration (PCA) di Den Haag. Sedangkan yang dimaksud dengan Badan
15
(1953) Y.B.I.L., Vol.2, hlm.202, sebagaimana dikutip oleh Christine Gray and
Benedict Kingsbury,Inter-state Arbitration Since 1945: Overview and Evaluation, dalam
Mark W. Janis, International Court for the Twenty First Century, Dordrecht: Martinus
Nijhoff,1992, hlm. 55.
Arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para pihak untuk
sementara, paling tidak sampai tugasnya berakhir pada dikeluarkannya
putusan atas suatu sengketa tertentu.
Dalam proses penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase terdapat
beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah sebagai
berikut, Pertama; para pihak diberi kebebasan dalam memilih hakimnya
(arbitrator) baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam hal ini
misalnya pengadilan internasional) yang menunjuk arbitrator, Kedua;
para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hokum acara dan
hokum yang diterapkan pada suatu sengekta, Ketiga; sifat putusan final
dan mengikat, Keempat; persidangan di mungkinkan untuk diadakan
secara rahasia, Kelima; para pihak yang menentukan tujuan atau tugas
badan arbitrase. Sedangkan kekurangan dari pelaksanaan arbitrase
adalah Negara masih enggan memberikan komitmen untuk menyerahkan
sengketanya kepada badan pengadilan internasional dan proses ini tidak
menjamin bahwa putusannya akan mengikat para pihak untuk dipatuhi.
The United Nations Model on Arbitral Procedure mengusulkan Negara
untuk menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah internasional atau
kepada the Permanent Court of Arbitration (Pasal 3 ayat (1)). Pasal 3 ayat
(3) menyatakan apabila para pihak telah menunjuk suatu badan peradilan,
apakah mahkamah internasional atau arbitrase maka badan peradilan
yang disebut itulah yang memiliki kompetensi untuk menangani dan
memutuskan sengketa. Penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase
dan pengadilan internasional memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu : 16
1. Arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau
menentukan badan arbitrasenya serta memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk memilih hokum yang diterapkan oleh
badan arbitrase.
16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm. 104.
2. Pengadilan, komposisi pengadilan berada diluar pengawasan atau
control para pihak, jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelesaian sengketa seperti hokum dan badan pengadilannya
harus ditentukan oleh pengadilan. Misalnya, Mahkamah
Internasional yang terikat pada penerapan prinsip hukum
internasional yang ada meskipun dalam mengeluarkan putusannya
diboleh kan menerapkan prinsip ex aequo et bono.
Sumber hokum internasional mengenai penggunaan arbitrase dapat
ditemukan dalam beberapa instrument hokum berikut, The Hague
Convention For The Pacific Settlement Of International Dispute, Covenant
Of League Of Nations, The General Act For The Settlement Of
International Dispute, Piagam PBB, the UN Model on Arbitration
Procedure.
Syarat terpenting dalam proses ini adalah kata sepakat atau consensus
dari Negara-negara yang bersengketa. Kesepakatan untuk menyerahkan
sengketanya kepada suatu badan arbitrase harus dituangkan dalam suatu
perjanjian. Perjanjian tersebut harus tunduk pada prinsip hokum perjanjian
internasional (konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian).
Perjanjian yang terlampir terdiri dari 2 golongan, Pertama; klausul
arbitrase yang menunjuk kepada badan arbitrase yang sudah terlembaga,
Kedua; klausul arbitrase yang sifatnya khusus dan yang umum. Yang
dimaksud khusus yaitu klausul yang menyatakan bahwa suatu sengketa
yang timbul dari perjanjian akan diserahkan kepada badan arbitrase,
sedangkan umum yaitu yang biasanya berkaitan dengan semua sengketa
yang timbul diantara para pihak atau mengenai penafsiran dan
pelaksanaan (perjanjian) yang berlaku diantara mereka. Perjanjian
arbitrase harus memuat aturan berbasis arbitrase selengkap-lengkapnya,
berdasarkan Pasal 2 The United Nations Model, yaitu:
1. Badan arbitrase yang akan menyelesaikan sengkete
2. Syarat dan jumlah arbitrator
3. Masalah-masalah atau pokok sengketa yang akan diselesaikan
4. Hokum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase
5. Tempat dilangsungkannya persidangan oleh badan arbitrase
6. Bahasa yang digunakan
7. Ongkos atau biaya arbitrase
8. Jangka waktu putusan yang akan dikeluarkan dan lain-lain.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa upaya penyelesaian
sengketa melalui forum arbitrase Internasional merupakan upaya
penyelesaian sengketa Internasional secara damai yang dirumuskan
dalam suatu keputusan oleh arbitrator atau arbiter dipilih oleh pihak yang
bersengketa. Menurut Eman Suparman terkait upaya penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, bahwa:
“Forum arbitrase sebagai model penyelesaian sengketa hanya dapat
digunakan untuk menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan dan
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Oleh karena itu, pilihan forum arbitrase hanya mungkin
dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam rangka menyelesaikan
sengketa mereka.”17
17
Eman Suparman, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dalam
penyelesaian sengeta bisnis berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999,
https://maspurba.wordpress.com/2008/05/10/pdf. , di akses pada tanggal 29 Mei 2017.
18
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58998/Prasetyo
%20Budi.pdf?sequence=1, di akses pada 29 Mei 2017
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus
untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. 19
Sedangkan lembaga arbitrase yang dimaksud dalam menyelesaikan
sengketa perdagangan Internasional, seperti International Chamber of
Commerce (ICC), London Court International Arbitration, International
Centre Dispute Resolution (ICDR), dan beberapa institusi arbitase
Internasional lainnya.20 Dalam United Nation Commission for International
Trade Law (UNCITRAL), diatur syarat-syarat yang menjadi tolak ukur
dalam penerapan jalan arbitrase internasional yaitu sebagai berikut: 21
1.Jika pada soal penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa para
pihak mempunyai tempat yang di negara yang berbeda.
2.Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar
tempat para pihak.
3.Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada
diluar para pihak atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat
yang berada di luar para pihak
4.Para pihak dengan tegas lebih menyetujui bahwa pokok persoalan
dalam kontrak arbitase berhubungan dengan lebih satu Negara.
Perlu ditekankan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase
mengharuskan adanya persetujuan dari kedua pihak yang bersengketa
untuk membawa sengketanya ke arbitrase. Hal ini harus terpenuhi lebih
dulu sebelum arbitrase dapat menjalankan yurisdiksinya. Dalam
penyelesaian arbitrase ini para pihak bebas memilih hakim (arbiter) yang
menurut mereka netral dan ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa
yang sedang mereka hadapi. Putusan arbitrase juga relatif lebih dapat
dilaksanakan di negara lain dibanding dengan sengketa yang diselesaikan
melalui misalnya pengadilan.
19
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian…, Op.Cit., hlm. 45.
20
http://international-arbitration-attorney.com/id/, di akses pada tanggal 28 Mei
2017
21
Hasanudin Rahman, Contract Drafting Seri Ketrampilan Merancang Kontrak
Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 375.
Putusan arbitrase internasional hanya bisa dimintakan penolakan
eksekusi putusan karena tidak memenuhi syarat pada Pasal 66 UUAAPS.
Putusan arbitrase internasional tidak bisa dibatalkan di Indonesia. Hal ini
terkait prinsip penghormatan pada yurisdiksi masing-masing negara
tempat putusan arbitrase diterbitkan. Sehingga hanya di negara tempat
putusan arbitrase diterbitkan, sebuah putusan arbitrase dapat dibatalkan.
Pasal 66 huruf a UUAAPS menyatakan putusan arbitrase internasional
hanya dapat diakui dan dilaksanakan, dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Ketentuan dalam
Konvensi New York 1958 dan UUAAPS tersebut menunjukkan prinsip
saling menghargai dan menghormati putusan arbitrase yang dibuat di
masing-masing negara yang terikat perjanjian multilateral dan bilateral.
Prinsip saling menghargai dan menghormati itu juga yang berlaku pada
pembatalan putusan arbitrase. Masing-masing negara yang terikat
perjanjian bilateral dan multilateral menghormati dan menghargai putusan
arbitrase yang di buat di negara-negara asing tempat putusan arbitrase
terbit. Jika suatu putusan arbitrase internasional dibatalkan di sebuah
negara, padahal masing-masing negara terikat perjanjian bilateral atau
multilateral arbitrase, maka akan timbul ketidakpercayaan negara-negara
lain terhadap pengadilan negara yang membatalkan putusan arbitrase.
Ketidakpercayaan tersebut dapat mempengaruhi kredibilitas suatu negara
atau entitas dari negara yang membatalkan putusan arbitrase. Negara-
negara atau entitas bisnis dari negara lain, akan enggan bekerja sama
dengan entitas bisnis dari negara yang membatalkan putusan arbitrase.
Pengadilan negara yang membatalkan putusan arbitrase akan
dipersepsikan tidak ramah dan menyulitkan proses bisnis entitas antar
negara. Pengadilan negara yang membatalkan putusan arbitrase tersebut
akan dipersepsikan hanya mementingkan kepentingan nasional tapi
mengabaikan kepentingan bilateral atau multilateral. Dengan demikian,
putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan
putusan arbitrase sudah tepat. Tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan
dasar membatalkan putusan arbitrase internasional.
E. KESIMPULAN
Frank Elkouri & Edna Asper Elkouri, How Arbitration Works, Revised Ed.
(Washington DC: BNA Incorporated, 1960).
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58998/Prasetyo
%20Budi.pdf?sequence=1
http://international-arbitration-attorney.com/id/