Anda di halaman 1dari 4

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM 

PERDAGANGAN  INTERNASIONAL

Oleh BATARA MULIA HASIBUAN (April 2017)

Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya dan semua


transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya
sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian dengan
cara negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil,
barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui
pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan
maupun ke arbitrase, kerap kali berdasarkan pada suatu perjanjian di
antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan
membuat suatu perjanjian atau memasukkan klausul penyelesaian
sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat. Di samping
forum pengadilan dan badan arbitrase, para pihak dapat pula
menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa,
yang dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS
(Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Para Pihak dalam Sengketa
Beberapa stakeholders   atau subjek hukum dalam hukum perdagangan
internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dan lain-lain. Dalam
pembahasan buku ini, hanya membahas antara:
Pertama, sengketa antara pedagang dan pedagang adalah sengketa yang
sering dan paling banyak terjadi. Sengketanya diselesaikan melalui
berbagai cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan
kesepakatan para pihak. Kedua,  pedagang dan negara asing bukan
merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara pedagang dan
negara lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak ini biasanya dalam jumlah
(nilai) yang relatif besar. Termasuk didalamnya adala kontrak-kontrak
pembangunan (development contracts), misalnya kontrak di bidang
pertambangan. Walaupun negera mempunyai hak atau konsep imunitas,
hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-
mata mengakui atribut negara sebagai subjek hukum internasional yang
sempurna (par excellence). Hukum  internasional menghormati pula
individu (pedagang) sebagai subjek hukum internasional terbatas.
Oleh karena itu, dalam hukum internasional berkembang pengertian jure
imperii  dan jure gestiones. Jure imperii adalah tindakan-tindakan negara di
bidang publik dalam kapasitanya sebagai negara berdaulat, sehingga
tindakan-tindakannya tidak akan pernah diuji atau diadili di hadapan
badan peradilan. Jure gestiones, yaitu tindakan-tindakan negara di bidang
keperdataan atau dagang. Jika di kemudian menimbulkan sengketa dapat 
saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dan
lain-lain.
Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini
prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan
internasional, yaitu :

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus).  Prinsip kesepakatan para


pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa
perdagangan internasional. Prinsip inilah menjadi dasar untuk dilaksanakan
atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa. Prinsip
penting kedua adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh
untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana
sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum. Prinsip kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya
diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa.
4. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith). Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam penyelesaian
sengketanya. Dalam prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip
iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa. Kedua,
penyelesaian sengketa melalui cara-cara yang dikenal dalam hukum
(perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remidies. Menurut prinsip ini, hukum
kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak
mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional
suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan
paling tua digunakan. Dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi
prosedur penyelesaian sengketanya.
2. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak
ketiga (sebagai pihak yang netral) ini bisa individu (pengusaha) atau
lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara
aktif dalam proses negosiasi dan berupaya mendamaikan para pihak
dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
3. Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah
melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai,
namun konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
4. Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak
ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase lembaga atau
arbitrase sementara (ad hoc).
Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan
tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian
sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis
secara langsung dengan “Arbitrase”. Kadang-kadang istilah lain yang
digunakan adalah “choice of forum” atau “choice of jusrisdiction”. Istilah choice
of forum  berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini
pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choice of jusrisdiction  berarti pilihan
tempat di mana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani
sengketa.
Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-
cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional dan
internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara
penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa
dagang melalui badan peradilan biasanya dimungkinkan ketika para pihak
sepakat, yang dituangkan dalam klausul kontrak.

Hukum yang Berlaku


Bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law  atau applicable law) suatu
hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan
peradilan negara tersebut secara otomatis yang berwenang
menyelesaikan sengketanya. Peran choice of law  di sini adalah hukum
yang akan digunakan oleh bada peradilan (pengadilan atau arbitrase)
untuk:
1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang.
2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak.
3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu
prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang).
4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap
kontrak.
Hukum yang akanberlaku ini dapat mencakup beberapa hukum. Hukum-
hukum tersebut adalah: (1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok
sengketa (applicable substantive law  atau lex cause); dan (2) hukum yang
akan berlaku untuk persidangan (procedural law). Bahwa dalam
menentukan hukum yang berlaku, prinsip yang berlaku adalah
kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak
dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy) yang
merupakan prinsip hukum umum.
Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang
Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) lebih banyak
bergantung kepada iktikad baik para pihaknya. Hal ini semata-mata
karena sifat putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas
konsensual. Pelaksanaan putusan arbitrase asing juga sudah menjadi isu
yang lama. Pada umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini
adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang
kalah. Pelaksanaan putusan pengadilan juga masih masih menjadi
masalah serius. Pengadilan merupakan refleksi kedaulatan negara dalam
mengadili suatu sengketa. Oleh karena itu, putusan pengadilan tidak
secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara lain.

Supaya putusan pengadilan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara


lain, ada dua kemungkinan, yaitu:

1. Menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai sengketa baru di


pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya).
2. Pelaksanaan putusan pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan
apabila negara-negara yang terkait (kedua negara, di mana pelaksana
putusan dimintakan) terikat, baik pada suatu perjanjian bilateral atau
perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang
sengketa-sengketa dagang (sengketa-sengketa komersial), seperti Konvensi
Brussel 1968 dan Konvensi Lugano 1988. (***)

REFERENSI:

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Perdagangan Internasional, Rajawali


Pers, Jakarta, 2011, Bab VII.

Anda mungkin juga menyukai