Anda di halaman 1dari 11

MATERI KULIAH 7

5. PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para
pihak yaitu melalui :
ƒ Badan Peradilan (Pengadilan);
ƒ Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);
ƒ Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi). Penyelesaian
sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang
dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana).
Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam
hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai Undang-Undang
No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3. 5.1 Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan Penyelesaian sengketa melalu pengadilan, kurang disukai dan
diminati oleh para pelaku jasa konstruksi karena waktu penyelesaiannya terlalu lama, apalagi
bila terjadi Peninjauan Kembali.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr.Sudargo Gautama dalam bukunya Undang Undang
Arbitrase Baru, 1999 sebagai berikut:
Dunia dagang, terutama Internasional selalu ”takut” untuk berperkara dihadapan badan-badan
peradilan. Ini berlaku untuk tiap sistem negara, baik negara yang maju maupun masih
berstatus negara berkembang.
Para pedagang umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Keadaan ini
dirasakan disemua negara. Tetapi lebih-lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara
kita, berperkara bisa berlarut-larut, artinya bisa bertahun-taun lamanya.
5.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin),
arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Peracis),
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
artbiter atau wasit. Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa
yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk
sebagai berikut (Harahap, Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991).
a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
‚ Kontroversi pendapat (controversy);
‚ Kesalahan pengertian (misunderstanding);
‚ Ketidaksepakatan (disagreement);
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya adalah:
‚ Sah atau tidaknya kontrak;
‚ Berlaku atau tidaknya kontrak
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Sementara R. Subekti mengartikan arbitrase : Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka
pilih atau tunjuk tersebut (Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992).
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase),
yang dimaksud dengan arbitrase adalah : Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa, vide Pasal 1 ayat (1). Arbitrase sebagai salah satu metode
penyelesaian sengketa, yang harus diselesaikan tersebut berasal dan sengketa atas sebuah
kontrak dalam bentuk sebagai berikut:
Menurut (Harahap, M. Yahya, 1991:108) :
a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
ƒ Kontraversi pendapat (controversy);
ƒ Kesalahan pengertian (misunderstanding);
ƒ Ketidaksepakatan (disagreement);
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract). termasuk di dalamnya adalah:
ƒ Sah atau tidaknya kontrak;
ƒ Berlaku atau tidaknya kontrak;
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan “pengadilan
wasit.” Sehingga para “arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya
seorang “wasit” (referee) seumpama wasit dalam suatu pertandingan bola kaki.
Yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah submission of controversies, by agreement of the
parties there to, to persons chosen by themselves for determination (suatu pengajuan
sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri
oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan). (Gills, Steven H, 1984 : 27).
Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan sebagai:
Menurut yang tertulis, ialah memeriksa sesuatu, atau mengambll keputusan mengenai
faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan
diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan
pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan, atau
arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu
badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur
arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan
menerima keputusan arbitrator... (Abdurrachman, A., 1991 50). Dalam suatu sumber Akan
tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadian. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun
tidak sepopuler lembaga arbitrase.
Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang
bervariasi, dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling
relaks.
Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesai sengketa alternatif
juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh
para pihak atau hanya bersifat sukarela.
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).
g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang
bersengketa.
Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut:
‚ Haruslah efisien dan segi waktu.
‚ Haruslah hemat biaya.
‚ Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
‚ Haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa.
‚ Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
‚ Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat
dan di mata para pihak yang bersengkata.
‚ Putusannya haruslah final dan mengikat.
‚ Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
‚ Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komuniti di mana penyelesaian
sengketa alternatif tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985:14).
Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian sengketa yang ada nilai
plus minusnya.
Pernyataan berikut ini merupakan perbandingan sisi kuat dan sisi lemah di antara berbagai
alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut:
Sisi Kuat dan Sisi Lemah dan Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa No Alternatif
Penyelesaian Sengketa Sisi Baik Sisi Lemah
1. Badan Pengadilan
‚ Menerapkan Norma Publik ‚ Ada precedent ‚ Deterrence effect ‚ Keseragaman ‚
Independensi ‚ Putusan Mengikat ‚ Keterbukaan ‚ Dapat Dieksekusi ‚ Melembaga ‚
Pendanaan secara publik
‚ Mahal ‚ Memakai lawyer sehingga mereka tidak terkontrol ‚ Keputusan tidak terduga ‚
Tidak ahli substansi ‚ Menunda-nunda ‚ Banyak butuh Waktu ‚ Masalah diredefinisi dan
dipersempit
‚ Ganti rugi terbatas ‚ Tidak ada kompromi ‚ Polarisasi cenderung bermusuhan
2. Arbitrase
‚ Privacy Forum dikontrol para pihak ‚ Dapat dieksekusi ‚ Cepat ‚ Ahli ‚ Ganti rugi
tailormade ‚ Dapat Dipilih Norma yang sesuai ‚ Tidak ada norma publik ‚ Tidak ada
precedent ‚ Tidak ada keseragaman ‚ Kurang berkualitas ‚ Dibebani oleh legalisasi yang
semakin banyak

Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia


Hukum Indonesia melindungi pekerja dan majikan, dengan hukum ketenagakerjaan
mencakup semua aspek aktivitas kerja.
Penting untuk memahami undang-undang ini sebelum melibatkan kontraktor untuk proyek
Anda. Untuk memastikan bahwa Anda memiliki orang yang tepat untuk melakukan proyek
Anda, memahami bahasa serta kewajiban hukum sangat penting.
Faktanya, mempekerjakan pengawas ketenagakerjaan yang salah dapat mengakibatkan denda
besar atau bahkan lebih buruk.
Salah satu dari sekian banyak jenis hukum perburuhan di Indonesia adalah Undang-Undang
Ketenagakerjaan dan Ketentuan Khusus. Ini berlaku sebagai undang-undang ketenagakerjaan
umum di Indonesia dengan ketentuan yang membantu perusahaan dalam menyediakan tenaga
kerja yang adil bagi pekerjanya. Ini memberikan perlindungan hukum terhadap perekrutan
pekerja ke perusahaan lepas pantai dan terhadap kerja paksa. Namun, juga ada ketentuan
yang mengizinkan perusahaan memberhentikan pekerja jika ia tidak dapat bekerja.
UU Upah Minimum Indonesia mengatur pembayaran upah kepada pekerja. Berbeda dengan
UU Ketenagakerjaan yang hanya mewajibkan pekerja memiliki kontrak kerja, Dinas Tenaga
Kerja menuntut adanya kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja.
Menurut hukum Indonesia, undang-undang tersebut juga mengizinkan pekerja untuk
membentuk serikat pekerja, yang juga tunduk pada kontrak kerja. Selanjutnya, peraturan
Dinas Tenaga Kerja yang menentukan besaran Upah Minimum.

UU Hak Ketenagakerjaan mengatur semua aspek ketenagakerjaan seperti durasi kontrak kerja
dan hak untuk dibayar dan diberhentikan. Undang-undang ini juga mengharuskan majikan
untuk memberi tahu karyawan tentang hak-haknya dan mengakomodasinya.
Ada juga UU Organisasi Perburuhan yang melindungi hak individu untuk menjadi anggota
organisasi buruh. Undang-undang ini membatasi bisnis untuk terlibat dalam kegiatan yang
membatasi hak orang lain untuk berserikat. Organisasi buruh dilarang berjalan secara
langsung.
Berdasarkan undang-undang ini, semua perselisihan antara pengusaha dan pekerja dapat
diselesaikan melalui arbitrase yang diselenggarakan oleh Kantor Tenaga Kerja.
Undang-undang ketenagakerjaan sering direvisi oleh badan legislatif. Revisi undang-undang
perburuhan dapat dilaksanakan selama krisis ekonomi atau pada saat PHK massal. Revisi
dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan pertumbuhan lapangan kerja, meningkatkan
produktivitas dan mengurangi pengangguran.
Undang-Undang Standar Tenaga Kerja dan Undang-Undang Merchandising Listrik
diamandemen pada tahun 2021 dan terus ditegakkan. Tindakan yang diamandemen untuk
lebih meningkatkan kondisi pekerja dan memungkinkan mereka menerima upah yang adil
dan mendapatkan tunjangan sosial.

Hukum Pertanahan: Keselarasan Hak Dan Kewajiban Atas Tanah Dalam Semangat
Nasionalisme Yang Produktif Serta Berkeadilan

Pentingnya upaya untuk membangun segenap potensi pertanahan dan agraria nasional agar
mampu mendorong daya saing nasional dengan landasan penegakkan hukum yang
konstruktif dan berkeadilan

Posisi Agraria dalam hal ini, harus disesuaikan dengan amanat konstitusi NKRI dalam aspek
agraria, sudah seharusnya dilaksakan secara komprehensif. Sebab, penatakelolaan
sumberdaya nasional dan kreativitas warga bangsa harus dapat dijamin secara hukum.
Berlandaskan ketentuan UUD 1945) hasil Amandemen Keempat, Pasal 33

ayat (1): perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Kemudian, di dalam
ayat (2): Cabang-cabang Produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.

ayat (3): bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ayat 4: perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan


prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Oleh karena itu, kebijakan nasional di bidang pertanahan, berdasarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, – terkait dengan tanah bersifat abadi, bahwa
seluruh wilayah NKRI merupakan kesatuan tanah air, dan seluruh rakyat. Tanah sebagai
perekat negara, maka itu perlu diatur dan dikelola secara nasional dalam kerangka  menjaga
keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Pengaturan dan
pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban hukum saja,
akan tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan.
Kebijakan Pertanahan perlu disusun dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dan
realitas peranserta masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum.

Kepemilikan Tanah (Land Ownership),- sehubungan dengan pelaksanaan program


pembangunan nasional selalu berpotensi membawa berbagai konsekuensi logis terhadap
tatanan kebidupan nasional itu sendiri. Pembangunan tidak hanya bertujuan untuk menggapai
suatu kemegahan secara fisik (ekonomis) tetapi juga sebagai upaya dalam menghargai dan
menempatkan berbagai Hak Warga Atas Tanah sesuai dengan hokum yang berkeadilan, serta
adanya diskreasi kebijakan dan keputusan pemerintah yang baik (proper discreation) demi
kesejahteraan warga bangsa (NKRI).

Itu sebabnya, kemudian pengaruh political will tetap diperlukan untuk memberikan rasa


aman, dan pengertian yang baik tentang eksistensi pertanahan nasional dan daerah dalam
mencari solusi terbaik agar segala ragam program pembangunan yang terkait dengan segala
kebutuhannya terhadap sektor pertanahan (agraria) selalui dapat berjalan dengan baik, setelah
memperhitungkan pula eksistensi nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks dinamika
pembangunan wilayah tersebut.

Disamping persoalan aspek ekonomis yang terkait dengan pertimbangan tentang untung
(profit) dan rugi (lost).

Padahal kalkulasi ekonomik perlu mencari atau menentukan forula yang baik, sejauh mana
peranan rumah tangga konsumsi dan rumah tangga produksi berjalan secara efektif, seimbang
dan produktif dalam laju pertumbuhan dinamika pembangunan terkait aspek agraria.

Itu sebabnya, segi hukum positif yang berlaku dan mengikat harus diindahkan, agar tidak
terjadi berbagai benturan sosial kemasyarakatan dan/atau antar stakeholders kehidupan di
daerah/wilayah yang dijadikan objek program pembangunan yang terkait dengan aspek
agraria tersebut. Agar kemudian pembangunan bisa berjalan secara kondusif, stabil,
fenomenlogik, dan aman serta berkeadilan menurut hukum.
Setidaknya, masih diperlukan kemampuan dan hasil-hasil analisis yang berbobot serta
konstruktif dalam konteks kajian hukum, agar dapat dikembangkan sebagai bahan
pembanding dalam melahirkan konstruksi kebijakan hukum sosial ekonomi dari generasi ke
generasi berikutnya. Meskipun para pemikir sosial ekonomi dan politik, seperti:
Karl Marx Lenin, Stalin, Adam Smith, Keynes, dan seterusnya, – dianggap telah
menjadi pioneer dalam rekonstruksi serta kristalisasi pemikiran soal aspek sosial ekonomi
dan politik dalam dinamika dunia yang moderat atau kontemporer yang terus beranjak maju
dan terbentuknya tatanan kehidupan yang semakin kompleks. Khususnya terkait dengan
aspek agraria (pertanahan) yang menjadi wadah konstruksi dan rekonstruksi infrastruktur
fisik yang dibutuhkan bagi kehidupan warga bangsa dan negara.

Sengketa tentang Hak Kepemilikan atas tanah tergolong cukup dominan dalam lapangan
penegakan hukum (law enforcement). Meskipun harus memakan waktu yang begitu lama dan
kebutuhan biaya perkara yang besar pula.Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang tidak
kunjung mendapatkan posisi hukum yang adil, seimbang, dan bermartabat bisa berujung pada
kondisi kehidupan yang kontraproduktif. Apalagi kalau terjadi conflict by vested
interests yang acapkali mengenyampingkan rasa keadilan dan mengkebiri fakta kebenaran
hukum tentang status kepemilikan atas tanah.

Sehingga sudah selayaknya perbuatan itu dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan
hukum. Bahkan, kenyataannya juga terjadi transaksi semu/fiktif (absurd) dengan
mengatasnamakan Pihak tertentu atas objek tanah, sehingga dapat berujung pada sengketa
agraria secara terbuka (penyelesaian sengketa melalui pengadilan).

Sebagaimana diutarakan oleh Dr. Hermayulis, SH, Msc, Jurnal Hukum Bisnis, 2000, bahwa
untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat Indonesia beraneka ragam,
kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai social asset tanah di kalangan Masyarakat
Hukum Adat, karena tanah juga bisa menjadi sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup di
atasnya.

Selain itu, seringkali jugaterjadi, ketika Jual-Beli Atas Tanah yang dicederai oleh perbuatan
melawan hukum karena tidak dipatuhinya segala prosedur dan persyaratan yang dibutuhkan
oleh Notaris/PPAT.

Misalnya, Pihak yang bersangkutan harus melengkapi segala persyaratan yang masih kurang
kepada pihak Notaris/PPAT, berikut data-data yang diperlukan untuk Pembuatan Akta.
Apabila proses tersebut tidak dilakukan menurut ketentuan Peraturan Perundangan yang ada,
maka itu praktis di kemudian hari berpotensi konflik terbuka. Sehingga fungsi penegakkan
hukum akan terkendala oleh berbagai bentuk upaya kolaborasi antara pihak yang mengklaim
tentang kepemilikan atas tanah dengan Oknum Aparatur, misalnya dengan skema Upaya
Paksa (Abuse of Power), – sehingga Objek Tanah tersebut dapat dikuasai secara sepihak
tanpa mengindahkan hak-hak orang lain atau pihak lain yang sah menurut hukum.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) melalui kebijakan reformasi
agraria, sudah semestinya menunjukan etika birokrasi yang sehat, profesional, konstruktif,
dan pelayanan publik yang semakin efektif dan berkualitas. Bahwa, sengketa agraria di tanah
air, telah menjadi salah-satu sebab utama mengapa terjadinya kemandekan program-program
pembangunan nasional di berbagai bidang, kelambanan/perlambatan pencapaian realisasi
pembangunan infrastruktur.
Bahkan, sebagai akibat konflik agraria, tidak hayal telah menimbulkan kondisi yang stagnan
bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Itu sebabnya, kompleksitas kasus hukum di
bidang agraria tanpa dipungkiri telah  menjadi titik-tolak rendahnya produktivitas/ekonomi
nasional dan daerah itu sendiri.

Maka itu, perlu dituntaskan sebaik-baiknya dalam sistem penyelesaian sengketa menurut
hukum, sehingga tidak perlu lagi terjadinya tindakan yang menginjak-injak kepemilikan
pihak lain, serta berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penghianatan
terhadap Hak-Hak Orang Lain, yang mana secara langsung atau tidak langsung juga bentuk
penghianatan terhadap hukum yang berlaku dan mengikat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Sehubungan dengan upaya penyelesaian sengketa agraria dalam kerangka memperoleh


Kepastian Hukum (Rechtzekerheid) melalui Pengadilan, sehingga berdasarkan ketentuan
Perundang Undangan Republik Indonesia, maka berbagai pihak sepatutnya menghindari
tuntutan hukum secara Perdata maupun secara Pidana terhadap Pihak sebagai Pemilik Yang
Sah, baik secara Hak Subjektif (Subjectiefrecht) maupun Hak Menikmati Kekayaan
(Vermogensrechtten) atas tanah dan lain sebagainya sesuai dengan Peraturan Perundangan
yang berlaku dan mengikat.

Hukum sebagai payung keadilan (legal justice) dalam pemanfaatan tanah sebagai objek
realisasi program pembangunan, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Singkatnya
jangan sampai kepemilikan serta pemanfaatan sektor agraria justru mendatangkan komflik
kepentingan yang tajam dan kontraproduktif, baik terhadap kepentingan perseorangan,
kelompok orang, maupun bangsa dan negara dalam menyukseskan pembangunan nasional.

Termarjinalnya posisi tanah rakyat akan semakin memudahkan aset berharga ini menjadi
barang yang hanya dinilai sebatas faktor ekonomis saja. Sedangkan, fungsinya  yang sangat
esensial adalah sebagai bagian dari hidup masyarakat/warga bangsa, dan keberlanjutan
pembangunan nasional. Maka itu, penguasaan tanah oleh individu dan badan-badan usaha
(korporasi) akan semakin memperkecil peran masyaraakat kalamgan bawah (umum) dalam
partisipasinya terhadap pembangunan, karena rendahnya daya aksesibilitas dan nilai
keuntungan yang seharusnya diperoleh.

Karena itu, perlu upaya merumuskan kebijakan penanganan tentang masalah-masalah


pertanahan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional perlu pengkajian dari berbagai
aspek. Mulai dari aspek sosiologis, antropoligis, politis, ekonomis, hukum, hankam dan lain
sebagainya. Khususnya terkait dengan aspek keadilan dan kepastian hukum dalam
kepemilikan tanah.

Dalam kaitannya dengan aspek sosiologis selalu berkolerasi dengan fungsi sosial atas tanah
dan penggunaan tanah, sifat hubungan tanah dengan pemiliknya yang sangat erat,
kepentingan nasional, dan pengaruh globalisasi terhadap perubahan sistem nilai, norma
hukum, dan mekanisme legalitas dalam penyediaan tanah untuk berbagai keperluan.

Dalam aspek ekonomi penyediaan tanah untuk pembangunan di berbagai bidang infrastruktur
sangat terkait dengan tingginya harga tanah. Harga Tanah di perkotaan dan pedesaan sangat
berbeda. Spekulan Tanah terkadang seringkali menjadi penyebab tidak terkendalinya harga
tanah.

Segenap instansi terkait perlu melakukan upaya pengendalian harga tanah. Termasuk
mendudukan secara proporsional tentang instrumen perpajakan dan pembatasan penguasaan
atas tanah, terjaminnya kelestarian lingkungan hidup, pembentukan bank tanah (land
banking) dan penggunaan saham dalam pemberian ganti rugi, khususnya oleh pihak
korporasi.
Begitu juga bagi segenap stakeholders bangsa, utamanya Kemementerian, Badan, dan
Lembaga terkait,  DPR RI, DPD RI, dan Masyarakat harus mampu merubah persepsi dan
kesadaran publik tentang aspek hukum pertanahan yang mampu menjadi terminal akhir para
pencari keadilan (justicia belen). Sehingga terjalin keterpaduan dalam upaya penerapan
UUPA, serta sinkronisasinya dengan Undang Undang Republik Indonesia dan Peraturan lain
yang berkaitan dengan tanah/agraria.

Maka itu, untuk mengurangi masalah-masalah tanah perlu dipercepat pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia. Pentingnya terwujud suatu sistem pendaftaran tanah negatif yang dianut
perlu ditinjau kembali. Sistem Pendaftaran Tanah adalah Mekanisme Perlindungan Hukum
yang diberikan kepada Pemilik Tanah yang sebenarnya.

Maka itu, diharapkan bahwa penyelidikan Riwayat Tanah harus digiatkan secara kontinu,
sehingga mampu menghasilkan pengetahuan komprehensif tentang kepemilikan (ownership)
atas tanah.
Utamanya dalam konteks pembangunan perumahan, berawal dari gagasan serius
pemerintahan untuk mengembangkan sektor Perumahan untuk kebutuhan masyarakat maka
kemudian hal itu telah memacu keinginan untuk mengembangkan keberadaan tanah.

Lokasi perumahan yang akan dibangun di atas lahan yang sebelumnya telah dibebaskan,
karena itu otomatis keberadaan tanah dibutuhkan. Praktis pembebasan tanah tersebut
tergantung dengan legalitas yang dimiliki oleh pihak-pihak tertentu.

Apalagi suatu daerah yang telah menjadi tujuan investasi yang potensial, maka itu  perlu
diambil inisiatif terlebih dahulu dalam mendayagunakan potensi lahan yang ada.  Selain itu
perlunya pertimbangan terkait dengan penyediaan perumahan yang terjangkau untuk
masyarakat sekaligus dapat menjadi motivasi pengembangan wilayah setempat. Perumahan
yang harganya terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.

Dalam upaya realisasi proyek infrastruktur yang secara khusus telah diatur dalam Undang
Undang Jasa Konstruksi. Bahwa, dimulai dari persyaratan tentang adanya Izin Lokasi,
Ketentuan Tentang Tata Ruang, Pembebasan Lahan, Pembentukan Panitia Proyek,
data/dokumen tentang penguasaan/kepemilikan tanah, proses Peralihan Hak Kepemilikan
atas tanah melalui mekanisme Jual Beli kepada perseorangan dan/atau Badan Hukum
tertentu, sistem pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda), pertimbangan terhadap kondisi di
sekitar proyek, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Tanah Terlantar,
kemudian juga aspek jenis Hak Atas Tanah, seperti: Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), Hak Milik (HM), termasuk soal Sertifikat HGU yang
digadai kepada Perbankan, penyesuaian atas kebijakan terkait tentang reformasi agraria,
identifikasi menyeluruh terhadap tanah yang terbengkelai.
Lebih lanjut, di berbagai daerah juga terjadi konflik karena peralihan Hak Kepemilikan
Tanah yang berpotensi menimbulkan konflik agraria, seperti: Pinjam-Pakai Lahan dan Gadai
Tanah. Persoalannya akan menjadi pelik, ketika dalam kurun waktu tertentu sebelum habis
masa Gadai, ternyata Pemilik dan Pemegang Gadai meninggal dunia. Sehingga Ahli Waris
akan mencari posisi hukumnya atas perikatan tersebut. Sedangkan tanah tersebut masih harus
dan dapat dimanfaatkan oleh Pemegang Gadai.

Padahal diketahui, bahwa ada batasan waktu/tempo atas Gadai. Maka itu, kesadaran hukum
atas perikatan tersebut dapat meminimalkan konflik agraria di tanah air. Jangan sampai,
pihak-pihak tertentu memanfaatkan keadaan dengan mencari solusi berdasarkan kepentingan
sepihak (vested interests) sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi pihak pemilik
sesungguhnya. Dalam hal ini bisa ditemukan pada berbagai kasus di berbagai daerah terkait
tuntutan agar bangunan dibongkar di atas suatu lahan.

Termasuk bangunan Sekolahan, Tempat Ibadah, Perkantoran, Perumahan, Pabrik, Bengkel,


Toko, dan lain sebagainya.
Terkadang Pihak Peminjam dengan Itikad-Tidak-Baik yang mencoba untuk memanipulir
objek lahan dan atau penyalahgunaan hak (misbruik van recht) tersebut dengan cara melawan
hukum, sehingga berusaha menjadikan tanah sebagai miliknya (materieele
valscheid maupun intelectueele valsheid).

Disamping itu, baik secara finansial maupun etik kontribusi menurut kelaziman/kultur hukum
tidak tertulis (ongeschreven recht) tidak ada atau tidak sama sekali didapat oleh Pihak
Pemilik yang mana hal ini sangat bertentangan bila dibanding dengan hasil, baik dari segi
materil maupun segi immateril yang didapat, atau dinikmati oleh Peminjam. Sehingga Buku
yang ditulis oleh Undrizon, SH., MH, ini diberi judul: Hukum Pertanahan, Keselarasan
Hak Dan Kewajiban Atas Tanah Dalam Semangat Nasionalisme Yang Produktif Serta
Berkeadilan.

Anda mungkin juga menyukai