1. Latar Belakang
Pada era global sekarang ini, dunia bisnis mempunyai ciri adanya suatu
persaingan dan kerjasama. Apalagi pada saat sekarang ini dunia semakin
terintegrasi, seolah tanpa batas (the borderless world), sementara persaingan antar
pelaku bisnis semakin ketat, tetapi sekaligus membuka peluang yang luas bagi
pengembangan kerjasama di berbagai bidang usaha.
Konflik dalam bidang usaha merupakan sesuatu yang in-heren dalam persaingan
dan kerjasama, karena itu maka meningkatnya potensi sengketa bisnis merupakan
sesuatu yang tidak dapat terelakkan.1
Hal yang paling penting dalam akhir suatu sengketa/perkara adalah pelaksanaan
putusan atas sengketa tersebut atau sering disebut dengan istilah eksekusi. Adalah
hal yang sia-sia apabila dalam suatu perkara atau sengketa yang sudah mempunya
kekuatan hukum yang tetap, yang mungkin saja diperoleh setelah suatu proses
yang sangat panjang dan mengeluarkan biaya yang besar, akan tetapi pada
1
Abdurrasyid, Priyatna. "Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar." Jakarta: PT. Fikahati
Aneska (2002).
akhirnya tidak dapat dieksekusi. Di dalam perkara perdata paling tidak ada dua
lembaga penting yang dapat menjadi tempat penyelesaian suatu perkara, yakni
lembaga pengadilan dan arbitrase. Salah satu yang popular dan banyak diminati kini
adalah cara 5
Dari latar belakang diatas, penulis akan membagai mengenai (1) bagaimana
penyelesaian perkara persengketaan pada lembaga arbitrase di Indonesia? (2)
Bagaimana Penyelesaian sengketa melalui arbitrase secara online? (3) Bagaimana
keabsahan dari perjanjian arbitrase secara online?
2. Metode Penelitian
Pada tulisan kali ini penulis menggunakan metode studi pustaka dalam
mengumpulkan data, dan analisis deskriptif dalam penyajian tulisan sehingga tulisan
yang dibuat dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh. Dalam pengumpulan data
penulis mengambil sumber – sumber dari jurnal maupun buku yang berkaitan
dengan topik bahasan pada tulisan ini.
3. Pembahasan
A. Penyelesaian Arbitrase di Indonesia
2
Abdurrachman.A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, Th 1991, Halaman :
50
maka persetujuan yang tidak tertulispun harus dapat diterima oleh majelis arbitrase
tergantung pada bagaimana kah perjanjian induknya (main contract) itu sendiri
apakah secara lisan atau secara tertulis. Dalam ketentuan pasal 34 R.v juga
dijelaskan bahwa Jaksa, hakim serta panitera pengadilan tidak diperbolehkan
menjadi arbiter. Dengan demikian prinsipnya yang boleh menjadi arbiter adalah
orang yang dipandang cakap dan menguasai dibidangnya, artinya mampu dan
menguasai permasalahan yang menjadi objek sengketa.
Alasan lain mengapa para pihak yang bersengketa lebih memilih cara
penyelesaian dengan arbitrase, selain karena adanya kebebasan, kepercayaan, dan
keamanan adalah sebagai berikut:
a. Keahlian (Expertise)
b. Cepat dan hemat biaya
c. Bersifat rahasia
d. Bersifat non – responden
e. Kepekaan arbiter
f. Pelaksanaan keputusan, dan
g. Adanya kecenderungan yang modern.
Jika kita meninjau dari prosedur terjadinya arbitrase maka setidaknya ada tiga
tahap yang harus dilalui, yaitu:3
Suatu negosiasi untuk perjanjian selalu terjadi dalam suasana yang lazim disebut
praperjanjian, yang akan melahirkan suatu perjanjian bilamana negosiasi tersebut
berhasil dan atau tidak akan menghasilkan perjanjian atau dapat dikatakan
negosiasi tersebut gagal. Dalam proses negosiasi, para pihak saling memberikan
informasi apa yang dianggap penting yang menyangkut perihal persengketaan
untuk kemudian saling bertukar pikiran mengenai apa yang diperoleh atau diterima
sebagai fakta. Durasi waktu negosiasi tergantung objek sengketa nya.
Dari hasil negosiasi yang telah disepakati akan dituangkan dalam akta, baik itu
akta autentik. Disinilah fungsi negosiasi yang sebenarnya. Dan juga pada akta
tersebut dicantumkan klausul – klausul yang menyebutkan bahwa jika ada sengketa
dibelakang hari mereka sepakat untuk menggunakan jasa arbiter, atau mungkin
juga mereka lebih memilih cara ajudikasi di pengadilan apabila terjadi sengketa di
kemudian hari.
Dilihat dari segi hukum, suatu negosiasi harus dilakukan secara penuh
kesadaran mengenai akibat hukum bagi setiap syarat yang dirundingkan, sehingga
dalam negosiasi harus betul – betul diperhitungkan tentang kemungkinan –
kemungkinan terburuk yang terjadi akibat dari negosiasi tersebut, sebelum
semuanya disetujui dan dituangkan dalam sebuah kontrak perjanjian.
3
Agnes M. Toar et al , Arbitrase Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Th. 1995, Hal ; 19
2. Pengangkatan Arbiter dan Penyelenggaraan Arbitrase
Suatu perjanjian arbitrase yang baik terdiri atas bagian – bagian sebagai berikut:
Arbitrase internasional ialah arbitrase antara dua atau lebih negara atau antara
suatu negara dengan warga negara lain atau dua pihak dari negara yang sama tapi
memilih Lembaga arbitrase internasional seperti yang ada di London, di Paris,
ataupun yang ada di Kuala Lumpur (Indonesia pernah ikut serta dalam Convention
on the Settlement of Invesment Disputes between States and Nationals of Other
States). Contoh kasus sengketa yang diselesaikan dengan arbitrase adalah “Kasus
Pipanisasi milik Perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara
(PERTAMINA)” yang dimuat pada majalah Ombusdman edisi September 2004,
antara PT. TJP dan PERTAMINA. Dimana penyelesaian sengketa antara keduanya
dilakukan melalui arbitrase internasional dengan menggunakan peraturan arbitrase
INCITRAL di New York. Sampai berita ini diterbitkan pada majalah, belum ada
dijatuhkan putusan final, masih pada tahap menjawab putusan dari upaya arbitrase.
Biaya menggunakan lembaga arbitrase ini dapat dibilang murang karena tidak ada
tahapan pemeriksaan pendahuluan dan tidak ada pengajuan banding atas putusan
yang telah dijatuhkan oleh para arbiter yag ditunjuk oleh kedua pihak. Putusan
arbitrase ini bersifat final dan memiliki kekuatan hokum yang kuat dan mengikat.
Hal yang perlu juga untuk mendapat perhatian adalah dengan dibuatnya catatan
penerimaan. Catatan penerimaan ini banyak media nya, melalui E-mail misalnya,
karena melalui e-mail sudah ada fasilitas untuk memberitahukan bahwa sebuah e-
mail sudah dibuka. Tidak ada ketentuan pasti dari sumber manapun prosedur
arbitrase online ini, namun secara garis besar dapat disimpulkan seperti dibawah ini:
1. Permulaan
Setelah tidak terdapat kesepakatan antara para pihak yang bersengketa yang
diatur dalam perjanjian arbitrase. Maka pihak yang mengajukan klaim harus
mengajukan perkaranya ke arbitrase, lembaga atau arbitrase ad hoc. Pengiriman
perkara oleh pemohon dapat dikirim melalui email atau jika lembaga arbitrase
seudah menyediakan form online maka pemohon hanya tinggal mengisi form online
tersebut untuk mendaftarkan perkaranya. Setelah itu pemohon akan memilih arbiter
yang akan melakukan proses arbitrase dalam menangani perkara nya. Setelah
ditunjuk maka pihak lembaga arbitrase akan mengirim pesan email kepada pemohon
mengenai pengajuan perkara nya.
Dalam komunikasi ini antara pihak yang bersengketa dapat menyetujui ataupun
menolak menolak pelaksanaan arbitrase online. Dan juga lembaga arbitrase dapat
mempertimbangkan dengan menanyakan kepada para pihak yang bersengketa, jika
para pihak yang bersengketa memiliki kapasitas untuk melaksanakan prosedur
arbitase online, maka prosedur arbitrase online dapat dijalankan. Jika sebaliknya,
maka proses arbitrase akan dialihkan kembali kepada prosedur konvensional.
Pada tahapan ini para pihak yang bersengketa harus mengajukan pernyataan dan
dokumen tertulis yang diajukan kepada para arbiter dan pihak lawan dalama rangka
menjamin pronsip kontradiksi. Untuk perkara e-commerce, para pihak dapat
mengajukan bukti elektronik yang dimilikinya dan bukti fisik yang mendukung
argument – argumennya.
3. Persidangan
4. Permusyawarahan Online
Pada bagian akhir dari proses arbitrase, jika arbitrase dilakukan oleh majelis lebih
dari seorang maka akan dilakukan permusyawarahan oleh para arbiter. Jika para
arbiter berada di wilayah geografis yang berjauhan maka permusyawarahan dapat
dilakukan melalui email atau sistem informasi yang disediakan oleh lembaga
arbitrase tersebut.
5. Pengiriman Putusan