Anda di halaman 1dari 9

Arbitrase Konvensional dan Online

(Fungsi, Tugas dan Ketentuannya)

1. Latar Belakang

Pada era global sekarang ini, dunia bisnis mempunyai ciri adanya suatu
persaingan dan kerjasama. Apalagi pada saat sekarang ini dunia semakin
terintegrasi, seolah tanpa batas (the borderless world), sementara persaingan antar
pelaku bisnis semakin ketat, tetapi sekaligus membuka peluang yang luas bagi
pengembangan kerjasama di berbagai bidang usaha.

Berkembang pesatnya teknologi informasi khususnya penggunaan internet


menjadikan dunia bisnis menjadi kompleks dalam prosedur dan penjualannya, tidak
terkecuali dalam perjanjian. Berkat kemudakan teknolgi informasi ini, internet tidak
hanya digunakan sebagai sarana komunikasi, namun hampir semua lini kehidupan
sudah terjangkau oleh internet. Istilah perdagangan melalui internet ini biasa disebut
e-commerce. Seperti transaksi pada umumnya e-commerce juga memiliki
kesepakatan atau hak dari masing masing pihak yang bertransaksi. Hal ini
menjadikan e-commerce rentan terhadap penyelewengan hak yang memberikan
batas terhadap masing masing pihak, contohnya seperti persoalan wanprestasi,
perlindungan konsumen dan lain sebagainya. Hingga dari kemungkinan tersebut
perlu adanya lembaga yang menjadi media persengketaan.

Konflik dalam bidang usaha merupakan sesuatu yang in-heren dalam persaingan
dan kerjasama, karena itu maka meningkatnya potensi sengketa bisnis merupakan
sesuatu yang tidak dapat terelakkan.1

Hal yang paling penting dalam akhir suatu sengketa/perkara adalah pelaksanaan
putusan atas sengketa tersebut atau sering disebut dengan istilah eksekusi. Adalah
hal yang sia-sia apabila dalam suatu perkara atau sengketa yang sudah mempunya
kekuatan hukum yang tetap, yang mungkin saja diperoleh setelah suatu proses
yang sangat panjang dan mengeluarkan biaya yang besar, akan tetapi pada
1
Abdurrasyid, Priyatna. "Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar." Jakarta: PT. Fikahati
Aneska (2002).
akhirnya tidak dapat dieksekusi. Di dalam perkara perdata paling tidak ada dua
lembaga penting yang dapat menjadi tempat penyelesaian suatu perkara, yakni
lembaga pengadilan dan arbitrase. Salah satu yang popular dan banyak diminati kini
adalah cara 5

Dalam hukum perikatan di Indonesia terdapat azas kebebasan kontrak (pasal


1338 BW) yang menyatakan bahwa apa yang telah dijanjikan oleh pihak yang
bersengketa itu bersifat mengikat mereka sebagai undang-undang dan wajib
dipatuhi dan dilaksanakan. Para pihak yang bersengketa dapat membuat peraturan
mengenai penyelesaian sengketa mereka jika terjadi perselisihan mengenai kontrak
yang telah dibuat. Peraturan tersebut dapat berupa klausa yang berisikan
pernyataan melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Seperti dengan
melakukan negosisasi, mediasi ataupun melalui lembaga arbitrase. Biasanya untuk
pelaku transaksi e-commerce lebih menyukai cara penyelesaian melalui ADR atau
yang biasa kita kenal arbitrase. Salah satu alasannya adalah karena penyelesaian
menggunakan arbitrase lebih fleksibel bagi kedua belah pihak dibandingkan melalui
jalur ligitasi (pengadilan). Terlebih lagi jika persoalan ini berupa transaksi elektronik,
maka akan sangat memudahkan jika menggunakan arbitrase. Dengan arbitrase,
selama terdapat persetujuan dari para pihak, data elektronik dapat digunakan
menjadi alat bukti. Sekarang mengurus persengketaan bisa dilakukan secara online,
tidak hanya melalui konvensional seperti pada umumnya.

Dari latar belakang diatas, penulis akan membagai mengenai (1) bagaimana
penyelesaian perkara persengketaan pada lembaga arbitrase di Indonesia? (2)
Bagaimana Penyelesaian sengketa melalui arbitrase secara online? (3) Bagaimana
keabsahan dari perjanjian arbitrase secara online?

2. Metode Penelitian

Pada tulisan kali ini penulis menggunakan metode studi pustaka dalam
mengumpulkan data, dan analisis deskriptif dalam penyajian tulisan sehingga tulisan
yang dibuat dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh. Dalam pengumpulan data
penulis mengambil sumber – sumber dari jurnal maupun buku yang berkaitan
dengan topik bahasan pada tulisan ini.
3. Pembahasan
A. Penyelesaian Arbitrase di Indonesia

Arbitrase adalah suatu prosedur dimana pihak yang berselisih menyerahkan


penyelesaian sengketa nya kepada stau lembaga (Arbiter) diluar pengadilan yang
akan mengeluarkan putusan yang bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusi
kepada pihak pengadilan. Konsekuensinya adalah apabila salah satu ppihak
tersebut tidak menaati isi kontrak yang telah dibuat atas kesepakatan bersama
tersebut, maka pihak tersebut dianggap melakukan breach of contract (Melanggar
kontrak).

Arbritase merupakan suatu pengadilan swasta yangs sering disebut sebagai


“pengadilan wasit” sehingga bisa dikatakan bahwa arbiter dalam peradilan arbiter
berfungsi memang layaknya seorang wasit.

Sedangkan menurut Abdurrachman ia mengatakan bahwa “Arbitrase ialah


kegiatan memeriksa sesuatu atau mengambil keputusan mengenai faedahnya.
Proses penyelesaian sengketa antara dua pihak yang berselisih ini diserahkan pada
satu pihak yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap bahan sengketa untuk
melakukan pemerikasaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang
tidak berkepentingan atau disebut arbitrator tersebut dapat dipilih oleh pihak – pihak
itu sendiri atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang
kekuasaannya diakui oleh pihak pihak itu”.2

Menurut ketentuan pasal 618 R.v (Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering)


atau Reglement Hukum acara perdata, persetujuan arbitrase harus diadakan secara
tertulis, sedangkan apabila tidak mampu maka persetujuannya harus dilakukan
didepan notaris dan dihadiri saksi – saksi. Persetujuan arbitrase harus menyebutkan
isi pokok dari perselisihan, nama dan tempat tinggal para pihak dan juga nama serta
alamat tempat tinggal arbiter yang dipilih yang selalu berjumlah ganjil. Dalam
pelaksanaan persetujuan arbitrase, disamping haris diperjanji melalui tertulis, harus
pula dilihat asas perjanjiannya, apabila didasarkan pada asas konsensualisme,

2
Abdurrachman.A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, Th 1991, Halaman :
50
maka persetujuan yang tidak tertulispun harus dapat diterima oleh majelis arbitrase
tergantung pada bagaimana kah perjanjian induknya (main contract) itu sendiri
apakah secara lisan atau secara tertulis. Dalam ketentuan pasal 34 R.v juga
dijelaskan bahwa Jaksa, hakim serta panitera pengadilan tidak diperbolehkan
menjadi arbiter. Dengan demikian prinsipnya yang boleh menjadi arbiter adalah
orang yang dipandang cakap dan menguasai dibidangnya, artinya mampu dan
menguasai permasalahan yang menjadi objek sengketa.

Penyelesaian dengan arbitrase biasanya lebih menarik para pengusaha,


pedagang dan investor sebab arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang
sangat luas kepada mereka. Selain itu, cara arbitrase relative lebih bisa memberikan
rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan
dengan sistem hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan keputusan hakim
yang berat sebelah yang melindungi kepentingan (pihak) lokal dari mereka yang
terlibat dalam suatu sengketa. Apabila para pihak yang menyerahkan perkaranya
berasal dari yuridiksi hukum yang berbeda, misalnya dari negara berbeda, atau dari
negara bagian yang berbeda dalam sistem federal, maka pihak yang satu mungkin
tidak dapat memahami atau mempercayai sistem hukum maupun hakim dari pihak
yang lain. Daripada mempertentangkan sistem dan yuridiksi hukum mana yang akan
memutuskan, maka para pihak memilih lebih baik menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan sistem hukum yang mereka anggap adil dan netral. Dan cara itu
adalah melalui arbitrase.

Alasan lain mengapa para pihak yang bersengketa lebih memilih cara
penyelesaian dengan arbitrase, selain karena adanya kebebasan, kepercayaan, dan
keamanan adalah sebagai berikut:

a. Keahlian (Expertise)
b. Cepat dan hemat biaya
c. Bersifat rahasia
d. Bersifat non – responden
e. Kepekaan arbiter
f. Pelaksanaan keputusan, dan
g. Adanya kecenderungan yang modern.

Tahapan – tahapan dalam arbitrase

Jika kita meninjau dari prosedur terjadinya arbitrase maka setidaknya ada tiga
tahap yang harus dilalui, yaitu:3

a. Negosiasi, yang dimaksud adalah negosiasi yang menghasilkan penyusunan


perjanjian arbitrase perdagangan;
b. Pengangkatan para arbiter dan penyelenggaraan ( sidang – sidang )
arbitrase sendiri;
c. Putusan arbitrase atau pelaksanaan putusan arbitrase.
1. Negosiasi

Suatu negosiasi untuk perjanjian selalu terjadi dalam suasana yang lazim disebut
praperjanjian, yang akan melahirkan suatu perjanjian bilamana negosiasi tersebut
berhasil dan atau tidak akan menghasilkan perjanjian atau dapat dikatakan
negosiasi tersebut gagal. Dalam proses negosiasi, para pihak saling memberikan
informasi apa yang dianggap penting yang menyangkut perihal persengketaan
untuk kemudian saling bertukar pikiran mengenai apa yang diperoleh atau diterima
sebagai fakta. Durasi waktu negosiasi tergantung objek sengketa nya.

Dari hasil negosiasi yang telah disepakati akan dituangkan dalam akta, baik itu
akta autentik. Disinilah fungsi negosiasi yang sebenarnya. Dan juga pada akta
tersebut dicantumkan klausul – klausul yang menyebutkan bahwa jika ada sengketa
dibelakang hari mereka sepakat untuk menggunakan jasa arbiter, atau mungkin
juga mereka lebih memilih cara ajudikasi di pengadilan apabila terjadi sengketa di
kemudian hari.

Dilihat dari segi hukum, suatu negosiasi harus dilakukan secara penuh
kesadaran mengenai akibat hukum bagi setiap syarat yang dirundingkan, sehingga
dalam negosiasi harus betul – betul diperhitungkan tentang kemungkinan –
kemungkinan terburuk yang terjadi akibat dari negosiasi tersebut, sebelum
semuanya disetujui dan dituangkan dalam sebuah kontrak perjanjian.
3
Agnes M. Toar et al , Arbitrase Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Th. 1995, Hal ; 19
2. Pengangkatan Arbiter dan Penyelenggaraan Arbitrase

Suatu perjanjian arbitrase yang baik terdiri atas bagian – bagian sebagai berikut:

a. Persetujuan menyerahkan sengketa yang timbul dari suatu perjanjian dagang


pada suatu arbitrase, persetujuan mengenai hal ini harus dinyatakan secara
eksplisit sebagai salah satu syarat perjanjian arbitrase itu, dengan atau tanpa
disertai alasan memilih cara penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase.
b. Penentuan aturan – aturan yang akan dipakai dalam sidang – sidang mencakup
pula didalamnya jumlah sidang dan macam – macam pembuktian.
c. Penentuan tempat sidang arbitrase yang ditentukan oleh para pihak,
berdasarkan pertimbangan dari segi ekonomi, kecuali para pihak yang
bersengketa memilih badan arbitrase yang tetap karena tempatnya sudah pasti.
d. Penentuan jumlah para arbiter (jika di Indonesia disarankan jumlahnya ganjil)
e. Pemilihan tentang hukum yang berlaku dan juga bahasa yang akan digunakan
pada sidang maupun putusan arbiter.
f. Penentuan waktu putusan arbiter harus sudah ada, sehingga bagi para pihak
menjadi jelas dan padat bisa merencanakan akan menyampaikan hal apa saja
selama batas waktu sebelum waktu putusan tersebut.

3. Putusan Arbiter dan Pelaksanaannya

Arbitrase internasional ialah arbitrase antara dua atau lebih negara atau antara
suatu negara dengan warga negara lain atau dua pihak dari negara yang sama tapi
memilih Lembaga arbitrase internasional seperti yang ada di London, di Paris,
ataupun yang ada di Kuala Lumpur (Indonesia pernah ikut serta dalam Convention
on the Settlement of Invesment Disputes between States and Nationals of Other
States). Contoh kasus sengketa yang diselesaikan dengan arbitrase adalah “Kasus
Pipanisasi milik Perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara
(PERTAMINA)” yang dimuat pada majalah Ombusdman edisi September 2004,
antara PT. TJP dan PERTAMINA. Dimana penyelesaian sengketa antara keduanya
dilakukan melalui arbitrase internasional dengan menggunakan peraturan arbitrase
INCITRAL di New York. Sampai berita ini diterbitkan pada majalah, belum ada
dijatuhkan putusan final, masih pada tahap menjawab putusan dari upaya arbitrase.
Biaya menggunakan lembaga arbitrase ini dapat dibilang murang karena tidak ada
tahapan pemeriksaan pendahuluan dan tidak ada pengajuan banding atas putusan
yang telah dijatuhkan oleh para arbiter yag ditunjuk oleh kedua pihak. Putusan
arbitrase ini bersifat final dan memiliki kekuatan hokum yang kuat dan mengikat.

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Secara Online

Apabila para pihak menunjuk penyelesaian sengketa melalui suatu lembaga


arbitrase tertentu yang menyediakan jasa arbitrase online atau menunjuk untuk
menyelesaikannya melalui suatu penyedia jasa arbitrase online tertentu maka para
pihak yang menunjuk dengan sendirinya menyetujui berlakunya prosedur online
yang disediakan penyedia jasa aribtrase tersebut.

Hal yang perlu juga untuk mendapat perhatian adalah dengan dibuatnya catatan
penerimaan. Catatan penerimaan ini banyak media nya, melalui E-mail misalnya,
karena melalui e-mail sudah ada fasilitas untuk memberitahukan bahwa sebuah e-
mail sudah dibuka. Tidak ada ketentuan pasti dari sumber manapun prosedur
arbitrase online ini, namun secara garis besar dapat disimpulkan seperti dibawah ini:

1. Permulaan

Setelah tidak terdapat kesepakatan antara para pihak yang bersengketa yang
diatur dalam perjanjian arbitrase. Maka pihak yang mengajukan klaim harus
mengajukan perkaranya ke arbitrase, lembaga atau arbitrase ad hoc. Pengiriman
perkara oleh pemohon dapat dikirim melalui email atau jika lembaga arbitrase
seudah menyediakan form online maka pemohon hanya tinggal mengisi form online
tersebut untuk mendaftarkan perkaranya. Setelah itu pemohon akan memilih arbiter
yang akan melakukan proses arbitrase dalam menangani perkara nya. Setelah
ditunjuk maka pihak lembaga arbitrase akan mengirim pesan email kepada pemohon
mengenai pengajuan perkara nya.

Dalam komunikasi ini antara pihak yang bersengketa dapat menyetujui ataupun
menolak menolak pelaksanaan arbitrase online. Dan juga lembaga arbitrase dapat
mempertimbangkan dengan menanyakan kepada para pihak yang bersengketa, jika
para pihak yang bersengketa memiliki kapasitas untuk melaksanakan prosedur
arbitase online, maka prosedur arbitrase online dapat dijalankan. Jika sebaliknya,
maka proses arbitrase akan dialihkan kembali kepada prosedur konvensional.

2. Pernyataan dan Dokumen Tertulis

Pada tahapan ini para pihak yang bersengketa harus mengajukan pernyataan dan
dokumen tertulis yang diajukan kepada para arbiter dan pihak lawan dalama rangka
menjamin pronsip kontradiksi. Untuk perkara e-commerce, para pihak dapat
mengajukan bukti elektronik yang dimilikinya dan bukti fisik yang mendukung
argument – argumennya.

Dokumen – dokumen elektronik dapat disediakan dalam situsnya sendiri dan


memberikan kesempatan untuk melakukan pencarian baiki melalui www maupun
penyediaan file dalam bentuk ftp.

3. Persidangan

Undang – undang menentukan proses arbitrase secara tertulis. Jika diperlukan,


pemeriksaan lisan dapat diadakan. Dengan demikian pemeriksaan dokumen
merupakan hal yang utama sedangkan pemeriksaan lisan dilakukan jika diperlukan.
Dalam hal ini para pihak dapat menentukan cara pengajuan dan pemeriksaan bukti,
sehingga lembaga melakukan prosedurnya sesuai dengan kesepakatan dari kedua
pihak. Apabila kedua pihak merasa perlu pemeriksaan saksi, maka dapat dilakukan
melalui media video conferencing. Akan tetapi tentunya biaya persidangan akan
lebih mahal jika dilakukan prosedur tersebut. Sedangkan jika ditinjau dari tujuan para
pihak menggunakan lembaga arbitrase yaitu agar lebih sedikit biaya yang keluar
untuk memenangkan perkara, maka tidak semua pihak yang bersengketa akan
menggunakan prosedur yang ribet tersebut. Jika para pihak merasa cukup dengan
pemeriksaan dokumen saja, maka sudah cukup itu saja yang dilakukan pada proses
persidangan arbitrase.

4. Permusyawarahan Online
Pada bagian akhir dari proses arbitrase, jika arbitrase dilakukan oleh majelis lebih
dari seorang maka akan dilakukan permusyawarahan oleh para arbiter. Jika para
arbiter berada di wilayah geografis yang berjauhan maka permusyawarahan dapat
dilakukan melalui email atau sistem informasi yang disediakan oleh lembaga
arbitrase tersebut.

5. Pengiriman Putusan

Pada proses arbitrase online tidak dilakukan pembacaan putusan. Setelah


putusan diambil sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati di awal, maka arbiter
akan mengirimkan pemberitahuan secara online akan adanya putusan dan putusan
akan dikirimkan dengan memanfaatkan sarana elektronik contohnya email.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya prosedur


arbitrase secara online ataupun secara tradisional (offline) adalah sama. Yang
berbeda hanyalah cara penyelenggaraannya yaitu dalam arbitrase secara online
menggunakan sarana elektronik dalam penyelenggaraannya.

Anda mungkin juga menyukai