Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI


ABITRASE SECARA ELEKTRONIK

HANIFAH NOOR ASUFIE


NIM.2220215320031

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,


DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2022
A. LATAR BELAKANG

Membuat sebuah perjanjian bukan hal yang tabu di masa sekarang.

Baik secara sadar ataupun tidak sadar seseorang mengikatkan dirinya

dengan orang lain. Hubungan hukum antara para pihak tidak terlihat secara

gamblang namun jika dituangkan dalam sebuah perjanjian maka perjanjian

tersebut menjadi sebuah bukti bahwa kedua belah pihak tersebut terikat.

Perjanjian sendiri banyak bentuknya karena jika ditinjau dari pasal

1338 BW maka terdapat asas kebebasan berkontrak yang berarti orang

secara bebas boleh melakukan kontrak selama tidak bertentang dengan

hukum dan norma-norma lainnya. Selain adanya kebebasan dalam

berkontrak. Dalam BW juga mengatur perihal syarat sah jika seseorang

ingin melakukan sebuah perjanjian dimana harus ada suatu kesepakatan

oleh pihak yang melakukan perjanjjian, adanya kecakapan dari para pihak,

adanya hal yang diperjanjikan dan perjanjian tersebut tidak melanggar

ketantuan hukum yang berlaku.

Membuat sebuah kontrak sendiri ada beberapa tahapan. Fase

pertama ialah pra kontrak, dilanjutkan dengan pelaksaan kontrak dan fase

ketiga adalah pasca kontrak dan berakhirnya kontrak. Jika terjadi

permasalahan setelah dilaksanakannya kontrak hingga kontrak berakhir

maka dapat dilakukan gugatan wanprestasi atau PMH.

Penyelesaian sengketa sendiri dapat dipilih oleh para pihak yang

membuat kontrak. Ada dua pilihan dalam penyelesaian sengketa. Pertama,

secara litigasi atau yang kedua non litigasi. Penyelesaian sengketa secara

1
litigasi memiliki perngertian bahwa adanya gugatan yang dilakukan oleh

salah satu pihak ke pengadilan yang kemudian diselesaikan melalui proses

pengadilan. Sedangkan penyelesaian sengketa non litigasi adalah

penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan salah satunya

adanya abitrase.

Di era modern ini, kebanyakan para pihak yang melakukan kontak

lebih memilih penyelesaian secara non litigasi saja. Contoh, dalam kontrak

bisnis. Rata-rata perusahaan di Indonesia lebih memilih penyelesaian

sengketa secara abitrase setelah keluarnya pengaturan tentang abitrase

dalam UU No, 30 Tahun 1999 atau biasa disebut UUAAPS. Hal ini karena

penyelesaian sengketa bisnis secara abirase lebih cepat, efisien dan tuntas.

Seiring dengan berjalannya waktu. Penyelesaian sengketa abitrase

juga mengalami evolusi yang awalnya para pihak harus saling berhadap

muka saat dilakukannya abitrase. Kini, penyelesaian sengketa secara

abitarase juga dapat dilakukan secara elektronik. Namun, yang jadi

pertanyaan adalah bagaimana kekuatan hukum putusan abitrase yang

dialukan secara elektronik tersebut di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana kekuatan hukum dari putusan penyelesaian sengketa secara

abitrase elektronik?

2
C. KAJIAN TEORI

1. Teori Penyelesaian Sengketa

Menurut pendapat dari Laura Nader dan Harry F. Tood Jr, ada 7 cara

penyeleselaian sengketa dalam masyarakat, antara lain:

a. Lumpingit (membiarkan saja)

b. Avoidance (mengelak)

c. Coercion (paksaan)

d. Negatiation (negosiasi)

e. Mediation (mediasi)

f. Abitration (abitrase)

g. Adjudication (peradilan)

Menurut Rachmadi Usman, S.H., M.H., selain melalui litigasi

(pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui

jalur non litigasi (di luar pengadilan)., yang biasa disebut dengan

Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasa

disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut

APS).1

D. PEMBAHASAN

Dasar hukum dapat dilaksanakannya penyelesaian sengketa secara

abitrase ada pada Pasal 4 Ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 yang

menyakatakan bahwa penyelesaian sengketa secara abitrase dapat

1
Rachmadi Usman. 2012. Mediasi do Pengadilan: Dalam Teori dan Praktik. Jakarta:
Sinar Grafika. Hlm. 8

3
dilakukan melalui pertukaran surat, teleks, pengiriman lewat telegram,

faksimili, e-mail, atau bentu-bentuk sarana komunaksi lain selama disertai

dengan catatan penerimaan oleh para pihak. Dari isi pasal tersebut

memungkinkan adanya abitrase secara elektronik apabila para pihak

melakukan kesepakatn terlebih dahulu mengenai hal tersebut.

Penyelesaian sengketa melalui abitrase secara elektronik dapat juga

dituangkan dalam isi kontrak. Dalam Pasal 8 ayat (1) yang menerangkan

perihal pemberitahuan dari pemohon melalui pertukaran surat, teleks,

pengiriman lewat telegram, faksimili, e-mail, atau bentu-bentuk sarana

komunaksi lain juga memberikan peluang pada penyampaiannya secara

elektronik pula.

Penerapan Arbitrase Online sebagai ODR dalam Penyelesaian

Sengketa melalui abitrase secara elektronik, yaitu dengan "ODR", yang

merupakan cara paling praktis untuk memberikan solusi yang tepat, murah,

dan efektif kepada pihak dan mengurangi jumlah kasus yang diputuskan di

negara lain.

Ada sejumlah proses dalam ODR yang biasanya memiliki dua

karakteristik yang sama: masing-masing "DR" atau penyelesaian sengketa,

dan "O" atau online. Di penghujung hari, selesaikan pertanyaan dan

diarahkan secara elektronik.

Representasi tradisional dari semua Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS) di jaringan. Selain itu, terdapat prosedur untuk

menyelesaikan sengketa baru: Contoh mekanisme khusus online adalah

4
negosiasi penawaran otomatis. Arbitrase tanpa perjanjian yang mengikat

adalah ilustrasi lainnya. Meski tidak sepenuhnya absen dari offline, hal ini

cenderung menggambarkan potensi penuh penyelesaian sengketa online

(ODR), yang merupakan salah satu mekanisme yang paling menonjol untuk

jenis sengketa tertentu

Dalam Pasal 34 yang menyebutkan perihal penyelesaian sengketa

secara abitrase dilakukan oleh lembaga abitarse nasional atau internasional.

Untuk lembaga abitrase di Indonesia yaitu BANI mengeluarkan SK

No.20.015/V/SK-BANI/HU tentang peraturan dan Prosuder

Penyelenggaran Abitrase Secara Elektronik. SK ini dikeluarkan karena

adanya keadaan darurat selama masa pandemi COVID-19 yang dimana

pemerintah melarang aktifitas diluar rumah pada masa itu.

UUAAPS tidak bisa berdiri sendiri dalam hal prosedur penyelesaian

sengketa secara elektronik karena ada tambahan peraturan perundang-

undangan. UU ITE merupakan salah satu yang setara dengan UU AAPS.

SK BANI ini diperlukan untuk melengkapi aspek teknis pelaksanaan

penyelesaian sengketa secara elektronik melalui lembaga arbitrase.

Peraturan dan Tata Cara Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik,

20.015/V/SK-BANI/HU. Proses penyelesaian sengketa bisnis secara

elektronik melalui lembaga arbitrase dibantu oleh dua produk hukum ini

yang sangat membantu.

Untuk persidangan sendiri. Penyelesaian sengketa melalui abitrase

secara online.. Pertama, melakukan persiapan teknik untuk persidangan

5
dimana dilakukan tiga hari sebelum penyelenggaran persidangan menurut

peraturan dan prosuder yang sudah ditetapkan dan kedua wajib

melaksanakan persiapan mengenai teknis persidangan.

Para pihak dan sekretaris majelis arbitrase melakukan pengecekan

teknis, yang juga termasuk mencari tahu siapa yang akan mempresentasikan

perdagangan dan menyiapkan serta memeriksa peralatan platform yang

akan digunakan. Kedua; Selama waktu penyelenggaraan sidang

pendahuluan, majelis arbitrase atau hakim tunggal mengarahkan hibah

sesuai dengan pedoman materil dan teknik otorisasi dengan memberikan

pintu terbuka yang setara kepada majelis, dan diharapkan melakukan

perizinan dengan memperhatikan pedoman perizinan. Di pengadilan

elektronik, masih mungkin untuk menyelesaikan siklus intervensi. Jika

siklus intervensi tidak sesuai, maka interaksi mediasi dapat dilanjutkan.

Sesuai dengan Pasal 29 UUAAPS, diberikan kesempatan yang sama kepada

para pihak selama proses penyidikan perkara arbitrase elektronik. Hal ini

juga sesuai dengan asas hukum “audi alteram pa-trem” yang menyatakan

bahwa dalam sengketa arbitrase, baik pemohon maupun termohon berhak

untuk mendengarkan saksi karena “kedudukan” mereka “sama”

Pasal 45 UUAAPS menyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase

harus terlebih dahulu mengupayakan rekonsiliasi jika para pihak datang

sebelum tanggal yang telah ditentukan. Arbiter atau Majelis Arbitrase

mengeluarkan akta penyelesaian yang final dan mengikat dan

memerintahkan para pihak untuk mematuhi ketentuan penyelesaian jika

6
perdamaian tercapai di antara mereka. Secara elektronik, ketentuan ayat (3)

Pasal 7 SK BANI Nomor: 20.015/V/SK-BANI/HU juga menegaskan bahwa

proses mediasi tetap dapat diselenggarakan dalam persidangan secara

elektronik. Proses arbitrase akan dilanjutkan dalam hal proses mediasi tidak

menghasilkan kesepakatan damai. Pasal 45 UUAAPS telah memenuhi

ketentuan ini. Artinya, prinsip-prinsip yang digariskan UUAAPS dalam

proses lembaga arbitrase tidak diabaikan ketika arbitrase elektronik

digunakan.

Para pihak memilih dan memutuskan prosedur dan ketentuan untuk

proses elektronik melalui lembaga arbitrase sesuai dengan kesepakatan

mereka, sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak. Tata cara dan

ketentuan acara pemeriksaan elektronik melalui lembaga arbitrase

mengenai pembacaan dan pengumuman putusan arbitrase dianggap sah

menurut hukum Indonesia karena dianggap tidak melanggar peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dibandingkan dengan pendapat ini dan

asas kebebasan berkontrak.

Putusan arbitrase yang memenuhi syarat formil dan materiil serta

beberapa asas yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan arbitrase

dikatakan final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para

pihak dalam Pasal 60. Akibatnya, tidak ada kesempatan untuk menggugat

putusan arbitrase dengan cara apa pun. Keputusan arbitrase yang dibuat

secara elektronik diperhitungkan mempunyai kekuatan hukum mengikat

yang sama dengan putusan arbitrase konvensional karena sifatnya yang final

7
dan permanen. Majelis arbitrase atau arbiter harus menandatangani putusan

arbitrase tertulis sesuai dengan Pasal 54 ayat 2 dan 3 UUAAPS. Hal ini

dapat kita temukan dalam prosedur diskresi tradisional yang dibuat tertulis

dan disahkan oleh otoritas sesuai keinginan UUAAPS. Sedangkan jenis

putusan arbitrase elektronik tidak sama dengan putusan arbitrase biasa

karena dilakukan melalui media elektronik dalam struktur komputerisasi,

dan putusan dikirimkan melalui email kepada masing-masing pihak yang

berperkara.

Untuk putusan dari abitrase secara elektronik disampaikan melalui

website yang sudah disediakan. Kekuatan hukum dari putusan abitrase ini

juga memiliki kekuatan hukum tetap selama tidak memenuhi Pasal 54 ayat

(2) dan (3) dan juga mempunya kekuatan untuk mengeksekusi selama

memenuhi Pasal 59 Ayat (2) UUAAPS. Namun pada putusan abitrase

lektronik ini tidak hanya bersadar pada UUAAPS saja namun juga

bersandar pada UU ITE sebagai dasar hukum pendukung dari ketentuan

Pasal 4 ayat (3) UUAAPS.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Dapat disimpulakan bahwa tidak ada peraturan perundang-

undangan di Indonesia yang melarang diselenggarakannya penyelesaian

sengketa melalui abitrase secara elektronik. Sepanjang tidak melanggar

Pasal 54 ayat (2) dan (3), putusan arbitrase ini mempunyai kekuatan

hukum tetap sekaligus eksekutorial sesuai dengan Pasal 59 ayat (2)

UUAAPS. Namun pada putusan abitrase lektronik ini tidak hanya bersadar

8
pada UUAAPS saja namun juga bersandar pada UU ITE sebagai dasar

hukum pendukung dari ketentuan Pasal 4 ayat (3) UUAAPS.

Saran yang dapat saya berikan ialah semestinya ada peraturan

pelaksaan penyelesaian sengketa melalui abitrase secara elektronik adagar

terciptanya sebuah kepastian hukum mengenai absahnya putusan dari hasil

penyelesaian sengketa abitrase secara elektronik itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Rachmadi Usman. 2012. Mediasi do Pengadilan: Dalam Teori dan Praktik.

Jakarta: Sinar Grafika

9
hanifah
by Raissa Widyasari

Submission date: 29-Dec-2022 11:50AM (UTC+0900)


Submission ID: 1987199896
File name: R_ASUFIE_2220215320031_MAKALAH_PENYELESAIAN_SENGKETA_BISNIS.docx (30.56K)
Word count: 1424
Character count: 9487
11
3

2
6

1
10

5
1

13

1
1

1
1

12
1

1
hanifah
ORIGINALITY REPORT

20 %
SIMILARITY INDEX
19%
INTERNET SOURCES
6%
PUBLICATIONS
6%
STUDENT PAPERS

PRIMARY SOURCES

1
jurnal.unmer.ac.id
Internet Source 9%
2
Riris Fadaniyah Moh. Horah, Erie Hariyanto.
"Upaya Penyelesaian Sengketa Ekonomi
2%
Syari’ah Jalur Non-Litigasi Melalui Mediasi",
Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam,
2021
Publication

3
kalilangse.blogspot.com
Internet Source 1%
4
dspace.uii.ac.id
Internet Source 1%
5
tiarramon.wordpress.com
Internet Source 1%
6
Submitted to Sriwijaya University
Student Paper 1%
7
Submitted to Universitas Nasional
Student Paper 1%
8
Submitted to Udayana University
Student Paper
1%
9
repository.unpar.ac.id
Internet Source 1%
10
123dok.com
Internet Source 1%
11
Agus Salim. "Al-S?ulh?: dalam Arbritase Tata
Hukum Islam Klasik", Tafáqquh: Jurnal
1%
Penelitian Dan Kajian Keislaman, 2018
Publication

12
docplayer.info
Internet Source 1%
13
jurnal.uii.ac.id
Internet Source 1%

Exclude quotes Off Exclude matches Off


Exclude bibliography Off

Anda mungkin juga menyukai