Anda di halaman 1dari 9

PAPER

MENINJAU IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK PADA TRANSAKSI


ELETRONIK TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN

Paper ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Penalaran Hukum
Kelas B

Disusun oleh:
DENISA YUNITA PUTRI
NIM C.100.220.063

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Kelik Wardiono, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
A. Latar Belakang
Adanya teknologi internet yang menawarkan segudang manfaat menjadi
bukti bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami kemajuan pesat
akhir-akhir ini. Komputer dan jaringan komputer di seluruh dunia terhubung
melalui Internet, atau Jaringan Interkoneksi.1 Masyarakat yang dibatasi jarak
dapat berkomunikasi dengan lebih mudah berkat internet. Hal ini juga berdampak
pada transaksi karena transaksi kini dapat diselesaikan menggunakan saluran
komunikasi yang terhubung ke internet dibandingkan memerlukan pertemuan
tatap muka. Kami menyebut transaksi semacam ini sebagai transaksi elektronik.
Perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer, dan/atau media elektronik lainnya disebut dengan transaksi elektronik.2
Berawal dari transaksi elektronik dapat menciptakan suatu hubungan hukum
antara para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut, diantaranya adalah
hubungan hukum karena kesepakatan atau kontrak, yang kemudian kontrak ini
disebut kontrak elektronik. Kontrak elektronik adalah kontrak yang dibuat dengan
menggunakan sistem elektronik. Sebagaimana diketahui kontrak atau perjanjian
adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling sepakat
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Konrak elektronik merupakan
kontrak yang pembuatannya diwujudkan melalui perbuatan riil berupa “transaksi
elektronik”.3 Pada dasarnya kontrak elektronik itu sama dengan kontrak pada
umumnya atau konvensional, bedanya hanya jika kontrak elektronik dibuat
melalui sistem elektronik sedangkan kontrak konvensional dibuat tanpa melalui
sistem elektronik tetapi langsung dibuat secara lisan maupun tertulis dalam kertas
tertentu. Proses pembuatan kontrak elektronik yang diawali penawaran hingga
penerimaan dan tercapai sepakat dilakukan semua melalui sistem elektronik
menggunakan jaringan internet.

1
Puskominfo Unsurya. (2014). Definisi Dan Perbedaan Internet, Intranet Dan Extranet.
Tersedia di https://universitassuryadarma.ac.id/definisi-dan-perbedaan-internet-intranet-dan-
extranet/, diakses pada 12 Desember 2023.
2
Poernomo, S. L. (2019). Standar Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 109-120.
3
Syaifuddin, M. (2012). Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung: Mandar
Maju, hlm 239.
Transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum yang menggunakan
media komputer dan jaringan komputer atau media elektronik lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disebut PP Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik),
cakupan penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam cakupan
publik ataupun privat. Sehingga diketahui bahwa transaksi elektronik ini bersifat
umum dan luas dapat digunakan di semua bidang.
Internet telah memberi kemudahan dalam hal transaksi, diantaranya
transaksi perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce. Di zaman
serba digital saat ini, banyak pelaku usaha yang menggunakan cara elektronik
untuk menjual barang/jasanya. Saat ini telah banyak perdagangan yang dilakukan
melalui sistem elektronik oleh pelaku usaha, baik usaha besar maupun usaha kecil,
baik lembaga perbankan maupun institusi pemerintah. 4 Menurut Pasal 1 angka 24
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU Perdagangan)
perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya
dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Perdagangan
elektronik atau e-commerce merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup
transaksi elektronik. Perdagangan elektronik tidak hanya berupa jual-beli tetapi
juga perbuatan hukum lain seperti jasa pembuatan aplikasi online, pinjaman
online, asuransi dan lain sebagainya menggunakan kontrak elektronik.5
Dampak dari adanya internet sebagai hasil dari kemajuan perkembangan
teknologi informasi bagi konsumen di satu sisi telah mengubah perilaku
konsumen menjadi semakin kritis dan selektif dalam menentukan produk yang
akan dipilihnya. Begitu pula bagi produsen, kemajuan ini memberi dampak positif
dalam memudahkan pemasaran produk sehingga dapat menghemat biaya dan
waktu.6 Sebaliknya, karena kedua belah pihak secara fisik tidak bertemu maka

4
Salim HS. (2021). Hukum Kontrak Elektronik (E-Contract Law). Depok: Rajawali Perss,
hlm 3.
5
Maruli, F., & Alamsyah, D. (2021). KEJAHATAN BISNIS DALAM PERDAGANGAN
ONLINE. Law Journal of Mai Wandeu, 1(1), 23-31.
6
Wariati, A., & Susanti, N. I. (2014). E-commerce dalam perspektif perlindungan
konsumen. ProBank, 1(1), 162105.
kemungkinan lahirnya bentuk-bentuk kecurangan atau kekeliruan menjadi
perhatian utama yang perlu penanganan lebih besar. Dampak negatif dari e-
commerce itu sendiri cenderung merugikan konsumen. Diantaranya dalam hal
yang berkaitan dengan produk yang dipesan tidak sesuai dengan produk yang
ditawarkan, dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Contoh kasus saat belanja barang secara online, tapi barang yang dibeli tidak sama
dengan yang dilihat difoto pada iklan yang dipajang.7

B. Rumusan Masalah
Bertitik pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsepsi hukum kontrak pada transaksi elektronik?
2. Bagaimana implementasi hukum kontrak pada transaksi elektronik terhadap
perlindungan konsumen?

C. Premis Mayor
Hak sebagai konsumen diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik
Indonesia yang berlandaskan pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33 yang dapat diketahui sebagai berikut:
1. Hak untuk memilih barang
Konsumen mempunyai hak penuh dalam memilih barang yang nantinya akan
digunakan atau dikonsumsi. Tidak ada seorangpun yang berhak mengatur
bahkan produsen yang bersangkutan sekalipun. Begitu pula hak untuk
memeriksa mutu barang yang akan dibeli atau dikonsumsi di kemudian hari.
2. Hak untuk menerima kompensasi dan kompensasi
Konsumen berhak menerima ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang
diterimanya dalam suatu transaksi jual beli. Jika tidak ada kesesuaian gambar
atau kualitas, konsumen berhak mengajukan klaim terhadap produsen.

7
Pariadi, D. (2018). Pengawasan E Commerce Dalam Undang-Undang Perdagangan Dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 651-669.
3. Hak untuk memperoleh barang/jasa yang layak
Konsumen mempunyai hak untuk menerima produk dan jasa sesuai dengan
perjanjian tertulis. Misalnya dalam transaksi online, jika ada layanan gratis
ongkir maka harus diterapkan seperti itu. Jika tidak sesuai, konsumen berhak
menuntut hak tersebut.
4. Hak untuk menerima kebenaran atas segala informasi yang pasti
Hal terpenting bagi konsumen adalah mengetahui informasi apa saja yang
berkaitan dengan produk yang dibelinya. Produsen dilarang menutupi atau
mengurangi informasi terkait produk atau layanannya. Misalnya jika terdapat
cacat atau kekurangan pada suatu barang, maka produsen wajib memberikan
informasi kepada konsumen.
5. Hak atas pelayanan tanpa diskriminasi
Perilaku diskriminatif terhadap konsumen merupakan salah satu bentuk
pelanggaran hak konsumen. Pelayanan yang diberikan oleh produsen tidak
boleh menunjukkan perbedaan antara konsumen satu dengan konsumen
lainnya.
Perbuatan hukum yang melibatkan penggunaan komputer, jaringan
komputer, atau media elektronik lainnya disebut dengan transaksi elektronik.
Ruang lingkup pelaksanaan transaksi elektronik dapat dilakukan di ranah publik
atau privat, sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut PP tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik). Telah diketahui dengan baik bahwa transaksi elektronik bersifat
universal dan memiliki penerapan luas di semua industri.
Lebih jelasnya lagi, pelaku usaha tidak diperkenankan memperdagangkan
barang atau jasa yang tidak memenuhi janji pada label, informasi, iklan, atau
promosi penjualan barang atau jasa tersebut berdasarkan Pasal 8 UUPK. Menurut
pasal tersebut, pelaku usaha memperdagangkan produk apabila terdapat perbedaan
antara spesifikasi barang yang diterima dengan barang yang ditampilkan pada
iklan atau foto adalah melanggar hukum.
Maka konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UUPK berhak mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila
pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana
berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13
ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2)
dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

D. Premis Minor
Pada umumnya saat berbelanja online (melalui e-commerce), Anda perlu
berhati-hati karena apa yang ditampilkan, dipesan, dan diantarkan bisa saja tidak
sesuai dengan harapan pelanggan. Ini berarti pembeli dapat mengembalikan
barang dengan kondisi yang sama seperti jika terjadi kesalahan pengiriman,
misalnya jika warna hitam yang diminta diubah menjadi merah. Namun, hal ini
membuat pelanggan terikat, terutama jika barang yang dikembalikan adalah warna
atau model yang sudah tidak diproduksi lagi. Harus menunggu produksi produk
dan model yang setara. Secara umum, perjanjian tradisional, terutama perjanjian
perdagangan e-commerce, terkait erat dengan beberapa tantangan atau kontroversi
yang ada. Diakui, kegagalan untuk mematuhi ketentuan perjanjian sering disebut
sebagai pelanggaran kontrak.
Menurut undang-undang, perubahan pikiran tidak diperbolehkan dalam
transaksi, penyelesaian dalam transaksi e-commerce terkait erat dengan orang
yang melakukan transaksi. Terlepas dari apakah itu transaksi biasa (tradisional)
atau transaksi online, kontrak akan diakhiri setelah para pihak melakukan
tugasnya masing-masing. Selama transaksi online, berbagai pihak yang terlibat
dalam pertukaran berbagi tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian. Transaksi
online bisnis-ke-bisnis dan bisnis-ke-konsumen memerlukan setidaknya tiga
pihak: pemasok komoditas (penjual), penyedia layanan distribusi (pengemas), dan
penyedia layanan pembayaran (bank). Biasanya, di setiap bagian bisnis
(penawaran, pembayaran, dan pengiriman), masing-masing mitra membagi tugas
sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan pada saat proses penawaran
dan proses persetujuan atas jenis barang yang dibeli. Pembeli menerima
konfirmasi bahwa pesanan atau pemilihan barang telah dikonfirmasi oleh penjual,
dan penjual menerima persetujuan untuk jenis barang yang dipilih. Sambil
menunggu barang sampai atau diantarkan ke alamat pembeli, maka transaksi
antara penjual dan pembeli pada tahap persetujuan barang dapat dikatakan selesai
sebagian. Dalam transaksi e-commerce, penjual menerima konfirmasi dari bank
yang ditunjuk oleh penjual, dan setelah pembeli membayar harga barang yang
dipesan, penjual akan memproses atau mengirimkan konfirmasi kepada
perusahaan jasa transportasi untuk mengantarkan barang yang dipesan kepada
alamat pembeli, karena biasanya bank baru akan menerima permintaan tersebut.
Kesepakatan/perjanjian diakhiri atau proses selesai saat penawaran, pembayaran,
dan pengiriman produk selesai.
Pelaku usaha yang menjual jasa dan produk secara elektronik harus
menyampaikan informasi yang lengkap dan benar tentang ketentuan kontrak,
produsen, dan barang. E-commerce dapat dipahami dalam beberapa cara, antara
lain sebagai berikut:
a. Ada kontrak untuk bisnis;
b. Media elektronik digunakan untuk menandatangani kontrak;
c. Para pihak tidak perlu hadir secara fisik;
d. Perjanjian tersebut terjadi dalam suatu organisasi publik;
e. Framework bersifat terbuka, khususnya melalui web atau WWW;
f. Kontrak berlaku lintas batas negara dan yurisdiksi.
Seperti yang kita ketahui bersama, sebuah perjajian e-commerce memiliki
dua partisipan yaitu pembeli, pelanggan dan konsumen yang bertindak sebagai
pembeli dan pedagang, atau pelaku bisnis yang melakukan transaksi. Transaksi
media internet juga melibatkan pemasok seperti penyedia layanan internet dan
bank sebagai mekanisme pembayaran, selain konsumen dan pelaku usaha.
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat
perjanjian, artinya kedua belah pihak harus mentaati perjanjian itu seolah-olah
suatu undang-undang. Jika seseorang melanggar perjanjian atau mengundurkan
diri tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka dianggap tidak sah dan akan
dikenakan akibat hukum terutama sanksi hukum. Hal ini dikarenakan pentingnya
(urgensi) syarat sahnya perjanjian tersebut, apabila syarat-syarat perjanjian
tersebut tidak diikuti, maka perjanjian baik konvensional maupun online seperti
perjanjian e-commerce dianggap tidak sah. Karena popularitas Internet, sikap
pembelian masyarakat telah berubah. Dengan banyaknya platform jual beli di
internet, sekarang berbelanja di mana saja bisa dilakukan dan semua barang lebih
mudah diakses karena perusahaan e-commerce terus meningkatkan layanan di
platform mereka. Namun, saat berbelanja online, berbagai faktor perlu
dipertimbangkan seperti kenaikan biaya, kualitas produk, pembayaran digital,
masalah keamanan, serta prosedur pengiriman dan pengembalian produk.
Legalitas kontrak e-commerce (online contract/electronic contract) dan
kekuatan bukti kontrak dalam kasus sengketa merupakan dua isu yang muncul
selama implementasi ecommerce. Tunduk pada hal tersebut di atas, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya tata cara HIR/Rbg untuk
menyelesaikan sengketa perdata melalui pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Maruli, F., & Alamsyah, D. (2021). KEJAHATAN BISNIS DALAM


PERDAGANGAN ONLINE. Law Journal of Mai Wandeu, 1(1), 23-31.
Pariadi, D. (2018). Pengawasan E Commerce Dalam Undang-Undang
Perdagangan Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum
& Pembangunan, 48(3), 651-669.
Poernomo, S. L. (2019). Standar Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 109-120.
Puskominfo Unsurya. (2014). Definisi Dan Perbedaan Internet, Intranet Dan
Extranet. Tersedia di https://universitassuryadarma.ac.id/definisi-dan-
perbedaan-internet-intranet-dan-extranet/, diakses pada 12 Desember 2023.
Salim HS. (2021). Hukum Kontrak Elektronik (E-Contract Law). Depok:
Rajawali Perss.
Syaifuddin, M. (2012). Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan). Bandung: Mandar Maju.
Wariati, A., & Susanti, N. I. (2014). E-commerce dalam perspektif perlindungan
konsumen. ProBank, 1(1), 162105.

Anda mungkin juga menyukai