Anda di halaman 1dari 20

TESIS MINOR

TANGGUNG GUGAT ATAS KEBOCORAN DATA PRIBADI TERHADAP


KEABSAHAN HUBUNGAN KONTRAKTUAL DALAM E-COMMERCE

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) – HUKUM SIBER DAN KENOTARIATAN

Oleh:

NADYA EKA AMALIA AL’AZZA (233221046)

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2023
A. LATAR BELAKANG
Pada era modern saat ini kehidupan manusia secara umum tidak terlepas dari
adanya proses digitalisasi. Negara Indonesia pada Tahun 2019 menjadi negara dengan
peringkat 10 (sepuluh) terbesar pada pertumbuhan e-commerce dengan angka
peningkatan 78 (tujuh puluh delapan) persen sebagai negara peringkat pertama dalam
skema nilai perdagangan melalui elektronik (e-commerce).1 Adapun definisi dari e-
commerce menurut Organization for Economic Co-Operation and Development
(OECD) merupakan:2
An e-commerce transaction is the sale or purchase of goods or services,
conducted over computer networks by methods specifically designed for the
purpose of receiving or placing of orders. The goods or services are ordered
by those methods, but the payment and the ultimate delivery of the goods or
services do not have to be conducted online. An e- commerce transaction can
be between enterprises, households, individuals, governments, and other
public or private organisations. To be included are orders made over the
web, extranet or electronic data interchange. The type is defined by the
method of placing the order. To be excluded are orders made by telephone
calls, facsimile or manually typed e-mail.

Sedangkan, berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 88 (delapan


puluh delapan) persen pengguna internet di Negara Indonesia telah memanfaatkan
layanan e-commerce dalam aktivitas transaksi jual beli. 3 Oleh sebab itu, dari data yang
ada dapat diketahui bahwa terdapat sekitar 129 (seratus dua puluh sembilan) juta
penduduk yang menggunakan e-commerce sebagai platform transaksi jual beli, yang
mana hal tersebut juga mendongkrak nilai transaksi di e-commerce sebesar Rp.
266.000.000.000.000 (dua ratus enam puluh enam triliun rupiah). 4 Pada pokoknya
transaksi jual beli online di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80
Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik PMSE (selanjutnya
disebut PP PMSE). Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 PP PMSE pada pokoknya
yang dimaksud dengan PMSE adalah: ‘’perdagangan yang transaksinya dilakukan
1
Daon, ‘Kemkominfo: Pertumbuhan e-Commerce Indonesia Capai 78 Persen’ (Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI, 2019) <https://kominfo.go.id/content/detail/16770/kemkominfo-
pertumbuhan-e-commerce-indonesiacapai-78-persen/0/sorotan_media> accessed 30 April 2023.
2
Organization for Economic Co-Operation and Development, ‘OECD Guide to Measuring the
Information Society 2011’ (2011)
<https://www.oecd.org/sti/ieconomy/oecdguidetomeasuringtheinformationsociety2011.htm>.
3
Hesti Rika, ‘88,1 Persen Pengguna Internet Belanja Dengan E-Commerce, CNN Indonesia’
(2021) <https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211111123945-78-719672/881-persen-pengguna-
internet-belanja-dengan-e-commerce> accessed 30 April 2023.
4
ibid.
melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.’’ Sedangkan, merujuk pada
ketentuan Pasal 4 Ayat (1) PP PMSE, dapat diketahui pihak yang dapat melakukan
PMSE adalah konsumen, pribadi, pelaku usaha dan instansi penyelenggara negara.
Adapun terhadap besarnya jumlah pengguna e-commerce dalam platform
transaksi jual beli online, sudah sepatutnya perlu untuk menganalisis keabsahan
hubungan kontraktual diantara para pihak (dalam hal ini adalah penjual, pembeli,
penyedia platform, dan kurir) yang pada kedudukannya telah bersepakat atau
melakukan hubungan hukum sekaligus hal-hal yang berkaitan dengan data pribadi
pengguna e-commerce. Lebih rinci, pada era modernisasi saat ini analisa terhadap
keabsahan hubungan hukum tersebut sangatlah diperlukan, hal ini mengingat dalam
praktiknya para pihak (dalam hal ini adalah penjual dan pembeli) dalam melaksanakan
transaksi tidak bertemu secara fisik, sehingga sangat dimungkinkan terjadi bentuk-
bentuk kecurangan maupun kekeliruan didalamnya. Selain itu, platform e-commerce
juga sering kali memberikan dampak yang merugikan bagi konsumen, tak terkecuali
terhadap adanya permasalahan produk yang tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan,
atau dengan kata lain terhadap barang yang dipesan tidak sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati oleh para pihak. Halim Barkahtullah yang menyebut terdapat 6
(enam) kelemahan e-commerce, yaitu:5
1. Konsumen atau pembeli tidak dapat melakukan identifikasi barang, melihat
secara menyeluruh suatu barang, atau bahkan menyentuh barang yang akan
dibelinya guna melihat kondisi barang yang akan dipesan;
2. Terdapat ketidakjelasan yang berkaitan dengan informasi sebuah produk yang
ditawarkan oleh penjual atau tidak adanya kepastian mengenai informasi
dimana sepatutnya diketahui oleh konsumen, atau yang seharusnya informasi
tersebut sangat dibutuhkan oleh konsumen untuk mengambil segala keputusan
atau tindakan dalam melakukan transaksi;
3. Tidak adanya kejelasan kedudukan subjek hukum pelaku usaha;
4. Tidak ada jaminan mengenai keamanan untuk melakukan transaksi sekaligus
penjaminan pada perlindungan pada privasi serta pemberitahuan pada risiko
yang berkaitan dengan sistem operasi yang digunakan;
5. Adanya beban risiko yang tidak seimbang, seperti contoh pada kebanyakan
kasus dimana pembeli telah melakukan pembayaran secara kontan sejak
pemesanan atau sudah di check out di awal, sedangkan barang yang telah
dibayar tersebut belum diterima, sebab sistem jaminan yang diberikan berupa
jaminan pengiriman barang yang dibeli bukan penerimaan barang yang sudah
dibeli;

5
Sulasi Rongiyati, ‘Pelindungan Konsumen Dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem Elektronik’
(2019) 10 Negara Hukum 3.
6. Dalam transaksi melibatkan para pihak yang berada pada lintas batas negara
(borderless), dapat menimbulkan adanya permasalahan yurisdiksi hukum dan
masalah penerapan peraturan hukum negara mana yang berlaku.

Selain itu, terhadap bentuk pelanggaran tersebut secara normatif juga melanggar
ketentuan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) jo Pasal 13 huruf b dan c
PP PMSE yang menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib untuk memberikan informasi
yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa yang
diperjualbelikan, atau dengan arti lain barang dan/atau jasa tersebut harus sesuai dengan
fungsi, karakteristik, dan perannya dalam transaksi tersebut serta memenuhi ketentuan
etika periklanan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa transaksi dalam e-
commerce yang telah menjadi alternatif penting dalam transaksi jual beli bagi sebagian
besar masyarakat memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
transaksi dagang secara konvensional. Selain itu, belum adanya pengaturan yang secara
spesifik terkait aspek pelindungan konsumen e-commerce juga menjadi kendala utama
didalamya. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan keabsahan kontraktual di dalam transaksi e-commerce, tak
terkecuali dalam pertanggungjawaban hukum apabila ditemukan permasalahan yang
tidak diinginkan. Sedangkan, untuk menjawab rumusan masalah diatas penelitian dalam
tesis minor ini menggunakan metode penelitian dengan melakukan pendekatan yuridis
normatif atau sering kali disebut dengan penelitian hukum kepustakaan. Soerjono
Soekarto menyatakan: ‘’pendekatan dengan menggunakan yuridis normatif merupakan
penelitian hukum dengan cara melakukan penelitian pada bahan pustaka atau data
sekunder untuk dijadikan sebagai bahan dasar penelitian dengan cara menulusuri
peraturan-peraturan dan literatur-literatur ada kaitannya dengan permasalahan yang
akan diteliti.6’’ Oleh sebab itu, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah model pendekatan pada peraturan perundang-undangan (statute
approach) dan model pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan cara
melakukan telaah pada semua peraturan perundang-undangan atau regulasi lain yang

6
Soekanto Soerjono and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Rajawali Pers 2001).
berkaitan dengan persoalan hukum,7 serta berangkat dari adanya pandangan dan
pemikiran maupun doktrin-doktrin yang sudah berkembang pada ilmu hukum.8

B. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Tanggung Gugat dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakikatnya perihal tanggung gugat, BW sendiri tidak memberikan definisi yang
jelas didalamnya. Namun, Yohanes Sogar Simamora pada pokoknya menyatakan bahwa
terhadap adanya tanggung gugat sendiri dalam praktiknya tidaklah hanya dapat
diartikan sebagai bentuk ganti kerugian, melainkan juga merupakan bentuk upaya
pemulihan kepada keadaan semula.9 Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Ilmu Hukum menyatakan bahwa:10 ‘’Tanggung gugat (liability atau
aansprakelijkheid) merupakan suatu bentuk spesifik dari konsep tanggung jawab.
Adapun pengertian tanggung gugat pada dasarnya dapat merujuk kembali kepada
posisi seseorang atau badan hukum yang dalam kedudukannya haruslah dipandang
wajib dalam membayar suatu bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya
peristiwa hukum atau tindakan hukum. Istilah tanggung gugat berada dalam ruang
lingkup hukum privat.’’ Adapun terkait ruang lingkup tanggung gugat dalam hukum
perdata dengan kaitannya pada ketentuan Buku III BW tentang perikatan yang dapat
dilahirkan karena adanya perjanjian dan undang-undang, dapat ditarik kesimpulan
bahwa secara konseptual keberlakuan tanggung gugat dalam praktiknya dapat meliputi
2 (dua) hal utama, yakni:11

(1) Tanggung gugat yang didasarkan atas hubungan kontraktual antara para pihak dalam
suatu kontrak;
(2) Tanggung gugat yang didasarkan atas PMH (onrechtmatige daad), dalam hal ini
tidak diisyaratkan dengan adanya kerugian.
Pada dasarnya subyek hukum yang dapat dibebankan tanggung gugat atas perbuatan
yang dilakukannya adalah dia memikul tanggung jawab hukum, adapun dalam hal ini

7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi (Kencana Prenada Media Group 2017)
133.
8
Marzuki (n 7).
9
Siti Kotijah, ‘Tanggung Gugat Hukum Perusahaan Akibat Pengelolaan Pertambangan
Batubara’ (2011) 26 Yuridika 287.
10
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Kencana 2008) 258.
11
Fifi Junita, ‘Aspek Tanggung Gugat Bank Dalam Kontrak Transaksi Derivatif’ [2002]
Makalah Penelitian Perbankan, Fakultas Hukum Unair 10.
dapat diartikan bahwa terhadap subyek hukum terkait akan bertanggung gugat atas
suatu sanksi bilamana perbuatannya terbukti bertentangan. 12 Merujuk pula pada
pendapat J.H. Nieuwenhuis yang pada pokoknya menyatakan bahwa terhadap jenis
tanggung gugat sendiri secara konseptual terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Tanggung gugat yang didasarkan atas kesalahan yang telah dilakukan, atau dengan
arti lain terdapat pihak yang melanggar ketentuan dalam pelaksanaan kontrak
sehingga mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak. Adapun terhadap kesalahan
tersebut dalam hukum perdata tidak dibedakan antara kesalahan yang lahir karena
adanya kesengajaan; kelalaian; atau kurang hati-hatinya pelaku;13
2. Tanggung gugat yang didasarkan akibat keberlakuan suatu peraturan yang
mengaturnya. Adapun terhadap hal ini dapat diartikan bahwa seseorang dan/atau
pihak tertentu dapat dibebankan tanggung gugat bukan karena kesalahan yang
dilakukannya, melainkan ia bertanggung gugat karena adanya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Tanggung gugat ini dalam praktiknya
sering kali dikenal dengan istilah tanggung gugat risiko (tanggung gugat karena
adanya suatu risiko).
Disamping kedua jenis tanggung gugat sebagaimana telah terurai diatas, dalam
praktiknya juga sering kali dikenal adanya keberlakuan tanggung gugat yang didasarkan
atas kesalahan dengan beban pembuktian terbalik atau biasa dikenal dengan istilah
tanggung gugat atas dasar praduga tak bersalah dan tanggung gugat mutlak. 14 Secara
konseptual tanggung gugat ini memiliki keberlakuan yang berbeda jika dibandingkan
dengan konsep tanggung gugat pada umumnya, yakni terkait tidak adanya keharusan
oleh pihak pelaksana tanggung gugat untuk membuktikan kesalahan dari pihak yang
menyebabkan kerugian. Oleh sebab itu, terhadap tanggung gugat mutlak ini di dalam
kepustakaan hukum juga sering kali dikenal dengan istilah absolute liability atau strict
liability dengan memandang bahwa terhadap adanya suatu kesalahan tidaklah menjadi
hal yang relevan untuk dipermasalahkan keberadaannya, melainkan adanya kondisi
yang mengakibatkan kerugian atas perbuatan orang lainlah yang menjadi poin utama

12
Titik Triwulan and Shinta, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka 2010) 21.
13
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum (Pustaka Kartini
1998) 276.
14
ibid 83.
dalam dilakukannya suatu tanggung gugat.15 Adapun dari jenis tanggung gugat diatas
dapat disimpulkan bahwa adanya tanggung gugat sendiri dalam praktiknya dibebankan
terhadap siapapun yang mengakibatkan suatu kerugian pada pihak lain baik karena
PMH atau wanprestasi, maka sudah sewajarnya pihak yang mengakibatkan kerugian
tersebut haruslah bertanggung gugat atas perbuatan yang dilakukan, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. In Casu, merujuk pada kebocoran data pribadi pengguna
terhadap keabsahan hubungan kontraktual dalam e-commerce secara normatif termasuk
ruang lingkup hukum perlindungan konsumen yang secara teori sering kali dikenal 2
(dua) doktrin yaitu caveat emptor dan caveat venditor. Adapun terhadap kedua prinsip
tersebut sangat lekat kaitannya dengan prinsip tanggung gugat dalam hukum
perlindungan konsumen yang bertumpu pada tanggung gugat si konsumen (pelaku
usaha) untuk dapat diketahui siapakah yang dapat dan mampu bertanggung gugat.
Doktrin caveat emptor sering kali dikenal dengan istilah let the buyer beware
merupakan pemahaman bahwa pembeli harus melindungi dirinya sendiri, yang mana
apabila berangkat pada doktrin ini, permasalahan pada konsumen lahir dengan titik
berat pada aspek transaksi konsumen, atau dengan kata lain terdapat konsepsi bahwa
konsumenlah yang harus memikirkan dan bertanggung gugat atas perlindungan
terhadap kepentingannya, hal ini mengingat kedudukan konsumen sejajar dengan pelaku
usaha yang menerima konsekuensi sepenuhnya. Namun, sebagaimana diketahui dalam
praktiknya konsumen tidak memperoleh akses informasi yang sama terhadap obyek
yang ditransaksikan, sehingga kerap kali mengakibatkan tidak terbukanya akses yang
juga secara dominan menimbulkan kesan pelaku usaha ‘’lepas tangan’’ layaknya tidak
bertanggung gugat atas cacat atau kerugian. Lebih rinci, pada perkembangannya juga
dikenal doktrin pertanggungjawaban caveat venditor yang dilatarbelakangi
perkembangan perdagangan secara global (mass production and mass consumer
consumption). Caveat venditor atau let seller beware menegaskan bahwa pelaku usaha
dalam hal ini dituntut untuk perlu berhati-hati terlebih dahulu atas produk yang
diperdagangkan dan ditawarkan, yang mana hal ini juga dimaksudkan sebagai upaya
dari pelaku usaha untuk mencegah terjadinya kerugian atas penggunaan produk.
Berdasarkan doktrin ini, kedua belah pihak baik pelaku usaha maupun konsumen
memiliki pengetahuan yang lebih akurat tentang kualitas produk. Selain itu, doktrin
15
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia (Citra Aditya Bakti 2010) 7.
caveat venditor juga berangkat dari keyakinan bahwa pelaku usaha adalah pihak yang
paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi. Oleh sebab itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-
hati dalam memproduksi suatu produk sehingga tidak merugikan kepentingan
konsumen, serta mengabaikan kriteria kelayakan yang telah ditetapkan, tak terkecuali
dalam menjamin keamanan data pribadi pengguna. Doktrin caveat venditor ini
diimplementasikan dalam hukum perlindungan konsumen, khususnya di dalam
peraturan hukum yang memuat prinsip tanggung gugat atas produk dengan meletakkan
prinsip kehati-hatian yang dibebankan pada pelaku usaha, sehingga beban pembuktian
ada pada pelaku usaha sebagai tanggung gugat mutlak (strict liability).

Teori Keabsahan Hubungan Kontraktual


Merujuk pada ketentuan Pasal 1320 BW dapat diketahui terhadap keberlakuan
perjanjian pada dasarnya harus memenuhi syarat obyektif dan subyektif. Adapun
terhadap syarat tersebut dapat meliputi adanya keabsahan para subyek hukum dalam
melaksanakan perjanjian; kesepakatan para pihak dalam mengikatkan dirinya (asas
konsensualisme); kecakapan dalam membuat suatu perikatan (menanggung hak dan
kewajiban); adanya obyek perjanjian yang sah; serta adanya suatu sebab yang
diperbolehkan. Sedangkan, terhadap ketentuan Pasal 1338 BW dapat diketahui bahwa
perjanjian sendiri akan berlaku layaknya undang-undang bagi para pelaku usaha yang
menyepakatinya, sehingga secara mutlak terhadap hal ini akan berlaku pula asas pacta
sunt servanda pada perjanjian dan melahirkan akibat hukum didalamnya. Lebih rinci,
hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak
(right) dan kewajiban (duty/obligation).16 Oleh sebab itu, suatu perjanjian yang
memenuhi keabsahan akan memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak
didalamnya, atau dengan kata lain akan melahirkan akibat hukum dari adanya perikatan
apabila (I) Para pihak terikat pada perjanjian atas dasar kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1338, 1339 dan 1340 BW;
(2) Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik (good faith) sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) BW. Agus Yudha Hernoko dalam bukunya menyatakan

16
Johannes Ibrahim and Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern (PT
Refika Aditama 2007) 80.
terdapat beberapa jenis karakteristik dalam menentukan asas proporsionalitas pada
suatu kontrak, diantaranya:17

a. Kontrak yang memiliki substansi asas proporsional adalah jenis kontrak yang
memberikan pengakuan terhadap adanya peluang, hak, dan kesempatan yang
sama kepada para kontraktan (dalam hal ini adalah para pihak yang bersepakat)
untuk menentukan suatu pertukaran yang dirasa adil bagi mereka. Kesamaan
bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan lebih pada posisi para pihak
yang mengandaikan kesetaraan kedudukan dan hak (equitability), prinsip
kesamaan hak atau kesetaraan hak;
b. Adapun berlandaskan pada kesamaan dan/atau kesetaraan hak tersebut, pada
dasarnya kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah jenis kontrak
yang dilandasi oleh adanya kebebasan para kontraktan untuk menentukan
setiap substansi apapun yang dirasa adil dan apa yang tidak dirasa adil bagi
mereka (prinsip kebebasan);
c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah suatu jenis kontrak yang
mampu menjamin adanya pelaksanaan hak, sekaligus mendistribusikan setiap
kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digaris bawahi bahwa
keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu
dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir
yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini terkait keberlakuan prinsip
distribusi-proporsional pada hak dan kewajiban para pihak haruslah mengacu
pada pertukaran yang fair (prinsip distribusi-proporsional);
d. Adapun dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka sudah sepatutnya terkait
beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan, maupun hal-hal lain yang
terkait haruslah diukur berdasarkan keberlakuan asas proporsionalitas untuk
memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win-win solution.

Lebih rinci, konsep hubungan kontraktual para pihak dalam perjanjian pada
dasarnya merujuk pada jenis-jenis perjanjian pada umumnya, yakni terkait keberlakuan
syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, diantaranya:
(1) Para Pihak Sepakat Untuk Mengikatkan Diri
Pada prinsipnya kata sepakat merupakan salah satu faktor utama yang menjiwai suatu
perjanjian, adapun melalui kata sepakat dapat diartikan bahwa setiap kehendak pihak
satu juga akan dikehendaki pula oleh pihak lainnya secara fair tanpa adanya paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling), maupun penipuan (bedrog) sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1321 BW. Adapun syarat sepakat (toestemming) sendiri merupakan pencerminan
dari asas konsensualisme, yang berarti bahwa dengan adanya kata sepakat maka telah
lahir pula perjanjian tersebut. Lebih rinci, terhadap adanya unsur sepakat juga diatur
dalam ketentuan New Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut NBW), yakni pada
17
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial
(Kencana 2011) 88–89.
ketentuan Buku VI, Titel 5 tentang keberlakuan Kontrak Pada Umumnya (Contracts in
General; Overeenkomsten in Het Algemeen); Bagian 2 tentang Pembentukan Kontrak
(Formation of Contracts; Het tot Stand Komen Van Overeenkomst); serta dalam
ketentuan Pasal 6:217 NBW yang pada pokoknya menyatakan, bahwa: ‘’a contract is
formed by an offer and its acceptance; Articles 219-225 apply unless the offer; another
juridical act or usage produce a different result.’’ 18 Adapun terhadap ketentuan pasal
tersebut pada hakikatnya lebih menekankan terkait pentingnya suatu kesepakatan
sebagai dasar pembentukan kontrak dengan bentuk kesepakatan yang dimaksud oleh 2
(dua) unsur fundamental, yakni penawaran (offer; aanbod); dan penerimaan
(acceptance; aanvaarding), hal ini juga selaras dengan ketentuan sebagaimana
dipersyaratkan dalam Pasal 1320 BW (syarat 1).19
(2) Para Pihak Cakap dalam Membuat Suatu Perikatan
Pada prinsipnya salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah ketentuan Pasal 1329
BW, yakni terkait adanya kedudukan subyek yang cakap menurut hukum. Adapun yang
dimaksud dengan cakap sendiri ialah setiap orang yang sudah dewasa; akilbaliq
dan/atau sehat pikirannya. Oleh sebab itu, terhadap subyek hukum yang membuat
dan/atau terikat pada suatu perjanjian haruslah mempunyai cukup kemampuan untuk
dapat bertanggung jawab atas hak dan kewajiban yang dipikulnya.
(3) Adanya Obyek Tertentu
Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal 1332 BW pada dasarnya dikatakan bahwa
suatu perjanjian sah apabila terdapat prestasi yang telah ditentukan atau setidak tidaknya
dapat ditentukan dalam keberlakuannya. Adapun apabila terhadap obyek yang
bersangkutan tidaklah dapat disebutkan secara rinci, maka dalam praktiknya hal ini
diperbolehkan setidaknya mencantumkan ukuran atau patokan yang pasti dengan tujuan
sifat dan luas keterikatan dalam hubungan kontraktualnya.
(4) Kausa yang Diperbolehkan
Pada prinsipnya ketentuan kausa yang diperbolehkan sendiri secara normatif merujuk
kembali pada isi dari suatu perjanjian, atau dengan kata lain terhadap isi dari suatu
perjanjian yang ada tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1339 BW.
18
William Tanukusumah, ‘Karakteristik Kontrak Kerja Sama Operasi (KSO) Dalam Penyediaan
Infrastruktur’ (Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya
2016).
19
ibid 168.
Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa dalam perkembangannya di Belanda
sendiri terkait adanya syarat kausal sudah tidak lagi diberlakukan, adapun hal ini
dikarenakan dalam praktiknya terhadap syarat tersebut sering kali dianggap tidak
memberi kepastian hukum.20
Perihal keberlakuan 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah terurai
diatas dapat disimpulkan bahwa terkait keberlakuan syarat pertama dan kedua sendiri
disebut dengan syarat subjektif, yang mana terhadap keberlakuannya apabila salah satu
syarat tidak terpenuhi maka terhadap perjanjian menjadi dapat dibatalkan dan
mengakibatkan hubungan kontraktual dianggap tidak pernah ada. Sedangkan, terkait
keberlakuan syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif, yang mana
terhadap keberlakuannya apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka terhadap
perjanjian akan menjadi batal demi hukum, atau dengan kata lain perjanjian dianggap
tidak pernah ada. Selain itu, terkait hubungan kontraktual para pihak dalam perjanjian
dalam praktiknya juga didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.

Teori Hubungan Hukum Para Pihak dalam E-Commerce


Pada prinsipnya sistem hukum siber di Negara Indonesia mengakui keabsahan
kontrak elektronik. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut
UU ITE), yang menyebukan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam
kontrak elektronik adalah mengikat bagi para pihak. Sedangkan, Pasal 4 Ayat (2) PP
PMSE menyatakan bahwa hukum privat dalam PMSE pada dasarnya dapat dilakukan
antara pelaku usaha dengan konsumen, pelaku usaha dengan pelaku usaha, pribadi
dengan pribadi, dan instansi penyelenggara negara dengan pelaku usaha. Hubungan
hukum pelaku usaha dengan pelaku usaha di sini bisa terjadi antara pedagang dengan
PPMSE, pedagang dengan penyelenggara sarana perantara dalam hal hubungan kerja
sama PMSE. Oleh sebab itu, perjanjian kerja sama yang digunakan sering kali hanya
berupa perjanjian baku dalam wujud syarat dan ketentuan (terms and condition), serta
beberapa kebijakan. syarat pendaftaran diri sebagai pengguna dari suatu marketplace
tersebut. Lebih rinci, pelaku usaha dalam PMSE ini dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni

20
ibid 177.
pedagang, PPMSE, dan penyelenggara sarana perantara (intermediary services).
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 10 PP PMSE menyebutkan definisi dari
pedagang (merchant) adalah pelaku usaha yang melakukan PMSE baik dengan sarana
yang dibuat dan dikelola secara langsung atau melalui sarana milik pihak PPMSE, atau
sistem elektronik lainnya yang menyediakan sarana PMSE. Pedagang merupakan
Pelaku usaha yang melakukan penawaran secara elektronik baik melalui sistem
elektronik yang dimiliki atau dikelolanya sendiri, maupun melalui sarana yang
disediakan oleh pihak PPMSE. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hubungan
hukum pelaku usaha dengan konsumen dalam PPMSE dapat terjadi antara pedagang
dengan konsumen dan PPMSE dengan konsumen. Konsumen di sini memerankan
posisinya sebagai pembeli dan/atau pengguna marketplace. Hubungan hukum pedagang
dengan konsumen di sini dilahirkan adanya perjanjian jual beli. Namun perjanjian jual
beli dalam PMSE dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik.

C. PEMBAHASAN
Keabsahan Kontraktual Jual Beli Melalui E-Commerce
Pada hakikatnya hal yang sangat esensial dalam hubungan jual beli adalah
kesepakatan para pihak, tak terkecuali dalam dalah perjanjian elektronik (e-contract), E-
Commerce merupakan suatu aplikasi atau situs web yang memberikan fasilitas jual beli
online dari berbagai sumber.21 Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE)
dapat diketahui bahwa terhadap aktivitas suatu transaksi elektronik secara normatif saat
ini tetap mengacu pada ketentuan umum Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW)
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UUPK).22 Oleh sebab itu, mengenai keabsahan suatu kontrak pada
prinsipnya perlu dilihat secara fundamental syarat sah hubungan kontraktual
berdasarkan BW yang sejalan dengan asas pacta sun servanda apabila kontrak tersebut
telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana saat ini telah diatur di
dalam Pasal 1320 BW yang secara umum akan memberikan implikasi pada sahnya
suatu kontrak untuk dikatakan mengikat bagi para pihak yang menyepakatinya.
21
Hilda Yunita Sabrie, Yusuf Arie Utomo and KE. Carissa, ‘Tanggung Gugat Shopee Sebagai
Online Marketplace Provider Dalam Pengiriman Barang’ (2020) 4 Jurnal Bina Mulia Hukum 348–349.
22
Nurul Hidayah, ‘Analisis Strategi Digital Marketing Dalam Membantu Penjualan Living Space
Dan Efo Store’ (Universitas Islam Indonesia 2018).
Selanjutnya, terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak secara normatif
akan muncul hak dan kewajiban yang meliputi:
1) Menyatakan secara tegas tentang perjanjian jual beli yang disepakati;23 dan
2) Menyerahkan barang yang dikuasainya dan menanggung segala akibat selama masih
dalam pertanggungannya.24
3) Sedangkan, hak dari penjual sendiri adalah menerima uang yang telah disepakati
bersama pembeli.
Pembeli sendiri memiliki kewajiban utama yaitu:
1) Membayar sejumlah uang yang telah disepakati terhadap barang berdasarkan waktu
dan tempat yang disepakati:25
2) Membayarkan bunga yang timbul dari harga pembelian, apabila dalam hal ini barang
yang dijual tersebut dan sudah diserahkan memberikan suatu hasil atau lain
pendapatan.26
3) Sedangkan, hak dari pembeli sendiri yaitu menerima dan mendapatkan barang yang
telah dibelinya itu, baik penerimaan yang dilakukan secara nyata maupun
penerimaan secara yuridis.
Selain itu, merujuk pada ketentuan dalam UUPK juga terdapat hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh para pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 – Pasal 7
UUPK a quo. Adapun aturan mengenai hak dan kewajiban yang timbul diantara pelaku
usaha dan konsumen sangat penting untuk diatur, terlebih untuk mengurangi ketidak-
seimbangan kedudukan diantara keduanya. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
keabsahan kontraktual jual beli melalui e-commerce lahir dari adanya hubungan hukum
privat. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 50 PP PMSE yang menyebutkan bahwa
bahwa sebagai wujud kesepakaaan para pihak dapat menggunakan mekanisme Kontrak
Elektronik atau mekanisme kontraktual lainnya. Penggunaan kontrak elektronik ini
dikarenakan pada dasarnya transaksi dalam PMSE diciptakan model paperless dan para
pihak tidak perlu bertemu secara langsung. Lebih rinci, ketentuan Pasal 52 PP PMSE
juga menyebutkan bahwa kontrak elektronik sah dan mengikat para pihak apabila:
1. Sesuai dengan syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik;

23
Pasal 1473, ‘Burgerlijk Wetboek’.
24
Pasal 1474, ‘Burgerlijk Wetboek’.
25
Pasal 1513, ‘Burgerlijk Wetboek’.
26
Pasal 1514, ‘Burgerlijk Wetboek’.
2. Informasi yang tercantum dalam Kontrak Elektronik sesuai dengan informasi
yang tercantum dalam Penawaran Secara Elektronik;
3. Terdapat kesepakatan para pihak, yaitu syarat dan kondisi penawaran yang
dikirimkan oleh pihak yang menyampaikan penawaran, diterima dan disetujui
oleh pihak yang menerima penawaran;
4. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Terdapat hal tertentu; dan
6. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Tanggung Gugat atas Perlindungan Data Pribadi Bagi Pengguna E-Commerce


Pada dasarnya kebocoran suatu data tidaklah terlepas dari kegiatan dibidang
telematika dan kejahatan siber (cyber crime). Adapun dalam kaitannya dengan
kejahatan siber pada bidang ekonomi Negara Indonesia saat ini memiliki beberapa
elemen peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan.27 Selain itu, secara lex specialis peraturan perundang-
undangan terkait siber di Negara Indonesia juga tertuang dalam UU ITE yang lahir
dengan adanya perkembangan di bidang teknologi informasi sebagai payung hukum
untuk menunjang kegiatan masyarakat. 28 Pada praktiknya perlindungan data pribadi saat
ini masih terus berkutat pada kelanjutan penyusunan instrumen hukum internasional.
Adapun salah satu instrumen yang mengatur perlindungan data pribadi adalah
Guidelines Governing the Protection of Privacy and Transborder Flow of Data yang
dikeluarkan oleh organisasi OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development). Namun, Guidelines Governing the Protection of Privacy and
Transborder Flow of Data sendiri hanyalah bersifat guidelines (pedoman) dan bukan
merupakan suatu regulation (peraturan), sehingga terhadap prinsip atau instrumen
tersebut tidak memiliki daya ikat secara hukum, melainkan hanya diakui oleh negara-
negara yang menjadi anggota OECD. 29 Lebih rinci, dalam pedoman yang dikeluarkan
tersebut salah satunya membahas terkait pertanggungjawaban data processor atau

27
Ahmad Riyadh, Hukum Telematika Dan Hukum Media Siber (Indomedia Pustaka 2020).
28
ibid.
29
Sinta Dewi Rosadi and Garry Gumelar Pratama, ‘Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi
Dalam Ekonomi Digital Indonesia’ (2018) 4 Veritas et Justitia.
secara umum disebut sebagai pengelola data yang harus menyesuaikan pada prinsip-
prinsip pengelolaan data privasi.30 Merujuk pada peraturan yang telah diterbitkan oleh
Negara Indonesia, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20
Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik yang
menyatakan bahwa:31
Pengguna wajib menjaga kerahasiaan data pribadi yang diperoleh,
dikumpulkan, diolah, dan dianalisisnya;menggunakan data pribadi sesuai
dengan kebutuhan pengguna saja; melindungi data pribadi beserta dokumen
yang memuat data pribadi tersebut dari tindakan penyalahgunaan; dan
bertanggung jawab atas data pribadi yang terdapat dalam penguasaannya, baik
penguasaan secara organisasi yang menjadi kewenangannya maupun
perorangan, jika terjadi tindakan penyalahgunaan.

Selain itu, terkait perlindungan data pribadi bagi pengguna e-commerce Negara
Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut PP PSTE) yang
secara umum merupakan aturan pelaksana dari UU ITE. Merujuk pada ketentuan dalam
PP PSTE, khususnya pada ketentuan Pasal 14 – 18 PP PSTE yang memberikan standar
umum untuk pelindungan terhadap data pribadi agar dilaksanakan oleh Penyelenggara
Sistem Elektronik. Selain itu, Negara Indonesia juga telah memiliki PP PMSE, dimana
dalam aturan tersebut disebutkan bahwa:32 ‘’setiap pelaku usaha yang memperoleh data
pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bertindak sebagai pengemban
amanat dalam menyimpan dan menguasai data pribadi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.’’ Selain itu, dalam PP PMSE juga mengatur mengenai
kewajiban lain dalam menyimpan data pengguna, seperti diantaranya: 33 "Pelaku Usaha
wajib menyimpan data pribadi sesuai standar pelindungan data pribadi atau kelaziman
praktik bisnis yang berkembang".
Hal ini selaras dengan konsep contributory liability yang dalam hukum siber
sering kali disebut dengan intermediary liability. Merujuk pada ketentuan Pasal 15 Ayat
(2) UU ITE menyebutkan bahwa penyelenggara sistem elektronik sudah sepatutnya

30
Shinta Dewi Rosadi, ‘Aspek Data Privasi Menurut Menurut Hukum Internasional, Regional,
Dan Nasional’ [2015] Widya Padjajaran 39.
31
Pasal 27 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016, ‘Tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik’.
32
Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019, ‘Tentang Penyelenggara Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik’.
33
Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019, ‘Tentang Penyelenggara Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik’.
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya. Adapun definisi
dari Penyelenggara sistem elektronik ini dalam Pasal 1 Angka 6a UU ITE disebut
sebagai setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk
keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Lebih rinci, dalam ketentuan Pasal 2
Ayat (2) PP PSTE juga menyatakan bahwa penyelenggara sistem elektronik meliputi
penyelenggara sistem elektronik lingkup publik dan penyelenggara sistem elektronik
lingkup private. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 15 UU ITE maupun Pasal 3 PP PSTE
telah membebankan intermediary liability kepada penyelenggara sistem elektronik
terselenggaranya sistem elektronik. Namun, meskipun terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait tanggung gugat pada pihak penyelenggara
sistem elektronik, pada praktiknya masih saja sering kali timbul berbagai permasalahan
tanggung gugat, seperti banyak dari perusahaan penyelenggara sistem elektronik
berdalih bahwa mereka tidak dapat melakukan kontrol atas kebocoran data yang
disebabkan oleh pihak ketiga diluar perusahaan tersebut. In Casu, kasus kebocoran data
Tokopedia dan Bukalapak, dimana masing-masing dari perusahaan marketplace atau e-
commerce tersebut pada akhirnya membuat kebijakannya sendiri mengenai batasan
tanggung gugat yang akan diberikan (prinsip limitation of liability).34 Pembatasan
tanggung jawab tersebut berimplikasi terhadap marketplace atau e-commerce yang
hanya menjamin tidak adanya penjualan data pribadi mereka (penyedia platform e-
commerce), akan tetapi mereka secara terang juga melepaskan tanggung jawab apabila
terjadi peretasan yang dilakukan oleh pihak ketiga, atau pihak yang tidak berkaitan
dengan perusahaan tersebut. Padahal sudah menjadi kewajiban penyedia platform untuk
menjaga kerahasiaan data pribadi yang berada dalam kekuasaannya. Oleh sebab itu, hal
tersebut jelas akan menyulitkan pengguna dan memposisikan konsumen semakin lemah,
khususnya dalam hal kebocoran data yang dimungkinkan terjadi, maka pengguna akan
sulit untuk melaporkan maupun menghitung suatu nilai dari tereksposnya data
pribadinya, tak terkecuali beban pembuktian yang semakin sulit dijangkau oleh
pengguna.35 Maka dari itu, pada kasus pencurian data pribadi sudah sepatutnya sistem

34
Josephine, ‘Perlindungan Konsumen Daring Dan Tanggung Jawab Perusahaan Marketplace
Atas Data Privasi Konsumen’ (2020) 21 Suara Keadilan 106.
35
Hammam Riza, ‘Data and Cyber Security’ [2020] Perkumpulan Basis Data Indonesia 21.
tanggung gugat berdasarkan kesalahan seharusnya dapat diterapkan dengan metode
sistem pembuktian terbalik, yang mana seharusnya pihak yang dirugikan cukup
dibebankan pada beban pembuktian terakit adanya suatu kerugian yang dialami oleh
pihak yang dirugikan karena suatu aktivitas penggunaan data pribadi yang dilakukan
secara tanpa izin. Sedangkan, bagi pihak yang mendapatkan data pribadi pengguna
secara legal (seperti Tokopedia dan Bukalapak), namun dikarenakan kelalaiannya
sehingga terjadi suatu kebocoran data dan menyebabkan penyalahgunaan data oleh
pihak ketiga, maka akan sangat lebih tepat untuk menerapkan prinsip tanggung gugat
mutlak (strict liability), serta pihak yang akibat kelalaiannya juga dapat diketegorikan
sebagai turut tergugat36, atau dengan kata lain tanggung gugat online marketplace ini
juga dapat didasarkan pada konsep vicarious liability Pasal 1367 BW, yang menyatakan
bahwa: ‘’seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
di bawah pengawasannya.’’ Selain itu, apabila pada faktanya terdapati pula pelanggaran
oleh online marketplace kepada konsumen (dalam hal melanggar peraturan peraturan
perundang-undangan), maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu Perbuatan
Melanggar Hukum (selanjutnya disebut PMH). Adapun akibat hukum pelanggaran ini
termasuk dalam kategori PMH secara normatif didasarkan pada perbuatan online
marketplace yang melanggar peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain
pelanggaran tersebut tak lepas dari tanggung jawab online marketplace yang berperan
sebagai Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 22 Ayat (1) PP PMSE yang menyebutkan bahwa: “jika
dalam PMSE terdapat konten informasi elektronik ilegal, maka pihak PPMSE serta
Penyelenggara Sarana Perantara bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi
hukum akibat keberadaan konten informasi elektronik ilegal tersebut.” Sedangkan,
Pasal 1365 BW menyatakan bahwa: “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”

D. KESIMPULAN
36
Rosalinda Elsina Latumahina, ‘Aspek Hukum Pelindungan Data Pribadi Di Dunia Maya’
(2014) 3 Jurnal Gema Aktulita 23.
Adapun berdasarkan pembahasan sebagaimana telah terurai diatas, Penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa hubungan kontraktual dalam e-commerce dalam
pelaksanannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, khususnya
mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1320 BW
memiliki daya ikat layaknya peraturan perundang-undangan bagi para pihak yang
melakukan kesepakatan. Selain itu, mengingat terhadap kemajuan teknologi saat ini
instrumen hukum di Indonesia sudah mengakomodir terkait keabsahan hubungan
kontraktual dalam e-commerce, sehingga terhadap pihak-pihak yang menyebabkan
tereksposnya suatu data pribadi dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum menurut
hukum positif Indonesia, yakni ingkar janji/wanprestasi apabila kerugian yang timbul
karena hubungan kontraktual, namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan adanya
pelanggaran oleh online marketplace atas dasar suatu Perbuatan Melanggar Hukum
(selanjutnya disebut PMH).

REFERENSI
Daon, ‘Kemkominfo: Pertumbuhan e-Commerce Indonesia Capai 78 Persen’
(Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2019)
<https://kominfo.go.id/content/detail/16770/kemkominfo-pertumbuhan-e-
commerce-indonesiacapai-78-persen/0/sorotan_media> accessed 30 April 2023
Fuady M, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia (Citra Aditya Bakti 2010)
Hernoko AY, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial
(Kencana 2011)
Hidayah N, ‘Analisis Strategi Digital Marketing Dalam Membantu Penjualan Living
Space Dan Efo Store’ (Universitas Islam Indonesia 2018)
Ibrahim J and Sewu L, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern (PT Refika
Aditama 2007)
Josephine, ‘Perlindungan Konsumen Daring Dan Tanggung Jawab Perusahaan
Marketplace Atas Data Privasi Konsumen’ (2020) 21 Suara Keadilan
Junita F, ‘Aspek Tanggung Gugat Bank Dalam Kontrak Transaksi Derivatif’ [2002]
Makalah Penelitian Perbankan, Fakultas Hukum Unair
Kotijah S, ‘Tanggung Gugat Hukum Perusahaan Akibat Pengelolaan Pertambangan
Batubara’ (2011) 26 Yuridika 287
Latumahina RE, ‘Aspek Hukum Pelindungan Data Pribadi Di Dunia Maya’ (2014) 3
Jurnal Gema Aktulita
Marzuki PM, Pengantar Ilmu Hukum (Kencana 2008)
——, Penelitian Hukum: Edisi Revisi (Kencana Prenada Media Group 2017)
Organization for Economic Co-Operation and Development, ‘OECD Guide to
Measuring the Information Society 2011’ (2011)
<https://www.oecd.org/sti/ieconomy/oecdguidetomeasuringtheinformationsociet
y2011.htm>
Pasal 1473, ‘Burgerlijk Wetboek’
Pasal 1474, ‘Burgerlijk Wetboek’
Pasal 1513, ‘Burgerlijk Wetboek’
Pasal 1514, ‘Burgerlijk Wetboek’
Pasal 27 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016,
‘Tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik’
Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019, ‘Tentang Penyelenggara
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik’
Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019, ‘Tentang Penyelenggara
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik’
Rika H, ‘88,1 Persen Pengguna Internet Belanja Dengan E-Commerce, CNN Indonesia’
(2021) <https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211111123945-78-
719672/881-persen-pengguna-internet-belanja-dengan-e-commerce> accessed
30 April 2023
Riyadh A, Hukum Telematika Dan Hukum Media Siber (Indomedia Pustaka 2020)
Riza H, ‘Data and Cyber Security’ [2020] Perkumpulan Basis Data Indonesia
Rongiyati S, ‘Pelindungan Konsumen Dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem
Elektronik’ (2019) 10 Negara Hukum
Rosadi SD, ‘Aspek Data Privasi Menurut Menurut Hukum Internasional, Regional, Dan
Nasional’ [2015] Widya Padjajaran
Rosadi SD and Pratama GG, ‘Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi Dalam Ekonomi
Digital Indonesia’ (2018) 4 Veritas et Justitia
Sabrie HY, Utomo YA and Carissa KE., ‘Tanggung Gugat Shopee Sebagai Online
Marketplace Provider Dalam Pengiriman Barang’ (2020) 4 Jurnal Bina Mulia
Hukum
Soerjono S and Mamudji S, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Rajawali Pers 2001)
Syahrani R, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum (Pustaka Kartini
1998)
Tanukusumah W, ‘Karakteristik Kontrak Kerja Sama Operasi (KSO) Dalam Penyediaan
Infrastruktur’ (Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Airlangga, Surabaya 2016)
Triwulan T and Shinta, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka 2010)

Anda mungkin juga menyukai