Anda di halaman 1dari 19

Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis

“Kasus Perlindungan Konsumen Online atau Non Online “

Oleh : Gustav Arimatyar Sitorus


NIM : 20B505041215
Dosen Pengajar : Salsabilla Firdausz , SH &Soemarmo latief , SH,MM
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kepada saya untuk
menyelesaikan makalah ini . Atas rahmat dan Kuasa-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “Kasus Perlindungan Konsumen Online atau Non Online . Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Bisnis .
Banyak hal yang ingin saya sampaikan kepada pembaca mengenai “Kasus Perlindungan
konsumen Online atau Non Online.Disini saya akan membahas perlindungan konsumen
Online atau Non Online . Untuk membaca lebih lengkap, Anda dapat membaca hasil makalah
saya .
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta 9 Juli 2021

Gustav Arimatyar Sitorus


Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi di dunia mengalami kemajuan yang begitu pesat. Mulai
dari perkembangan teknologi informasi itu sendiri telah menciptakan perubahan sosial,
ekonomi dan budaya. Di Indonesia itu sendiri juga mengalami dampak positif maupun
negatif, salah satunya menimbulkan permasalahan hukum terkait dengan penyampaian
informasi dan/atau transaksi elektronik.

Adapun permasalahan hukum yang dimaksud yakni terjadinya penipuan oleh pelaku usaha
dalam kegiatan jual beli yang dilakukan secara online. Transaksi online merupakan cara baru
dalam melakukan kegiatan jual beli dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Transaksi
online semakin banyak mendapatkan perhatian dari para peminat jual beli online seiring
perkembangan teknologi yang memudahkan proses jual beli tersebut. Selain disebabkan oleh
kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat dan mudah serta praktis karena
masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk. Tingginya tingkat
pengaduan oleh konsumen di Indonesia terkait dengan penipuan dalam jual beli online
tentunya perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut berarti konsumen dalam melakukan
transaksi online memerlukan perlindungan secara hukum apabila terjadi permasalahan
sebagaimana yang mungkin terjadi.
Pembahasan.

Perkembangan teknologi informasi di dunia mengalami kemajuan yang begitu pesat.


Mulai dari perkembangan teknologi informasi itu sendiri telah menciptakan perubahan sosial,
ekonomi dan budaya. Di Indonesia itu sendiri juga mengalami dampak positif maupun
negatif, salah satunya menimbulkan permasalahan hukum terkait dengan penyampaian
informasi dan/atau transaksi elektronik. Adapun permasalahan hukum yang dimaksud yakni
terjadinya penipuan oleh pelaku usaha dalam kegiatan jual beli yang dilakukan secara online.
Transaksi online merupakan cara baru dalam melakukan kegiatan jual beli dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi.

Transaksi online semakin banyak mendapatkan perhatian dari para peminat jual beli
online seiring perkembangan teknologi yang memudahkan proses jual beli tersebut. Selain
disebabkan oleh kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat dan mudah serta
praktis karena masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk.
Tingginya tingkat pengaduan oleh konsumen di Indonesia terkait dengan penipuan dalam jual
beli online tentunya perlu mendapatkan perhatian.

Hal tersebut berarti konsumen dalam melakukan transaksi online memerlukan


perlindungan secara hukum apabila terjadi permasalahan sebagaimana yang mungkin terjadi.
Ecommerce merupakan model bisnis terbaru yang lebih praktis, melalui media internet, dan
tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik (nonface), serta tidak menggunakan tanda
tangan asli (non-sign). E-commerce juga membawa perubahan terhadap para pelaku bisnis
yang selama ini menjalankan usahanya di dunia nyata (real), kemudian mengembangkan
usaha tersebut ke dunia maya (virtual). Perubahan ini ditandai dengan munculnya berbagai
“online shop” dalam situs-situs internet.

Dalam sistem ini, pelaku usaha memasang iklan produk yang dijual pada internet, dan
konsumen yang tertarik dengan produk tersebut selanjutnya menghubungi pelaku usaha yang
bersangkutan untuk melakukan kesepakatan jual beli, termasuk mengenai cara pengiriman
barang dan cara pembayaran. Perubahan drastis ini jelas mempengaruhi gaya hidup manusia
yang semula dari alam nyata beralih ke dunia maya. Berbelanja di online shop dirasakan
lebih mudah dan praktis untuk sebagian besar orang. 2 Menurut Dr. Hj. Endang
Purwaningsih, “secara umum e-commerce dapat didefinisikan kegiatan-kegiatan bisnis yang
menyangkut konsumen (consumer), manufaktur (manufactures),service providers, dan
pedagang perantara (intermediateries), dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer
(komputer network), yaitu internet.”1 Pendapat di atas hampir sama dengan definisi transaksi
elektronik yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dirumuskan sebagai berikut : ”Transaksi Elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.”2 Pengertian transaksi e-commerce
sebagaimana diuraikan di atas sangat luas karena mencakup semua perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan jaringan komputer atau media internet.

Pengertian transaksi e-commerce sebagaimana diuraikan di atas sangat luas karena


mencakup semua perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan jaringan komputer
atau media internet. Oleh karena itu, untuk membedakannya maka transaksi e-commerce
dibagi menjadi dua jenis, berdasarkan karakteristiknya yakni:
“Business to Business yang memiliki karakteristiknya Trading patners yang sudah saling
mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang cukup lama. Pertukaran data
dilakukan secara berulang-ulang dan berkala dengan format data yang telah disepakati
Bersama , Salah satu pelaku tidak harus menunggu rekan lainnya untuk mengirimkan data.
Serta model yang umum digunakan adalah peer to peer, di mana processing intelligence
dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
Selanjutnya Business to Consumer, yang memiliki karakteristik Terbuka untuk umum
dimana informasi disebarkan untuk umum. Service yang digunakan bersifat umum sehingga
dapat digunakan oleh orang banyak , Service yang digunakan berdasarkan permintaan ,
Sering dilakukan sistem pendekatan client server.
Berdasarkan perbedaan di atas, dapat dilihat bahwa transaksi ecommerce tidak hanya
berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan antara pelaku usaha yang satu dengan
pelaku usaha yang lain (business to business), namun juga mencakup perbuatan hukum yang
dilakukan antara pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer).
Sebagai contoh perbuatan hukum business to business adalah perjanjian kerjasama
antara dua pelaku usaha atau lebih melalui media internet untuk memproduksi dan
memasarkan suatu barang (produk) tertentu, sedangkan contoh hubungan business to
consumer adalah perjanjian jual beli antara pelaku usaha dan konsumen melalui internet
dengan obyek tertentu yang dapat berupa barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
tertentu. Fokus penelitian ini adalah transaksi e-commerce dalam hubungan antara Business
to Consumer (B2C), yakni hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dengan
menekankan perlindungan bagi konsumen terhadap tindakan wanprestasi pelaku usaha.
Perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan hal yang penting mengingat
posisi tawar konsumen yang lemah dalam suatu hubungan bisnis. Lemahnya posisi tawar
pada konsumen dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurangnya wawasan
konsumen serta kurang berfungsinya aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum masih
lemah dalam mengawasi penerapan peraturan dalam rangka melindungi hak-hak konsumen.
Perlindungan hukum terhadap kosumen itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas-asas
perlindungan konsumen sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dirumuskan sebagai berikut
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”4 Asas-asas tersebut ditempatkan sebagai
dasar baik dalam merumuskan peraturan perundangundangan maupun dalam berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen.
Konsep perlindungan konsumen, di satu sisi, berkaitan erat dengan perlindungan atas
hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen tersebut telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dirumuskan sebagai berikut :
a) ”Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d) Hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i) Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan lainnya.
Adapun kewajiban pelaku usaha tertuang pada Pasal 6 UndangUndang Nomor 8
Tahun 1999 sebagai berikut:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa seta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan keturunan standar mutu barang dan/atau jasa garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
e. Memberi konpensasi, gant rugi, dan/atau penggatian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian”. Kewajiban
pelaku usaha beritikat baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang
dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338
Ayat 3 BW. Bahwa perjanjian tesebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Pelaku usaha
dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan mutu pelayan kepada konsumen.
Di sisi lain, perlindungan hukum terhadap konsumen juga berhubungan dengan
pelaksanaan kewajiban pelaku usaha. Kewajibankewajiban pelaku usaha tersebut juga telah
diatur dalam Pasal 7 Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen,
sebagai berikut :
1) “Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6) Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pelaku usaha tersebut harus
ditingkatkan, dengan demikian hak-hak konsumen akan mudah terpenuhi, karena kewajiban
pelaku usaha merupakan hak bagi konsumen. Namun pada kenyataannya, hak-hak konsumen
sering diabaikan oleh pelaku usaha, dengan kata lain, pelaku usaha belum melakukan
kewajibannya kepada konsumen dengan baik. Kelalaian pelaku usaha tersebut dapat
tercermin dalam tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam perjanjian
dengan konsumen. Tindakan wanprestasi atau ingkar janji / tidak memenuhi prestasi dapat
berupa 4 macam, yaitu :
1) “Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Keempat jenis tindakan wanprestasi tersebut dalam kenyataanya juga sering terjadi,
dalam praktek jual beli melalui transaksi e-commerce. Misalnya setelah menerima
pembayaran, pelaku usaha tidak melakukan pengiriman barang, pelaku usaha mengirim
barang yang tidak sesuai dengan iklannya, atau pelaku usaha terlambat mengirim barang
kepada konsumen serta berbagai contoh tindakan wanprestasi lainnya. Untuk lebih jelas dapat
dilihat dalam contoh kasus yang merupakan hasil wawancara penulis dengan beberapa
konsumen e-commerce sebagai berikut :
1) Johanes Silviano “Dalam kasus ini konsumen merasa dirugikan ketika konsumen
membeli sebuah produk jaket di internet yang pada saat barang diterima ternyata
bahan barang tersebut berbeda dengan yang dipesan oleh konsumen. Konsumen
sudah melakukan komplain namun tidak mendapat respon positif dari pelaku
usaha yang bersangkutan
2) Valentino Masan “Dalam kasus ini konsumen dirugikan dalam hal keterlambatan
pengiriman barang oleh pelaku usaha ecommerce. Konsumen ini tidak melakukan
complain.
3) Intan Linda Cahyani Sinaga “Dalam kasus ini, konsumen melakukan transaksi e-
commerce yang perjanjiannya adalah barang akan dikirim melalui jasa pengiriman
JNE sehingga harganya lebih mahal. Namun pada saat pengiriman barang, pelaku
usaha tersebut mengirimkan barang melalui pos biasa yang biayanya relatif lebih
murah dan jangka waktu yang lebih lama. Konsumen telah berusaha komplain
namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak menanggapi keluhan konsumen
dengan baik.

Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa pelaku usaha yang
melakukan wanprestasi tidak bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialami oleh
konsumen. Pelaku usaha tersebut terkesan mengabaikan hak-hak konsumen. Hal ini jelas
bukan perkara sepeleh, mengingat kerugian yang dialami oleh konsumen bukan dalam jumlah
yang sedikit. Pada kenyataannya, tidak semua pelaku usaha bersikap seperti itu. Ada juga
pelaku usaha yang mau bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Hal tersebut dilakukan
melalui beberapa cara, antara lain, mengganti barang yang rusak dengan barang baru yang
sesuai dengan keinginan konsumen, mengembalikan uang konsumen, atau ganti rugi.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan melakukan halhal tersebut
sudah cukup untuk membayar kerugian yang dialami oleh konsumen ? Pertanyaan ini jelas
harus dicermati, mengingat dalam hal pertanggung jawaban dengan cara mengganti barang
yang rusak dengan barang baru biasanya memakan waktu yang cukup lama, dan jangka
waktu yang lama tersebut merupakan salah satu hal yang merugikan konsumen. Berhubung
dengan hal tersebut, penulis telah mewawancarai seorang konsumen, yaitu Maria Renha
Rosari Putri Dore, dan hasil wawancaranya adalah sebagai berikut : “Dalam kasus ini
konsumen membeli sebuah produk sepatu di internet. Setelah barang diterima ternyata ukuran
sepatu yang dikirim berbeda dengan ukuran yang dipesan oleh konsumen. Konsumen
melakukan komplain kepada pelaku usaha, dan oleh pelaku usaha tersebut konsumen diminta
untuk mengirim barang yang salah tersebut kepada pelaku usaha untuk diganti dengan sepatu
yang sesuai dengan ukuran konsumen. Kerugiannya adalah jangka waktu yang lama dalam
pengiriman barang yang diganti tersebut.”

Pihak-Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)


Menurut Budhiyanto sebagaimana dikutip oleh Didik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom mengidentifikasikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli online (E-
Commerce) terdiri dari :
a. Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan produknya
melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat
menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.
b. Konsumen/card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh produk
(barang/jasa) melalui pembelian secara online. Konsumen yang akan berbelanja di internet
dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila konsumen merupakan perorangan, maka
yang perlu diperhatikan dalam transaksi E-Commerce adalah bagaimana sistem pembayaran
yang digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan credit card (kartu
kredit) atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash.
c. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan
perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara penagihan adalah pihak
yang meneruskan penagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya
yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak perantara pembayaran (antara pemegang dan
penerbit) adalah bank dimana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu
kredit/card holder, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang
pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit (issuer).
d. Issuer, yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.
Di Indonesia ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit.
Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk
mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan
kepada card holder
Perjanjian
Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya. Pasal ini
menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang
adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu
lengkap, tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu
pihak mengikatkan dirinya kepada pihak lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa perjanjian adalah persetujuan
(tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat
akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.18 Menurut Subekti, perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan
kewajiban.

Syarat Sah Perjanjian


Syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain: a. Kata sepakat
Supaya perjanjian menjadi sah maka parah pihak harus sepakat terhadap segala hal yang
terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah petemuan atau persesuaian
kehendak antara para pihak di dalam perjanjian.20 b. Kecakapan Syarat sahnya perjanjian
yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan.
menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang
yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian adalah sebagai berikut :
1) Orang yang belum dewasa (minderjarigen);
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada
umumnya semua orang yang oleh undang-undang yang dilarang untuk membuat perjanjian
tertentu.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce
apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi?
2. Apa saja bentuk pertanggung-jawaban dari pelaku usaha yang telah melakukan wanprestasi
terhadap pihak konsumen yang dirugikan dalam transaksi e-commerce ?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pranata atau pengaturan hukum
yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi online.

Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini akan digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce,
juga untuk menambah wawasan penulis dan pembaca tentang bagaimana
perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi elektronik.

2. Manfaat Praktis.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi masyarakat umum
khususnya pihak yang terkait dengan transaksi e-commerce yakni pihak
konsumen agar lebih berhati-hati lagi dalam melakukan transaksi e-commerce.
Selain itu juga diharapkan dapat menyadarkan para pelaku usaha yang beritikad
buruk agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative
(doctrinal) dan penelitian hukum empiris (non doctrinal). Pada penelitian hukum
normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.
Sedangkan penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum
yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dai pelaku manusia, baik
secara verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan
melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga digunakan untuk
mengamatan hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun
arsip.

B. Metode Pendekatan
Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini, digunakan
pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Perundang-undang (Statute Approach) Pendekatan undang-
undang yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi,
dengan kata lain pendekatan yang mengkaji aturan hukum dan menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Undang Undang Nomor (8)
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor
(11) Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 2.
Pendekatan Empiris yaitu pendekatan yang dilakukan untuk memahami
bagaimana aturan hukum dilaksanakan dalam praktek dimasyarakat.
Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini berfokus pada norma
hukum positif berupa peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan konsumen terhadap
tindakan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi e-commerce.

Penelitian ini memerlukan data sekunder sebagai data utama. Penelitian hukum normatif ini
dilakukan dengan cara mendeskripsikan hukum positif, pendapat hukum dan fakta hukum dalam
literatur, hasil penelitian, surat kabar, dan internet.

2. Sumber Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan
hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
konsumen terkait dengan tindakan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi ecommerce, yang
terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28 D ayat (1) yang mengatur tentang setiap
orang berhak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) Pasal 1320 yang mengatur syarat
sahnya perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal, dan Pasal 1338 ayat (1) yang mengatur
mengenai semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya

3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c


yang mengatur tentang hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa; dan Pasal 7 huruf a yang mengatur mengenai kewajiban pelaku
usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal
17 ayat (2) yang mengatur tentang para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. b. Bahan hukum
sekunder yang berupa pendapat hukum dan non hukum, asas-asas hukum, dan faktahukum yang
diperoleh dari buku, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tesis, artikel,jurnal, serta internet dan
wawancara dengan narasumber.

Cara Pengumpulan Data.


a. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang metode
pengumpulan datanya adalah dengan melakukan studi kepustakaan, yakni dengan
mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
b. Dalam penelitian ini, selain melakukan studi kepustakaan, juga disertai wawancara
dengan narasumber yang dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan secara terbuka.
Metode Analisis.
a. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode deskriptif. Mula-mula data
diatur dan disusun secara sistematis agar menjadi kesatuan peristiwa yang utuh sehingga
dapat dipelajari secara mendalam. Hasil analisis data merupakan gambaran dan penjelasan
yang sistematis tentang data atau informasi obyek penelitian, selanjutnya hasil analisis data
mengenai obyek penelitian tersebut akan diambil kesimpulannya.
b. Bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum dan non hukum, asas-asas
hukum, dan fakta hukum yang diperoleh dari buku, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tesis,
jurnal, artikel, internet, dan pendapat narasumber tentang perlindungan konsumen dalam
transaksi e-commerce terkait tindakan wanprestasi pelaku usaha, akan dideskripsikan dan
dicari persamaan dan perbedaan pendapatnya.

Proses Berpikir Dalam penarikan kesimpulan,


Proses berpikir yang digunakan adalah secara deduktif, yaitu bertolak dari proposisi
umum yang telah diyakini kebenarannya yaitu peraturan perundang-undangan yang 18
berhubungan dengan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Ecommerce berakhir pada
kesimpulan berupa pengetahuan baru yang bersifat khusus yaitu Mengetahui bagaimana
Perlindungan Konsumen terhadap Tindakan Wanpretasi Pelaku Usaha dalam melakukan
Transaksi E-commerce

Jenis Dan Sumber Bahan Hukum


Adapun jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian ini antara lain:
a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang mengikat atau yang membuat
orang taat pada hukum seperti peraturan per-undang-undangan, putusan-putusan hakim, dll.
Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penulisan ini yakni: Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik.
b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang tidak hanya mengikat pada
peraturan Perundang-Undangan saja, akan tetapi juga menjelaskan mengenai bahan hukum
primer yang merupakan hasil olahan pendapat para pakar atau para ahli yang mempelajari
suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan
mengarah. Yang penulis maksud dalam bahan sekunder disini adalah doktrin-doktrin yang
ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang penulis gunakan adalah Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum dan Data
1. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Studi kepustakaan merupakan metode
pengumpulan bahan hukum yang diarahkan kepada pencarian data informasi melalui
dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, karya ilimiah jurnal, peraturan-peraturan
UndangUndang, buku-buku yang mengatur tentang apa yang dibahas pada penelitian ini
2. Teknik Pengumpulan Data Wawancara, yaitu penulis memperoleh data lapangan
melalui wawancara secara langsung dengan para narasumber yang terkait dengan
permaslahan yang diteliti. Dimana dalam wawancara ini dibutuhkan yaitu Responden yaitu
Masyarakat
E. Analisa Bahan Hukum Analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskritif kualitatif yaitu analisa dengan cara menggambarkan dan mengkaji
kepustakaan dalam bentuk pernyataan atau kata-kata dengan teliti dan sistematis, setelah itu
melahirkan metode deduktif, dimana dengan cara ini akan dibahas masalah-masalah yang
sifatnya umum menuju pada hal-hal yang bersifat khusus.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TRANSAKSI ONLINE DI


INDONESIA.
Kegiatan jual beli secara online merupakan cara baru yang cukup berkembang saat
ini, sebab dapat memudahkan konsumen dalam memenuhi kebutuhan berbelanja. Tranksasi
online menjadi pilihan karena memiliki keunggulan antara lain lebih praktis serta mudah dan
dapat dilakukan kapanpun selama memiliki koneksi internet, namun di sisi lain memiliki
dampak negatif yaitu timbulnya permasalahan hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi
konsumen.3 Kemungkinan terjadinya kasus penipuan juga begitu besar, disebabkan oleh
kurangnya informasi yang seringkali diterima oleh konsumen.
Walaupun secara keabsahan proses transaksi sudah dijelaskan pada Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer) pada pasal 1458 yang menyebutkan : “Jual Beli dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, maupun harganya belum dibayar.” Jelas ini
menjadi pekerjaan tambahan untuk memberi rasa nyaman untuk kedua belah pihak baik
penjual maupun konsumen. Oleh karena itu, maka keperluan adanaya perlindungan hukum
bagi konsumen yang melakukan transaksi online sangat diperlukan terutama karena
konsumen memiliki hak secara universal harus dilindungi yakni hak atas keamanan dan
keselamatan serta hak atas informasi yang benar.
Di Indonesia saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai
transaksi online. Begitu pula dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang belum dapat digunakan sebagai dasar menanganai
kasus penipuan dalam transaksi online di Indonesia.
Undang-undang di Indonesia saat ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
hal ini adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) karena bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, meskipun di dalamnya tidak secara khusus mengatur transaksi
online. Beberapa pasal yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan kasus penipuan
pada transaksi online adalah sebagai berikut :
1. Pasal 8 ayat (1) huruf d, e, dan f yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan
mutu, kondisi maupun janji sebagaimana dinyatakan dalam label, keterangan, iklan maupun
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
2. Pasal 16 huruf a dan b yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan serta dilarang untuk tidak
menepati janji atas suatu pelayananan dan/atau prestasi. Berdasarkan akan apa yang sudah
diuraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu adanya kepastian hukum
terhadap perlindungan bagi konsumen yang melakukan transaksi online. Selain dikarenakan
konsumen memiliki hak-hak yang penting untuk ditegakkan, tetapi juga demi menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha agar tidak melakukan penipuan terhadap konsumen. Dengan
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. Dalam hal ini
disamping keberadaan UUPK, regulasi yang secara khusus mengatur tentang kegiatan jual
beli online diperlukan karena tidak hanya dapat memberikan perlindungan bagi konsumen
tetapi juga pelaku bisnis online.

Tanggung jawab pelaku usaha


Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan . Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen akibat dari “ produk yang cacat “ , bisa dikarnakan kekurang cermatan dalam
memproduksi , tidak sesuai yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
usaha .
Dengan kata lain , pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melakukan hukum
Didalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 19 sampai dengan pasal 28 .
Didalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan ,
pencemaran , kerusakan , kerugian dan konsumen .
Sementara itu pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab atas pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian , sedangkan
pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam tindak
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Didalam pasal 27 disebut hal – hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila :
- Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
- Cacat barang timbul pada kemudian hari
- Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
- Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
- Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan

Sanksi bagi pelaku usaha


Sanksi bagi pelaku usaha menurut Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen :
Sanksi perdata :
Ganti rugi dalam bentuk:
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan Kesehatan , dan /
- Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi serta Sanksi
Administrasi maksimal Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah ) melalui BPSK jika
melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3) ,20,25
Sanksi pidana :
- Penjara 5 tahun atau denda 2.000.000.000 ( dua milyar rupiah ) Pasal 8,9,10
- Penjara 2 tahun atau denda 500.000.000 ( lima ratus juta rupiah ) Pasal 11,12,13 ayat
1,14,16 dan 17 ayat 1 huruf d dan f
 Ketentuan pidana lain ( diluar Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen ) jika konsumen luka berat , sakit berat ,cacat tetap atau
kematian
 Hukuman tambahan antara lain :
- Pengumuman keputusan hakim
- Pencabutan izin usaha
- Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
- Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
- Hasil pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat

Contoh kasus perlindungan konsumen :


Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengungkapkan hasil investigasinya
mengenai produk pembalut dan pantyliner yang mengandung zat berbahaya bagi Kesehatan .
Menurut YLKI perempuan Indonesia terancam mengidap keputihan , kanker , infertilitas
akibat penggunaan pembalut dan pantyliner tersebut .
Penelitian terbaru dari YLKI menunjukkan bahwa sebagian besar pembalut yang
terdaftar di Kementrian Kesehatan dan beredar dipasaran ternyata mengandung klorin yang
kadarnya beragam .
Pengujian kadar klorin dilakukan pada Januari – Maret 2015 di Laboratorium
Independen yang terakreditasi dengan mengambil sampel Sembilan merk pembalut dan tujuh
merk pantyliner yang dijual di retail supermarket . Hasil pengujian lab menunjukkan bahwa
seluruh sampel mengandung klorin dengan rentang 5 sampai dengan 55 ppm

Analisis
Menurut analisis saya pada kasus diatas , pihak konsumen sangat dirugikan dan
produk yang dikeluarkan oleh produsen amat sangat membahayakan konsumen , hal tersebut
sangat jelas dilarang dan telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku dalam hal ini
UU no. 8 Tahun 99 tentang perlindungan konsumen .

Berdasarkan kasus diatas produsen melanggar :


- Pasal 8 ayat 1 butir A UUPK
Pelaku usaha dan / jasa dilarang memproduksi / memperdagangkan barang dan / jasa
yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan .

- Pasal 8 ayat 1 butir E UUPK


Pelaku usaha dan / atau jasa dilarang memproduksi / memperdagangkan barang dan /
jasa yang tidak sesuai dengan mutu , tingkatan , komposisi , proses pengolahan ,
gaya , mode , atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan / jasa tersebut

- Pasal 8 ayat 4 UUPK


Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan / jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran .

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan diatas pembalut dan pantyliner yang


diproduksi oleh produsen tidak sesuai dan tidak memenuhi standar produksi pembalut dan
pantyliner karena jelas – jelas sudah diteliti oleh YLKI pembalut dan pantyliner tersebut
mengandung klorin suatu zat berbahaya yang bisa menyebabkan keputihan , kanker , dan
infertilitas , karena standar suatu produk harus mengutamakan bahan – bahan yang aman
untuk dikonsumsi / digunakan oleh konsumen .
Selanjutnya adalah tidak sesuai dengan komposisi , bahwa pembalut yang diproduksi
oleh pelaku usaha tidak mencantumkan komposisi klorin tersebut dalam kemasan karena
sudah jelas ketika kandungan atau digunakan oleh konsumen . Selanjutnya adalah tidak
sesuai dengan komposisi , bahwa pembalut yang diproduksi oleh pelaku usaha tidak
mencantumkan komposisi klorin tersebut karna sudah jelas ketika kandungan atau komposisi
tersebut dicantumkan tidak akan mendapat izin dari BPOM .

Penyelesaian dari kasus tersebut adalah pihak produsen yang memproduksi maupun
pelaku usaha yang menjual pembalut dan pantyliner yang mengandung klorin tersebut wajib
menarik barang tersebut dari pasaran sesuai dengan pasal 1 ayat 4 UUPK .
Selain itu pelaku usaha dan / produsen , kasus ini pun harus mendapatkan perhatian
penting dalam hal pengawasan dan tanggung jawab dari pemerintah itu sendiri yang
tercantum dalam Pasal 29 dan 30 UUPK serta peran dari Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dalam upaya pengembangan upaya perlindungan konsumen di Indonesia .

Penutup
Pengertian dan batasan konsumen dalam pembahasan jurnal ini adalah konsumen
akhir dimana konsumen tersebut membeli barang melalui transaksi online untuk digunakan
atau dimanfaatkan secara langsung. Dalam transaksi online posisi tawar (bargaining position)
konsumen sangat lemah yang menyebabkan hak-hak konsumen pada transaksi online sangat
rawan terlanggar hal ini karena transaksi online dilakukan dengan tanpa tatap muka secara
langsung dan antara konsumen dan pelaku usaha tidak saling mengenal.
Proses transaksi online pada dasarnya tidak berbeda dengan transaksi jual beli pada
umumnya, media utama dalam transaksi online adalah internet. Perlindungan hukum identik
dengan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen adalah penyelesaian sengketa konsumen, proses
penyelesaian sengketa konsumen dilakukan apabila dalam transaksi online terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Proses penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan, ketentuan ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kesimpulan
Dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi sang pesat ini kita harus lebih teliti
dalam hal pemanfaatan. Sebab dilain sisi dapat menimbulkan dampat negatif bila dalam
pemanfaatannya tidak diawasi dan disikapi dari sisi hukum. Di Indonesia belum ada
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan transaksi jual
beli online di Indonesia. Adapun salah satu produk hukum yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam hal ini adalah UUPK. Meskipun demikian masih sangat diperlukan undang-
undang terhadap kasus penipuan dalam transaksi online, sebab selain dapat memberikan
perlidungan terhadap hak konsumen juga melindungi pelaku bisnis online yang beritikad baik
dalam usaha jual beli online.
Daftar Pustaka
Ester Dwi Magfirah, 2009, Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce, Grafikatama Jaya,
Jakarta. Husni Syawali dan Neni Sri Maniyati, 2000, Aspek Hukum Transaksi Online, CV.
Mandar Maju, Bandung.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Terjemahan R. Subekti dan
R.Tjitrosudibio, 2008, Pradya Paramita, Jakarta.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai