Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Perkembangan teknologi informasi di dunia mengalami kemajuan yang begitu pesat. Mulai
dari perkembangan teknologi informasi itu sendiri telah menciptakan perubahan sosial,
ekonomi dan budaya. Di Indonesia itu sendiri juga mengalami dampak positif maupun
negatif, salah satunya menimbulkan permasalahan hukum terkait dengan penyampaian
informasi dan/atau transaksi elektronik.
Adapun permasalahan hukum yang dimaksud yakni terjadinya penipuan oleh pelaku usaha
dalam kegiatan jual beli yang dilakukan secara online. Transaksi online merupakan cara baru
dalam melakukan kegiatan jual beli dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Transaksi
online semakin banyak mendapatkan perhatian dari para peminat jual beli online seiring
perkembangan teknologi yang memudahkan proses jual beli tersebut. Selain disebabkan oleh
kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat dan mudah serta praktis karena
masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk. Tingginya tingkat
pengaduan oleh konsumen di Indonesia terkait dengan penipuan dalam jual beli online
tentunya perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut berarti konsumen dalam melakukan
transaksi online memerlukan perlindungan secara hukum apabila terjadi permasalahan
sebagaimana yang mungkin terjadi.
Pembahasan.
Transaksi online semakin banyak mendapatkan perhatian dari para peminat jual beli
online seiring perkembangan teknologi yang memudahkan proses jual beli tersebut. Selain
disebabkan oleh kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat dan mudah serta
praktis karena masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk.
Tingginya tingkat pengaduan oleh konsumen di Indonesia terkait dengan penipuan dalam jual
beli online tentunya perlu mendapatkan perhatian.
Dalam sistem ini, pelaku usaha memasang iklan produk yang dijual pada internet, dan
konsumen yang tertarik dengan produk tersebut selanjutnya menghubungi pelaku usaha yang
bersangkutan untuk melakukan kesepakatan jual beli, termasuk mengenai cara pengiriman
barang dan cara pembayaran. Perubahan drastis ini jelas mempengaruhi gaya hidup manusia
yang semula dari alam nyata beralih ke dunia maya. Berbelanja di online shop dirasakan
lebih mudah dan praktis untuk sebagian besar orang. 2 Menurut Dr. Hj. Endang
Purwaningsih, “secara umum e-commerce dapat didefinisikan kegiatan-kegiatan bisnis yang
menyangkut konsumen (consumer), manufaktur (manufactures),service providers, dan
pedagang perantara (intermediateries), dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer
(komputer network), yaitu internet.”1 Pendapat di atas hampir sama dengan definisi transaksi
elektronik yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dirumuskan sebagai berikut : ”Transaksi Elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.”2 Pengertian transaksi e-commerce
sebagaimana diuraikan di atas sangat luas karena mencakup semua perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan jaringan komputer atau media internet.
Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa pelaku usaha yang
melakukan wanprestasi tidak bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialami oleh
konsumen. Pelaku usaha tersebut terkesan mengabaikan hak-hak konsumen. Hal ini jelas
bukan perkara sepeleh, mengingat kerugian yang dialami oleh konsumen bukan dalam jumlah
yang sedikit. Pada kenyataannya, tidak semua pelaku usaha bersikap seperti itu. Ada juga
pelaku usaha yang mau bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Hal tersebut dilakukan
melalui beberapa cara, antara lain, mengganti barang yang rusak dengan barang baru yang
sesuai dengan keinginan konsumen, mengembalikan uang konsumen, atau ganti rugi.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan melakukan halhal tersebut
sudah cukup untuk membayar kerugian yang dialami oleh konsumen ? Pertanyaan ini jelas
harus dicermati, mengingat dalam hal pertanggung jawaban dengan cara mengganti barang
yang rusak dengan barang baru biasanya memakan waktu yang cukup lama, dan jangka
waktu yang lama tersebut merupakan salah satu hal yang merugikan konsumen. Berhubung
dengan hal tersebut, penulis telah mewawancarai seorang konsumen, yaitu Maria Renha
Rosari Putri Dore, dan hasil wawancaranya adalah sebagai berikut : “Dalam kasus ini
konsumen membeli sebuah produk sepatu di internet. Setelah barang diterima ternyata ukuran
sepatu yang dikirim berbeda dengan ukuran yang dipesan oleh konsumen. Konsumen
melakukan komplain kepada pelaku usaha, dan oleh pelaku usaha tersebut konsumen diminta
untuk mengirim barang yang salah tersebut kepada pelaku usaha untuk diganti dengan sepatu
yang sesuai dengan ukuran konsumen. Kerugiannya adalah jangka waktu yang lama dalam
pengiriman barang yang diganti tersebut.”
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce
apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi?
2. Apa saja bentuk pertanggung-jawaban dari pelaku usaha yang telah melakukan wanprestasi
terhadap pihak konsumen yang dirugikan dalam transaksi e-commerce ?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pranata atau pengaturan hukum
yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi online.
Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini akan digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce,
juga untuk menambah wawasan penulis dan pembaca tentang bagaimana
perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi elektronik.
2. Manfaat Praktis.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi masyarakat umum
khususnya pihak yang terkait dengan transaksi e-commerce yakni pihak
konsumen agar lebih berhati-hati lagi dalam melakukan transaksi e-commerce.
Selain itu juga diharapkan dapat menyadarkan para pelaku usaha yang beritikad
buruk agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative
(doctrinal) dan penelitian hukum empiris (non doctrinal). Pada penelitian hukum
normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.
Sedangkan penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum
yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dai pelaku manusia, baik
secara verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan
melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga digunakan untuk
mengamatan hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun
arsip.
B. Metode Pendekatan
Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini, digunakan
pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Perundang-undang (Statute Approach) Pendekatan undang-
undang yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi,
dengan kata lain pendekatan yang mengkaji aturan hukum dan menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Undang Undang Nomor (8)
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor
(11) Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 2.
Pendekatan Empiris yaitu pendekatan yang dilakukan untuk memahami
bagaimana aturan hukum dilaksanakan dalam praktek dimasyarakat.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini berfokus pada norma
hukum positif berupa peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan konsumen terhadap
tindakan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi e-commerce.
Penelitian ini memerlukan data sekunder sebagai data utama. Penelitian hukum normatif ini
dilakukan dengan cara mendeskripsikan hukum positif, pendapat hukum dan fakta hukum dalam
literatur, hasil penelitian, surat kabar, dan internet.
2. Sumber Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan
hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
konsumen terkait dengan tindakan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi ecommerce, yang
terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28 D ayat (1) yang mengatur tentang setiap
orang berhak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) Pasal 1320 yang mengatur syarat
sahnya perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal, dan Pasal 1338 ayat (1) yang mengatur
mengenai semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya
4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal
17 ayat (2) yang mengatur tentang para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. b. Bahan hukum
sekunder yang berupa pendapat hukum dan non hukum, asas-asas hukum, dan faktahukum yang
diperoleh dari buku, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tesis, artikel,jurnal, serta internet dan
wawancara dengan narasumber.
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi serta Sanksi
Administrasi maksimal Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah ) melalui BPSK jika
melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3) ,20,25
Sanksi pidana :
- Penjara 5 tahun atau denda 2.000.000.000 ( dua milyar rupiah ) Pasal 8,9,10
- Penjara 2 tahun atau denda 500.000.000 ( lima ratus juta rupiah ) Pasal 11,12,13 ayat
1,14,16 dan 17 ayat 1 huruf d dan f
Ketentuan pidana lain ( diluar Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen ) jika konsumen luka berat , sakit berat ,cacat tetap atau
kematian
Hukuman tambahan antara lain :
- Pengumuman keputusan hakim
- Pencabutan izin usaha
- Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
- Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
- Hasil pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
Analisis
Menurut analisis saya pada kasus diatas , pihak konsumen sangat dirugikan dan
produk yang dikeluarkan oleh produsen amat sangat membahayakan konsumen , hal tersebut
sangat jelas dilarang dan telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku dalam hal ini
UU no. 8 Tahun 99 tentang perlindungan konsumen .
Penyelesaian dari kasus tersebut adalah pihak produsen yang memproduksi maupun
pelaku usaha yang menjual pembalut dan pantyliner yang mengandung klorin tersebut wajib
menarik barang tersebut dari pasaran sesuai dengan pasal 1 ayat 4 UUPK .
Selain itu pelaku usaha dan / produsen , kasus ini pun harus mendapatkan perhatian
penting dalam hal pengawasan dan tanggung jawab dari pemerintah itu sendiri yang
tercantum dalam Pasal 29 dan 30 UUPK serta peran dari Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dalam upaya pengembangan upaya perlindungan konsumen di Indonesia .
Penutup
Pengertian dan batasan konsumen dalam pembahasan jurnal ini adalah konsumen
akhir dimana konsumen tersebut membeli barang melalui transaksi online untuk digunakan
atau dimanfaatkan secara langsung. Dalam transaksi online posisi tawar (bargaining position)
konsumen sangat lemah yang menyebabkan hak-hak konsumen pada transaksi online sangat
rawan terlanggar hal ini karena transaksi online dilakukan dengan tanpa tatap muka secara
langsung dan antara konsumen dan pelaku usaha tidak saling mengenal.
Proses transaksi online pada dasarnya tidak berbeda dengan transaksi jual beli pada
umumnya, media utama dalam transaksi online adalah internet. Perlindungan hukum identik
dengan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen adalah penyelesaian sengketa konsumen, proses
penyelesaian sengketa konsumen dilakukan apabila dalam transaksi online terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Proses penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan, ketentuan ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kesimpulan
Dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi sang pesat ini kita harus lebih teliti
dalam hal pemanfaatan. Sebab dilain sisi dapat menimbulkan dampat negatif bila dalam
pemanfaatannya tidak diawasi dan disikapi dari sisi hukum. Di Indonesia belum ada
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan transaksi jual
beli online di Indonesia. Adapun salah satu produk hukum yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam hal ini adalah UUPK. Meskipun demikian masih sangat diperlukan undang-
undang terhadap kasus penipuan dalam transaksi online, sebab selain dapat memberikan
perlidungan terhadap hak konsumen juga melindungi pelaku bisnis online yang beritikad baik
dalam usaha jual beli online.
Daftar Pustaka
Ester Dwi Magfirah, 2009, Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce, Grafikatama Jaya,
Jakarta. Husni Syawali dan Neni Sri Maniyati, 2000, Aspek Hukum Transaksi Online, CV.
Mandar Maju, Bandung.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Terjemahan R. Subekti dan
R.Tjitrosudibio, 2008, Pradya Paramita, Jakarta.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.