Anda di halaman 1dari 26

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN BELANJA

ONLINE DALAM HAL TERJADINYA SHORTWEIGHTING DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

NILA PERMATASARI

NPM: 2106784775

HUKUM EKONOMI-SORE

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Ujian Akhir Semester Hukum Perlindungan

Konsumen

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perkembangan baru dalam masyarakat sekarang ini, khususnya di Indonesia,

dengan makin meningkatnya perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen

bersamaan dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Apabila di masa lalu pihak pelaku usaha dipandang sebagai suatu badan yang

sangat berjasa dalam perkembangan perekonomian negara mendapat perhatian lebih besar,

maka saat ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sesuai dengan

makin meningkatnya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pihak konsumen dipandang

lebih lemah hukum, maka perlu mendapat perlindungan lebih besar di banding masa-masa

yang lalu.

Kegiatan bisnis perdagangan secara online / elektronik atau sering kita dengar dengan

istilah e-commerce semakin maraknya terjadi dan menjadikan peluang bagi pelaku usaha

untuk melakukan kegiatan bisnis di dunia maya. E-commerce merupakan bentuk

perdagangan yang memiliki karakter tersendiri yakni perdagangan yang mampu melintasi

daerah bahkan batas negara. E-commerce yang marak menggunakan media internet dimana

para penjual dan pembeli tidak bertatap muka secara langsung dan bisa dilakukan

dimanapun dan kapanpun mereka inginkan serta prosesnya lebih cepat dan mudah lain

halnya dengan perdagangan secara konvensional. Melalui E-Commerce semua

formalitasformalitas yang biasa digunakan dalam transaksi konvensional dikurangi, di

samping tentunya konsumen pun memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan

2
membandingkan informasi seperti barang dan jasa secara lebih leluasa tanpa dibatasi oleh

batas wilayah (borderless).1

Perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai macam jenis barang dan tau

jasa. Dengan adanya kegiatan perdagangan secara online memberi kemudahan bagi pelaku

usaha yang tidak ingin repot – repot membangun atau menyewa toko untuk memasarkan

produk atau barang hasil produksinya. Mereka hanya perlu mempromosikan dan

memajangkan foto dari produk atau barang yang ingin mereka jual melalui situs media

online, dengan melakukan hal tersebut mereka pun dapat menjangkau banyak konsumen. 2

Situs online saat ini yang paling menarik perhatian dan tentunya sangat mudah

digunakan oleh para pelaku usaha online yaitu media sosial. Media sosial yang semakin

populer dan banyak digandrungi oleh kalangan anak muda maupun orang dewasa saat ini

yakni Instagram. Dengan menggunakan aplikasi instagram tersebut, pelaku usaha online

hanya perlu memposting gambar atau foto – foto barang yang ingin mereka jual dan

memasang harga. Kemudian konsumen akan memilih barang yang merekainginkan

memakai gadget yang telah terhubung melalui jaringan internet.

Dapat dikatakan kondisi demikian memberi keuntungan kepada pihak konsumen

karena berbagai macam barang yang dibutuhkan dapat terpenuhi karena beragam pilihan

yang ditawarkan melalui media sosial secara praktis dan tentunya menghemat waktu. Akan

tetapi dibalik kemudahan yang dirasakan oleh pelaku usaha maupun konsumen terdapat

persoalan yaitu masalah ketidaksesuaian produk dengan spesifikasi yang diberikan di situs

media online. Sebagai konsumen online kita tidak tahu dan tidak bisa melihat maupun

memeriksa secara langsung apakah barang itu layak atau tidak. Di lain sisi, kondisi tersebut

1
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi Informasi),
Refika Aditama, Bandung, h.144
2
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, h.1

3
mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha menjadi tidak seimbang, karena

konsumen berada pada posisi yang lemah. Hal ini memberikan peluang atau celah bagi

pelaku usaha untuk berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya. Konsumen seringkali

menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraih keuntungan melalui promosi atau trik

penjualan yang merugikan yang dilakukan oleh pelaku usaha. 3

Menurut hasil pemaparan dari Yayasan Konsumen Layanan Indonesia (YLKI) tercatat

dari total keseluruhan yakni 642 aduan, 16% dari aduan tersebut adalah aduan yang

menyangkut tentang kegiatan belanja online. Itu setara dengan 101 aduan dengan aduan

yang tertinggi dibanding jenis aduan yang lainnya. Dari 101 aduan tersebut, 86% ditujukan

kepada toko online yang berada dibawah naungan aplikasi khusus belanja online seperti

shoppee, lazada, dan lain sebagainya.

Menurut pasal 1 huruf 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 berbunyi: “Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/ jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain, dan untuk tidak

diperdagangkan. Yusuf Shofie menjelaskan bahwa masyarakat yang diartikan sebagai

konsumen, tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk

memperoleh barang dan/atau jasa. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara

konsumen dan pelaku usaha tidak perlu kontraktual (the privity of contract). 4

Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan

asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 5

3
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsuemen, Gramedia, Jakarta, h.
12
4
Yusuf Sofie, 2000, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 250.
5
Mochtar Kusumaatmaja, Asas dan Perlindungan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 89.

4
Ironisnya dalam realita dilapangan dengan mudah sering kita jumpai, pelaku usaha

dalam memproduksi atau menjual produk khususnya pangan memiliki kemasan yang lebih

besar ukurannya dan tidak sebanding dengan isi dan juga informasi pada label kemasan,

juga adanya ketidaksesuaian berat suatu barang yang tertera pada label dengan kenyataan

yang sesungguhnya (untuk selanjutnya disebut shortweighting). Shortweighting adalah

salah satu praktik penjualan barang yang merugikan konsumen. Dimana berat makanan

yang sebenarnya adalah lebih kecil dari berat yang tertera pada label kemasan. 6

Kasus yang penulis alami ketika penulis membeli produk makanan oleh-oleh khas

Semarang yang dibeli dari online dan diproduksi oleh UD. Sari Murni diantaranya stik

jagung balado, opak singkong, dan sale pisang. Dengan berat masing-masing yang tertera

pada label kemasan yaitu: stik jagung balado dan opak singkong dengan berat yang sama

200 gram, dan sale pisang dengan berat 500 gram. Namun berdasarkan fakta yang

didapatkan oleh penulis ternyata berat/isi yang sebenarnya pada masing-masing produk

tersebut yaitu: stik jagung balado hanya seberat 170 gram, opak singkong hanya seberat

182 gram, dan sale pisang hanya seberat 466 gram.

Selain itu salah satu contoh lainnya kasus shortweighting yang sering terjadi di

Indonesia adalah pengoplosan gas LPG. Sebagaimana berita yang dirilis oleh

metronews.com dalam media online tanggal 4 Oktober 2017.7 terungkapnya ledakan

Gudang Elpiji di Karang Tengah merupakan salah satu dugaan adanya tindakan pelaku

usaha yang merugikan konsumen. Dari hasil penyelidikan kepolisian diduga telah terjadi

praktik pengoplosan elpiji, yakni dari tabung 3 Kg ke tabung LPG 12 Kg dan 50 Kg.

6
Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori Dan Penerapannya Dalam Pemasaran, Bogor: Ghalia Indonesia,
2017, hlm. 404.
7
YDH, 2017, http://news.metrotvnews.com/ read/2017/10/04/767975/ylki-minta-polisiusut-ledakan-gudang-
pengisian-elpiji, diakses tanggal 7 Juni 2022 Pukul 16.35.

5
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

pada Pasal 22 dan 23 telah mengatur tentang barang dalam keadaan terbungkus. Penjelasan

Pasal 22 sangat gamblang dan lugas dalam memberikan penjelasan mengenai alasan

keharusan perlunya pencantuman ukuran, berat bersih, isi bersih, jumlah yang sebenarnya

terhadap barang dalam keadaan terbungkus.

Seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut,

maka hak-hak konsumen lebih diperhatikan, salah satunya adalah hak atas informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta hak untuk

mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut. Konsumen berkepentingan akan perlindungan hukum sehubungan

dengan kualitas maupun kuantitas barang dan/jasa. Sebuah kenyataan bahwa konsumen

menduduki posisi yang cukup penting di dalam kelangsungan roda perekonomian. Namun

sangat di sayangkan bahwa kedudukan konsumen justru berada di posisi lemah di

bandingkan dengan pelaku usaha dalam hal perlindungan konsumen.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

1981 tentang Metrologi Legal menyatakan bahwa dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan

alat-alat ukur takar timbang dan perlengkapannya atau yang selanjutnya disingkat yang

wajib ditera dan ditera ulang, dibebaskan daritera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya.

Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981

Metrologi Legal yaitu bila suatu barang dijual berdasarkan ukuran berat atau isi

dimasukkan dalam bungkusan, akan memberikan kesulitan bagi pembeli untuk mengetahui

secara pasti ukuran, berat, isi bersih atau jumlah dalam bungkusan. Perlindungan konsumen

di Indonesia jika diteliti lebih jelas lagi belum sepenuhnya dapat terwujud, walaupun telah

ada undang-undang yang mengaturnya, tetap saja pelaku usaha dapat berbuat semaunya

6
terhadap barang dan/jasa yang ia tawarkan kepada konsumen. Begitu banyak kecurangan-

kecurangan yang pelaku usaha lakukan guna untuk mendapatkan keuntungan yang besar

atas penjualan barang dan/jasa yang mereka produksi atau diperdagangkan. Salah satunya

adalah kasus adanya ketidak sesuaian berat bersih suatu barang yang tertera pada label

dengan kenyataan yang sesungguhnya (untuk selanjutnya disebut shortweighting).

Shortweighting adalah salah satu praktik penjualan barang yang merugikan konsumen.

Dimana berat barang yang sebenarnya adalah lebih kecil dari berat yang tertera pada label

kemasan barang. 8

Jelas sekali terlihat bahwa konsumen sangat dirugikan akibat adanya perubahan barang

tersebut yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sehingga konsumen mendapatkan barang yang

tidak sesuai dengan kondisi dan jaminan yang dijanjikan atau yang dinyatakan dalam label.

Menurut pasal 8 ayat (1) butir b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/

memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau

netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut”. Konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan sifat perdata dari

hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum setiap

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen, memberikan

hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari

pelaku usaha yang merugikannya serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang

diderita oleh konsumen tersebut.

8
Ujang Sumarwan, 2002, Perilaku Konsumen Teori Dan Penerapannya Dalam Pemasaran, Ghalia Indonesia,
Bogor, hlm. 334.

7
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal terjadinya

Shortweighting ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?

2. Bagaimana Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila adanya

produk yang merugikan konsumen?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal

terjadinya Shortweighting ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

2. Untuk mengetahui Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila

adanya produk yang merugikan konsumen.

8
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal terjadinya

Shortweighting ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen

merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam

kasus-kasus pelanggaran konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa

yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab tersebut dibebankan

kepada pihak yang terkait. Dan kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini,

konsumen merupakan yang paling banyak mengalami kerugian yang disebabkan

produk dari pelaku usaha itu sendiri. Beberapa sumber formal hukum, seperti

perundang-undangan dan perjanjian di hukum keperdataan sering memberikan

pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen

yaitu pelaku usaha.

Pelaku usaha di dalam mengedarkan, menawarkan, mengiklankan, dan

memperdagangkan barang dan/ atau jasa yang di produksinya harus dilakukan dengan

cara yang baik dan benar sesuai kondisi maupun standar mutu/ kualitas barang yang

sesungguhnya atau dengan kata lain sesuai dengan wujud aslinya. Pelaku usaha harus

bersikap jujur dan terbuka mengenai informasi yang berkaitan dengan harga atau tarif,

kondisi sampai dengan jaminan atau hak ganti rugi atas produk yang ditawarkannya

kepada konsumen.9

9
M. Nur Rasyid, 2017, “Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam
Perjanjian Transaksi Elektronik”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,URL:
http://jurnal.unsyiah.ac.id/SKLJ/article/download/963/7596

9
Pelaku usaha juga dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, atau

mengiklankan suatu produk barang/ jasa dengan harga atau tariff khusus dalam waktu

dan jumlah tertentu, jika ternyata pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk

melaksanakannya sesuai dengan kurun waktu dan jumlah yang ditawarkan,

dipromosikan atau diiklankan, hal tersebut sebagaimaan telah tercantum dalam Pasal

12 Undang – Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa seorang pelaku usah didalam memperdagangkan produk tidak boleh

memaksakan kehendak agar konsumen yang tidak ingin membeli menjadi tertarik

untuk membeli karena tipu muslihat yang dilakukan oleh pelaku usaha. 10

Disamping itu pelaku usaha pun dilarang untuk melakukak pelanggaran

terhadap hak - hak konsumen. Hak konsumen secara eksplisit tertera pada Pasal 4

Undang –Undang No. 8 Tahun 1999, antara lain: 11


hak atas kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak untuk memilih barang

dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar

dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas, dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat

dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan

advokasi perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen

secara patut, hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk

diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk

mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau

jasa yang diterima tidak dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan hak-

hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.12

10
Ibid, h.66
11
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, 2000, Grasindo, Jakarta, h.4

10
Sebagai konsekuensi dari adanya hak konsumen, maka pelaku usaha

dibebankan oleh kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tridak

diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Seperti yang telah diamanatkan Undang – Undang No. 8 Tahun 1999, tak sedikit

pelaku usaha yang mengabaikan hak – hak konsumen dan tidak menjalankan

kewajibannya sesuai yang diamantkan pada Undang – Undang No.8 Tahun 1999.

11
Dari hasil data penulis dengan 6 orang pengguna layanan belanja online yang

dapat dilihat dari rating penilaian, bahwa mereka semua pernah mengalami

ketidakpuasan oleh pelaku usaha karena barang atau produk yang mereka pesan tidak

sesuai dengan kenyataan yang mereka terima. Produk yang sering mengalami

ketidaksesuaian ialah dari produk pakian dari akun instagram bernama @amazed_co.

Saat memesan salah satu produk pakian yaitu baju kaos import, konsumen sudah yakin

untuk memesan size atau ukuran yang berukaran XL dengan warna biru muda namun

saat barang sampai di tangan konsumen yang diterima adalah ukuran S berwarna putih.

Selain produk pakaian, produk yang sering menyimpang dari informasi yang diberikan

oleh pelaku usaha online ialah case handphone. Beberapa konsumen mengakui pernah

membeli case handphone di instagram dengan nama akun @sunmornaesthc. Namun

saat barang sampai pada tangan konsumen sangat jauh berbeda dengan foto barang dan

penjelasan yang dipajang pada postingannya. Bau lem yang menyengat dan tidak

disertai bublewrap pada packagingnya. Informasi yang mereka berikan pada produk

tersebut sangat menarik perhatian konsumen untuk segara membelinya, selain itu harga

yang mereka pajang tidaklah terbilang murah. Hal inilah yang sangat merugikan

konsumen. Konsumen membayar mahal untuk produk case handphone yang mereka

pikir akan memiliki kualitas tinggi, namun yang terjadi pada kenyataannya konsumen

hanya membayar mahal dan mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan harga.

Terkait dengan persoalan tersebut, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU

Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa

yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan

atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut,

ketidaksesuaian spesifikasi barang yang konsumen tersebut terima dengan barang yang

12
tertera pada foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran atau larangan bagi

pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

Hal tersebut menurut Undang – Undang dapat dikatakan sebagai perbuatan

melanggar hukum. Pada Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Pasal 1365 dijelaskan

bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”.

Adapun syarat-syarat perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan

melanngar hukum, yakni: harus ada perbuatan yang dimaksud dengan perbuatan ini

baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negative, artinya setiap tingkah laku

berbuat atau tidak berbuat; perbuatan itu harus melawan hukum; ada kerugian; ada

hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; dan ada

kesalahan (schuld).13

Bahwa hubungan anatara konsumen dengan pelaku usaha timbul karena suatu

kerugian sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan serta pemakaian atas suatu

barang tertentu yang dihasilkan oleh pelaku usaha, maka konsumen dalam hal ini

keluhannya berhak untuk didengar. Namun hal ini terjadi kedua pelaku usaha online

dengan nama akun instagram @amazed_co dan @sunmornaesthc tidak melakukan

konfirmasi apapun kepada konsumen yang menuntut refund atau pengembalian uang

atau barang. Pelaku usaha mengabaikan tanggung jawabnya yang telah mengakibatkan

kerugian pada konsumen. Oleh karena itu konsumen dapat melakukan gugatan kepada

pelaku usaha tersebut.

13
R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Cetakan ke-6, Putra A Bardin, Bandung, h. 75.

13
Bahwa adanya perangkat hukum yang melindungi konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pedagang/pelaku usaha, tetapi sebaliknya

perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat, serta lahirnya

perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyedian barang/jasa

yang berkualitas. Seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999

sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti

kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan

perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Sanksi diperlukan

sebagai peringatan agar pelaku usaha/pedagang bertindak secara benar. Selain itu,

peran aktif konsumen dalam memperhatikan barang/produk yang dibeli juga sangat

penting untuk menghindari kerugian. Salah satu tindakan sederhana yang dapat

dilakukan konsumen yaitu menimbang kembali berat barang yang dibeli dari

pedagang/pelaku usaha sebelum mulai berlangganan.

Tanggung jawab pelaku usaha ini tidak hanya berlaku untuk kerugian barang

konsumsi yang diperdagangkan, tapi juga bertanggung jawab terhadap iklan-iklan

barang dan/atau jasa termasuk barang import yang diiklankan. Dalam pasal 19 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen ditentukan, bahwa pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang di hasilkan atau diperdagangkan.

Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang

dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang harus di laksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan

adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

14
kesalahan kecuali apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen.

Ganti rugi sendiri merupakan salah satu hak yang dimiliki konsumen yang

berdasarkan undangundang yang perlu di tegakkan. Mengingat kontrak yang dibuat

dalam bentuk standard tidak menutup kemungkinan adanya kerugian akibat

pelanggaran kontrak tersebut. “hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang

diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya”.

Dalam literatur hukum perdata biasanya dikenal tiga unsur ganti rugi, baik

karena wanprestasi debitur (pasal 1243 KUPerdata) maupun karena perbuatan melawan

hukum (PMH) (pasal 1371 KUHPerdata), yaitu kosten, schaden, dan interessen (biaya-

biaya kerugian dan bunga atau kehilangan keuntungan yang di harapkan). Jika

diperhatikan ketentuan dalam UUPK pasal 19 ayat (1) di atas apakah dapat dikatakan

bahwa kerugian yang di maksud meliputi ketiga unsur tersebut. Lebih lanjut dalam ayat

berikutnya dijelaskan bahwa ganti rugi itu dapat berupa “pengembalian uang dan/atau

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau secara niklainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Selain itu juga Adapun pembayaran ganti rugi akan dilakukan dalam konteks

transaksi elektronik merujuk pada Buku III KUHPerdata. Dikatakan bahwa “tidak ada

penggantian biaya kerugian dan bukan, karena keadaan memaksa atau karena hal yang

terjadi karena secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat

sesuatu yang diwajoibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang baginya”.

Hal tersebut sebagaimana di atur dalam pasal 1245 KUHPerdata. Pernyataan tersebut

15
terlihat bahwa ganti rugi akan dibayar diluar keadaan memaksa atau karena hal yang

terjadi secara kebetulan.

Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan kerugian, Undang-Undang

dalam ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan, hanya kerugian yang dapat

dikirakira atau diduga pada waktu perjanjian di buat dan yang sungguh-sungguh dapat

di anggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat

dimintakan penggantian, dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai,

maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang menurut

penetapan undang-undang, yaitu yang dinamakan “ moratiire intetressen” (bunga

kelalaian) yang berjumlah 6% (persen) setahun, sedangkan bunga ini dihitung mulai

tanggal pemasukan suatu gugatan.

Secara umum ada tiga bentuk dari (ganti rugi) dalam kontrak elektronik, yaitu:

expetation damages, reliance damages dan specific performance. Masing masing akan

di jelaskan sbb; Expetation damages umumnya dalam hal pengajuan gugatan maka

pihak yang dimenangkan berhak memperoleh sejumlah uang dari pihak yang kalah.

Dalam hal ini expextation of damages ini dapat diartikan sebagai suatu imbalan atas

kerugian yang diderita dan adanya pelanggaran kontrak. Relience damages, merupakan

hadiah uang diberikan kembali kepada penggugat atas pengeluaran yang

dikeluarkannya. Misalnya dalam hal ini persetujuan untuk membeli seekor kuda dengan

harga 1 juta keesokan harinya saya mengeluarkan biaya seratus ribu untuk membeli

makanan kuda, namun ternyata kuda di jual kepada pihak lain maka saya dapat

menuntut penjual tersebut dan pengadilan akan membayarkan seratus ribu untuk biaya

yang telah saya keluarkan untuk membeli makanan kuda Spesific performance, suatu

hadiah atau prestasi yang dilakukan oleh defendant untuk melakukan tujuan dari suatu

kontrak. Biasanya hal ini kurang digunakan dan umumnya pada kontrak untuk

16
melakukan suatu jasa karena memaksa seseorang untuk melakukan suatu jasa berarti

bahwa hal itu melanggar kepentingan public. 14

2. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila adanya produk

yang merugikan konsumen.

Bahwa permsalahan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen masih sering

terjadi didalam hidup masyarakat, maka dari itu dibutuhkan upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh pihak-pihak terkait di dalam menyelesaikan sengjeta yang terjadi.

Dalam hal memberikan jaminan adanya kepastian hukum untuk melindungi hak-hak

konsumen yang dilanggar oleh pihak pelaku usaha, pemerintah membentuk Lembaga-

lembaga yang berwenang untuk menangani masalah-masalah hak konsumen sesuai

denganketentuan undang-undang yang berlaku. Yaitu salah satunya dengan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 15

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

memberikan dua macam ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu

penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) yang

berbunyi” Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha

atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” Dan pada Pasal 47

UU No.8 Tahun 1999 yang berbunyi “penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan diselengarakan untuk mencapai kesempakatan mengenai bentuk dan

14
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik Dalam BayangBayang Pelaku Usah, (pustaka sutra: bandung), hlm
93
15
Ni Komang Ayu Nira Relies Rianti, 2017, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Hal
Terjadinya Hortweighting Ditinjau Dari Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”,
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 6, No. 4: 521 – 537 edisi 2017, hal. 529,
URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ jmhu/article/view/22288/20922, diakses tanggal 5 Juni 2022 Pukul 14.00
Wib

17
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu unutuk menjamin tidak akan

terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

konsumen.”16

Upaya yang dilakukan konsumen bisa melalui jalur pengadilan (litigasi) atau di luar

pengadilan (non litigasi) dapat dilakukan olebh konsumen jika merasa hak-hak yang

dilanggar. Namun tak sedikit konsumen yang tidak berani melaporkan Tindakan atas

kecurangan atau kelelaian pelaku usaha yang dilakukan kepada konsumen. Lagi-lagi

alasan tidak dilaporkannya yakni masalah biaya penyelesaian perkara yang mahal yang

mereka anggap tidak sebanding dengan harga barang yang mereka beli dan juga sangat

memakan waktu yang banyak. Selain utu juga kurangnya pemahaman konsumen

dengan hukum yang berlaku dan tidak mengerti atau tidak tahu apa yang seharusnya

mereka lakukan jika mereka tidak mendapatkan hak-haknya kepada pelaku usaha yang

melakukan kecurangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 membagi penyelesaian sengketa

konsumen menjadi 2 bagian:

1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri.

Bahwa Istilah penyelesaian damai oleh para pihak ini sering disebut dengan

negoisasi. Negoisasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak

untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka dengan dilakukannya

negosiasi. Menurut Roger Fisher dan Willian Ury adalah komunikasi dua

arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan yang sama maupun

berbeda. Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami

16
Rifan Adi Nugraha, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online”, 2014, Jurnal
Serambi Hukum Vol.08, h. 98, URL: https://docplayer.info/55806637-Perlindungan-hukum-terhadap-
konsumendalam-transaksi-online-oleh-rifan-adi-nugraha-jamaluddin-mukhtar-hardikafajar-ardianto.html,
diakses tangal 4 Juni 2022, pukul 17.00 Wib.

18
sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak

ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan

pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).17

Penyelesaian sengketa konsumen dengan adanya BPSK maka dapat dilakukan

secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam

tenggang waktu 21 hari kerja, BPSK wajib memberikan putusannya. Mudah karena

prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah

terletak pada biaya perkara yang terjangkau.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan untuk mencapai

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti-kerugian dan/atau mengenai tindakan

tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis yang

menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan

konsumen tersebut. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui BPSK, dapat diuraikan

sebagai berikut; bahwa dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen

BPSK membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu

terdiri dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu oleh

seorang panitera. Menurut ketentuan Pasal 54 Ayat (4), ketentuan teknis dari

pelaksanaan tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa

konsumen akan diatur tersendiri oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Yang

jelas BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan

kepadanya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan

diterima oleh BPSK.18

17
Celina Tri Siwi Kristiyanti., 2008, Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika, Jakarta.h. 188, hlm. 188.
18
Yusuf Sofie, op. cit, hlm. 88

19
Lembaga penyelesaian diluar pengadilan, yang dilaksanakan melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen ini memang dikhususkan bagi konsumen perorangan

yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. Sifat penyelesaian sengketa yang

cepat dan murah yang memang dibutuhkan oleh konsumen tampaknya sudah cukup

terakomodasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

2) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan (Pasal 48 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen), memiliki makna bahwa penyelesaian

sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen

diluar pengadilan.

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

bersengketa.

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dapat diuraikan sebagai

berikut; bahwa dalam Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat.

Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat

mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan

Pengadilan Negeri Ini, meskipun dikatakan bahwa Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas

atas putusan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun dengan

20
mengingat akan relativitas dari tidak “merasa puas”, peluang untuk mengajukan kasasi

sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara.19

Menurut Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

menentukan bahwa “putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat

final dan mengikat.” Pada penjelasan Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, ditegaskan bahwa “kata bersifat final berarti tidak ada upaya banding dan

kasasi”. Namun ternyata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenal

pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri. 20

Apabila pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat) dictum (amar,

isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 56 ayat (1) Undang-

Undang Perlindungan Konsumen), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut. Jika

pelaku usaha tidak menggunakan upaya hukum yang ada (banding dan selanjutnya

kasasi), maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menjadi berkekuatan

hukum tetap. Tidak dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi setelah dilakukannya fiat

eksekusi berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, merupakan

tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.21

19
Rahmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 49.
20
Ridwan Halim, 2003, Filsafat Hukum, Penerbit Pelita Studiways, Jakarta, hlm. 34
21
Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit PT Fikahati Aneska
dan Badan Arbitrase Nasional, Jakarta, hlm. 67.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, tanggung jawab pelaku usaha online untuk

memberikan ganti rugi akibat dari kerugian konsumen berkaitan dengan

ketidaksesuaian produk yang diberikan oleh pelaku usaha belum dilaksanakan

secara optimal dan efektif sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang

berlaku yakni pada Pasal 19 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

2. Perlindungan Konsumen memberikan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh

konsumen dalam hal mengalami kerugian akibat jual beli online dengan dua cara

yaitu melalui jalur pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Namun

pada kenyataannya kedua cara tersebut pun belum dilakukan oleh konsumen karena

minimnya pengetahuan tentang tata cara pengaduan perkara dan masalah biaya

perkara.

3. Tidak semua pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti kerugian kepada

konsumen, karena masih kurangnya kesadaran hukum dari pelaku usaha untuk

kewajibannya terhadap konsumen yang dirugikan akibat produknya yang tidak

layak pakai atau dikonsumsi. Kalau pun pelaku usaha bersedia bertanggung jawab

memberi ganti kerugian kepada konsumen, itu memerlukan proses yang cukup

rumit, seperti melalui pemeriksaan dan pembuktian yang akan dilakukan pelaku

usaha dengan ahli-ahli hukumnya yang mumpuni untuk membuat ia menjadi tidak

bersalah.

22
B. Saran

1. Perlu adanya peningkatan mutu penjualan atau pelayanan pelaku usaha agar produk

barang dan atau jasanya dalam kondisi layak atau baik untuk dikonsumsi atau

digunakan, serta memuaskan konsumen dan perlu ditingkatkan pengawasan oleh

pemerintah terkait tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan

konsumen agar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta perlu ditingkatkan

pengetahuan yang mengenai hukum Perlindungan Konsumen khususnya terhadap

pelaku usaha dan konsumen.

2. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 belum mengatur tentang jual beli online dalam

perkembangan jaman dan hukum yang bersifat elastis atau mengitu perkembangan

jaman sebaiknya undang-undang perlindungan konsumen dirubah di lihat dari

pesatnya perkembangan jual beli online dan digemari oleh setiap orang karna jauh

lebih memudahkan dan agar supaya konsumen yang berbelanja online dapat

berbelanja dengan aman dan nyaman karna ada undang-undang yang mengaturnya.

3. Untuk memperjuangkan hak – hak konsumen, seharusnya konsumen bertindak aktif

menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha. Usaha yang tidak memakan biaya

dan memerlukan banyak waktu ialah dengan cara musyawarah atau penyelesaian di

luar pengadilan (non litigasi) dan diharapkan juga dengan cara non litigasi

konsumen benar – benar dapat memperjuangkan hak – haknya yang telah diabaikan

pelaku usaha online tersebut. Ketidak mengertian konsumen terhadap hak-haknya

juga masih menjadi faktor yang mendominasi. Maka dari itu edukasi terhadap hak-

hak konsumen harus terus dilakukan. Terungkapnya kasus pelanggaran juga

membutuhkan konsumen yang kritis dan berani.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi

Informasi), Refika Aditama, Bandung, h.144

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, h.1

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsuemen,

Gramedia, Jakarta, h. 12

Yusuf Sofie, 2000, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hlm. 250.

Mochtar Kusumaatmaja, Asas dan Perlindungan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.

89.

Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori Dan Penerapannya Dalam Pemasaran, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2017, hlm. 404.

Ujang Sumarwan, 2002, Perilaku Konsumen Teori Dan Penerapannya Dalam Pemasaran,

Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 334.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, 2000, Grasindo, Jakarta, h.4

R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Cetakan ke-6, Putra A Bardin, Bandung,

hlm. 75.

Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik Dalam Bayang Bayang Pelaku Usah, (pustaka

sutra: bandung), hlm 93

Celina Tri Siwi Kristiyanti., 2008, Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika, Jakarta.h.

188, hlm. 188.

24
Rahmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, hlm. 49.

Ridwan Halim, 2003, Filsafat Hukum, Penerbit Pelita Studiways, Jakarta, hlm. 34

Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit PT

Fikahati Aneska dan Badan Arbitrase Nasional, Jakarta, hlm. 67.

Jurnal

M. Nur Rasyid, 2017, “Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dalam Perjanjian Transaksi Elektronik”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Syiah

Kuala,URL: http://jurnal.unsyiah.ac.id/SKLJ/article/download/963/7596 Ibid, h.66.

Ni Komang Ayu Nira Relies Rianti, 2017, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap

Konsumen Dalam Hal Terjadinya Hortweighting Ditinjau Dari Undang-Undang No 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master

Law Journal), Vol. 6, No. 4: 521 – 537 edisi 2017, hal. 529, URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/ jmhu/article/view/22288/20922, diakses tanggal 5 Juni 2022

Pukul 14.00 Wib

Rifan Adi Nugraha, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online”,

2014, Jurnal Serambi Hukum Vol.08, h. 98, URL: https://docplayer.info/55806637-

Perlindungan-hukum-terhadap-konsumendalam-transaksi-online-oleh-rifan-adi-nugraha-

jamaluddin-mukhtar-hardikafajar-ardianto.html, diakses tangal 4 Juni 2022, pukul 17.00 Wib.

Perturan Perundang-Undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

25
Internet / website

YDH, 2017, http://news.metrotvnews.com/ read/2017/10/04/767975/ylki-minta-polisiusut-

ledakan-gudang-pengisian-elpiji, diakses tanggal 7 Juni 2022 Pukul 16.35.

26

Anda mungkin juga menyukai