Anda di halaman 1dari 27

Aspek Perlindungan Hukum dan Praktik Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Putusan MK

No. 18/PUU-XVII/2019
Oleh Annisa Astri Alifta, Diffaryza Zaki Rahman, Hasannudin As’ari, Nila Permatasari dan Putri
Permata Sari

Abstrak

Kekuatan eksekutorial terhadap objek jaminan fidusia dengan adanya Putusan Pengadilan
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pasalnya kehadiran debt collector yang selama ini dianggap
oleh Kreditur sebagai jasa pembantuan dalam penarikan kredit macet saat ini sering kali mengarah pada
tindak pidana. Munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang diputus pada
Januari 2020 merupakan penguraian terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF) khususnya dalam frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan” berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) serta frasa “cidera janji” berdasarkan ketentuan Pasal
15 ayat (3) mendapatkan berbagai pemaknaan yang berbeda-beda dan belum cukup memberikan indikator
yang jelas. Namun nyatanya kembali menimbulkan polemik pada masyarakat, khususnya pada pihak
kreditur yang berasal dari kalangan perusahaan pembiayaan terkait keberadaan Jaminan Fidusia terutama
dalam eksekusi objek jaminan. Eksekusi jaminan di Indonesia besar kaitannya dengan lembaga jasa
penagihan kredit yang disewa oleh lembaga penyedia kredit yaitu debt collector. Beberapa momentum
terhadap eksekusi objek jaminan fidusia disertai adanya tindakan paksa dan kesewenang-wenangan.
Sehingga, jika ditinjau dengan dalih Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) tentu saja bertentangan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 18/PUU-XVII/2019 terdapat akibat hukum terhadap prosedural dalam eksekusi penagihan kredit.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan analisis secara filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap
makna dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Kata Kunci : Jaminan Fidusia, Eksekusi, Perlindungan Hukum

Abstract

The executorial power of the object of fiduciary guarantee with the Court's Decision raises the debate in
society. Because the presence of debt collectors who have been considered by creditors as an assistance
service in the withdrawal of bad loans nowadays often lead to criminal acts. The appearance of the
Constitutional Court Decision Number 18 / PUU-XVII / 2019 which was decided in January 2020 is an
elaboration of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees (UUJF) especially in the
phrase "executive power" and the phrase "the same as the court's decision" based on the provisions
Article 15 paragraph (2) as well as the phrase "breach of contract" based on the provisions of Article 15
paragraph (3) obtain various meanings that differ and do not provide sufficient clear indicators.
However, in reality it has again caused a polemic to the community, especially to creditors from finance
companies related to the existence of Fiduciary Collateral, especially in the execution of collateral
objects. Execution of collateral in Indonesia has a large relation to credit collection services institutions
hired by credit providers, namely debt collectors. Some momentum towards the execution of fiduciary
guarantee objects is accompanied by coercive and arbitrary actions. So, if it is reviewed under the pretext
of Article 28 D paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution),
of course it is contradictory. In the Constitutional Court Decision Number 18 / PUU-XVII / 2019 there
are legal consequences to the procedure in the execution of credit collection. This writing is expected to

1
provide a philosophical, juridical and sociological analysis of the meaning of the Constitutional Court
Decision Number 18 / PUU-XVII / 2019.

Keywords : Fiduciary Guarantee, Execution, Legal Protection

1. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sebagai
instrumen hukum tertinggi di Indonesia dilaksanakan melalui Undang-Undang (UU). Dalam
pelaksanaan UU agar tetap berjalan sesuai napas konstitusi memerlukan lembaga untuk
mengawal jalannya konstitusi (The Guardian of The Constitution). Di Indonesia keberadaan The
Guardian of The Constitution dipegang oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
sebagai pelindung konstitusi dan penjamin hak konstitusional warga negara Indonesia memiliki
wewenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945
(Judicial Review) diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Beberapa waktu belakangan ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF) telah menimbulkan berbagai pro dan kontra di Indonesia, khususnya atas
ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UUJF dalam frasa
“kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai secara
tidak sama dan berbeda beda, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF dalam frasa “cidera
janji” dirasa belum menunjukkan kejelasan indikator dan penilaian terhadapnya.

Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena debt collector di Indonesia. Debt Collector
adalah lembaga jasa penagih utang yang disewa oleh penyedia kredit atau (kreditur) untuk
mengambil alih barang dikuasai oleh debitur ketika jatuh tempo. Keberadaan debt collector
nyatanya seringkali melakukan penarikan barang yang dijaminkan dengan sewenang-wenang
tanpa melalui prosedur hukum yang benar sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Ada
beberapa momentum dimana terdapat tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen
resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta

2
mengancam akan membahayakan nyawa para kreditur tersebut yang tentu saja bertentangan
dengan Pasal 28G ayat (1) dan (2) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945.1

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 memberikan akibat hukum


terhadap prosedural dalam eksekusi penagihan kredit yang dilakukan oleh debt collector.
Meskipun telah muncul putusan dari Mahkamah yang mana bersifat final, hal tersebut masih
mendapat berbagai pro dan kontra terutama melalui sudut pandang kreditur yang merasa
dirugikan atas keberadaan putusan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan analisis dan pembahasan
secara substantif atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai aspek perlindungan hukum akibat Putusan a quo terhadap
Debitur dan Kreditur kemudian melihat praktik eksekusi Jaminan Fidusia sebelum dan sesudah
terbitnya Putusan a quo.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana aspek perlindungan hukum berdasarkan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019
terhadap debitur dan kreditur?
2. Bagaimana praktik eksekusi jaminan fidusia dan pencantuman perjanjian dengan klausula
baku sebelum dan sesudah terbitnya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019?
C. Metode Penelitian
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif (doctrinal research)
karena penulisan ini ditujukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi guna menemukan
dan merumuskan argumentasi hukum dalam menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019.2 Dalam menyusun penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan
undang-undang (statute approach) dengan dasar menganalisis segala undang-undang dan
Putusan Mahkamah Konstitusi serta regulasi terkait Eksekusi Jaminan Fidusia dan Kelancaran
Kredit.
Sehingga, untuk mendukung penyusunan materi dalam penulisan ini, penulis
menggunakan teknik pengumpulan melalui bahan hukum tertulis berupa content of analysis.
Studi kepustakaan ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan

1
Kedudukan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 18/PUU-XVII/2019
2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014, h. 55.

3
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan, ataupun arsipal hasil penelitian
lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.3

2. Hasil dan Pembasan

2.1 Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (UUJF) merupakan salah satu jenis jaminan yang ada di Indonesia
dimana objek kebendaan yang dapat dijadikan jaminan berupa benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.4

Berdasarkan UUJF, Jaminan Fidusia memiliki sifat-sifat berikut: 5 1) bersifat acessoir,


maksudnya adalah bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri, melainkan suatu
perjanjian ikutan yang keberadaannya maupun hapusnya bergantung pada perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi debitur (pemberi Fidusia) untuk memenuhi suatu prestasi; 6 2)
bersifat droit de suite, bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. 7 3) Jaminan Fidusia memberikan
hak preferrent yang memberikan kedudukan mendahului kepada kreditur penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya;8 4) Jaminan Fidusia menjamin pelunasan suatu utang atau kredit yang
telah ada atau yang akan ada;9 5) Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu jenis kredit,
dan dapat diberikan kepada lebih dari satu kreditur namun kedudukan antara kreditur itu sama; 10
6) Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial bagi kreditur dalam hal debitur cidera janji
atau wanprestasi, dan kekuasaan ini dilaksanakan dengan pelaksanaan titel eksekutorial oleh

3
Ibid., h. 21.
4
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
5
Purwahid Patrik, Hukum Jaminan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, h. 139.
6
Pasal 4 dan Pasal 25 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
7
Purwahid Patrik, Op.cit., h. 36-37.
8
Purwahid Patrik, Loc.cit.
9
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
10
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

4
kreditur atau pemegang fidusia melalui Lembaga Parate Eksekusi; 11 dan 7) Jaminan Fidusia
memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan
jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 12 Maksud dari sifat
spesialitas adalah uraian yang jelas, rinci, dan spesifik mengenai objek Jaminan Fidusia yang
tertera dalam Akta Jaminan Fidusia. Sementara itu, sifat publisitas dipenuhi oleh Jaminan
Fidusia dengan pendaftaran Akta Jaminan Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehingga publik
dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia, dan memberikan kepastian
bagi kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia.

2.2 Praktik Eksekusi Jaminan Fidusia Sebelum Terbitnya Putusan MK No. 18/PUU-
XVII/2019

Berdasarkan Pasal 29 UUJF apabila Pemberi Fidusia cidera janji maka kreditur Penerima
Fidusia yang telah mempunyai/memegang Sertifikat Fidusia dapat/berhak untuk menjual objek
Jaminan Fidusia dengan cara:13 1) melaksanakan titel eksekutorial; 2) Menjual objek jaminan
fidusia serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan.; 3) Menjual objek jaminan
fidusia dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia
yang menguntungkan para pihak. Penjualan bawah tangan ini dilakukan setelah lewat waktu 1
(satu) bulan sejak diterbitkannya secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada
piha-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.
Dicantumkannya kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
Sertifikat jaminan fidusia dianggap mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena memiliki irah-
irah yang sama dengan putusan.14 Oleh karena itu, eksekusi eksekutorial dapat dilaksanakan
apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu adanya cidera janji oleh Debitur dan adanya irah-irah
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pelaksanaan eksekutorial dapat dilakukan melalui penjualan di bawah tangan melalui
sebuah lembaga parate eksekusi dan diharuskan dilakukan penjualan di muka umum (lelang).

11
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
12
Pasal 6 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
13
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
14
News Letter No. 41/VI/Juni/2000, h. 23.

5
Parate Eksekusi merupakan kewenangan yang akan mendelegasikan debt collector kepada
Debitur untuk melaksanakan eksekusi apabila terjadi cidera janji oleh Debitur dengan
menunjukkan sertifikat jaminan fidusia.
Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam
Pasal 29 dan 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia bersifat mengikat (dwinged recht) yang tidak
dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. Penyimpangan dari ketentuan-ketentuan
tersebut berakibat batal demi hukum.
Namun, selama ini terdapat berbagai praktik penyimpangan dimasyarakat misalnya
dengan keberadaan klausula baku dalam pengajuan kredit, Debitur tidak akan bisa mengajukan
kredit apabila tidak menyetujui klausula tersebut. Disis lain, aktivitas debt collector yang
mengarah pada tindakan pidana. Misalnya pada kasus pada 1 Juni 2010, seorang debt collector
dari sebuah leasing berinisial JT terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian. JT
diamankan oleh petugas Patroli Jalan Raya (PJR) Polda Metro Jaya karena merampas mobil
Toyota Kijang Innova dari kreditur mobil di depan Bimoli, Pluit, Jakarta Utara. 15
Selain itu,
Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo yang mengajukan kredit Mobil namun dilakukan
penarikan secara paksa atas dasar wanprestasi yang didalilkan oleh pihak debt collector. Hal ini
yang melatar belakangi munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019
karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan (2) dan Pasal 28H ayat (4) UUD
NRI 1945.

2.3 Lahirnya Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019

Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Kekuatan Eksekutorial dalam Sertifikat


Jaminan Fidusia yang permohonannya diajukan oleh Aprilliani Dewi (Pemohon I), dan Suri
Agung Prabowo (Pemohon II). Para Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia
yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
UUJF yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 ayat (2); “Sertifikat Jaminan Fidusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.16 Pasal 15 ayat (3);
“Apabila debitor cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang

15
https://news.detik.com/berita/1606574/2-kasus-debt-collector-diproses-hukum-tahun-2010?ndlogo=
diunduh pada Rabu, 05 Februari 2020 Pukul 11.10 WIB
16
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

6
menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. 17 Pasal-pasal tersebut menurut para
pemohon bertentangan dengan Norma UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4).

Dalam Permohonannya, Para Pemohon merasa keberlakuan Pasal a quo merugikan hak-
hak konstitusional mereka. Kerugian ini secara riil dan spesifik dialami Para Pemohon dari
kejadian penarikan paksa Objek Jaminan Fidusia. Hal ini diawali dari adanya Perjanjian
Pembiayaan Multiguna bertanggal 18 November 2016 antara Pemohon I (Debitur) dengan PT
Astra Sedaya Finance (Kreditur) dengan pokok perjanjian berupa pemberian fasilitas
pembiayaan dari Debitur terhadap Kreditur dalam bentuk penyediaan dana untuk pembelian
1unit kendaraan Merk Toyota type Alphard V. Dalam perjanjian a quo, Pemohon memiliki
kewajiban pembayaran kredit sebesar Rp222.696.000,00 melalui cicilan selama 25 bulan.
Setahun kemudian debt collector yang bekerja atas nama Kreditur mendatangi kediaman
Pemohon I untuk mengambil paksa kendaraan yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia dengan
dalih bahwa Pemohon telah wanprestasi. Para Pemohon mendalilkan bahwa tindakan tersebut
dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang benar, ada beberapa momentum tindakan paksa
yang dilakukan, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi serta menyerang para Pemohon.

Atas tindakan yang dilakukan pihak Kreditur, pihak Debitur mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, yang melahirkan Putusan PN Jakarta Selatan No.
345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan Kreditur tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum dan juga dalam perkara perdata Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel,
pihak PT. Astra Sedaya Finance selaku Kreditur telah meminta kepada pengadilan agar Pemohon
I menyerahkan kendaraan Alphard milik Pemohon I, akan tetapi permohonan tersebut ditolak
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam hal ini para Pemohon melihat bahwa selaku
pelaksana kekuasaan yudikatif, secara tidak langsung pengadilan telah melakukan koreksi
terhadap kekuatan eksekutorial yang diperoleh berdasarkan ketentuan UUJF, akan tetapi setelah
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana dimaksud di atas dijatuhkan, PT. Astra
Sedaya Finance justru telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum yaitu
melakukan penarikan secara paksa kendaraan milik Pemohon I, hanya karena merasa bahwa
tindakan tersebut telah dilindungi oleh dan/atau melalui ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
17
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

7
UUJF. Atas hal ini, dalam Permohonannya, Para Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo
telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon, dan meminta Mahkamah Konstitusi untuk
menyatakan Pasal-Pasal a quo inkonstitusional secara bersyarat.

Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum dari Perkara Nomor 18/PUU-


XVII/2019 dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas
norma Pasal 15 ayat (2) UUJF yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” ternyata dapat
berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur
melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan yang menimbulkan adanya tindakan
sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”.

Substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF berkaitan dengan adanya unsur debitur
yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada Penerima Fidusia (kreditur) untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Persoalan yang
tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo adalah mengenai kapan “cidera
janji” dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan. Ketiadaan kejelasan tersebut
membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan
sesungguhnya Pemberi Fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat
timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak Penerima Fidusia (kreditur) untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.
Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan
adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan Penerima Fidusia (kreditur). Adanya
ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk
melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia
dengan harga yang wajar.

Atas ketidakjelasan ini sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan”
dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang
debitur, bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Penerima
Fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal demikian jelas merupakan
bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan

8
ayat (3) UUJF. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan
arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus
mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR
atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh Penerima
Fidusia (kreditur) melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah memutus perkara a quo dalam


Putusan No. 18/PUU-XVII/2019 yang mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian.
Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) UUJF inkonstitusional sepanjang frasa
“kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia
yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan
prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan
berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap”. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan Pasal 15 ayat (3) UUJF inkonstitusional
sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan
atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang
menentukan telah terjadinya cidera janji”.

2.4 Praktik Eksekusi Jaminan Fidusia Sesudah Terbitnya Putusan MK No. 18/PUU-
XVII/2019

Berdasarkan putusan a quo, maka setidaknya dapat amar putusan dapat disarikan sebagai
berikut: 1) segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat
Jaminan Fidusia yang Jaminan Fidusianya tidak ada kesepakatan tentang cidera janji
(wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan

9
fidusia, maka harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde); dan 2) penentuan
cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh Kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan
antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan terjadinya cidera
janji. Dengan demikian, putusan tersebut bermakna bahwa: 1) bagi Kreditur yang ingin
melakukan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia, yang pada perjanjian Jaminan Fidusianya tidak
ada kesepakatan mengenai cidera janji, dan Debitur keberatan untuk menyerahkan Jaminan
Fidusia secara sukarela, maka harus memohonkan penetapan eksekusi melalui Pengadilan Negeri
setempat sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Pasal 224 HIR; 2) penentuan terjadinya
cidera janji tidak boleh lagi didasarkan pada perjanjian yang berbasis pada klausula baku yang
ditetapkan secara sepihak oleh Kreditur, namun harus atas dasar kesepakatan bersama antara
Debitur dan Kreditur atau atas dasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pokok permasalahan utama dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 khususnya yang


berhubungan dengan eksekusi Jaminan Fidusia adalah mengenai kekuatan titel eksekutorial
grosse akta Jaminan Fidusia, terutama mengenai titel eksekutorial yang dimiliki oleh pembawa
Sertifikat Jaminan Fidusia. Bahkan sebelum keluarnya Putusan a quo, banyak kalangan
khususnya akademisi sudah mempertanyakan, bahkan menyangsikan kekuatan titel eksekutorial
grosse akta Jaminan Fidusia. Sehubungan dengan yang telah penulis jelaskan dalam bagian
eksekusi Jaminan Fidusia sebelum terbitnya Putusan a quo, Imam Nasima dalam “Titel
Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna” 18, menyatakan
menyayangkan keberadaan titel eksekutorial yang menurutnya tidak dapat dipergunakan untuk
eksekusi sebagaimana mestinya. Munir, Putra, dan Suryandono dalam artikel mereka bahkan
menyatakan bahwa tindakan eksekusi dengan melibatkan debt collector dalam gradasi tertentu
dapat dikualifisir sebagai suatu eigenrichting atau tindakan main hukum sendiri,19 yang
berimplikasi pada lebih lemahnya kekuatan titel eksekutorial grosse akta. Perihal eksekusi
Jaminan Fidusia, Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 mengimplikasikan bahwa

18
Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-
tidak-lagi-bermakna--/, diakses pada 22 Januari 2020.
19
Redina Sy. Munir, Mohamad Fajri Mekka Putra, dan Widodo Suryandono, “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan
Dengan Perbuatan Main Hakim Sendiri Atau Eigenrichting Yang Dilakukan Oleh Kreditur Terhadap Objek
Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
2455/K/PDT/2017”, Jurnal Indonesian Notrary, Vol 1, Nomor 001, 2019, h. 14.

10
pelaksanaannya dapat melalui dua skema, yakni: 1) eksekusi dengan melalui upaya hukum yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri; dan 2) eksekusi tanpa melalui upaya hukum ke Pengadilan
Negeri.

Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tetap membuka peluang eksekusi Jaminan Fidusia


tanpa adanya putusan atau penetapan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap. Dengan
demikian, sejatinya grosse akta jenis ini tidak kehilangan marwahnya sebagai yang memegang
kekuatan yang setara dengan putusan pengadilan. Hanya saja, Mahkamah menambahkan syarat
berupa: 1) Penerima Fidusia dan Pemberi Fidusia harus menyepakati tentang cidera janji; dan 2)
Pemberi Fidusia harus dengan sukarela dan tanpa keberatan menyerahkan secara sukarela objek
yang menjadi Jaminan Fidusia. Seperti yang dibahas pada bagian sebelumnya, aspek
perlindungan konsumen pada pihak Debitur atau Pemberi Fidusia diperkuat dalam putusan a
quo. Penegasan dari Mahkamah bahwa harus ada kesepakatan tentang cidera janji antara kedua
belah pihak merepresentasikan penguatan kepastian hukum yang ada dalam perjanjian antara
kedua pihak, sehingga kedepannya tidak ada lagi kasus objek Jaminan Fidusia ditarik paksa oleh
Kreditur yang mana Debitur merasa sama sekali tidak cidera janji terhadap Debitur. Selanjutnya
adalah Debitur harus menyerahkan objek Jaminan Fidusia secara sukarela kepada Kreditur.
Sehingga tidak boleh lagi ada peristiwa paksaan dari pihak Kreditur kepada Debitur untuk
menyerahkan objek Jaminan Fidusia terlebih jika memakai kekerasan, karena otomatis hal
tersebut tergolong sebagai suatu tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang melawan
hukum dan dapat dikenai pidana penjara karena melanggar Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).20

Selain harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diulas sebelumnya,


penarikan terhadap Jaminan Fidusia juga harus memperhatikan ketentuan pelaksanaan dari UU
Fidusia. Contohnya adalah bahwa Perusahaan Pembiayaan dilarang untuk melakukan penarikan
benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum
menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.21
20
Pasal 368 ayat (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana paling lama
sembilan bulan.”
21
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor

11
Adapun Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa:22 a) peringatan; b) pembekuan kegiatan usaha; atau c)
pencabutan izin usaha. Eksekusi Jaminan Fidusia tanpa Putusan Pengadilan dapat dilakukan
dengan melibatkan aparat kepolisian, dengan menggunakan suatu cara yang disebut dengan
“Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia”. Tindakan pengamanan ini dapat dilakukan dengan
persyaratan:23 1) ada permintaan dari pemohon; 2) pemohon memiliki akta jaminan fidusia; 3)
jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia; 4) pemohon memiliki sertifikat
jaminan fidusia; dan 5) jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia. Selain syarat-syarat
tersebut, pihak Kreditur atau Penerima Fidusia juga harus pernah memberikan surat peringatan
kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya minimal sebanyak 2 kali untuk dapat memohon
bantuan Kepolisian.24 Pelaksanaan pengamanan eksekusi terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengawasan dan pengendalian.25

Perihal dengan eksekusi dengan melalui upaya hukum yang dikabulkan oleh Pengadilan
Negeri, perlu dipahami bahwa eksekusi ini harus dilakukan dan berlaku sama dengan
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mengacu pada
jenis-jenis putusan pengadilan menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, di
antara jenis putusan deklaratoir, konstitutif, dan condemnatoir, hanya putusan yang bersifat
condemnatoir-lah yang dapat dikenakan eksekusi, mengacu pada sifat dasar putusan
condemnatoir yang menghukum.26 Dengan demikian, prosedur eksekusi Jaminan Fidusia harus
dilakukan sama seperti halnya dengan eksekusi putusan hakim yang bersifat condemnatoir.
Sehubungan dengan ini, ada tiga jenis eksekusi putusan: 27 1) eksekusi terhadap seseorang yang
dihukum untuk membayar sejumlah uang dalam Pasal 196 H.I.R hingga Pasal 224 H.I.R.; 2)
eksekusi di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan yang diatur dalam
Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
22
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
23
Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Jaminan
Fidusia.
24
Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang
Pengamanan Jaminan Fidusia.
25
Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Jaminan
Fidusia.
26
Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju, 2009, h. 109-110.
27
Ibid., h. 130.

12
Pasal 225 H.I.R; dan 3) eksekusi riil. Terhadap jenis eksekusi apakah eksekusi Jaminan Fidusia
itu, maka perlu dilihat dalam Putusan a quo dalam bagian pertimbangan hukum, bahwa
Mahkamah menyimpulkan “...prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia
dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan
dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.”28 Dari sini dapat dimaknai bahwa Mahkamah
Konstitusi menyamakan eksekusi Jaminan Fidusia dengan eksekusi terhadap seseorang yang
dihukum untuk membayar sejumlah uang.

Hal ini cukup menarik jika mengingat bahwa Jaminan Fidusia adalah didasari oleh suatu
perjanjian pembebanan yang bersifat perjanjian ikutan, dan Jaminan Fidusia sendiri berupa
benda bergerak pada umumnya, dan juga termasuk benda tidak bergerak yang tidak dapat
dibebankan dengan Hak Tanggungan. Dengan demikian sejatinya dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa eksekusi Jaminan Fidusia merupakan suatu eksekusi terhadap barang, yang
seyogyanya terhadap putusan eksekusinya dikualifisir ke dalam eksekusi di mana seseorang
dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan, yang mana adalah penyerahan objek Jaminan
Fidusia. Namun Mahkamah mengkualifisir eksekusi Jaminan Fidusia ke dalam eksekusi terhadap
seseorang yang dihukum untuk membayar sejumlah uang, yang dapat dipahami mengacu
langsung kepada perjanjian kredit pokok, bukan kepada perjanjian pembebanan Jaminan Fidusia.

Jika mengacu pada Putusan a quo, maka alur pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia
dengan putusan hakim adalah sebagai berikut: 1) pihak kreditur selaku penerima Fidusia
mengajukan permohonan eksekusi Jaminan Fidusia kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat; 29
2) Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan suatu aanmaning atau surat teguran langsung kepada
pihak debitur untuk segera melaksanakan eksekusi Jaminan Fidusia, in casu menyerahkan
Jaminan Fidusia selambat-lambatnya dalam 8 hari;30 3) apabila telah lewat waktu tersebut dan
debitur masih belum melaksanakan aanmaning Ketua Pengadilan Negeri, maka Ketua
Pengadilan Negeri akan memberi surat perintah kepada Panitera Pengadilan Negeri atau
penggantinya untuk melaksanakan penyitaan atas Objek Jaminan Fidusia; 31 4) barang sitaan
tersebut dijual dengan perantara kantor lelang, atau berdasar pertimbangan Ketua Pengadilan

28
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, pertimbangan hukum.
29
Pasal 196 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
30
Pasal 196 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
31
Pasal 197 ayat (1), (2), dan (3) Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).

13
Negeri dapat dilakukan oleh juru sita atau orang yang cakap untuk itu;32 5) setelah barang sitaan
berupa Objek Jaminan Fidusia itu terjual, uang hasil penjualan diserahkan kepada pihak kreditur,
dan bila ada sisa maka diserahkan kepada debitur.33

Munculnya polemik sifat eksekutorial Jaminan Fidusia tidak bisa lepas dari keberadaan
klausula baku yang telah lama dipahami sebagai bentuk ketidakseimbanagan posisi atau derajat
antara debitur dan kreditur yang memperlihatkan rendahnya posisi debitur.34 Apabila ditinjau
melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) secara
khusus mencantumkan ketentuan pencantuman klausula baku yang salah satunya adalah
melarang Pelaku Usaha untuk mencantumkan klausula baku pada perjanjian yang berisikan
pernyataan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran, sehingga apabila terdapat klausula baku dalam suatu
perjanjian maka perjanjian dapat batal demi hukum.35

Hal-hal tersebut kiranya menjadi alasan (di luar pertimbangan Mahkamah) bagi
Mahkamah untuk menghentikan praktek perjanjian baku (setidaknya dalam penentuan terjadinya
cidera janji) sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen. Putusan a quo tidak memiliki
implikasi yang besar atau menciptakan norma baru perihal penentuan terjadinya cidera janji,
selain hanya menegaskan bahwa klausula baku tidak boleh lagi dipakai sebagai pedoman
terjadinya cidera janji, sesuatu yang sejatinya sudah diatur oleh rezim UU PK. Dengan demikian
Putusan a quo telah didesain oleh Mahkamah untuk sejalan dengan rezim hukum Perlindungan
Konsumen, dan malah memperkuat unsur perlindungan konsumennya dengan melarang
penentuan cidera janji pada Perjanjian Pembebanan Fidusia dengan klausula baku.

2.5 Aspek Perlindungan Hukum terhadap Debitur dalam Putusan MK No. 18/PUU-
XVII/2018

Berpedoman kepada putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, Debitur sebagai
pemberi fidusia tetap memiliki hak persamaan di depan hukum. Yang dalam UU No. 42 Tahun
32
Pasal 200 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
33
Pasal 200 ayat (5) Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
34
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h.
115.
35
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

14
1999 pasal 15 ayat (2) dan (3), memberikan keleluasaan terhadap penerima fidusia yakni kreditur
yang memiliki wewenang eksekutorial yang sama kedudukanya dengan putusan Peradilan.
Dalam implementasi UU No 42 Tahun 1999 pasal 15, memiliki ketidakseimbangan hak terutama
kepada penerima fidusia yang memiliki hak eksekutorial yang sama dengan putusan keadilan,
oleh karenanya menurut pasal 196 HIR dan 208 RBG eksekusi yang seharusnya dilakukan harus
melalui pengadilan terlebih dahulu ketika pemberi fidusia dianggap cidera janji.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan dengan memberi konstitusional


bersyarat terhadap pasal 15 ayat (2) UUJF dalam frasa “Kekuasaaan Eksekutorial” dan frasa “
sama dengan putusan pengadilan” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai “
bahwa terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan telah terjadinya wanprestasi dan
debitur tidak keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka
segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia
haris dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu terhadap pasal 15 ayat (3) khsusnya pada frasa “cidera
janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai “bahwa adanya cidera janji tidak
ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan bersama antara
kreditur dan debitur atau atas dasar upaya hukum yang telah menentukan terjadinya cidera janji”.

Maka dari putusan yang diberikan oleh Mahkamah konstitusi berlaku ketentuan yang
lebih mengikuti prosedur dalam menjamin perlindungan Debitur saat eksekusi objek jaminan
fidusia antara lain: 1) Bahwa kekuasaan eksekutorial yang dimiliki oleh penerima fidusia yang
memiliki kedudukan yang sama dengan putusan pengadilan, maka dalam eksekusi fidusia harus
mengikuti prosedur sesuai eksekusi pengadilan dengan mendaftarkan terlebih dahulu
permohonan eksekusi Jaminan objek fidusia; dan 2) karena tidak adanya kepastian hukum
sebelumnya mengenai kapan dan siapa yang menentukan debitur cidera janji(wanprestasi),
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, seseorang dinyatakan wanprestasi jika
sebelumnya sudah ada kejelasan terlebih dahulu dan telah memiliki kesepakatan bersama antara
kreditur dan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan terjadinya cidera janji.

Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi diatas, bahwa fidusia merupakan


kesepakatan antara kreditur dan debitur, dalam upaya pemenuhan aspek ekonomi agar terus

15
berlanjut dengan saling mengisi kekosongan modal yang dalam hal ini debitur mengajukan
permintaan terhadap kreditur untuk memenuhi modal. Maka tidak serta merta hanya dengan
memberikan modal tetapi juga dibarengi dengan jaminan barang bergerak karena fidusia
merupakan perjanjian permodalan yang disandarkan kepada rasa saling percaya antara kreditur
dan debitur, sehingga dengan adanya jaminan fidusia tersebut sewaktu-waktu jika si debitur
cidera janji dan kreditur ingin mengambil hak nya berupa permodalan awal dalam perjanjian
maka jaminan tersebut dapat dijadikan ganti rugi atas wanprestasi yang dilakukan oleh debitur.

Dalam perkembanganya jaminan fidusia agar menjadi jaminan kebendaan di Indonesia


memiliki beberapa tahap. Antara pemberi jaminan dan penerima fidusia harus memiliki
perjanjian serah terima jaminan fidusia yang dicantumkan dalam perjanjian pinjam meminjam
uang dalam perjanjian pokok. Dikarenakan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang menganut
asas accessoir. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menyatakan bahwa objek fidusia “wajib” didaftarkan, hal ini bertujuan agar dapat
memperoleh perlindungan bagi kreditur atau pun debitur.

Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Fidusia menegaskan bahwa “Pembebanan benda dengan


jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa indonesia dan merupakan akta
jaminan fidusia”. Alasan pembentuk Undang-Undang Jaminan fidusia menetapkan akta notaris
sebagai akta otentik jaminan fidusia adalah karena dengan adanya akta tersebut menjadikanya
pembuktian sempurna36.

Sebelum diberlakukannya Undang-undang jaminan fidusia, belum dikenal istilah


pendaftaran jaminan sebelumya. Oleh karena itu dalam pengimplementasian praktek dilapangan
terdapat kelemahan yaitu timbul tidak adanya kepastian hukum bagi kreditur dan debitur. Maka
setelah Undang-undang jaminan fidusia diberlakukan benda yang dibebani Jaminan Fidusia
wajib didaftarkan yang umumnya merupakan benda jaminan bergerak.

Kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia kembali dipertegas dengan adanya Peraturan


Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 yang mengatur lebih lanjut mengenai kewajiban

36
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cetakan 1 (Bandung: PT. Alumni),
2006, h. 32.

16
mendaftarkan Jaminan Fidusia37. Dimana Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan
benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kantor pendaftaran fidusia belum
menerbitkan sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.

Oleh karena itu dengan adanya ketentuan tersebut, jika kreditur seperti perusahaan
pembiayaan melakukan penarikan benda jaminan fidusia tanpa memenuhi syarat sesuai Undang-
undang jaminan fidusia dan telah dilakukan kesepakatan sebelumnya terlebih dahulu dalam
perjanjian pembiayaan, maka perusahaan pembiayaan yang melanggar aturan tersebut akan
dikenakan sanksi Administratif berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha sampai dengan
pencabutan izin usaha38.

Dengan demikian aspek perlindungan terhadap debitur dapat dijaga sesuai dengan
ketetapan yang telah diputuskan oleh mahkamah konstitusi. Lebih jauh sebelum melakukan
eksekusi maka terlebih dahulu harus diketahui bagaimana seorang debitur bisa dikatakan
wanprestasi sehingga dimungkinkan adanya eksekusi jaminan fidusia.

Dari isi akta jaminan fidusia pengaturan tentang wanprestasi dapat dikategorikan dalam
tiga hal yakni:39 1) debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila tidak
membayar jumlah utang kepada bank berdasarkan perjanjian kredit sesuai waktu yang ditentukan
dalam hal ini tidak ditentukan apakah wanprestasi tersebut didahului oleh cara pernyataan lalai
dengan cara peneguran kepada debitur; 2) pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila
lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang kepada bank dan cukup dibuktikan
dengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian kredit tanpa perlu adanya surat teguran
dari juru sita atau surat sejenis lainnya; dan 3) ketiga masalah wanprestasi tidak ada diatur sama
sekali dalam akta jaminan fidusia tetapi cukup diatur dalam perjanjian pokoknya.

Tidak hanya itu ketika pihak debitur wanprestasi eksekusi yang harusnya dilakukan
sesuai dengan prosedur eksekusi jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial. Sertifikat

37
Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang
Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiaayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
38
Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiaayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
39
Tan Kamelo, Op Cit., h. 198.

17
Jaminan Fidusia pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelaksanaan sesuai keputusan
pengadilan. artinya sesuai dengan ketentuan pasal 196 ayat 3 HIR kreditur harus mengajukan
permohonan terlebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri, agar dilaksanakan eksekusi atas
benda jaminan berdasarkan titel Eksekutorial40. Sertifikat Jaminan Fidusia Ketua Pengadilan
Negeri akan memanggil debitur atau pemberi fidusia dan memerintahkan agar debitur atau
pemberi fidusia memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya menurut pasal 197. Setelah
waktu tersebut lampau dan debitur atau pemberi fidusia tetap tidak memenuhi kewajibannya
secara sukarela maka Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan kepada juru sita, untuk
menyita benda objek jaminan fidusia selanjutnya menurut pasal 200, hari pelaksanaan eksekusi
dilakukan dengan menjual benda objek jaminan fidusia di muka umum atau dengan cara yang
oleh ketua pengadilan negeri dianggap baik.

Ketentuan pasal 29 ayat 1 b undang-undang jaminan fidusia merupakan pelaksanaan dari


pada pasal 15 ayat 3 undang-undang jaminan fidusia yang menyatakan bahwa apabila debitur
cidera janji penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan
fidusia artinya kreditur melaksanakan eksekusi berdasarkan kekuasaan sendiri atau parate
eksekusi dengan tidak melibatkan pengadilan maupun jurusita untuk melakukan penjualan di
muka umum atau lelang di sini kreditur biasa menghubungi langsung juru lelang dan meminta
agar benda objek jaminan fidusia dilelang. Hal inilah yang menjadi permasalahan sebelumnya
yang diatur oleh putusan mahkamah konstitusi mengenai undang-undang jaminan fidusia
terhadap pasal 15 Undang-undang Jaminan Fidusia yang dianggap bertentangan dengan
konstitusi, karena dianggap kepemelikan hak yang tidak seimbang antara Pemberi Jaminan
Fidusia dan Penerima Jaminan Fidusia.

Mengacu kepada ketentuan di atas pelaksanaan ekskusi jaminan fidusia harus sesuai prosedur
demi terpenuhinya aspek perlindungan yang dimiliki oleh kreditur maupun debitur. Berdasarkan
Pasal 30 UU 42 Tahun 1999, dalam rangka pelaksanaan eksekusi atas OJF 41 Pemberi Fidusia
wajib menyerahkan benda OJF kepada: 1) Penerima fidusia atau kepada jawatan lelang; 2)
kepada pembeli lelang, atau 3) kepada pembeli di bawah tangan, jika penjualnya di bawah

40
J Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, Dan Yurisprudensi, Cetakan Ke-1, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2012, h. 320.
41
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi ke-2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009, h. 215.

18
tangan. Selain itu, dapat disimpulkan dari Penjelasan Pasal 30 yang memberi hak kepada
Penerima Fidusia untuk mengambil benda OJF dari tangan Pemberi Fidusia, apabila pada saat
eksekusi dilakukan pemberi fidusia tidak mau menyerahkan OJF tersebut secara sukarela, yang
disebut the right to reposses, dengan acuan penerapan: 1)Pemberi fidusia melakukan cidera janji
sesuai dengan ketentuan yang telah disetujui kedua belah pihak sebelumnya; 2) Berdasarkan hal
itu, penerima fidusia melakukan eksekusi setelah adanya putusan dari Pengadilan Negeri; 3)
namun pada saat eksekusi dilakukan, Pemberi fidusia tidak mau menyerahkan OJF secara
sukarela; 4) Bertitik tolak dari keingkaran itu, undang-undang memberi hak kepada penerima
fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai legal owner untuk mengambil penguasaan
OJF dari tangan pemberi fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai economic owner
atas OJF apabila perlu Penerima Fidusia dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak yang berwenang dalam pelaksanaan
pengambilan OJF dari tangan pemberi fidusia: boleh pihak Polri atau Pengadilan Negeri (PN)
berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR.

Cara Penjualan Eksekusi OJF yang Berbentuk Benda-Benda Perdagangan atau efek tentang
hal ini diatur dalam Pasal 31 undang-undang, yang menjelaskan hal berikut: penjualan OJF yang
terdiri dari benda Perdagangan atau Efek, jika dapat dijual di pasar atau di bursa, dilakukan di
tempat-tempat tersebut. Namun dengan syarat harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Sesuai pasal 30 UU No 42 tahun 1999 pasal 30 pemberi fidusia wajib memberikan OJF
(Objek Jaminan Fidusia dalam rangka eksekusi OJF Kepada penerima Fidusia. Penjelasan Pasal
30 memberi hak kepada Penerima Fidusia untuk mengambil Objek Jaminan Fidusia dari tangan
Pemberi Fidusia, apabila pada saat eksekusi Pemberi fidusia tidak mau menyerahkan OJF
tersebut secara sukarela, bertitik tolak kepada keingkaran itu, Undang-Undang memberi hak
kepada penerima fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai legal owner untuk
mengambil penguasaan Objek Jaminana Fidusia (OJF) dari tangan debitur dalam kedudukanya
sebagai economic owner atas OJF.

Demi menjaga aspek perlindungan debitur dan kreditur undang-undang jaminan fidusia
sebelumnya sudah menegaskan Ada dua ketentuan mengenai janji yang tidak boleh dilakukan

19
dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yaitu: 1) janji untuk melaksanakan eksekusi
terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 29 dan pasal 31 undang-undang jaminan fidusia;
dan 2) janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang
menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji.42

Pelanggaran terhadap 2 hal tersebut menimbulkan eksekusi jaminan fidusia batal demi
hukum43. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu
perikatan hukum adalah gagal dengan demikian maka tidak ada dasar untuk saling menuntut
dimuka Hakim ketentuan ini untuk melindungi pemberi jaminan fidusia karena ada kalanya nilai
hasil eksekusi benda yang dijaminkan lebih besar dari jumlah utang pemberi fidusia kepada
penerima jaminan fidusia. Karena dalam hal eksekusi ketika eksekusi jaminan fidusia melebihi
nilai jaminan penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia
namun apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang debitur tetap bertanggung
jawab atas hutang yang belum dibayar44.

2.6 Aspek Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Putusan MK No. 18/PUU-
XVII/2018
Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu: diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan segala kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal
diatas dapat diartikan, sejak seseorang mengikatkan diri pada suatu perjanjian maka sejak itu
semua harta kekayaan baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Hal inilah yang kita sebut jaminan fidusia
namun, ada beberapa masalah yang terjadi berkaitan dengan fidusia yaitu salah satunya adalah
tidak didaftarkan suatu jaminan fidusia, mengingat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa objek fidusia “wajib” didaftarkan, hal
ini bertujuan agar dapat memperoleh perlindungan bagi kreditur ataupun debitur. Praktik
42
Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
43
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
44
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

20
lapangan banyak sekali jaminan fidusia yang tidak didaftarkan yang artinya hal tersebut dibuat
dengan akta di bawah tangan, hal ini menjadikan kedudukan daripada kreditur tersebut tidak lagi
menjadi kreditur yang preferen. Begitu juga dengan eksekusi fidusia yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang fidusia namun karena tidak didaftarkan
jaminan fidusia tersebut apakah dia mendapat perlindungan dalam melakukan eksekusi objek
fidusia karena, perjanjian itu sendiri sah ataukah tidak menurut hukum.

1. Perlindungan Hukum Bagi Jaminan Fidusia Terhadap Kreditur dalam Undang-Undang


Nomor 42 Tahun 1999.

Dengan diaturnya data-data yang harus termuat dalam akta jaminan fidusia secara
tidak langsung memberikan pegangan yang kuat bagi kreditur khusunya mengenai tagihan
mana yang dijamin dan besarnnya nilai jaminan, salah satu wujud dari pemberian kepastian
hukum hak- hak kreditur adalah dengan mengadakan lembaga Pendaftaran Fidusia dengan
tujuan pendaftaran itu tidak lain untuk menjamin kepentingan dari pihak menerima fidusia.
Lebih dari itu dalam penjelasannya ternyata bahwa kepentingan yang dilindungi lebih luas
sebab dikatakan bahwa kepastian hukum ditujukan kepada para pihak yang berkepentingan.

Dalam perlindungan Jaminan Fidusia Terhadap Kreditur terdapat di Undang-Undang


yang membahas tentang perlindungan hukum dalam jaminan fidusia. Saat ini jaminan
fidusia yang bersifat accesoir merupakan landasan hukum. Hal ini sangat memerhatikan
kepentingan debitur dengan memberikan jaminan hukum kepada benda bergerak dari
kreditur. Pada Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pernyataan dalam Undang-
Undang tersebut bisa dimaknai, apabila jaminan fidusia belum didaftarkan maka kreditur
belum memiliki hak jaminan fidusia termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap
benda yang sedang dijaminkan. Hal ini tentunya memberikan kepastian hukum dan
perlindungan kepada para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia. Meski tujuan
pengaturan lembaga jaminan khusus kebendaan utamanya guna melindungi kepentingan
kreditur sebagai penyedia dana dalam perjanjian pinjam meminjam, namun ketentuan yang
terdapat di UU jaminan fidusia tetap memperhatikan kepentingan para pihak secara
seimbang termasuk kepentingan debitur.

Selain itu, UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur


untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia
secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau
kepolisian. Dalam rangka eksekusi fidusia daulat menuturkan meskipun UU Jaminan
Fidusia memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia atas
kekuasaannya sendiri atau melalui parate eksekusi seolah-olah menjual barang miliknya
sendiri, namun kewenangan tersebut tidak termasuk melakukan upaya paksa dalam hal

21
debitur tidak secara sukarela menyerahkan benda objek jaminan yang dikuasainya dalam
rangka eksekusi.

Dalam UUJF ada beberapa Pasal yang berhubungan dengan aspek perlindungan
hukum jaminan fidusia dalam Pasal 15 ayat (2) “ Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam hal ini yang dimaksud
dengan kekuatan Eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan
dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Bahwa
bentuk jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit tersebut,
ditunjukkan dengan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan
menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.

Serta terdapat Pasal 15 ayat (3) “Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia
mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri.” Dalam UU tersebut telah memberikan penguatan hak kepada
Penerima Fidusia (Kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri, dalam hal debitur cidera janji dalam pasal ini berfokus untuk
memberikan kepastian hukum atas hak Penerima Fidusia (kreditur) dengan jalan dapat
melakukan eksekusi Objek Fidusia secara merta. Ketentuan ini menemukan kelemahanya
khusunya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaanya yang justru dapat melanggar
hak-hak Pemberi Fidusia.

Dismping pemberian perlindunfan kepada kreditur fidusia juga memberikan


kedudukan yang kuat kepada kreditur fidusia juga memberikan kedudukan yang kuat kepada
kreditur sebagai yang disebutkan diatas, undang-undang Fidusia dengan tugas mengatakan,
bahwa kreditur penerima Fidusia berkedudukan sebagai kreditur prefen. Kedudukan kreditur
seperti ditegaskan lagi dalam Pasal 27 ayat 1 dan diperjelas lagi maksudnya dalam Pasal 27
ayat 2 Undang-Undang Fidusia pemberian sifat hak kebendaan memberikan persepsi bahwa
kredit adalah “pemilik” atas benda jaminan fidusia, mengapa ada ketentuan yang
mewajibkan ia menjual didepan umu objek Jaminan Fidusia dalam hak debitur wanprestasi.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia di


tentukan bahwa benda baik yang berada di dalam wilayah Negara Republik Indonesia
maupun berada di Luar Wilayah Negara Republik Indonesia maupun benda yang bera diluar
Wilayah Negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.

2. Perlindungan Hukum Bagi Jaminan Fidusia Terhadap Kreditur dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

22
Dalam Putusan MK ini diketahui bahwa Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) dalam UU
Jaminan Fidusia bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Hak Penerima Fidusia (Kreditur) pertama, mengambil atau menerima piutangnya secara
berkala atau kredit. Kedua, mengeksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan
fidusia apabila pemberi fidusia cidera janji. Lalu ada kewajiban Penerima Fidusia (kreditur)
pertama, mendaftarkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia guna mendapatkan
kepastian hukum yaitu mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan. Kedua, menghapus Sertifikat Jaminan Fidusia jika sudah ada pelunasan.

Dalam putusan Mk menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 42 tahun


tantang Jaminan Fidusia sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘ sama dengan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan
tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahlan secara sukarela objek
yang menjadi jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) maka
segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat Jaminan
Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksaan eksekusi putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum setelah dimana mempunyai Sertifikat Jaminan Fidusia.

Dalam Pasal yang bertetentangan dengan norma ada sebagian yang dimana aspek
perlindungan dalam Penerima Fidusia sudah terdapat dalam UUD 1945 tersebut karena
dimana setiap orang berhak atas perlindungan. Dan harus mempunyai atau mendaftarkan
terlebih dahulu sertifikat Fidusia karena sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang
dimana dapat dilaksanakan dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
prosedur atau tata cara eksekusi terhadap sertifikat Fidusia yang dimana dimaksudkan dalam
Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Yaitu dimana eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri
oleh Penerima Fidusia (kreditur) melainkan harus dengan mengajukan permohona ke
pengadilan negeri.

Di dalam kasus diatas yang sudah dijelaskan, dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF memiliki
persoalan konstitusionalitas. Pasalnya, posisi debitur yang keberatan menyerahkan objek jaminan
fidusia lebih lemah karena kreditur dapat mengeksekusinya tanpa mekanisme eksekusi
pengadilan “Tindakan sepihak berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dan kurang
manusiawi baik fisik maupun psikis terhadap debitor yang seringkali mengesampingkan hak-hak
pemberi fidusia,” inkonstitusionalitas dalam Pasal 15 ayat (3) UU UUJF. Frasa ‘cedera janji’
tidak menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan

23
dengan penerima fidusia. MK menafsirkan ulang konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) pada frasa
‘kekuatan eksekutorial’ dan ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap’ sehingga Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji
atau wanprestasi dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia,
maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanan eksekusi sertifikat jaminan
fidusia harus dilakukan, dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.Sementara itu, frasa ‘cedera janji’ dalam Pasal 15 ayat (2) harus
dimaknai ‘adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor melainkan atas dasar
kesepakatan antara kreditor dan debitor atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah
terjadinya cedera janji’

24
3. Kesimpulan

Putusan MK No. 18/PUU-XV11/2019 yang mengabulkan permohonan merupakan


bentuk penegasan makna dalam pengujian Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999
yang bertentangan dengan Norma UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Di dalam frasa “atas kekuasaanya sendiri” bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (1) dimana setiap orang wajib menjujung tinggi hukum dan berhak atas
pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Adanya perlindungan hukum atas
jaminan fidusia dapat diberikan apabila telah terjadi pendaftaran sertifikat jaminan fidusia dari
objek jaminan fidusia.

Praktik eksekusi jaminan fidusia sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi


dilaksanakan apabila Debitur telah memenuhi 2 (dua) syarat yaitu adanya cidera janji oleh
debitur dan adanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Syarat
tersebut merupakan bagian dari adanya ketentuan hukum yang berlaku dan dapat disesuaikan
dengan putusan pengadilan sehingga dalam eksekusinya dapat dilakukan secara langsung karena
sifatnya yang eksekutorial. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019, ada dua skema eksekusi, yakni melalui upaya hukum di pengadilan negeri
dan tanpa melalui upaya hukum di pengadilan negeri. Kreditur dapat mengeksekusi sendiri
Jaminan Fidusia jika telah memenuhi syarat berupa: 1) syarat cidera janji ditetapkan secara
bersama oleh kreditur dan debitur; dan 2) debitur secara sukarela menyerahkan Jaminan Fidusia.
Jika melalui upaya hukum di pengadilan negeri, maka alurnya adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 196-224 H.I.R. Sementara itu, tidak diperbolehkan pula adanya klausula baku dalam
perjanjian pembebanan Fidusia. Hal ini selaras dengan rezim hukum perlindungan konsumen,
dan oleh karena itu MK tidak menetapkan norma baru atau membatalkan apapun dalam putusan
ini, melainkan hanya menegaskan kembali dan menyelaraskannya dengan rezim hukum
perlindungan konsumen.

25
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Harahap, M. Yahya, 2009, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi ke-2,
Jakarta: Sinar Gragika.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja
Grafindo.

Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Patrik, Purwahid, 2009, Hukum Jaminan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 2019, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Bandung: Mandar Maju.

Satrio, J., 2012, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, cet-1,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kamelo, Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cet-1,
Bandung: PT. Alumni.

Jurnal:
Munir, Redina Sy, Mohamad Fajri Mekka Putra, dan Widodo Suryandono, 2019, ‘Pelaksanaan
Eksekusi Jaminan Dengan Perbuatan Main Hakim Sendiri Atau Eigenrichting Yang
Dilakukan Oleh Kreditur Terhadap Objek Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2455/K/PDT/2017”, Jurnal
Indonesian Notrary, Vol 1, No. 001, h.14.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

26
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen
Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan
Jaminan Fidusia.
Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Putusan Pengadilan:

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian materiil Pasal 15 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Internet:

Nasima, Imam, “Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-
ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--/, diakses pada 22 Januari 2020
https://news.detik.com/berita/1606574/2-kasus-debt-collector-diproses-hukum-tahun-2010?
ndlogo= diunduh pada Rabu, 05 Februari 2020 Pukul 11.10 WIB

27

Anda mungkin juga menyukai