i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
LEMBARAN PENGESAHAN
iii
MOTTO
LEMBAR PERSEMBAHAN
iv
ABSTRAK
v
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
semakin mahal, namun penghasilan yang dimiliki oleh masyarakat tidak meningkat
berbagai kebutuhan, karena pada umumnya dalam masyarakat seorang tidak mampu
memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Maka dalam keadaan demikan tidak jarang
jika seseorang melakukan utang piutang sekedar untuk tambahan dana dalam
mencukupi hidupnya. Utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi
bagi masyarakat kita pada masa sekarang ini. Utang piutang tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang yang ekonominya lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang
yang telah terbukti banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan dana.
1
Masyarakat dapat melakukan perjanjian kredit dengan jaminan yang salah satu
bentuknya adalah jaminan fidusia. Perjanjian kredit yang diberikan bank kepada
nasabah bukanlah tanpa resiko, resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan
atau kemacetan dalam pelunasan. Dalam upaya untuk mengurangi resiko tersebut,
jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Jaminan itu sendiri adalah
tanggungan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur karena pihak kreditur
dalam suatu perikatan. Ada beberapa macam jaminan kebendaan yang dikenal dalam
hukum jaminan. Salah satu dari jaminan kebendaan yang sering digunakan adalah
jaminan fidusia.
Bentuk jaminan fidusia sebagai suatu bentuk jaminan yang dapat digunakan
secara luas dan fleksibel dalam transaksi pinjam meminjam dengan memiliki ciri
sederhana, mudah, cepat dan memiliki kepastian hukum. Fidusia merupakan jaminan
yang bersifat kebendaan yaitu jaminan yang objeknya berupa barang bergerak
maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang debitur
kepada kreditur apabila dikemudian hari utang tersebut tidak dapat dibayar oleh
debitur (Supramono,2013:59).
apabila tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit atau yang
benda tertentu milik debitur. Prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi
objek jaminan dapat dilakukan dengan lelang dimuka umum dan dimungkinkan juga
dilakukan di bawah tangan, asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi dan
penerima fidusia.
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap
objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam pasal 29 ayat
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
permasalahan yang berakhir merugikan salah satu pihak. Namun sekarang sudah ada
hukum tetap, serta frasa cidera janji dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan
a. Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji
menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
hukum tetap.
b. Adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan
atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya
pinjaman kepada debitur (pemberi fidusia). Sebelum adanya putusan MK, apabila
terjadi wanprestasi antara kreditur dan debitur maka barang yang sebagai jaminan
akan langsung dieksekusi atau diambil oleh kreditur baik sudah ada kesepakatan
antara kedua belah pihak maupun belum ada kesepakatan. Ini membuat salah satu
pihak atau pihak debitur merasa rugi. Oleh karena itu MK mengeluarkan putusan
apabila tidak ada persetujuan terlebih dahulu antara kedua belah pihak, maka segala
4
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia harus
dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang
Dari uraian di atas maka penulis penelitian tertarik untuk mengkaji lebih
42 Tahun 1999?
MK Nomor 18/PUU-XVII/2019?
Nusa Cendana belum ada tulisan yang mengkaji tentang hal ini. Maka penulisan ini
Univertas Nusa Cendana. Untuk itu penelitian ini merupakan asli buah penulis yang
dapat dipertanggungjawabkan.
5
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
a. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut
Nomor 18/PUU-XVII/2019.
2. Manfaat Penelitian.
a. Manfaat Praktis.
baik.
b. Manfaat Teoretis.
6
1.5 Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian.
Oleh karena penelitian ini mengkomparasikan tentang Eksekusi jaminan
2. Jenis Pendekatan.
Pendekatan ini merupakan penelitian yang merupakan bahan hukum yang berupa
hukum dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatar belakangi pendekatan
ini menjadi penting karena pemahaman terhadap pandangan yang berkembang dalam
ilmu hukum yang menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika
Pendekatan ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian
normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari
sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem
1999.
18/PUU-XVII/2019.
Bahan hukum primer yaitu bahan–bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu,
mengenai bahan hukum primer melalui hasil penelitian hukum, hasil karangan ilmiah
dari kalangan hukum, dan artikel baik dari media cetak maupun media massa yang
berkaitan dengan pokok bahasan yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan-bahan
hukum primer, yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait (baik instansi negeri
maupun instansi swasta), buku-buku yang terkait eksekusi jaminan fidusia. Sumber
sekunder dalam penulisan skripsi ini juga akan diambil dari data penelitian terdahulu,
8
jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel, serta diambil dan dikaji dari internet yang
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus
adalah studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu suatu alat
peneliti melakukan studi dokumen atau bahan pustaka dengan cara mengunjungi
a. Identifikasi.
menunjang penelitian.
9
b. Inventarisasi.
c. Verifikasi.
Verifikasi adalah pembentukkan kebenaran teori, fakta dan sebagainya atas bahan
hukum yang dikumpulkan untuk diolah dan dianalisis agar bisa diuji secara hipotesis.
d. Interpretasi.
jurnal penelitian, dan sebagainya lalu diolah oleh calon peneliti untuk mendapatkan
Bahan yang diperoleh terlebih dulu diolah kemudian dianalisa dan disajikan
secara deskriptif kwalitatif yaitu menjelaskan dan menguraikan teori hukum dan
norma hukum yang sangat erat kaitannya dengan masalah yang diangkat.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan
defenisi eksekusi atau pelaksanaan putusan hakim pada hakekatnya tidak lain adalah
realisasi dari kewajiban dari pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracth van gewijsde)
yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau
adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap, putusan
pengadilan yang sudah dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada
salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan
hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah
tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya
Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah
11
Eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan juga diatur dalam Putusan MK Nomor
eksekusi adalah Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta
Pengadilan artinya penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi
Proses pemberian kredit akan menyangkut suatu jumlah uang dari nilai yang
relative kecil sampai pada jumlah yang cukup besar, sehingga ada berbagai
kemungkinan pula yang dapat terjadi akan membawa kerugian financial bagi pemberi
Kata kredit berasal dari bahasa Latin “creditus” yang merupakan bentuk pasti
participle dari kata “credee” Kata tersebut sendiri berarti kepercayaaan. Dengan kata
lain kepercayaan akan kebenaran. Apabila hal tersebut dihubungkan dengan bank
untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang telah ditentukan.
12
Dalam pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan menyebutkan “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
atau melaksanakan suatu pinjaman dengan perjanjian untuk membayar dalam waktu
kredit macet adalah keadaan dimana seseorang debitor tidak mampu membayar lunas
pada bank tepat pada waktunya. Kredit macet termasuk wanprestasi, karena debitur
atau nasabah tidak memenuhi janji untuk membayar utangnya sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditentukan atau telah disepakati. Pengertian kredit macet ini
pula dalam kamus Bahasa Indonesiayang memberi sinonim dari kata “macet” yang
berarti “terhenti” atau “tidak lancar” atau lebih tepat disebut dengan pembayaran
Lancar atau macet suatu kredit, dapat digunakan ukuran tingkat kolektibilitasnya.
13
a. Ketetapan waktu dan jumlah pembayaran terhadap utang pokok dan
bunganya.
90 hari;
90 hari;
14
b. Sering terjadi cerukan;
hari;
pengikatan jaminan.
hari;
c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairka pada
nilai wajar.
tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan macet.
15
kewajibannya pada bank. Kredit bermasalah mempunyai dampak yang begitu besar
bagi kelangsungan usaha bank. Pengaruhnya antara lain adalah bank bisa merugi,
menurunnya kondisi tingkat kesehatan dan terganggunya kinerja bank. Oleh karena
itu kredit bermasalah itu butuh penanganan khusus dari berbagai aspek terkait di
dalamnya seperti aspek hukum, aspek ekonomi, aspek pemasaran dan lain
sebagainya.
“Tentang Perikatan” pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata
yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
kepada seorang yang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
Dalam pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk
perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau
16
ciri khas dari buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak
memaksa.
2. Asas Konsensualisme.
Asas ini dapat disimpulkan melalui pasal 1320 ayat 1 BW. Bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi
mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW
yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang”.
Ketentuan tentang asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat 3 BW yang menegaskan
“perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.
17
5. Asas Kepribadian.
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang melakukan
kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1315
dan pasal 1340 BW. Pada pasal 1315 menegaskan bahwa “pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan diri sendiri”. Sedangkan
pada pasal 1340 menegaskan bahwa “perjanjian hanya berlaku bagi antara para pihak
yang membuatnya”. Konsekuensi dari asas kepribadian adalah pihak ketiga tidak
dapat dimasukkan dalam perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian
dan tidak mungkin memberikan kata sepakat. Pihak ketiga yang dimasukkan ke
6. Asas Keadilan.
Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian harus mencerminkan adanya
keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji. Isi perjanjian harus seimbang antara
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Tidak ada penekanan fisik maupun psikis
sewaktu membuat perjanjian. Asas ini diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
7. Asas Kepatutan.
undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula kebiasaan,
kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat
secara patut. Asas ini diatur pada pasal 1337 KUH Perdata.
8. Asas Kepercayaan.
Asas kepercayaan dalam perjanjian juga tidak kalah pentingnya dengan asas-asas
yang lain tersebut. Dalam asas ini para pihak yang melakukan perjanjian masing-
18
masing harus saling percaya satu sama lain. Kepercayaan itu menyangkut saling
b.Perjanjian Kredit.
perjanjian kredit. Kredit erat hubungannya dengan perjanjian karena kredit yang
diberikan bank kepada nasabahnya didasarkan atas perjanjian yang telah disepakati
bersama. Perjanjian kredit termasuk perjanjian pinjam meminjam uang antar bank
Berdasarkan pasal 1754 KUH Perdata terdapat istilah pinjam meminjam, yang
dinyatakan sebagai berikut: “pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
19
kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai
ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur
Agunan adalah “jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam
Agunan dalam kontruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan
ini adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan kepada
a. Jaminan tambahan;
Dalam perspektif perbankan, agunan dibedakan atas dua (2) macam yaitu:
agunan pokok dan agunan tambahan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan atas Pasal 8
UU Perbankan. Agunan pokok adalah barang, surat-surat berharga atau garansi yang
berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan,
Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah
daripada istilah agunan. Istilah jaminan ini melingkupi jaminan kebendaan dan
jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa
kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu
atau fasilitas kredit yang diberikan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi
dinilai dengan uang, selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau
sebagian dari pinjaman ataudalam a utang debitur kepada krediturnya. Dengan kata
lain jaminan disini sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang
berakhir.
b. Jenis-jenis jaminan.
“kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan
tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin
21
Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum pada
jaminan materil.
b. Perjanjian garasi.
22
Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga
perbankan atau lembaga keuangan non bank namun benda-benda yang memenuhi
Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukan;
meneruskan usahanya;
setiap waktu tersedia untk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diluangkan
(Subekti,1996:73).
Salah satu bentuk jaminan yaitu fidusia. Fidusia diatur dalam UU No.42/1999
tentang Jaminan Fidusia. Pengertian Fidusia dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1
Objek fidusia yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
23
Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire eigendom sover dracht sering disebut sebagai
Hak Milik secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda
berbeda dari gadai yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditor adalah hak milik
sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah
Fidusia kita dapat jumpai pengertian fidusia. Fidusia adalah “pengalihan hak
kepemilikkan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya yang diadakan tesebut tetap dalam pengusaan pemilik
benda itu”. Yang diartikan pengalihan hak kepemilikkan adalah pemindahan hak
kepemilikkan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan,
dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi
fidusia.
dalam lalu lintas perkreditan. Seorang nasabah memperoleh kredit karena adanya
Di samping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Dalam pasal 1
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan
24
bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak
berwujud dan tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak
Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia;
Objek dan Subjek Jaminan fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah
benda yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikkannya, baik yang berwujud
maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik. Sedangkan yang
pemberi fidusia yaitu orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi
objek jaminan fidusia dan penerima jaminan fidusia dalam hal ini adalah seorang
fidusia.
Seperti halnya hak tanggungan, Lembaga jaminan Fidusia yang kuat mempunyai
25
1. Memberikan kedudukan yang mendahulukan kepada kreditur (penerima
benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia.
Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk
objek jaminan fidusia. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak
benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau
likuidasi. Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih
dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan ini
pendaftaran fidusia.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapa pun objek itu berada
mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda itu berada kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi
objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan pengakuan atau prinsip “droit
26
de suite” yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan
d) Nilai penjaminan;
Selanjutnya dalam hal ini benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib
didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini merupakan terobosan penting yang
jaminan hutang, akan semakin baik, sehingga kreditor atau khalayak ramai dapat
Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji wajib menyerahkan objek
Dalam proses terjadinya jaminan fidusia dilaksanakan melalui dua tahap yaitu:
27
1. Tahap Pembebanan Jaminan Fidusia.
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta jaminan fidusia.
Dengan demikian akta notaries di sini merupakan syarat materil untuk berlakunya
fidusia, di samping juga sebagai alat bukti. Perlu diketahui juga, bahwa suatu
perjanjian pada umumnya tidak lahir pada saat penuangannya dalam suatu akta, tetapi
sudah ada sebelumnya, yaitu sudah ada sejak adanya kesepakatan antara para pihak
yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata dan penuangannya dalam akta hanya
dimaksudkan untuk mendapatkan alat bukti saja. Akta Notaril merupakan salah satu
wujud akta otentik sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1868 dan Pasal 1870 KUH
Perdata yang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak
dan ahli waris atau orang yang mendapatkan hak dari padanya.
sempurna;
kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelmin, status perkawinan dan pekerjaan.
28
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia yaitu mengenai macam perjanjian,
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan
ubah dan tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi maka akta jaminan
tersebut.
d. Nilai Penjaminan;
fidusia, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah
dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor
dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum.
Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan termasuk benda
yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia.
kedudukan pemberi fidusia dan dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang
29
Pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan
b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia nama dan tempat kedudukan notaries
Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran
pada tanggal yang sama dengan tanggal Pendaftaran Jaminan Fidusia. Ketentuan ini
fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku Daftar Fidusia, merupakan
Penegasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang
Fidusia yang menyatakan apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan lebih
dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu
mendaftarkannya adalah penerima fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditur
30
yang menjadi pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, karena hanya penerima fidusia,
kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia. Sebagai
bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan penerima jaminan fidusia adalah Sertifikat
Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama
merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal
yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran.
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Maksudnya, bahwa putusan
tersebut langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta
hapus, bila utangnya pada perjanjian pokok, yang menjadi sumber lahirnya perjanjian
penjaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan fidusia menyatakan secara tegas
31
Jadi sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia
tercantum pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut
habis karena hapusnya hapusnya utang, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang
bersangkutan hapus, dan hapusnya utang ini dapat dibuktikan dengan bukti pelunasan
atau bukti hapusnya hutang yang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur.
2) Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam
jumlah tertentu. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang dikenal
Utang dimaksud adalah utng bunga atas pinjaman pokok dan biaya
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penrima fidusia seperti halnya pada
karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerim fidusia adalah wajar,
mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia
c. Musnahnya benda yang menjadi obek jaminan fidusia tidak akan menghapus
klaim asuransi, keuali diperjanjikan lain. Jadi apabila benda yang menjadi
32
objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka klaim
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999.
Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam
pelaksanaannya, jika debitur (pemberi fidusia) cidera janji. Walaupun secara umum
ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku,
33
namun dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang Eksekusi
eksekusi.
ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkan eksekusi Objek Jaminan
Fidusia dengan memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan prosedur
biasa) yang panjang, mahal dan melelahkan. Walaupun sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985, ada prosedur yang lebih mudah lewat eksekusi di
bawah tangan. Di samping syartanya yang berat, eksekusi Objek Jaminan Fidusia di
bawah tangan tersebut tentunya hanya berlaku atas fidusia yang berhubungan dengan
rumah susun saja. Oleh karena itu dalam praktik hukum, eksekusi fidusia di bawah
lembaga hak jaminan kebendaan lainnya, seperti gadai, hipotek dan hak tanggungan.
Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi objek gadai hipotek disebutkan dalam Pasal
1155 ayat (1) dan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata, sedangkan kemudahan dalam
34
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dengan
salah satu fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih
memacu pembangunan Nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu
dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut
menyebutkan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikkan suatu benda atas
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan
Pasal 29
1. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda
35
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
dilakukan setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah
yang bersangkutan.
Pasl 30
Pasal 31
Dalam hal Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia terdiri atas
benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,
Pasal 32
36
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan pasal 31, batal demi
hukum.
Pasal 33
Pasal 34
1. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib
2. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap
Sertifikat jaminan fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud
melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan
putusan tersebut.
37
Ada 2 (dua) syarat umum dalampelaksanaan titel eksekusi (alas hak eksekusi)
dapat dieksekusi tanpa menunggu fiat eksekusi dari pengadilan, sebab kekuatannya
sama dengan sebuah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Atas dasar ini, penerima fidusia dengan sendirinya dapat mengeksekusi benda
yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia jika debitur atau pemberi fidusia cedera
janji, tanpa harus menunggu adanya surat perintah (putusan) dari pengadilan.
Pada pelaksanaan titel eksekusi ini tidak dijelaskan atau dicantumkan apakah
pelaksanaan eksekusi tersebut dengan lelang atau penjualan di bawah tangan, namun
mengingat sifat eksekusi dan mengingat penjualan secara di bawah tangan telah
Undang Fidusia menentukan bahwa apabila debitur cedera janjihal debitur cedera
janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda objek jaminan fidusia
38
atas kekuasaannya sendiri. Ini merupakan salah satu cirri Jaminan Fidusia yang kuat
dan pasti, bahwa adanya kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya apabila pihak
debitur (pemberi fidusia) cedera janji dan sebagai perwujudan dari kedudukan yang
Oleh Karena itulah dalam Undang-Undang Fidusia telah diatur secara khusus
tentang ekskusi atas Objek Jaminan Fidusia berdasarkan parate eksekusi lewat atau
melalui pelelangan umum. Penjualan dengan cara ini dikenal dengan lembaga parate
Salah satu wujudnya atas kekuasaan sendiri dari kreditur (penerim fidusia) sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 29 ayat (1) sub b Undang-Undang Fidusia, maka
diberikan hak kepadanya untuk melakukan penjualan terhadap benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia, asalkan debitur (pemberi fidusia) telah edera janji dan itupun
harus dilakukan lewat atau melalui pelelangan umum (kantor lelang) tanpa
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia jenis ini tidak memerlukan fiat eksekusi dari
pengadilan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub b juncto Pasal 15 ayat (3)
atau wewenang kepada kreditur (penerima fidusia) atas kekuasaannya sendiri (parate
eksekusi) untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia guna
mendapatkan pelunasan piutangnya. Artinya tanpa meminta bantuan Ketua atau juru
39
sita dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan, kreditur (penerima fidusia) dapat
bantuan Kantor Lelang untuk melakuan penjualan secara umum atau lelang atas
Karena dilaksanakan tanpa melibatkan pihak pengadilan maupun juru sita, maka
kreditur sudah tentu memikul resiko, bahwa ia melaksanakan haknya secara keliru,
dengan akibat bahwa kreditur memikul resiko tuntutan ganti rugi dari pemberi
kewenangan parate eksekusi, menempuh jalan eksekusi melalui lembaga tersebut dan
diberikan (oleh Undang-Undang atau Putusan Pengadilan) kepada salah satu pihak
untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian dalam hal pihak yang lainnya
fidusia dan secara otomatis eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) ini
mengandung persyaratan yang sama dengan eksekusi atas alas hak eksekusi (titel
eksekusi)
Selain itu, eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat
pemberi fidusia dan penerima fidusia. Penjualan di bawah tangan dapat saja
objek Jaminan Fidusia secara parate eksekusi atas benda objek Jaminan Fidusia
barang, misalnya suatu tagihan atas nama, bisa dan lazim untk dijual melalui suatu
lelang. Di samping itu, penjualan melalui lelang tidak selalu manjamin hasil yang
optimal, karena orang yang membeli melalui lelang biasanya berangkat dari pikiran
bisa mendapat barang dengan harga yang relative murah daripada melalui pembelian
Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub c Undang-Undang Fidusia,
dapat diketahui bahwa eksekusi atas benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia
Penjualan di bawah tangan atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan ketentuan Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Fidusia.
bersangkutan; dan
Perlu diingat, bahwa sekalipun penjualan itu dilakukan di bawah tangan, namun
penjualan berdasarkan Pasal 29 ayat (1) sub c Undang-Undang Fidusia tetap saja
bukan merupakan penjualan sukarela, karena inisiatif penjualan di sini tidak datang
dari pemilik jaminan, tetapi dari pihak kreditur. Dalam praktik penyelesaian kredit
macet selama ini berjalan, bagian terbesar justru dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan kepada pemberi jaminan untuk mencari sendiri pembeli dengan harga
tertinggi , kalau harga penawaran itu disetujui oleh kreditur maka benda jaminan
oleh pembeli dengan persetujuan pemilik jaminan langsung kepada kreditor dan
kreditor menyodorkan surat pelunasan dan surat pengangkatan jaminan (roya) kepada
pembeli (Satrio,2002a:324).
suatu perkembangan dalam system eksekusi yang sebelumnya juga telah dianut
dalam eksekusi Hak Tanggungan atas Tanah (UU No. 4 Tahun 1996).
Fidusia ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa
42
Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan
berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.
Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
menguntungkan.
halnya selama ini Hak Tanggungan Hak Atas Tanah) penjualan dengan cara di bawah
tangan ini tidak akan popular. Diperkirakan kalau cara ini ditempuh hanya akan
Besar kemungkinan cara yang selama ini berlangsung akan lebih disenangi oleh
para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam Undang-Undang Fidusia.
Dengan cara lama debitur atau pemilik jaminan atas persetujuan debitur akan
menebus atau melunasi beban (nilai peningkatan) barang yang menjadi objek fidusia.
Mungkin uang penebusan adalah berasal dari calon pembeli setelah itu pada saat yang
sama pemilik melakukan jual beli dengan pembeli secara di bawah tangan (ditanda
Dengan melihat topik dan alasan dari penjualan di bawah tangan ini adalah untuk
memperoleh harga tertinggi lalu dilakukan jual beli dengan sukarela maka penjualan
lelang melalui Balai lelang kiranya juga dapat digunakan pada kesempatan ini.
Khusus dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda
perdagangan atau efek yang dapat diperjualbelikan di pasar atau di bursa. Undang-
43
Undang Fidusia mengatur bahwa penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi efek yang
recht) yang tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. Penyimpangan dari
fidusia, maka setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk
miliki objekjaminan fidusia adalah batal demi hukum. ketentuan tersebut dibuat untuk
serupa dapat kita jumpai pula dalam pasal 1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1995 tentang Hak Tanggungan dan Pasal
Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia tidak disebutkan cara
eksekusi fidusia lewat gugatan biasa. Sungguhpun tidak disebutkan, tetapi tentunya
pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke Pengadilan.
untuk meniadakan hukum acara yang umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang
44
ada dalam hukum acara umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang
hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan biasa ke Pengadilan.
Satu dan lain hal disebabkan oleh eksekusi fidusia lewat gugatan biasa yang
memakan waktu yang berbelit-belit. Hal ini tersebut sangat tidak praktis dan tidak
Fidusia merupakan suatu ketentuanbersyarat, yang baru berlaku apabila syarat yang
disebutkan di sana dipenuhi, yaitu syarat, bahwa “debitur atau Pemberi Fidusia sudah
cedera janji”. Ketentuan dalam Pasal tersebut membedakan antara debitur dan
pemberi fidusia, yang memang bisa merupakan dua orang yang berlainan. Kata
“atau” mengajarkan kepada kita, bahwa yang cedera janji bisa debitur maupun
pemberi fidusia. Karenanya harus dibedakan antara cedera janji dari debitur (pemberi
fidusia) dan pihak ketiga pemberi fidusia. Dalam hal debitur sendiri yang bertindak
sebagai pemberi fidusia, sehubungan dengan penjaminan itu ada dua perjanjian yang
Fidusia dan perjanjian penjaminan fidusianya sendiri. Karena dalam Pasal 29 ayat (1)
di atas disebutkan secara umum, cedera janji debitur meliputi baik pada perjanjian
mereka tutup, utang debitur seketika menjadi matang untuk ditagih (Satrio,
2002a:318-319).
pelunasannya pada saat utangnya sudah matang untuk ditagih maupun tidak dipenuhi
penjaminannya, sekalipun utangnya sendiri pada saat itu belum matang untuk ditagih.
Dalam peristiwa seperti itu maka kreditur (penerima fidusia) bisa melaksanakan
Nomor 42 Tahun 1999 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi yang
dilaksanakan ini langsung dilakukan oleh pihak kreditor (penerima fidusia) kepada
pihak debitur (pemberi fidusia) yang dianggap telah lalai atau wanprestasi dalam
maka dari pihak kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang merupakan
jaminan dan debitur wajib memberikan barang jaminan tersebut kepada pihak
kreditur. Dan apabila dalam pelaksanaan pihak debitur tidak memberikan barang
yang sebagai jaminan maka pihak kreditur secara paksa mengeksekusi barang yang
fidusia (kreditur) dalam memberikan kredit terhadap pemberi fidusia (debitur). Hal
46
ini sangat dimaklumi oleh karena dalam perjanjian hutang piutang, dimana
maka harus ada suatu mekanisme hukum yang bisa memberikan perlindungan lebih
kepada kreditur, khususnya dalam hal eksekusi objek jaminan fidusia. Namun dalam
berupa penyitaan maupun lelang sita tanpa perantara hakim yang bersifat final dan
mengikat para pihak sehingga pemberi fidusia tidak dapat menolak dan wajib
mudah dan praktis namun merugikan pihak debitur dan tidak mementingkan nilai
moral dan juga tidak memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam perjanjian
terutama asas keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu perlu diadakan uji materil
18/PUU-XVII/2019.
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi, seluruh dari objek fidusia tetap dapat
dilakukan oleh penerima fidusia selama telah diperjanjikan dari awal terdapat klausul
wanprestasi. Dilain kata, jika pada awal perjanjian terjadi kesepakatan terkait klausul
wanprestasi dalam perjanjian antara kreditur dan debitur, maka jika debitur telah
cedera janji maka akan bersedia dieksekusi. Sehingga maksud dari Mahkamah
Konstitusi adalah untuk memperjelas bahwa apabila terdapat klausul cedera janji
47
perjanjian berarti segera dapat dilakukan proses dieksekusi untuk pembuktian.
tidak dapat mengelak lagi dan berkewajiban untuk memenuhi putusan tersebut
dengan melunasi kewajibannya atau menjual objek jaminan fidusia untuk melunasi
hutangnya.
Adanya unsur dari kerelaan dari debitur tidak akan mempengaruhi untuk
Karakteristik perjanjian fidusia yaitu antara pemberi dan penerima fidusia terdapat
barang jaminan dari debitur. Kedua, perikatan tersebut adalah perikatan memberikan
kedua belah pihak tentang hal-hal pokok objek perjanjian. Dengan ini sesuai asas
konsensualitas, telah ditentukan lahirnya suatu perjanjian dan dapat diketahui tentang
kesepakatan yang menjadi inti dari perjanjian yang terjadi. Semenjak tercapainya
suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian dan perikatan maka perjanjian tersebut
telah lahir. Namun selama para pihak yang membuat perjanjian tidak menyepakati
ketentuan lain maka perjanjian tersebut tetap berlaku bagi para pihak. Asas ini sesuai
dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian
48
yang dengan menyatakan segala perjanjian yang dibuat secara sah akan dianggap
maka dapat dipastikan para kreditur (Penerima Fidusia) pasti sangat berhati-hati
dalam memberikan pinjaman kepada debitur (Penerima Fidusia). Namun perlu juga
dapat dilakukan dengan cara eksekusi sendiri (parate eksekusi). Oleh karena itu, MK
mengatakan terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh penerima fidusia
janji)
wanprestasi (cedera janji) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela objek
jaminan fidusia kepada kreditur maka, eksekusi terhadap objek jaminan hanya dapat
hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cedera janji” (wanprestasi) dan
49
secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian
apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak
fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi
hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara
seimbang”.
terhadap jaminan fidusia hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri apabila
pemberi fidusia (debitur) mengakui dirinya telah wanprestasi dan secara sukarela
menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan apabila pemberi
fidusia (debitur) tidak ingin mengakui dirinya wanprestasi serta tidak ingin benda
yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut diberikan kepada penerima fidusia
(kreditur), maka penerima fidusia (kreditur) hanya dapt melakukan eksekusi objek
bersepakat di dalam perjanjian atau akta jaminan fidusia yang dibuat di notaris
memasukkan klausula yang berbunyi bahwa apabila dalam jangka waktu ditentukan
pemberi fidusia (debitur) tidak mampu melunasi hutangnya kepada penerima fidusia
50
(kreditur), maka pemberi fidusia (debitur) menyatakan dirinya telah wanprestasi dan
secara sukarela wajib memberikan objek jaminan fidusia tersebut kepada penerima
fidusia (kreditur).
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cedera janji (wanprestasi) dalam
Pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cedera atau ingkar janji, penerima
fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya
sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht. Namun pasca
memberi tafsir berbeda dengan pasal sebelumnya. Kini, sertifikat jaminan fidusia,
yang membuat Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”,
Dalam putusan itu, cedera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus
didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi
kesepakatan salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke
pengadilan untuk menentukan atau memutuskan telah terjadinya cedera janji tersebut.
Implementasi Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia
kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan
dalih debitur cidera janji. “Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa
(klausula,red) cedera janji harus dibuat (disepakati,red) para pihak. Kalau para pihak
51
tidak ada kesepakatan maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai
Dengan demikian, persoalan cedera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak
pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah
ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. “Tujuan putusan
ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur”.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait
sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cedera
janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus disasarkan pada kesepakatan kedua
pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur
harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan
52
Dalam pertimbangannnya, Mahkamah berpendapat norma pasal 15 ayat (2),
(3) Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan
dengan tata cara eksekusi atau pun waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan
objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. “selain sering menimbulkan adanya
paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia(kreditur) serta merendahkan harkat dan
martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional norma dalam Pasal 15
fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak ada masalah dengan kepastian
waktu kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cedera janji” (wanprestasi). Dan
debitur secara sukarela menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada kreditur
dirinya telah “cedera janji”, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan
benda objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan
penjualan sendiri.
“Pasal 15 ayat (3), khususnya frasa “cedera janji” hanya dapat dikatakan
sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan
debitur atau atas dasar upaya hukum yang menetukan telah terjadi cidera janji”.
bahwa dalam melakukan sebuah perjanjian antara dua belah pihak yaitu pihak
53
kreditur (penerima fidusia) dan pihak Debitur (pemberi Fidusia), apabila dikemudian
hari pihak debitur tidak membayar hutangnya dengan lunas dan sudah menyatakan
dirinya telah wanprestasi atau cedera janji maka dari pihak kreditur dapat
tanpa melalui pengadilan. Tetapi apabila tidak ada kesepakatan terlebih dahulu
mengenai wanprestasi dan pihak debitur belum mengakui bahwa dirinya telah
melakukan wanprestasi atau cedera janji maka pihak kreditur tidak mempunyai
melalui pengadilan. Putusan MK ini dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan
penulis bahwa Putusan MK ini sangat membantu para pihak dalam mengeksekusi
barang yang merupakan jaminan fidusia meski ini bukan hal yang mudah, dan dalam
prakteknya tentu saja akan sulit dilakukan. Apabila debitur belum mengakui dirinya
cidera janji maka pihak kreditur bisa menggugat pihak debitur. Tentu ini bukan
proses yang mudah dan cepat sebab membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa
tahun. Terkadang dalam proses tersebut bisa saja debitur memilih, dan
kesepakatan bahwa dirinya telah melakukan cedera janji, walaupun ada kemungkinan
juga bahwa debitur bersedia dengan sukarela menyatakan bahwa dirinya telah ingkar
janji.
Bagi Kreditur panjangnya upaya hukum ini akan mempengaruhi biaya dan
waktu yang lama serta tenaga yang diperlukan untuk melakukan eksekusi jaminan
54
fidusia ini. Intinya bahwa eksekusi jaminan fidusia secara title eksekutorial ini akan
merubah praktek eksekusi jaminan fidusia. Untuk dapat melakukan eksekusi secara
title eksekutorial diwajibkan adanya kesepakatan antara kreditur dan debitur bahwa
cidera janji telah terjadi, atau jika kesempatan itu tidak terjadi, maka harus dilakukan
Persamaan Perbedaan
Sama-sama mengeksekusi
Objek Jaminan Fidusia.
Sumber: Bahan Hukum Primer.
dapat terlaksana apabila debitor (pemberi fidusia) cedera janji atau wan prestasi maka
benda yang menjadi objek jaminan fidusia akan dieksekusi oleh kreditor (penerima
situ juga jelas bahwa perbedaan dari pelaksanaan eksekusi tersebut tedapat pada
55
bentuk pelaksanaan. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, apabila debitur
atau (pemberi fidusia) cedera janji atau wan prestasi maka pelaksanaan eksekusi ini
langsung dilakukan oleh kreditur sebagai penerima fidusia tanpa adanya kesepakatan
eksekusi boleh dilaksanakan apabila pihak debitur (pemberi fidusia) telah mengakui
bahwa dirinya telah wan prestasi atau cedera janji dan dengan sukrela menyerahkan
barang yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila pihak debitur (pemberi fidusia)
belum mengakui dirinya wan prestasi atau cedera janji dan tidak menyerahkan objek
jaminan fidusia tersebut secara sukarela maka kreditur (penerima fidusia) tidak
para pihak, memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan mementingkan nilai moral
serta sesuai dengan asas-asas dalam perjanjian khusunya Asas Keadilan dan Asas
Kepatutan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN.
Eksekusi Jaminan Fidusia adalah suatu kegiatan menyita dan menjual benda
yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. Eksekusi Jaminan Fidusia ini dapat
berlangsung jika pihak debitur telah cedera janji maka kreditur dapat melakukan
56
1. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 menjelaskan bentuk eksekusi benda yang menjadi obek jaminan
fidusia:
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekusaan penerima
Apabila dalam suatu perjanjian kredit debitor atau pemberi fidusia lalai atau
macet dalam membayar atau cedera janji, maka penerima fidusia langsung
XVII/2019.
berkekuatan hukum tetap, serta frasa cedera janji dalam pasal 15 ayat (2) dan (3)
bahwa eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan apabila pemberi fidusia (debitur)
57
telah mengakui dirinya sudah lalai dalam membayar hutangnya atau cedera janji
dan dengan rela menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia maka
(debitur) belum mengakui dirinya cedera janji atau wan prestasi dan tidak
menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia secara sukarela maka
gugatan ke Pengadilan Negeri. Ini dilakukan agar salah satu pihak tidak merasa
dirugikan.
4.2 Saran
Dari hasil penelitian penulis, maka penulis memberi saran sebagai berikut:
menyepakati. Agar dikemudian hari jika terjadi cedera janji atau wanprestasi,
58
2). Kepada Debitur, jika sudah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian sebaiknya
harus melaksanakan perjanjian tanpa adanya wan prestasi. Jika sudah cedera janji
maka dengan suka rela memberikan apa yang sudah menjadi objek jaminan
tersebut kepada kreditur sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati
bersama. Dan pihak debitur harus mengasuransikan objek yang menjadi jaminan
fidusia agar apabila debitur wanprestasi maka debitur bebas dari segala tuntutan
3). Selain itu juga Eksekusi atau penarikan barang jaminan fidusia haruslah
4). Saran yang dapat penulis berikan untuk masyarakat umum, bahwa jika ingin
yang ada agar dikemudian hari tidak terdapat hal-hal yang tidak diinginkan. Dan
apabila terjadi cedera janji atau wanprestasi terhadap perjanjian yang sudah dibuat
59
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Alumni
60
Purwahid Patrik dan Kashadi. (2007). Hukum Jaminan, (Edisi Revisi Dengan
UUHT), Semarang: Fakultas Undip.
B. Peraturan Perundang-undangan.
61
62