Anda di halaman 1dari 70

SKRIPSI

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PELAKSANAAN KREDIT


MACET
(SUATU PENDEKATAN PERBANDINGAN HUKUM)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum.
OLEH
MERIANI SOVIA LETO ATI
1602010106

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS HUKUM
2021

i
LEMBAR PERSETUJUAN

ii
LEMBARAN PENGESAHAN

iii
MOTTO

LEMBAR PERSEMBAHAN

iv
ABSTRAK

v
vi
ABSTRACT

vii
DAFTAR ISI

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan berjalannya perkembangan zaman, kebutuhan hidup manusia

semakin mahal, namun penghasilan yang dimiliki oleh masyarakat tidak meningkat

mengikuti naiknya harga barang atau kebutuhan hidup masyarakat.

Di dalam masa pembangunan kehidupan masyarakat ini tidak terlepas dari

berbagai kebutuhan, karena pada umumnya dalam masyarakat seorang tidak mampu

memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Maka dalam keadaan demikan tidak jarang

jika seseorang melakukan utang piutang sekedar untuk tambahan dana dalam

mencukupi hidupnya. Utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi

bagi masyarakat kita pada masa sekarang ini. Utang piutang tidak hanya dilakukan

oleh orang-orang yang ekonominya lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang

yang ekonominya relatif mampu.

Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai nilai

strategis dalam kehidupan perekonomian suatu Negara (Wiwoho,2011:27). Fungsi

dari perbankan adalah menghimpun dan menyalurkan danadari dan kepada

masyarakat yang membutuhkan dana guna menunjang pembangunan dan memenuhi

kebutuhan hidup.Kredit perbankan merupakan bagian dari usaha bank konvensional

yang telah terbukti banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan dana.

1
Masyarakat dapat melakukan perjanjian kredit dengan jaminan yang salah satu

bentuknya adalah jaminan fidusia. Perjanjian kredit yang diberikan bank kepada

nasabah bukanlah tanpa resiko, resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan

atau kemacetan dalam pelunasan. Dalam upaya untuk mengurangi resiko tersebut,

jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan

faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Jaminan itu sendiri adalah

tanggungan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur karena pihak kreditur

mempunyai suatu kepentingan, yaitu bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya

dalam suatu perikatan. Ada beberapa macam jaminan kebendaan yang dikenal dalam

hukum jaminan. Salah satu dari jaminan kebendaan yang sering digunakan adalah

jaminan fidusia.

Bentuk jaminan fidusia sebagai suatu bentuk jaminan yang dapat digunakan

secara luas dan fleksibel dalam transaksi pinjam meminjam dengan memiliki ciri

sederhana, mudah, cepat dan memiliki kepastian hukum. Fidusia merupakan jaminan

yang bersifat kebendaan yaitu jaminan yang objeknya berupa barang bergerak

maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang debitur

kepada kreditur apabila dikemudian hari utang tersebut tidak dapat dibayar oleh

debitur (Supramono,2013:59).

Debitur memberikan fasilitas kredit kepada kreditur diawali dengan mengadakan

perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang. Debitur dinyatakan wanprestasi

apabila tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit atau yang

sering dikenal dengan kredit bermasalah atau kredit macet.


2
Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan keputusan pengadilan atau akta,

maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil penjualan benda-

benda tertentu milik debitur. Prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi

objek jaminan dapat dilakukan dengan lelang dimuka umum dan dimungkinkan juga

dilakukan di bawah tangan, asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi dan

penerima fidusia.

Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap

objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam pasal 29 ayat

(1) UU 42/1999, yaitu:

a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)

oleh penerima fidusia;

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima

fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan;

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi

dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga

tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Oleh karena adanya parate eksekusi tersebut, kreditur memperoleh

kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Meskipun terdengar

mudah pada praktiknya eksekusi jaminan fidusia ini seringkali menimbulkan

permasalahan yang berakhir merugikan salah satu pihak. Namun sekarang sudah ada

Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 mengenai eksekusi jaminan fidusia. Mahkamah

Konstitusi memberikan putusan dengan memberikan penafsiran terhadap frasa


3
kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap, serta frasa cidera janji dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan

Fidusia. Pada pokoknya, putusan Mahkamah konstitusi berisi hal berikut:

a. Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji

(wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang

menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam

pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama

dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap.

b. Adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan

atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya

hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Pasca adanya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, maka dapat dipastikan

para kreditur (penerima fidusia) harus sangat berhati-hati dalam memberikan

pinjaman kepada debitur (pemberi fidusia). Sebelum adanya putusan MK, apabila

terjadi wanprestasi antara kreditur dan debitur maka barang yang sebagai jaminan

akan langsung dieksekusi atau diambil oleh kreditur baik sudah ada kesepakatan

antara kedua belah pihak maupun belum ada kesepakatan. Ini membuat salah satu

pihak atau pihak debitur merasa rugi. Oleh karena itu MK mengeluarkan putusan

terbaru yaitu putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 bahwa apabila terjadi

wanprestasi maka kreditur tidak secara langsung mengeksekusi barang jaminan

apabila tidak ada persetujuan terlebih dahulu antara kedua belah pihak, maka segala

4
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia harus

dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.

Dari uraian di atas maka penulis penelitian tertarik untuk mengkaji lebih

mendalam mengenai,” Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Pelaksanaan Kredit

Macet (Suatu Pendekatan Perbandingan Hukum)”.

1.2 Isu Hukum

a. Bagaimana bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut UU Nomor

42 Tahun 1999?

b. Bagaimana bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut putusan

MK Nomor 18/PUU-XVII/2019?

c. Apa persamaan dan perbedaan eksekusi jaminan fidusia menurut UU Nomor

42 Tahun 1999 dan putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

1.3 Keaslian Penulisan

Tulisan yang berjudul “Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Pelaksanaan Kredit

Macet (Suatu Pendekatan Perbandingan Hukum)”, sejauh

berdasarkanpenelusuran calon peneliti di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Nusa Cendana belum ada tulisan yang mengkaji tentang hal ini. Maka penulisan ini

merupakan satu-satunya tulisan yang baru dikaji di Kawasan Fakultas Hukum

Univertas Nusa Cendana. Untuk itu penelitian ini merupakan asli buah penulis yang

dapat dipertanggungjawabkan.

5
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
a. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut

UU Nomor 42 Tahun 1999.

b. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut

putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pelaksanaan eksekusi

jaminan fidusia menurut UU Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK

Nomor 18/PUU-XVII/2019.

2. Manfaat Penelitian.

a. Manfaat Praktis.

Dari segi praktis, sebagai bahan pertimbangan lembaga-lembaga terkait

dalam memberikan suatu pengetahuan bagi masyarakat mengenai eksekusi

jaminan fidusia dalam pelaksanaan kredit macet agar aturan hukum

mengenai eksekusi jaminan fidusia tersebut dapat terealisasikan dengan

baik.

b. Manfaat Teoretis.

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilimu hukum pada umumnya dibagian hukum perdata pada

khususnya terutama terkait aturan mengenai eksekusi jaminan fidusia.

2. penelitian ini diharapkan juga agar menjadi acuan referensi untuk

penulisan hukum selanjutnya.

6
1.5 Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian.
Oleh karena penelitian ini mengkomparasikan tentang Eksekusi jaminan

fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK Nomor

18/PUU-XVII/2019 maka tipe penelitian yang digunakan adalah Normatif.

2. Jenis Pendekatan.

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statuta Approach)

Pendekatan ini merupakan penelitian yang merupakan bahan hukum yang berupa

peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan

penelitian. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan dengan permasalahan yang dihadapi.

b. Pendekatan Konseptual (Statuta Conceptual).

Pendekatan ini merupakan jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang

memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian

hukum dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatar belakangi pendekatan

ini menjadi penting karena pemahaman terhadap pandangan yang berkembang dalam

ilmu hukum yang menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika

menyelesaikan issu hukum yang dihadapi.

c. Pendekatan Perbandingan Hukum (Comporative Approach).

Pendekatan ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian

normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari

sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem

hukum) yang lain.


7
3. Aspek-aspek Penelitian.

Aspek-aspek yang diteliti dalam permasalahan ini adalah

a. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut UU Nomor 42 Tahun

1999.

b. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut putusan MK Nomor

18/PUU-XVII/2019.

c. Persamaan dan perbedaan eksekusi jaminan fidusia menurut UU Nomor

42 Tahun 1999 dan putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

4. Sumber Bahan Hukum.

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer yaitu bahan–bahan hukum yang mengikat, dan terdiri

dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu,

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

tentang Eksekusi Jaminan Fidusia.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer melalui hasil penelitian hukum, hasil karangan ilmiah

dari kalangan hukum, dan artikel baik dari media cetak maupun media massa yang

berkaitan dengan pokok bahasan yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan-bahan

hukum primer, yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait (baik instansi negeri

maupun instansi swasta), buku-buku yang terkait eksekusi jaminan fidusia. Sumber

sekunder dalam penulisan skripsi ini juga akan diambil dari data penelitian terdahulu,

8
jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel, serta diambil dan dikaji dari internet yang

berkaitan dengan pokok pembahasan.

c. Bahan hukum Tersier.

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus

hukum, ensiklopedia dan sebagainya (Soekanto dan mamudji,2007:13).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu suatu alat

pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui data tertulis dengan

mempergunakan content analysis (Soekanto,2008:21). Dalam penelitian ini, calon

peneliti melakukan studi dokumen atau bahan pustaka dengan cara mengunjungi

perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literature-literature,

peraturan perundang-undangan, jurnal penelitian, makalah, internet dan sebagainya

guna untuk mengumpulkan dan menunjang penelitian.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum.

1) Teknik Pengolahan Bahan Hukum

a. Identifikasi.

Identifikasi merupakan teknik pengelolaan bahan hukum dengan cara meneliti

dokumen atau bahan pustaka. Bahan-bahan hukum dapat diperoleh dengan

mengunjungi perpustakaan, membaca buku, mengkaji literature, meneliti peraturan

perundang-undangan, jurnal penelitian, dan sebagainya guna mengumpulkan dan

menunjang penelitian.
9
b. Inventarisasi.

Yaitu melakukan pengumpulan, pendaftaran dan pencatatan bahan hukum yang

diperoleh dari proses identifikasi bahan hukum. Inventarisasi memudahkan peneliti

untuk mengolah bahan hukum yang ada dalam melakukan penelitian.

c. Verifikasi.

Verifikasi adalah pembentukkan kebenaran teori, fakta dan sebagainya atas bahan

hukum yang dikumpulkan untuk diolah dan dianalisis agar bisa diuji secara hipotesis.

Hipotesis tersebut kemudian diuji dengan menggunakan fakta-fakta dan akan

didapatkan jawaban tentang kebenaran ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan jika

menggunakan prosedur yang sesuai.

d. Interpretasi.

Interpretasi merupakan pemberian kesan atau pendapat atas bahan-bahan hukum

yang telah dikumpulkan dari buku-buku, literature, peraturan perundang-undangan,

jurnal penelitian, dan sebagainya lalu diolah oleh calon peneliti untuk mendapatkan

suatu tafsiran guna menunjang penelitian.

2) Analisis Bahan Hukum

Bahan yang diperoleh terlebih dulu diolah kemudian dianalisa dan disajikan

secara deskriptif kwalitatif yaitu menjelaskan dan menguraikan teori hukum dan

norma hukum yang sangat erat kaitannya dengan masalah yang diangkat.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Eksekusi


Eksekusi menurut R.Subekti merupakan upaya dari pihak yang dimenangkan

dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan

hukum (polisi,militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan

bunyi putusan. Sedangkan menurut Sudikno memberikan penjelasan mengenai

defenisi eksekusi atau pelaksanaan putusan hakim pada hakekatnya tidak lain adalah

realisasi dari kewajiban dari pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang

tercantum dalam putusan tersebut. Eksekusi merupakan Pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracth van gewijsde)

yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau

mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan. Dalam pengertian lain, eksekusi

adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap, putusan

pengadilan yang sudah dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada

salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan

hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah

tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya

paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya (Manan,2005:313).

Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan

Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah

dalam perkara menjalankan Amar putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.

11
Eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia diatur dalam

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan juga diatur dalam Putusan MK Nomor

18/PUU-XVII/2019 tentang Jaminan Fidusia.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menjelaskan bahwa

eksekusi adalah Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi

langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta

mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Eksekusi menurut

Putusan MK menjelaskan bahwa Eksekusi jaminan fidusia harus Ikuti prosedur

Pengadilan artinya penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi

sendiri atau sepihak melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi

kepada pengadilan negeri.

2.2 Defenisi Kredit

Proses pemberian kredit akan menyangkut suatu jumlah uang dari nilai yang

relative kecil sampai pada jumlah yang cukup besar, sehingga ada berbagai

kemungkinan pula yang dapat terjadi akan membawa kerugian financial bagi pemberi

kredit apabila kredit-kredit tersebut tidak dikelola dengan baik.

Kata kredit berasal dari bahasa Latin “creditus” yang merupakan bentuk pasti

participle dari kata “credee” Kata tersebut sendiri berarti kepercayaaan. Dengan kata

lain kepercayaan akan kebenaran. Apabila hal tersebut dihubungkan dengan bank

maka terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur percaya meminjamkan

sejumlah kepada nasabah/debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya

untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang telah ditentukan.

12
Dalam pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perbankan menyebutkan “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atas kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Menurut Muljono kredit merupakan kemampuan untuk melakukan pembelian

atau melaksanakan suatu pinjaman dengan perjanjian untuk membayar dalam waktu

yang telah ditentukan (Muljono).

2.3 Defenisi Kredit Macet

Sebagaimana telah diketahui tentang pengertian kredit, yang dimaksud dengan

kredit macet adalah keadaan dimana seseorang debitor tidak mampu membayar lunas

pada bank tepat pada waktunya. Kredit macet termasuk wanprestasi, karena debitur

atau nasabah tidak memenuhi janji untuk membayar utangnya sesuai dengan jangka

waktu yang telah ditentukan atau telah disepakati. Pengertian kredit macet ini

terdapat dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Perbankan, akan tetapi terdapat

pula dalam kamus Bahasa Indonesiayang memberi sinonim dari kata “macet” yang

berarti “terhenti” atau “tidak lancar” atau lebih tepat disebut dengan pembayaran

yang tidak lancar atau terhenti.

Lancar atau macet suatu kredit, dapat digunakan ukuran tingkat kolektibilitasnya.

Yang dimaksud dengan kolektibilitasnya disini adalah tentang kelancaran

pembayaran, angsuran terhadap pinjaman pokok dan bunganya.

Kolektibilitas ditentukan oleh faktor-faktor:

13
a. Ketetapan waktu dan jumlah pembayaran terhadap utang pokok dan

bunganya.

b. Sudah atau belum lewat/berakhirnya jangka waktunya.

c. Hasil penelitian kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi hutang

pokok dan bunganya.

Menurut ketentuan pasal 12 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia

No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Kualitas Kredit

dibagi menjadi 5 kolektibilitas yaitu: Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang

Lancar, Diragukan dan Macet. Dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kredit Lancar, apabila memenuhi kriteria;

a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat;

b. Memiliki mutasi rekening yang aktif;

c. Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai.

2. Kredit Dalam Perhatian Khusus, apabila memenuhi krteria;

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui

90 hari;

b. Kadang-kadang terjadi cerukan;

c. Mutasi rekening cenderung rendah;

d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan;

e. Didukung oleh pinjaman baru.

3. Kredit Kurang Lancar, apabila memenuhi kriteria;

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui

90 hari;
14
b. Sering terjadi cerukan;

c. Frekuensi mutasi rekening relative rendah;

d. Terjadi pelanggaran kontrak yang telah diperjanjikan lebih dari 90 hari;

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi oleh debitor;

f. Dokumentasi pinjaman yang lemah.

4. Kredit Yang Diragukan, apabila memenuhi kriteria;

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang melampaui 180

hari;

b. Sering terjadi cerukan yang bersifat permanen;

c. Terjadi wanprestasi leboh dari 180 hari;

d. Terjadi kapitalisasi bunga;

e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun

pengikatan jaminan.

5. Kredit Macet, apabila memenuhi;

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang melampaui 270

hari;

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru;

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairka pada

nilai wajar.

Kredit dikategorikan sebagai kredit bermasalah adalah apabila kualitas kredit

tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan macet.

Pada kondisi ini telah terlihat ketidakmampuan debitur dalam memenuhi

15
kewajibannya pada bank. Kredit bermasalah mempunyai dampak yang begitu besar

bagi kelangsungan usaha bank. Pengaruhnya antara lain adalah bank bisa merugi,

menurunnya kondisi tingkat kesehatan dan terganggunya kinerja bank. Oleh karena

itu kredit bermasalah itu butuh penanganan khusus dari berbagai aspek terkait di

dalamnya seperti aspek hukum, aspek ekonomi, aspek pemasaran dan lain

sebagainya.

2.4 Defenisi Perjanjian Kredit


a. Defenisi Perjanjian.
Dalam hukum perdata perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata yaitu

“Tentang Perikatan” pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata

yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut Subekti, perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji

kepada seorang yang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.

Ada beberapa macam asas dalam hukum perjanjian yaitu:

1. Asas Kebebasan berkontrak.

Dalam pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”Asas kebebasan

berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk

membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,

menentukan isi perjanjian/pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya

perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau
16
ciri khas dari buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak

dapat saja menyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya

memaksa.

2. Asas Konsensualisme.

Asas ini dapat disimpulkan melalui pasal 1320 ayat 1 BW. Bahwa salah satu

syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan

adanya kesepakatan kedua belah pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi

mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni

melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya

sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW

yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang”.

4. Asas Itikad Baik.

Ketentuan tentang asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat 3 BW yang menegaskan

“perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa

para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak

berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para

pihak.

17
5. Asas Kepribadian.

Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang melakukan

kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1315

dan pasal 1340 BW. Pada pasal 1315 menegaskan bahwa “pada umumnya seseorang

tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan diri sendiri”. Sedangkan

pada pasal 1340 menegaskan bahwa “perjanjian hanya berlaku bagi antara para pihak

yang membuatnya”. Konsekuensi dari asas kepribadian adalah pihak ketiga tidak

dapat dimasukkan dalam perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian

dan tidak mungkin memberikan kata sepakat. Pihak ketiga yang dimasukkan ke

dalam perjanjian maka perjanjiannya bertentangan dengan asas konsensualisme.

6. Asas Keadilan.

Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian harus mencerminkan adanya

keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji. Isi perjanjian harus seimbang antara

hak dan kewajiban masing-masing pihak. Tidak ada penekanan fisik maupun psikis

sewaktu membuat perjanjian. Asas ini diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.

7. Asas Kepatutan.

Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan pada

undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula kebiasaan,

kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat

secara patut. Asas ini diatur pada pasal 1337 KUH Perdata.

8. Asas Kepercayaan.

Asas kepercayaan dalam perjanjian juga tidak kalah pentingnya dengan asas-asas

yang lain tersebut. Dalam asas ini para pihak yang melakukan perjanjian masing-
18
masing harus saling percaya satu sama lain. Kepercayaan itu menyangkut saling

memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan (Supromono,hal 164).

b.Perjanjian Kredit.

Dalam undang-undang perbankan tidak mengatur secara khusus tentang

perjanjian kredit. Kredit erat hubungannya dengan perjanjian karena kredit yang

diberikan bank kepada nasabahnya didasarkan atas perjanjian yang telah disepakati

bersama. Perjanjian kredit termasuk perjanjian pinjam meminjam uang antar bank

dengan nasabahnya yang diikuti dengan pemberian bunga.

Berdasarkan pasal 1754 KUH Perdata terdapat istilah pinjam meminjam, yang

dinyatakan sebagai berikut: “pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak

yang satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan

mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan dengan penyerahan uang.

Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan

penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya.

Dalam perjanjian tersebut, bank kedudukannya sebagai kreditur yang

berkewajiban menyediakan uang pinjaman, sedangkan nasabah sebagai debitur

dengan kewajiban membayar utang dan membayar bunganya sekaligus.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Jaminan


a. Pengertian Jaminan.
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheld atau

cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya

19
kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai

ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur

terhadap krediturnya. Zekerheld atau cautie mencakup secara umum cara-cara

kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungjawaban umum

debitur terhadap barang-barangnya. Setelah istilah jaminan, dikenal juga agunan.

Istilah Agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan.

Agunan adalah “jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam

rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.

Agunan dalam kontruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan

ini adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan kepada

bank. Unsur-unsur agunan, yaitu;

a. Jaminan tambahan;

b. Diserahkan oleh debitur kepada bank;

c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.

Dalam perspektif perbankan, agunan dibedakan atas dua (2) macam yaitu:

agunan pokok dan agunan tambahan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan atas Pasal 8

UU Perbankan. Agunan pokok adalah barang, surat-surat berharga atau garansi yang

berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan,

yang ditambahkan seperti agunan.

Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah

digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan

daripada istilah agunan. Istilah jaminan ini melingkupi jaminan kebendaan dan

jaminan perseorangan (Salim HD,2004:23)


20
Dari perumusan pengertian jaminan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa

kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu

hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain. Kebendaan tertentu

diserahkan debitur kepada kreditur dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman

atau fasilitas kredit yang diberikan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi

pinjamannya tersebut. Apabila debitur wanprestasi, kebendaan tertentu tersebut akan

dinilai dengan uang, selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau

sebagian dari pinjaman ataudalam a utang debitur kepada krediturnya. Dengan kata

lain jaminan disini sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang

debitur seandainya wanprestasi sebelum jatuh tempo pinjaman atau utangnya

berakhir.

b. Jenis-jenis jaminan.

Secara umum jaminan dapat digolongkan ke dalam jaminan materil (kebendaan)

dan jaminan immaterial (perorangan). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri

“kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan

mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan

jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu,

tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin

pemenuhan perikatan yang bersangkutan.

21
Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum pada

jaminan materil.

 Hak mutlak atas suatu benda;

 Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu;

 Dapat dipertahankan kepada siapapun;

 Selalu mengikuti bendanya;

 Dapat dialihkan kepada pihak lainnya.

Unsur jaminan perorangan, yaitu;

 Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;

 Hanya dapat dipertahankanterhadap debitur tertentu;

 Terhadap harta kekayaan debitur pada umumnya.

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu;

 Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata;

 Hipotek, yang diatur dalam Bab 2f Buku II KUH Perdata;

 Creditverband, yang diatur dalam Stb,1937 Nomor 190;

 Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 4 tahun 1996;

 Jaminan fidusia, sebagaiman diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 dan

putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

 Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;

a. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;

b. Perjanjian garasi.
22
Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga

perbankan atau lembaga keuangan non bank namun benda-benda yang memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

 Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukan;

 Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau

meneruskan usahanya;

 Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan

setiap waktu tersedia untk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diluangkan

waktu untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit

(Subekti,1996:73).

Salah satu bentuk jaminan yaitu fidusia. Fidusia diatur dalam UU No.42/1999

tentang Jaminan Fidusia. Pengertian Fidusia dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1

UU No 42/1999, yaitu pengalihan hak kepemilikkan suatu benda atasdasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Objek fidusia yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani

hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan.

2.6 Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia

a. Pengertian tentang jaminan jaminan fidusia.

23
Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire eigendom sover dracht sering disebut sebagai

Hak Milik secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda

bergerak di samping gadai di mana dasar hukumnya Yurisprudensi. Pada fidusia,

berbeda dari gadai yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditor adalah hak milik

sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah

penyerahan secara constitutum possessorium.

Di dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia kita dapat jumpai pengertian fidusia. Fidusia adalah “pengalihan hak

kepemilikkan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda

yang hak kepemilikannya yang diadakan tesebut tetap dalam pengusaan pemilik

benda itu”. Yang diartikan pengalihan hak kepemilikkan adalah pemindahan hak

kepemilikkan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan,

dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi

fidusia.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa kepercayaan merupakan syarat utama di

dalam lalu lintas perkreditan. Seorang nasabah memperoleh kredit karena adanya

kepercayaan dari bank.

Di samping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Dalam pasal 1

angka 2 Undang-Undang Fidusia menyatakan bahwa: “jaminan fidusia adalah hak

jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda

tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan
24
bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

Penerima Fidusia terhadap Kreditur lainnya”.

Dari pengertian di atas dapat di ketahui unsur-unsur jaminan fidusia adalah:

 Adanya hak jaminan;

 Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak

berwujud dan tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak

tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun;

 Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia;

 Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur.

Objek dan Subjek Jaminan fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah

benda yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikkannya, baik yang berwujud

maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak

bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik. Sedangkan yang

menjadi subjek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah

pemberi fidusia yaitu orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi

objek jaminan fidusia dan penerima jaminan fidusia dalam hal ini adalah seorang

perseorangan atau korporasi yang menerima piutang yang pembayarannya dijamin

fidusia.

b. Ciri-ciri Lembaga Fidusia.

Seperti halnya hak tanggungan, Lembaga jaminan Fidusia yang kuat mempunyai

cirri-ciri sebagai berikut:

25
1. Memberikan kedudukan yang mendahulukan kepada kreditur (penerima

fidusia) terhadap kreditur lainnya (pasal 27 Undang-Undang Jaminan

Fidusia). Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur

lainnya. Hak yang didahulukan dihitung sejak sejak tanggal pendaftaran

benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia.

Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk

mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi

objek jaminan fidusia. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak

hanya karena adanya kepailitan dan likuidasi pemberi fidusia. Ketentuan

dalam hal ini dihubungkan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia

merupakan agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Di samping itu,

ketentuan dalam Undang-Undang tentang kepailitan mennetukan bahwa

benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau

likuidasi. Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih

dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan ini

diberikn kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor

pendaftaran fidusia.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapa pun objek itu berada

(droit de suite) (pasal 20 Undang-Undang Fidusia). Jaminan fidusia tetap

mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun

benda itu berada kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi

objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan pengakuan atau prinsip “droit

26
de suite” yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan

Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (inrem)

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan

memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan (pasal 6 dan 11 Undang-Undang Fidusia). Akta jaminan

fidusia yang dibuat Notaris sekurang-kurangnya memuat:

a) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b) Data perjnjian pokok yang dijamin dengan fidusia;

c) Uraian mengenai benda yang menjadi objek fidusia;

d) Nilai penjaminan;

e) Nilai benda yang menjadi objek fidusia.

Selanjutnya dalam hal ini benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini merupakan terobosan penting yang

melahirkan fidusia sehingga dapat memenuhi asas publisitas (semakin terpublikasi

jaminan hutang, akan semakin baik, sehingga kreditor atau khalayak ramai dapat

mengetahui atau punya akses untuk mengetahui informasi-informasi penting di

sekitar jaminan hutang tersebut.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (pasal 29 Undang-Undang Fidusia)

Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji wajib menyerahkan objek

jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi.

c. Prosesnya Terjadinya Jaminan Fidusia.

Dalam proses terjadinya jaminan fidusia dilaksanakan melalui dua tahap yaitu:

27
1. Tahap Pembebanan Jaminan Fidusia.

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta jaminan fidusia.

Dengan demikian akta notaries di sini merupakan syarat materil untuk berlakunya

ketentuan-ketentuan undang-undang jaminan fidusia atas perjanjian penjaminan

fidusia, di samping juga sebagai alat bukti. Perlu diketahui juga, bahwa suatu

perjanjian pada umumnya tidak lahir pada saat penuangannya dalam suatu akta, tetapi

sudah ada sebelumnya, yaitu sudah ada sejak adanya kesepakatan antara para pihak

yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata dan penuangannya dalam akta hanya

dimaksudkan untuk mendapatkan alat bukti saja. Akta Notaril merupakan salah satu

wujud akta otentik sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1868 dan Pasal 1870 KUH

Perdata yang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak

dan ahli waris atau orang yang mendapatkan hak dari padanya.

Alasan Undang-Undang menetapkan dengan Akta Notaris adalah:

a. Akta Notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian

sempurna;

b. Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak;

c. Undang-Undng melarang adany fidusia ulang.

Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang

Fidusia sekurang-kurangnya memuat:

a. Identitas pemberi dan penerima fidusia.

Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau

kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelmin, status perkawinan dan pekerjaan.

28
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia yaitu mengenai macam perjanjian,

dan utang yang dijamin dengan fidusia.

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan

dengan mengidntifikasi benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti

kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia

merupakan benda dalam dalam persediaan (inventory)yang selalu berubah-

ubah dan tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi maka akta jaminan

fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda

tersebut.

d. Nilai Penjaminan;

e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2. Tahap Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Tujuan pendaftaran fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi penerima

fidusia, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah

dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor

dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum.

Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan termasuk benda

yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia.

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat

kedudukan pemberi fidusia dan dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang

merupakan bagian dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Permohonan

29
Pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan

melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia yang meliputi:

a. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia;

b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia nama dan tempat kedudukan notaries

yang membuat akta jaminan fidusia;

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

e. Nilai penjaminan, dan

f. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Kemudian kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan dalam Buku Daftar

Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran

guna melakukan pengecekkan data setelah dilakukan pendaftaran, maka Kantor

Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima fidusia

pada tanggal yang sama dengan tanggal Pendaftaran Jaminan Fidusia. Ketentuan ini

dimaksudkan agar Kantor Pendaftran Fidusia tidak melakukan penialain terhadap

kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, akan

tetapi melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran

fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku Daftar Fidusia, merupakan

perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia.

Penegasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang

Fidusia yang menyatakan apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan lebih

dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu

mendaftarkannya adalah penerima fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditur
30
yang menjadi pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, karena hanya penerima fidusia,

kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia. Sebagai

bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan penerima jaminan fidusia adalah Sertifikat

Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama

dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini sebenarnya

merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal

yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran.

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sehingga sertifikat

jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Maksudnya, bahwa putusan

tersebut langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta

mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

d. Hapusnya Jaminan Fidusia.

Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia ini

merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban

bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Sebagaimana suatu perjanjian accesoir dari jaminan fidusia demi hukum

hapus, bila utangnya pada perjanjian pokok, yang menjadi sumber lahirnya perjanjian

penjaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan fidusia menyatakan secara tegas

bahwa jaminan fidusia hapus karena:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

31
Jadi sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia

tercantum pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut

habis karena hapusnya hapusnya utang, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang

bersangkutan hapus, dan hapusnya utang ini dapat dibuktikan dengan bukti pelunasan

atau bukti hapusnya hutang yang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur.

Utang yang pelunasannya dijamin dengan jaminan fidusia dapat berupa;

1) Utang yang telah ada;

2) Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam

jumlah tertentu. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang dikenal

dengan istilah “kontijen”, misalnya utang yang timbul dari pembayaran

yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka

pelaksanaan garansi bank.

3) Utang yang pada eksekusinya dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi prestasi.

Utang dimaksud adalah utng bunga atas pinjaman pokok dan biaya

lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan dikemudian.

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penrima fidusia seperti halnya pada

hapusnya hutang yang dijaminkan dengan fidusia, maka hapusnya fidusia

karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerim fidusia adalah wajar,

mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia

tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya.

c. Musnahnya benda yang menjadi obek jaminan fidusia tidak akan menghapus

klaim asuransi, keuali diperjanjikan lain. Jadi apabila benda yang menjadi
32
objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka klaim

asuransi akan mengganti jaminan fidusia.

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut Undang-Undang Nomor

42 Tahun 1999.

Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam

pelaksanaannya, jika debitur (pemberi fidusia) cidera janji. Walaupun secara umum

ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku,

33
namun dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang Eksekusi

dalam Undang-Undang Fidusia, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate

eksekusi.

Selama ini sebelum keluarnya Undang-Undang Fidusia, tidak ada kejelasan

mengenai bagaimana caranya mengeksekusi Objek Jaminan Fidusia. Karena tidak

ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkan eksekusi Objek Jaminan

Fidusia dengan memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan prosedur

biasa) yang panjang, mahal dan melelahkan. Walaupun sejak berlakunya Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 1985, ada prosedur yang lebih mudah lewat eksekusi di

bawah tangan. Di samping syartanya yang berat, eksekusi Objek Jaminan Fidusia di

bawah tangan tersebut tentunya hanya berlaku atas fidusia yang berhubungan dengan

rumah susun saja. Oleh karena itu dalam praktik hukum, eksekusi fidusia di bawah

tangan sangat jarang digunakan (Fuady, 2000:57).

Sesungguhnya kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi, dianut pula oleh

lembaga hak jaminan kebendaan lainnya, seperti gadai, hipotek dan hak tanggungan.

Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi objek gadai hipotek disebutkan dalam Pasal

1155 ayat (1) dan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata, sedangkan kemudahan dalam

pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan diatur dalam Pasal 6 junctoPasal 20

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Demikian pula dala pelaksanaan eksekusi

benda yang dijadikan Jaminan Fidusia juga mudah dan pasti.

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia telah mengatur

pelaksanaan eksekusi atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

34
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dengan

salah satu fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih

memacu pembangunan Nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu

memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu

dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut

perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

menyebutkan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikkan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikkannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia adalah hak

jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda

tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan

bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukkan yang diutamakan

kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 lebih

khususnya dalam BAB V.

Pasal 29

1. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda

yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

35
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat

(2) oleh Penerima Fidusia.

b. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil

pelunasan piutang dari hasil penjualan.

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

2. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c

dilakukan setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh

Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan

dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah

yang bersangkutan.

Pasl 30

Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi Objek

Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.

Pasal 31

Dalam hal Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia terdiri atas

benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,

penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 32
36
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang

menjadi Objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan pasal 31, batal demi

hukum.

Pasal 33

Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Pemberi Fiduisia untuk

memilih Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusiaapabila debitur cidera

janji, batal demi hukum.

Pasal 34

1. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib

mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.

2. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap

bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

1. Pelaksanaan Titel Eksekusi.

Dalam sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan kantor Pandaftaran Fidusia

dicantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sertifikat jaminan fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud

dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan eksekusi tanpa

melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan

putusan tersebut.

37
Ada 2 (dua) syarat umum dalampelaksanaan titel eksekusi (alas hak eksekusi)

oleh penerima fidusia:

a. Debitur atau pemberi fidusia cidera janji;

b.Ada sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan irah-irah Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian pula dengan sertifikat Jaminan Fidusia, karena dibubuhi irah-irah

dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,

mempunyai kekuatan eksekutorial. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut dengan sendiri

dapat dieksekusi tanpa menunggu fiat eksekusi dari pengadilan, sebab kekuatannya

sama dengan sebuah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap. Atas dasar ini, penerima fidusia dengan sendirinya dapat mengeksekusi benda

yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia jika debitur atau pemberi fidusia cedera

janji, tanpa harus menunggu adanya surat perintah (putusan) dari pengadilan.

Pada pelaksanaan titel eksekusi ini tidak dijelaskan atau dicantumkan apakah

pelaksanaan eksekusi tersebut dengan lelang atau penjualan di bawah tangan, namun

mengingat sifat eksekusi dan mengingat penjualan secara di bawah tangan telah

diberi persyaratan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia, maka

pelaksanaan titel eksekusi haruslah dengan cara lelang.

2. Penjualan atas kekuasaan penerima fidusia.

Sebagai dikemukakan sebelumnya, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-

Undang Fidusia menentukan bahwa apabila debitur cedera janjihal debitur cedera

janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda objek jaminan fidusia

38
atas kekuasaannya sendiri. Ini merupakan salah satu cirri Jaminan Fidusia yang kuat

dan pasti, bahwa adanya kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya apabila pihak

debitur (pemberi fidusia) cedera janji dan sebagai perwujudan dari kedudukan yang

mendahului dari kreditur (penerima fidusia).

Oleh Karena itulah dalam Undang-Undang Fidusia telah diatur secara khusus

tentang ekskusi atas Objek Jaminan Fidusia berdasarkan parate eksekusi lewat atau

melalui pelelangan umum. Penjualan dengan cara ini dikenal dengan lembaga parate

eksekusi dan diharuskan dilakukan penjualan di muka umum (lelang).

Salah satu wujudnya atas kekuasaan sendiri dari kreditur (penerim fidusia) sesuai

dengan ketentuan dalam pasal 29 ayat (1) sub b Undang-Undang Fidusia, maka

diberikan hak kepadanya untuk melakukan penjualan terhadap benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia, asalkan debitur (pemberi fidusia) telah edera janji dan itupun

harus dilakukan lewat atau melalui pelelangan umum (kantor lelang) tanpa

memerlukan persetujuan lagi debitur (pemberi fidusia). Selanjutnya dari hasil

penjualan tersebut setelah dikurangi dengan hak preferennegara (termasuk biaya

lelang), kreditur (penerima fidusia) dapat mengambil pelunasan atas piutangnya.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia jenis ini tidak memerlukan fiat eksekusi dari

pengadilan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub b juncto Pasal 15 ayat (3)

Undang-Undang Fidusia, secara hukum Undang-Undang Fidusia memberikan hak

atau wewenang kepada kreditur (penerima fidusia) atas kekuasaannya sendiri (parate

eksekusi) untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia guna

mendapatkan pelunasan piutangnya. Artinya tanpa meminta bantuan Ketua atau juru
39
sita dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan, kreditur (penerima fidusia) dapat

mengeksekusi Objek Jaminan Fidusia yang bersangkutan dengan cara meminta

bantuan Kantor Lelang untuk melakuan penjualan secara umum atau lelang atas

benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Karena dilaksanakan tanpa melibatkan pihak pengadilan maupun juru sita, maka

kreditur sudah tentu memikul resiko, bahwa ia melaksanakan haknya secara keliru,

dengan akibat bahwa kreditur memikul resiko tuntutan ganti rugi dari pemberi

fidusia. Dalam prakteknya, belakangan ini jarang kreditur yang mempunyai

kewenangan parate eksekusi, menempuh jalan eksekusi melalui lembaga tersebut dan

lebih sering mengambil jalan melalui grosse (Satrio,2002:321)

Dengan demikian Parate Eksekusi kurang lebih adalah kewenangan yang

diberikan (oleh Undang-Undang atau Putusan Pengadilan) kepada salah satu pihak

untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian dalam hal pihak yang lainnya

(debitur) ingkar janji (wan prestasi).

Kekuasaan untuk pelaksanaan ini harus dibuktikan dengan sertifikat jaminan

fidusia dan secara otomatis eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) ini

mengandung persyaratan yang sama dengan eksekusi atas alas hak eksekusi (titel

eksekusi)

3. Penjualan di bawah tangan.

Selain itu, eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat

dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, sepanjang terdapat kesepakatan antara

pemberi fidusia dan penerima fidusia. Penjualan di bawah tangan dapat saja

dilakukan walaupun penjualan melalui pelelangan umum telah dilakukan, namun


40
kurang menguntungkan bagi para pihak. Ini berarti eksekusi atas benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia secara parate eksekusi atas benda objek Jaminan Fidusia

melalui penjualan di bawah tangan.

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub Undang-Undang Fidusia sungguh

merupakan upaya pembuat Undang-Undang untuk memenuhi kepentingan para pihak

dalam perjanjian penjaminan fidusia dengan sebaik-baiknya. Kiranya tidak semua

barang, misalnya suatu tagihan atas nama, bisa dan lazim untk dijual melalui suatu

lelang. Di samping itu, penjualan melalui lelang tidak selalu manjamin hasil yang

optimal, karena orang yang membeli melalui lelang biasanya berangkat dari pikiran

bisa mendapat barang dengan harga yang relative murah daripada melalui pembelian

biasa (Satrio,2002a 323-324).

Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub c Undang-Undang Fidusia,

dapat diketahui bahwa eksekusi atas benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia

dapat dilakukan berdasarkan parate eksekusi secara penjualan di bawah tangan.

Penjualan di bawah tangan atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut

dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan (reservation) tertentu sebagaimana telah

diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan ketentuan Pasal 29 ayat (2)

Undang-Undang Fidusia.

Adapun persyaratan dimaksud meliputi:

1. Dilakukan berdasaran kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia;

2. Dapat diperoleh dengan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada

pihak-pihak yang berkepentingan;


41
4. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan; dan

5. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut, dilakukan setelah lewat 1

(satu) bulan sejak diberitahukan seara tertulis.

Perlu diingat, bahwa sekalipun penjualan itu dilakukan di bawah tangan, namun

penjualan berdasarkan Pasal 29 ayat (1) sub c Undang-Undang Fidusia tetap saja

bukan merupakan penjualan sukarela, karena inisiatif penjualan di sini tidak datang

dari pemilik jaminan, tetapi dari pihak kreditur. Dalam praktik penyelesaian kredit

macet selama ini berjalan, bagian terbesar justru dilaksanakan dengan memberikan

kesempatan kepada pemberi jaminan untuk mencari sendiri pembeli dengan harga

tertinggi , kalau harga penawaran itu disetujui oleh kreditur maka benda jaminan

dijual sendiri oleh pemberi jaminan, tetapi uang pembeli/penjualannya diserahkan

oleh pembeli dengan persetujuan pemilik jaminan langsung kepada kreditor dan

kreditor menyodorkan surat pelunasan dan surat pengangkatan jaminan (roya) kepada

pembeli (Satrio,2002a:324).

Pelaksanaan eksekusi jaminan dengan cara penjualan di bawah tangan merupakan

suatu perkembangan dalam system eksekusi yang sebelumnya juga telah dianut

dalam eksekusi Hak Tanggungan atas Tanah (UU No. 4 Tahun 1996).

Seperti halnya dalam Undang-Undang Hak Tanggungan maka Undang-Undang

Fidusia ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa

persyaratan yang relative berat untuk dilaksanakan.

Ada 3 (tiga) persyaratan untuk dapat melakukan penjualan di bawah tangan:

42
 Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan

berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.

 Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh

pemberi dana atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

 Diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

menguntungkan.

Melihat beratnya persyaratan tersebut di atas maka besar kemungkinan (seperti

halnya selama ini Hak Tanggungan Hak Atas Tanah) penjualan dengan cara di bawah

tangan ini tidak akan popular. Diperkirakan kalau cara ini ditempuh hanya akan

terbatas pada kredit berskala besar.

Besar kemungkinan cara yang selama ini berlangsung akan lebih disenangi oleh

para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam Undang-Undang Fidusia.

Dengan cara lama debitur atau pemilik jaminan atas persetujuan debitur akan

menebus atau melunasi beban (nilai peningkatan) barang yang menjadi objek fidusia.

Mungkin uang penebusan adalah berasal dari calon pembeli setelah itu pada saat yang

sama pemilik melakukan jual beli dengan pembeli secara di bawah tangan (ditanda

tangani oleh pemilik barang).

Dengan melihat topik dan alasan dari penjualan di bawah tangan ini adalah untuk

memperoleh harga tertinggi lalu dilakukan jual beli dengan sukarela maka penjualan

lelang melalui Balai lelang kiranya juga dapat digunakan pada kesempatan ini.

Khusus dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda

perdagangan atau efek yang dapat diperjualbelikan di pasar atau di bursa. Undang-

43
Undang Fidusia mengatur bahwa penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat

tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi efek yang

terdaftar di bursa di Indonesia berlaku peraturan perundang-undangan di bidang Pasar

Modal. Pengaturan serupa dapat ditemukan pula dalamlembaga gadai sebagaimana

hal itu diatur dalam Pasal 1155 KUH Perdata.

Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi Jaminan Fidusia sebagaimana diatur

dalam Pasal 29 dan 31 Undang-Undang jaminan Fidusia bersifat mengikat (dwinged

recht) yang tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. Penyimpangan dari

ketentuan-ketentuan tersebut berakibat batal demi hukum.

Mengingat bahwa Jaminan Fidusia adalah lembaga jaminan dan bahwa

pengalihan hak kepemilikkan dengan caraconstitutum passessorium dimaksudkan

untuk semata-matamemberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima

fidusia, maka setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk

miliki objekjaminan fidusia adalah batal demi hukum. ketentuan tersebut dibuat untuk

melindungi pemberi fidusia melebihi besarnya utang yang dijaminkan. Ketentuan

serupa dapat kita jumpai pula dalam pasal 1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1995 tentang Hak Tanggungan dan Pasal

1178 ayat (1) KUH Perdatasehubungan dengan hipotik.

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia tidak disebutkan cara

eksekusi fidusia lewat gugatan biasa. Sungguhpun tidak disebutkan, tetapi tentunya

pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke Pengadilan.

Sebab keberadaan Undang-Undang Fidusia dengan model eksekusi khusus tidak

untuk meniadakan hukum acara yang umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang
44
ada dalam hukum acara umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang

Fidusia, khususnya tentang cara eksekusinya, yang bertujuan meniadakan ketentuan

hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan biasa ke Pengadilan.

Tambahan pula bukanlah keberadaan model-model eksekusi tersebut untuk

mempermudah dan membantu pihak kreditur untuk menagih utangnya yang

mempunyai Jaminan Fidusia dengan jalan mengeksekusi Jaminan Fidusia tersebut.

Satu dan lain hal disebabkan oleh eksekusi fidusia lewat gugatan biasa yang

memakan waktu yang berbelit-belit. Hal ini tersebut sangat tidak praktis dan tidak

efisien bagi utang dengan Jaminan Fidusia (Fuady, 2000:63).

Perlu diperhatikan, bahwa ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang

Fidusia merupakan suatu ketentuanbersyarat, yang baru berlaku apabila syarat yang

disebutkan di sana dipenuhi, yaitu syarat, bahwa “debitur atau Pemberi Fidusia sudah

cedera janji”. Ketentuan dalam Pasal tersebut membedakan antara debitur dan

pemberi fidusia, yang memang bisa merupakan dua orang yang berlainan. Kata

“atau” mengajarkan kepada kita, bahwa yang cedera janji bisa debitur maupun

pemberi fidusia. Karenanya harus dibedakan antara cedera janji dari debitur (pemberi

fidusia) dan pihak ketiga pemberi fidusia. Dalam hal debitur sendiri yang bertindak

sebagai pemberi fidusia, sehubungan dengan penjaminan itu ada dua perjanjian yang

ditutupoleh kreditur, yaitu perjanjian pokoknya untuk mana diberikan Jaminan

Fidusia dan perjanjian penjaminan fidusianya sendiri. Karena dalam Pasal 29 ayat (1)

di atas disebutkan secara umum, cedera janji debitur meliputi baik pada perjanjian

pokoknya maupun pada perjanjian penjaminannya. Sebab dalam perjanjian pokoknya

maupun perjanjian penjaminannya, para pihak biasa memperjanjikan, bahwa apabila


45
debitur tidak mematuhi janji-janji yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian yang

mereka tutup, utang debitur seketika menjadi matang untuk ditagih (Satrio,

2002a:318-319).

Cedera janji di sini bisa berupa lalainya debitur memenuhi kewajiban

pelunasannya pada saat utangnya sudah matang untuk ditagih maupun tidak dipenuhi

janji-janji yang diperjanjikan, baik dalam perjanjian pokok maupun perjanjian

penjaminannya, sekalipun utangnya sendiri pada saat itu belum matang untuk ditagih.

Dalam peristiwa seperti itu maka kreditur (penerima fidusia) bisa melaksanakan

eksekusinya atas benda Jaminan Fidusia (Satrio, 2002a:319)

Dalam penjelasan dari bentuk pelaksanaan Eksekusi menurut Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi yang

dilaksanakan ini langsung dilakukan oleh pihak kreditor (penerima fidusia) kepada

pihak debitur (pemberi fidusia) yang dianggap telah lalai atau wanprestasi dalam

melakukan sebuah perjanjian sehingga dinyatakan macet dalam membayar utangnya

maka dari pihak kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang merupakan

jaminan dan debitur wajib memberikan barang jaminan tersebut kepada pihak

kreditur. Dan apabila dalam pelaksanaan pihak debitur tidak memberikan barang

yang sebagai jaminan maka pihak kreditur secara paksa mengeksekusi barang yang

menjadi jaminan tesebut.

Dari penjelasan di atas mengenai eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-

Undang dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa pembentuk Undang-Undang

ini memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap penerima

fidusia (kreditur) dalam memberikan kredit terhadap pemberi fidusia (debitur). Hal
46
ini sangat dimaklumi oleh karena dalam perjanjian hutang piutang, dimana

jaminannya adalah benda bergerak, dengan penguasaannyaberada ditangan debitur,

maka harus ada suatu mekanisme hukum yang bisa memberikan perlindungan lebih

kepada kreditur, khususnya dalam hal eksekusi objek jaminan fidusia. Namun dalam

pelaksanaannya kreditur dapat melakukan eksekusi atas kekuasaannya sendiri, baik

berupa penyitaan maupun lelang sita tanpa perantara hakim yang bersifat final dan

mengikat para pihak sehingga pemberi fidusia tidak dapat menolak dan wajib

menyerahkan benda yang mejadi objek jaminan fidusia.

Menurut pendapat penulis pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia ini sangatlah

mudah dan praktis namun merugikan pihak debitur dan tidak mementingkan nilai

moral dan juga tidak memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam perjanjian

terutama asas keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu perlu diadakan uji materil

terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk pelaksanaan eksekusi objek

jaminan fidusia tersebut.

3.2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut Putusan MK Nomor

18/PUU-XVII/2019.

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi, seluruh dari objek fidusia tetap dapat

dilakukan oleh penerima fidusia selama telah diperjanjikan dari awal terdapat klausul

wanprestasi. Dilain kata, jika pada awal perjanjian terjadi kesepakatan terkait klausul

wanprestasi dalam perjanjian antara kreditur dan debitur, maka jika debitur telah

cedera janji maka akan bersedia dieksekusi. Sehingga maksud dari Mahkamah

Konstitusi adalah untuk memperjelas bahwa apabila terdapat klausul cedera janji

47
perjanjian berarti segera dapat dilakukan proses dieksekusi untuk pembuktian.

Apabila debitur tidak mengakui telah wanprestasi, kreditur bisa menggugat ke

pengadilan, sehingga pengadilan yang akan menentukan keadaan wanprestasi debitur.

Apabila pengadilan memutuskan debitur telah melakukan wanprestasi maka debitur

tidak dapat mengelak lagi dan berkewajiban untuk memenuhi putusan tersebut

dengan melunasi kewajibannya atau menjual objek jaminan fidusia untuk melunasi

hutangnya.

Adanya unsur dari kerelaan dari debitur tidak akan mempengaruhi untuk

mendapatkan eksekusi dari adanya akibat wanprestasi dari perjanjian fidusia.

Karakteristik perjanjian fidusia yaitu antara pemberi dan penerima fidusia terdapat

hubungan perikatan, yang memberikan hak kreditur agar mendapat penyerahan

barang jaminan dari debitur. Kedua, perikatan tersebut adalah perikatan memberikan

sesuatu dikarenakan debitur telah menyerahkan suatu barang.

Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata tentang asas konsessualitas, telah

ditentukan lahirnya suatu perjanjian yang berdasarkan pada kesepakatan diantara

kedua belah pihak tentang hal-hal pokok objek perjanjian. Dengan ini sesuai asas

konsensualitas, telah ditentukan lahirnya suatu perjanjian dan dapat diketahui tentang

kesepakatan yang menjadi inti dari perjanjian yang terjadi. Semenjak tercapainya

suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian dan perikatan maka perjanjian tersebut

telah lahir. Namun selama para pihak yang membuat perjanjian tidak menyepakati

ketentuan lain maka perjanjian tersebut tetap berlaku bagi para pihak. Asas ini sesuai

dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian

48
yang dengan menyatakan segala perjanjian yang dibuat secara sah akan dianggap

mengikat bagi para pembuatnya seperti halnya Undang-Undang.

Pasca adanya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tanggal 06 Januari 2020,

maka dapat dipastikan para kreditur (Penerima Fidusia) pasti sangat berhati-hati

dalam memberikan pinjaman kepada debitur (Penerima Fidusia). Namun perlu juga

dipahami bahwa putusan MK tidak secara imperative mengatakan setiap eksekusi

jaminan fidusia wajib melalui pengadilan.

Menurut MK dalam pertimbangannya bahwa tidak ingin menghilangkan

karakteristik dari pelaksanaan-pelaksanaan eksekusi dari jaminan fidusia itu yang

dapat dilakukan dengan cara eksekusi sendiri (parate eksekusi). Oleh karena itu, MK

mengatakan terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh penerima fidusia

(kreditur) untuk melakukan eksekusi sendiri, yaitu;

1. Pemberi fidusia (debitur) harus mengakui dirinya telah wanprestasi (cedera

janji)

2. Pemberi fidusia (debitur) harus secara sukarela menyerahkan benda yang

menjadi objek dalam perjanjian fidusia.

Sebaliknya, apabila pemberi fidusia (debitur) tidak mengakui telah melakukan

wanprestasi (cedera janji) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela objek

jaminan fidusia kepada kreditur maka, eksekusi terhadap objek jaminan hanya dapat

dilakukan melalui prosedur pelaksanaan eksekusi di Pengadilan Negeri.

Adapun pertimbangan MK:

“Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderangsepanjang pemberi

hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cedera janji” (wanprestasi) dan
49
secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian

fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia

(kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun,

apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak

mengakui adanya “cedera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk

menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian

fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi

sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi

kepada Pengadialn Negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi

hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara

seimbang”.

Dari uraian pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi

terhadap jaminan fidusia hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri apabila

pemberi fidusia (debitur) mengakui dirinya telah wanprestasi dan secara sukarela

menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan apabila pemberi

fidusia (debitur) tidak ingin mengakui dirinya wanprestasi serta tidak ingin benda

yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut diberikan kepada penerima fidusia

(kreditur), maka penerima fidusia (kreditur) hanya dapt melakukan eksekusi objek

jaminan fidusia melalui prosedur pengadilan.

Adapun jika penerima fidusia (kreditur) dan pemberi fidusia (debitur)

bersepakat di dalam perjanjian atau akta jaminan fidusia yang dibuat di notaris

memasukkan klausula yang berbunyi bahwa apabila dalam jangka waktu ditentukan

pemberi fidusia (debitur) tidak mampu melunasi hutangnya kepada penerima fidusia
50
(kreditur), maka pemberi fidusia (debitur) menyatakan dirinya telah wanprestasi dan

secara sukarela wajib memberikan objek jaminan fidusia tersebut kepada penerima

fidusia (kreditur).

Putusan MK terkait tafsir Pasal 15 ayat (1-3) Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cedera janji (wanprestasi) dalam

eksekusi jaminan fidusia terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Awalnya,

Pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cedera atau ingkar janji, penerima

fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya

sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht. Namun pasca

terbitnya putusan MK bernomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, MK

memberi tafsir berbeda dengan pasal sebelumnya. Kini, sertifikat jaminan fidusia,

yang membuat Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”,

tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial.

Dalam putusan itu, cedera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus

didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi

kesepakatan salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke

pengadilan untuk menentukan atau memutuskan telah terjadinya cedera janji tersebut.

Implementasi Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia

terkait eksekusi jaminan fidusia ini praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan

kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan

dalih debitur cidera janji. “Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa

(klausula,red) cedera janji harus dibuat (disepakati,red) para pihak. Kalau para pihak

51
tidak ada kesepakatan maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai

HIR dan RBg”

Dengan demikian, persoalan cedera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak

langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para

pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah

ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. “Tujuan putusan

ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur”.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait

sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cedera

janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus disasarkan pada kesepakatan kedua

pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke

Pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cedera janji.

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019, MK menyatakan Pasal 15 ayat

(2) Undang-Undang jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa

“kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap

jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur

keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala

mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia

harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap.

52
Dalam pertimbangannnya, Mahkamah berpendapat norma pasal 15 ayat (2),

(3) Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan

dengan tata cara eksekusi atau pun waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan

“cedera janji” (wanprestasi) dan hilangnya kesempatan debitur mendapat penjualan

objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. “selain sering menimbulkan adanya

paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia(kreditur) serta merendahkan harkat dan

martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional norma dalam Pasal 15

ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia”.

Bagi mahkamah, kewenangan eksklusif penerima hak kebendaan jaminan

fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak ada masalah dengan kepastian

waktu kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cedera janji” (wanprestasi). Dan

debitur secara sukarela menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada kreditur

untuk dilakukan penjualan sendiri. Artinya, pemberi fidusia (debitur) mengakui

dirinya telah “cedera janji”, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan

benda objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan

penjualan sendiri.

“Pasal 15 ayat (3), khususnya frasa “cedera janji” hanya dapat dikatakan

konsritusional sepanjang dimaknai adanya cedera janji tidak ditentukan secara

sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan

debitur atau atas dasar upaya hukum yang menetukan telah terjadi cidera janji”.

Dalam penjelasan tersebut di atas mengenai bentuk pelaksanaan eksekusi

jaminan fidusia menurut Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dapat disimpulkan

bahwa dalam melakukan sebuah perjanjian antara dua belah pihak yaitu pihak
53
kreditur (penerima fidusia) dan pihak Debitur (pemberi Fidusia), apabila dikemudian

hari pihak debitur tidak membayar hutangnya dengan lunas dan sudah menyatakan

dirinya telah wanprestasi atau cedera janji maka dari pihak kreditur dapat

melaksanakan eksekusi langsung terhadap barang yang menjadi jaminan tersebut

tanpa melalui pengadilan. Tetapi apabila tidak ada kesepakatan terlebih dahulu

mengenai wanprestasi dan pihak debitur belum mengakui bahwa dirinya telah

melakukan wanprestasi atau cedera janji maka pihak kreditur tidak mempunyai

kewenangan untuk langsung mengeksekusi barang jaminan tersebut, tetapi harus

melalui pengadilan. Putusan MK ini dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan

memberikan rasa keadilan bagi para pihak.

Dari penjelasan di atas penulis memberikan kesimpulan menurut pendapat

penulis bahwa Putusan MK ini sangat membantu para pihak dalam mengeksekusi

barang yang merupakan jaminan fidusia meski ini bukan hal yang mudah, dan dalam

prakteknya tentu saja akan sulit dilakukan. Apabila debitur belum mengakui dirinya

cidera janji maka pihak kreditur bisa menggugat pihak debitur. Tentu ini bukan

proses yang mudah dan cepat sebab membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa

tahun. Terkadang dalam proses tersebut bisa saja debitur memilih, dan

kemungkinannya akan memilih untuk menolak memberikan pengakuan atau

kesepakatan bahwa dirinya telah melakukan cedera janji, walaupun ada kemungkinan

juga bahwa debitur bersedia dengan sukarela menyatakan bahwa dirinya telah ingkar

janji.

Bagi Kreditur panjangnya upaya hukum ini akan mempengaruhi biaya dan

waktu yang lama serta tenaga yang diperlukan untuk melakukan eksekusi jaminan
54
fidusia ini. Intinya bahwa eksekusi jaminan fidusia secara title eksekutorial ini akan

merubah praktek eksekusi jaminan fidusia. Untuk dapat melakukan eksekusi secara

title eksekutorial diwajibkan adanya kesepakatan antara kreditur dan debitur bahwa

cidera janji telah terjadi, atau jika kesempatan itu tidak terjadi, maka harus dilakukan

upaya hukum atau gugatan ke Pengadilan Negeri.

3.3. Persamaan dan Perbedaan Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut


Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK Nomor 18/PUU-
XVII/2019.
Tabel 1

Persamaan dan perbedaan pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-


Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Persamaan Perbedaan

 Cedera janji atau wan prestasi.  Bentuk Pelaksanaan.

 Sama-sama mengeksekusi
Objek Jaminan Fidusia.
Sumber: Bahan Hukum Primer.

Pada penjelasan dalam bentuk pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menurut

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Putusan MK Nomor

18/PUU-XVII/2019, di sana jelas bahwa terdapat persamaan yaitu dalam pelaksanaan

eksekusi, sama-sama mengeksekusi objek jaminan fidusia. Pelaksanaan tersebut

dapat terlaksana apabila debitor (pemberi fidusia) cedera janji atau wan prestasi maka

benda yang menjadi objek jaminan fidusia akan dieksekusi oleh kreditor (penerima

fidusia) baik pelaksanaannya secara langsung maupun melalui Pengadilan Negeri.Di

situ juga jelas bahwa perbedaan dari pelaksanaan eksekusi tersebut tedapat pada
55
bentuk pelaksanaan. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, apabila debitur

atau (pemberi fidusia) cedera janji atau wan prestasi maka pelaksanaan eksekusi ini

langsung dilakukan oleh kreditur sebagai penerima fidusia tanpa adanya kesepakatan

terlebih dahulu. Namun dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 pelaksanaan

eksekusi boleh dilaksanakan apabila pihak debitur (pemberi fidusia) telah mengakui

bahwa dirinya telah wan prestasi atau cedera janji dan dengan sukrela menyerahkan

barang yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila pihak debitur (pemberi fidusia)

belum mengakui dirinya wan prestasi atau cedera janji dan tidak menyerahkan objek

jaminan fidusia tersebut secara sukarela maka kreditur (penerima fidusia) tidak

langsung mengeksekusi objek jaminan fidusia tersebut melainkan mengajukan

gugatan permohonan ke Pengadilan Negeri. Putusan MK ini menguntungkan bagi

para pihak, memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan mementingkan nilai moral

serta sesuai dengan asas-asas dalam perjanjian khusunya Asas Keadilan dan Asas

Kepatutan.

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN.

Eksekusi Jaminan Fidusia adalah suatu kegiatan menyita dan menjual benda

yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. Eksekusi Jaminan Fidusia ini dapat

berlangsung jika pihak debitur telah cedera janji maka kreditur dapat melakukan

eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

56
1. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 menjelaskan bentuk eksekusi benda yang menjadi obek jaminan

fidusia:

a. Pelaksanaan title Eksekutorial

Langsung dapat dilaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat

final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

b. Menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum

Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekusaan penerima

fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan di bawah tangan.

Apabila dalam suatu perjanjian kredit debitor atau pemberi fidusia lalai atau

macet dalam membayar atau cedera janji, maka penerima fidusia langsung

mengeksekusi barang yang menjadi objek jaminan fidusia.

2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut putusan MK Nomor 18/PUU-

XVII/2019.

Dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai eksekusi objek

jaminan fidusia. Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa

kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap, serta frasa cedera janji dalam pasal 15 ayat (2) dan (3)

Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan

bahwa eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan apabila pemberi fidusia (debitur)
57
telah mengakui dirinya sudah lalai dalam membayar hutangnya atau cedera janji

dan dengan rela menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia maka

penerima Fidusia (kreditur) dapat melakukannya. Tetapi, apabila pemberi fidusia

(debitur) belum mengakui dirinya cedera janji atau wan prestasi dan tidak

menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia secara sukarela maka

segala mekanisme pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia berlaku

sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri. Ini dilakukan agar salah satu pihak tidak merasa

dirugikan.

3. Persamaan dan Perbedaan pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia menurut

UU Nomor 42 Tahun 1999 dan putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Menjelaskan bahwa keduanya mempunyai persamaan yaitu sama-sama

mengeksekusi objek jaminan fidusia apabila terjadi wanprestasi atau cedera

janji dengan perbedaan yang terdapat pada bentuk pelaksanaannya.

4.2 Saran
Dari hasil penelitian penulis, maka penulis memberi saran sebagai berikut:

1). Kepada Kreditur lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman kepada

debitur mengingat akan Putusan Mahkamah Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Sebaiknya sebelum memberikan pinjaman, kreditur dan debitur harus sama-

samamembuat perjanjian yang mengikat antara kedua pihak dan harus

menyepakati. Agar dikemudian hari jika terjadi cedera janji atau wanprestasi,

kreditur dengan mudah mengeksekusi objek yang menjadi jaminan fidusia.

58
2). Kepada Debitur, jika sudah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian sebaiknya

harus melaksanakan perjanjian tanpa adanya wan prestasi. Jika sudah cedera janji

maka dengan suka rela memberikan apa yang sudah menjadi objek jaminan

tersebut kepada kreditur sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati

bersama. Dan pihak debitur harus mengasuransikan objek yang menjadi jaminan

fidusia agar apabila debitur wanprestasi maka debitur bebas dari segala tuntutan

dari pihak kreditur.

3). Selain itu juga Eksekusi atau penarikan barang jaminan fidusia haruslah

mempertimbangkan rasa moral, yang sebelumnya dilakukan dengan pendekatan

terlebih dahulu dengan menjelaskan kembali substansi pokok dalam perjanjian

fidusia kepada debitur.

4). Saran yang dapat penulis berikan untuk masyarakat umum, bahwa jika ingin

melakukan sebuah pinjaman yang didasari dengan suatu jaminan, sebaiknya

sebelum melakukan, terlebih dahulu memahami segala prosedur atau peraturan

yang ada agar dikemudian hari tidak terdapat hal-hal yang tidak diinginkan. Dan

apabila terjadi cedera janji atau wanprestasi terhadap perjanjian yang sudah dibuat

maka harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut.

59
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati.(2004). Segi Hukum Lembaga


Keuangan dan Pembiayaan. Bandung,PT Citra Aditia Bhakti.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja.(2000). Jaminan Fidusia. Jakarta:


Grafindo Persada.

Hasibuan,Malayu.(2001). Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta; Bumi Aksara.

Hermansyah.(2005). Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Mariam Darus Badrulzaman.(1978). Perjanjian Kredit Bank,Bandung:

Alumni
60
Purwahid Patrik dan Kashadi. (2007). Hukum Jaminan, (Edisi Revisi Dengan
UUHT), Semarang: Fakultas Undip.

Salim HS. (2005). Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta:PT.


Raja Grafindo Persada.

Supramono Gatot. (1999). Perbankan dan Masalah Kredit. Suatu tinjauan


Yuridis, Cetakan Kedua, Jakarta: Djambatan

Tan Kamelo. (2006). Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang


Didambakan, Bandung: PT.ALUMNI.

Thomas Suyatno. (1997). Kelembagaan Perbankan, Jakarta: PT.Gramedia


Pustaka Indonesia Utama.

Rachmadi Usman. (2001). Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia,


Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Rachmi Usman. (2009). Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Cetakan


Kedua

B. Peraturan Perundang-undangan.

Kitab Undang-Undang KUH Perdata.

Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Eksekusi Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Perubahan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

61
62

Anda mungkin juga menyukai