Anda di halaman 1dari 12

HUKUM MEMINDAHTANGANKAN JAMINAN KREDIT

MATA KULIAH TEORI HUKUM

Dosen Pengampu: Dr. Hartanto, S.E., S.H., M.Hum

USULAN PENELITIAN

Disusun Oleh:

Nama : Rico Agung Satria Atmaja

No. Mahasiswa : 231228396

UNIVERSITAS WIDYA MATARAM

MAGISTER HUKUM

2023

1
HUKUM MEMINDAHTANGANKAN JAMINAN KREDIT
Oleh:
Rico Agung Satria Atmaja/UWM/231228396
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Setiap subyek hukum bebas menentukan obyek maupun bentuk perjanjiannya.
Dalam hal bentuk yang dimaksudkan adalah apakah perjanjian dibuat secara tertulis
ataukah lisan tidak ada peraturan yang mengikat. Suatu perjanjian kredit diberikan
setelah ada suatu kesepakatan tertulis, walaupun mungkin dalam bentuk yang sangat
sederhana antara pihak kreditur sebagai pemberi kredit dan pihak debitur sebagai
penerima kredit. Calon debitur cenderung menyetujui isi perjanjian yang telah ditetapkan
oleh pihak bank atau finance. Perjanjian kredit tersebut menggunakan jaminan atau
agunan.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa: Bank
atau Finance adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
kredit atau bentuk-bentuk lainya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 .
Seorang debitur gelap seperti nasabah yang meminjam BPKB kepada seseorang
untuk digadaikan kepada Finance atau bank demi kepentingan sendiri dan merugikan
pihak yang mempunyai kendaraan tersebut, atau jika seorang debitur yang belum
melunasi hutangnya (kredit macet) dengan menggunakan jaminan BPKB dan kendaraan
tersebut dipindah tangankan, menggadaikan, atau menyewakan obyek Fidusia dengan
tanpa izin tertulis dari Finance.2

Latar Belakang Masalah


Agar batasan penulisan ini terarah dan menjadi lebih jelas maka perlu dirumuskan
permasalahan yang akan Peneliti kaji, yaitu sebagai berikut:

1
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (2) Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan.
2
Anggita, F. (2023). PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA TANPA
SEPENGETAHUAN KREDITUR DALAM TRANSAKSI LEASING MOBIL MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF (Studi di Clipan Finance Bandar Lampung) (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG

1
1. Bagaimana hukum memindahtangankan jaminan kredit yang dilakukan
nasabah?

PEMBAHASAN

Salah satu gagasan terpenting dalam hukum kontrak adalah kebebasan berkontrak.
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah kemampuan untuk memilih bentuk
dan isi suatu perjanjian, asalkan tidak melanggar kesusilaan, hukum, atau ketertiban
umum. Para pihak dalam perjanjian ini bebas, namun hanya dalam arti bahwa mereka
selalu mempunyai hak untuk bergerak dengan cara yang masuk akal dan sesuai dengan
hukum.3 Kemampuan untuk mengadakan kontrak dan membuat perjanjian secara bebas
tidak sama dengan kebebasan berkontrak; sebaliknya, ini berarti bahwa agar suatu
kontrak atau perjanjian menjadi sah, persyaratan tertentu harus dipenuhi. Sebagaimana
yang diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
yang menyatakan bahwa pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.4
Sedangkan jaminan Fidusia sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 merupakan hak jaminan atas suatu benda yang bergerak baik berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan.5 Sebagaimana yang dimaksud pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 mengenai hak tanggungan yang tetap dalam penguasaan pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu dan memberikan kedudukan yang
diutamakan terhadap kreditur lainnya.6 Sertifikat fidusia yang diresmikan oleh notaris
dapat memuat janji-janji fidusia yang dibuat dan dipertegas. Baik peminjam maupun
pemberi pinjaman dapat menggunakan sertifikat ini sebagai perlindungan, karena
mengetahui bahwa keduanya tidak akan dirugikan. Jika peminjam tidak mampu
membayar kembali pinjamannya, keberadaan sertifikat fidusia dapat memberikan
3
Saisab, R. V. (2021). Kajian Hukum Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku. LEX PRIVATUM,
9(6).
4
Hayati, N. (2016). Aspek Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lex Jurnalica, 13(2),
5
Nusantara, N. P. T. P. (2018). Eksekusi dan pendaftaran objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2(02),
6
Winarno, J. (2013). Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia. Jurnal Independent,
1(1),

2
landasan dan kewenangan hukum kepada pemberi pinjaman untuk mengklaim kembali
asetnya. Pemberi pinjaman dan pihak-pihak lain yang terlibat juga dapat mengambil
keuntungan dari bantuan otoritas hukum dalam melaksanakan eksekusi. Lain lagi bagi
mereka sebagai peminjam, sertifikat ini dapat menjadi satu bentuk perlindungan dari
adanya kemungkinan tindakan berlebihan yang bisa saja dilakukan oleh pemberi
pinjaman.7
Pada sertifikat Fidusia, syarat serta kondisi terkait proses eksekusi atau penyitaan ini
sudah diatur sesuai dengan perhitungan yang tepat. Seperti contohnya, terkait dengan
jumlah utang minimal yang harus dibayarkan agar status kepemilikan benda dapat
menjadi milik peminjam kembali8
Meskipun demikian, terdapat banyak contoh saat debitur menjual atau mengalihkan
agunan dari perjanjian kreditnya.. Apabila objek jaminan Fidusia dipindahtangankan
oleh debitur kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur terlebih dahulu, maka terhadap
debitur tersebut apakah terancam sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ataukah ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Fidusia, lalu kapankah terhadap debitor dapat dikenakan Pasal
penggelapan dalam KUHP dan kapankan debitur dapat dijerat penggelapan berdasarkan
Undang-Undang Fidusia.9
Hukum Memindahtangankan Jaminan Kredit yang Dilakukan Nasabah
Meskipun suatu perjanjian memenuhi syarat-syarat sah, ia tidak dapat dilaksanakan
sesuai dengan perjanjian karena beberapa alasan. Tidak ada prosedur khusus untuk
mengeksekusikan objek perjanjian, jadi jika ada sengketa, harus diajukan di pengadilan
sesuai dengan prosedur umum.10 Ini pastinya akan banyak menghabiskan waktu dan biaya,
di samping hasilnya yang kurang memuaskan tidak seperti yang diharapkan. Sewa-beli
adalah masalah perjanjian dalam ruang lingkup hukum perdata, tetapi permasalahan
muncul dan menjadi perkara pidana karena adanya etikat tidak baik dari pembeli, dimana
barang yang menjadi objek sewa beli, dijual, dialihkan atau bahkan dibawa lari dan barang
sudah diganti atau ditukar.11

7
Firmansyah, A. (2019). Analisis Kredit Bermasalah Dilihat Dari Standar Non Performing Loan (NPL) Pada PT.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Prima Mulia Anugrah Cabang Padang
8
Rizqita, E. (2020). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH ATAS PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
PADA PRODUK PEMBIAYAAN DI PERBANKAN SYARIAH (Studi Kasus Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Al-
Salaam) (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
9
Gatot Supramono, S. H. (2014). Perjanjian utang piutang. Kencana.
10
Anggraeny, I., & Al-Fatih, S. (2020). Kata Sepakat Dalam Perjanjian Dan Relevansinya Sebagai Upaya
Pencegahan Wanprestasi. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1)

3
Perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa menyatakan bahwa barang yang
dibeli hanya boleh dipinjam pakai. Ini berarti bahwa penjual sewa memiliki kepemilikan
barang tersebut. Dengan demikian, pembeli sewa tidak boleh memindahtangankannya
kepada pihak lain tanpa izin penjual sewa.12
Lembaga pembiayaan tersebut sangat dirugikan jika barang yang menjadi objek kredit
digelapkan. Sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian dan selama waktu tertentu,
masyarakat memberikan kredit kepada perusahaan pembiayaan dengan sistem pembayaran
angsuran yang besar. Namun, setelah perjanjian kredir berakhir, banyak komunitas
menjadi kriminal karena tidak memenuhi kewajiban mereka untuk membayar angsuran.
bahkan menjual, menggadaikan, menukar, atau menyewakan barang kredit tanpa
sepengetahuan perusahaan. Perbuatan ini dikatakan sebagai kejahatan penggelapan yang
sangat merugikan perusahaan pembiayaan.13
Karena adanya perubahan dari hukum perdata ke hukum pidana, maka penggelapan
barang yang masih menjadi kewenangan dan milik orang lain atau lembaga yang berbadan
hukum menjadikan perkara menjadi bias. Terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu
pelanggaran hukum antara penjamin dan kreditur. Jika kemudian diketahui bahwa pihak
pembeli sewa melanggar ketentuan ini, hukum fidusia dapat membawanya ke tuntutan
pidana. karena penyalahgunaan hak istimewa atau kepercayaan seseorang.14
Pasal 372 KUHP mendefinisikan penggelapan sebagai setiap orang dengan sengaja
dan melawan hukum yang tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerimanya,
secara palsu mengklaim sebagai miliknya sendiri suatu barang yang berada dalam
penguasaannya tetapi menjadi milik orang lain. Ancaman pidana penggelapan maksimal
empat tahun penjara dan denda paling banyak Rp60.000 (enam puluh ribu rupiah).
Kemampuan serupa juga diberikan kepada pemberi fidusia melalui Pasal 36 Undang-
Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 yang memperbolehkan mereka untuk
mengalihkan, mengalihkan, atau menyewakan barang yang dijadikan jaminan fidusia

11
Hakim, L., & Yunita, Y. (2023). Analisa Hubungan Hukum Penyedia Barang/Kendaraan (Dealer) dengan
Perusahaan Pembiayaan Apabila Terjadi Penggelapan Kendaraan oleh Konsumen. JIM: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 8(2),
12
Alif, A. Tinjauan Hukum Tindak Pidana Terhadap Objek Sewa Beli Pada Lembaga Pembiayaan (Studi Pada PT
Federal International Finance Cabang Palu) (Doctoral dissertation, Tadulako University
13
Purwoto, R., & Febriansyah, F. P. (2016). Tinjauan Yuridis Kasus Pengalihan Barang Jaminan Fidusia dari
Sudut Hukum Pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Jepara No. 320/pid. sus/2011/pn. jpr Jo No.
101/pid/2012/Pt. smg Jo N. Diponegoro Law Review, 5(2),
14
Oktarina, S. (2016). TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN MOBIL YANG MENJADI JAMINAN
LEASING PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN DITINJAU DARI PASAL 372 DAN PASAL 64 Ayat 1 KUHP”(Studi Kasus
Putusan No. 345/Pid. B/2014/PN. Dpk). Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Vol, 3(1),

4
sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) peraturan perundang-undangan. Selanjutnya menurut Pasal
36 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, seorang pemberi
Fidusia yang tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima Fidusia,
memindahtangankan, mengalihkan, memindahtangankan, atau menyewakan benda yang
menjadi objek jaminan Fidusia sebagai dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) diancam dengan
pidana penjara paling lama dua (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah).15
Karena dalam prakteknya perbuatan yang dikemukakan di atas merupakan suatu
penggelapan dan pelanggaran tindak pidana di mana dalam sistematisnya barang yang
dikredit yang diambil dari toko/dealer telah mengalami proses yaitu kesepakatan dengan
akta jual beli sehingga muncul pihak ketiga yaitu lembaga pembiayaan namun dalam
perjanjian dengan akta jual-beli sebelum terjadi pelunasan barang yang menjadi objek
sewa beli tersebut barang tersebut masih dalam kekuasaan dan pengawasan pihak
pembiayaan dan si pembeli hanya memiliki hak pakai atau hak menikamti, namun terjadi
penyalahgunaan hak di mana barang yang menjadi objek sewa beli yang belum terjadi
pelunasan oleh pembeli pertama dijual tanpa melakukan penyerahan hak pembayaran
terhadap pelunasan pembayaran kepada pembeli kedua dan selanjutnya sehingga timbul
suatu wanprestasi terhadap kesepakatan perjanjian jual-beli di antara ke dua belah pihak
(pembeli pertama dengan badan pembiayaan).
Hal itu melanggar baik Pasal 372 KUHP maupun Pasal 36 Undang-Undang Fidusia
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Penggelapan, meskipun dilakukan oleh
kreditur, merupakan tindak pidana yang bersumber dari hukum perdata, khususnya
mengenai penyalahgunaan wewenang dan hak serta wanprestasi, namun dengan perbuatan
yang melibatkan turut serta, menjual, mengalihkan, atau melakukan penggelapan. adalah
tindak pidana yang melibatkan pengurusan barang kredit yang masih dalam jangka waktu
kredit.16
Sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34/KP/II/80 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli, Pasal 1 huruf (a). Akibat hukum dari bentuk
perjanjian ini adalah hak dan kewajiban atas barang tersebut tetap menjadi milik penyewa
sebagai pemilik barang, karena hak milik belum berpindah. Penyewa tidak diperkenankan

15
Raharjo, A. Y. (2020). Pengembalian Kerugian Korban Sebagai Akibat Investasi Ilegal oleh Koperasi (Doctoral
dissertation, Universitas Airlangga).
16
Sriono, S. (2019). Tanggung jawab pemberi fidusia terhadap benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit.
Jurnal Ilmiah Advokasi, 7(2)

5
mengalihkan benda yang dikuasainya karena statusnya hanya sebatas penyewa.17
Berdasarkan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor:
34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli, penyewa berada dalam bahaya.
Jual beli secara angsuran dan penyewaan (renting) Yang dimaksud dengan: Sewa-beli
adalah jual beli barang yang penjualnya menyelesaikan penjualannya dengan
memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan pembeli secara lunas sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati dan mengikat secara hukum. harga barang, dan
kepemilikan barang hanya berpindah dari penjual kepada pembeli setelah pembayaran
penuh sesuai harga yang disepakati.18 Konsekuensi hukum dari perjanjian semacam ini
adalah hak dan kewajiban atas barang tersebut masih berada pada yang menyewakan
sebagai pemilik barang, karena hak milik belum beralih. Oleh karena statusnya hanya
selaku penyewa, maka penyewa dilarang mengalihkan benda yang dikuasainya. Penyewa
terancam dengan pidana penggelapan jika dia sampai berani menjualnya.
Jual beli secara angsuran adalah jual beli barang dimana penjual melakukan penjualan
barang dengan menerima pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali
angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dengan suatu
perjanjian. Hak milik atas barang berpindah dari penjual kepada pembeli pada saat barang
diserahkan oleh penjual kepada pembeli, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 huruf (b)
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34/ KP/II/80.19 Dalam hal ini,
pembeli segera mengambil kepemilikan, dan kegagalan penjual menerima pembayaran
akan dianggap sebagai hutang. Mengalihkan perjanjian sewa-beli tanpa persetujuan lessor
adalah melanggar hukum. Sewa dapat dialihkan jika lessor menyetujuinya. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP
sebagai berikut unsurnya:
1. Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur subyektif. Dengan
sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut
oleh Sianturi sebagai berikut20: Pelaku menyadari bahwa dia secara melawan
hukum memiliki sesuatu barang. Mengetahui bahwa barang tersebut berada
dalam penguasaannya atau dikuasainya padahal bukan merupakan hasil tindak

17
Bawarodi, J. (2014). Penerapan perjanjian sewa beli di Indonesia dan akibat hukumnya. Lex Privatum, 2(3).
18
Damayanti, M. I., Surata, I. G., & Mariadi, N. N. (2013). ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN SEWA BELI MOBIL
PADA UD DAMAI MOTOR DI SINGARAJA. Kertha Widya, 1(1).
19
Musak, F. V. (2017). TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN
BERMOTOR. LEX ET SOCIETATIS, 5(5).
20
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika,
Jakarta, 1983, Hlm. 622.

6
pidana, serta menyadari bahwa sebagian atau seluruhnya milik orang lain,
merupakan kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan tersebut, menurut
Lamintang.21 Intensionalitas di sini mengacu pada keinginan pembuat untuk
mendapatkan hasil yang dilarang dari tindakannya.
2. KUHP mengartikan “penguasaan atau penguasaan secara melawan hukum”
dalam Pasal 372. Berikut penjelasan lain mengenai apa yang dimaksud dengan
penguasaan tanpa hak: Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 69
K/Kr/1959 yang diterbitkan pada 11 Agustus 1959 , kepemilikan adalah
kemampuan untuk mengatur suatu barang atas sebagian besar hak yang
dimiliki seseorang atau suatu benda. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
83 K/Kr/1956 yang dikeluarkan pada tanggal 8 Mei 1957 menyatakan bahwa
“hak-hak asasi yang dimiliki seseorang atas suatu benda tidak dapat diimbangi
dengan menguasai atau menguasainya, jika barang itu berada di bawah
penguasaannya dan tidak produk untuk tujuan kriminal, telah terlibat dalam
kepemilikan komoditas secara tidak sah.
3. Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda” menurut Sugandhi adalah sebagai
berikut22: Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti
uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang
tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang
disalurkan melalui pipa. Selain barang yang bernilai uang, pasal ini juga dapat
diterapkan pada pencurian barang tidak berharga sepanjang melanggar hak
pemiliknya. Artinya, istilah “barang” digunakan secara luas, artinya mencakup
barang berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai nilai jual, seperti gas,
listrik, dan barang lainnya.
4. Pasal 372 “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh
Sianturi bahwa “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku. Selanjutnya
menjelaskan bahwa23: Barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya
ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut.

21
Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatankejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989,
Hlm. 105.
22
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Jakarta, 1980, Hlm. 376.
23
Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983, hlm. 622.

7
Benda itu tidak perlu berada di tangan seseorang; bisa juga berada di tangan orang lain
jika sudah diberikan kepada mereka dan mereka yakin mereka punya kendali atasnya. Jadi
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada
padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundang-undanganan yang
berlaku seperti:
a. Peminjaman;
b. Penyewaaan;
c. Sewa-beli;
d. Penggadaian;
e. Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh sipenjual;
f. Penitipan;
g. Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal yang
tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya:
1) Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat
umum, dan sebagainya;
2) Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di mobil
seseorang ketika ia bertamu;
3) Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak
disadarinya dan lain sebagainya. Hal tersebut berarti bahwa apabila
barang tersebut secara keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak
dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah sebagian atau
seluruhnya milik orang lain.
5. Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan
oleh Lamintang bahwa24: menunjukkan adanya hubungan yang asli dan
langsung antara pelaku dan objek sasaran. Oleh karena itu, tidak dapat
dikatakan bahwa benda tersebut melakukan penggelapan apabila diperoleh
dengan cara mencuri dari orang lain tanpa izin; melainkan akibat pencurian,
yang merupakan jenis tindak pidana lain.
Perbuatan-perbuatan berikut ini termasuk tindak pidana: debitur dengan sengaja dan
sengaja menggelapkan kendaraan yang sebagian atau seluruhnya bukan milik debitur, dimana
kendaraan tersebut diperoleh bukan melalui tindak pidana melainkan melalui permohonan
kredit yang disetujui oleh kreditur; Tindakan tersebut antara lain berupa pengalihan
kendaraan dalam bentuk gadai atau penjualan kendaraan yang masih dijadikan agunan.
24
Lamintang, Op.Cit. Hlm. 106.

8
Karena ternyata kendaraan itu belum seluruhnya menjadi milik debitur sampai lunas
pelunasannya, maka debitur yang menggelapkan kendaraan bermotor yang terikat dengan
perjanjian sewa-beli dapat dituntut atas kejahatannya.
Kesimpulan

Pasal 372 KUHP dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8
Mei 1957, keduanya menyatakan bahwa “penguasaan, yaitu menguasai suatu barang,
bertentangan dengan sifat hak yang dimiliki seseorang atas barang-barang itu”, serta Pasal 36
UU No. UU Fidusia no. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, yang didasarkan pada penelitian
terhadap hukum yang berkaitan dengan nasabah yang mengalihkan jaminan kredit.
Untuk tujuan utama, Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur bahwa
jaminan Fidusia tetap berada pada benda yang menjadi jaminan Fidusia di tangan siapa pun
benda itu, kecuali pemindahtanganan barang persediaan yang menjadi objek jaminan Fidusia.
Kreditur berhak mengeksekusi jika debitur mengingkari janjinya, meskipun benda jaminan
fidusia sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain. Hal ini dikenal dengan prinsip
“droit de suite”. Jadi, dengan asumsi bahwa jaminan Fidusia ini telah didaftarkan ke Kantor
pendaftaran Fidusia, perusahaan tetap dapat mengeksekusi (menarik) benda atau agunan yang
menjadi jaminan Fidusia tersebut dari pihak ketiga, jika memang berdasarkan perjanjian
kredit yang menjadi dasar perjanjian Fidusia ini, debitur telah cidera janji/wanprestasi
(terdapat di Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia).

9
DAFTAR PUSTAKA

Alif, A. Tinjauan Hukum Tindak Pidana Terhadap Objek Sewa Beli Pada Lembaga
Pembiayaan (Studi Pada PT Federal International Finance Cabang Palu)
(Doctoral dissertation, Tadulako University
Anggita, F. 2023. PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PENGALIHAN OBJEK
JAMINAN FIDUSIA TANPA SEPENGETAHUAN KREDITUR DALAM
TRANSAKSI LEASING MOBIL MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF (Studi di Clipan Finance Bandar Lampung) (Doctoral dissertation, UIN
RADEN INTAN LAMPUNG
Anggraeny, I., & Al-Fatih, S. (2020). Kata Sepakat Dalam Perjanjian Dan Relevansinya
Sebagai Upaya Pencegahan Wanprestasi. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1).
Bawarodi, J. (2014). Penerapan perjanjian sewa beli di Indonesia dan akibat hukumnya. Lex
Privatum, 2(3).
Damayanti, M. I., Surata, I. G., & Mariadi, N. N. (2013). ASPEK-ASPEK HUKUM
PERJANJIAN SEWA BELI MOBIL PADA UD DAMAI MOTOR DI
SINGARAJA. Kertha Widya, 1(1).
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Storia Grafika, Jakarta.
Firmansyah, A. (2019). Analisis Kredit Bermasalah Dilihat Dari Standar Non Performing
Loan (NPL) Pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Prima Mulia Anugrah
Cabang Padang.
Gatot Supramono, S. H. (2014). Perjanjian utang piutang. Kencana.
Hakim, L., & Yunita, Y. (2023). Analisa Hubungan Hukum Penyedia Barang/Kendaraan
(Dealer) dengan Perusahaan Pembiayaan Apabila Terjadi Penggelapan Kendaraan
oleh Konsumen. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 8(2).
Hayati, N. (2016). Aspek Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lex Jurnalica, 13(2).
Lamintang, 1989, Delik-delik Khusus Kejahatankejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar
Baru, Bandung.
Musak, F. V. (2017). TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-
BELI KENDARAAN BERMOTOR. LEX ET SOCIETATIS, 5(5).

10
Nusantara, N. P. T. P. (2018). Eksekusi dan pendaftaran objek jaminan fidusia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Udayana, 2(02),
Oktarina, S. (2016). TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN MOBIL
YANG MENJADI JAMINAN LEASING PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN
DITINJAU DARI PASAL 372 DAN PASAL 64 Ayat 1 KUHP”(Studi Kasus
Putusan No. 345/Pid. B/2014/PN. Dpk). Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika
Masalah Hukum dan Keadilan Vol, 3(1).
Purwoto, R., & Febriansyah, F. P. (2016). Tinjauan Yuridis Kasus Pengalihan Barang
Jaminan Fidusia dari Sudut Hukum Pidana (Studi Kasus Pengadilan Negeri Jepara
No. 320/pid. sus/2011/pn. jpr Jo No. 101/pid/2012/Pt. smg Jo N. Diponegoro Law
Review, 5(2).
R. Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Jakarta.
Raharjo, A. Y. (2020). Pengembalian Kerugian Korban Sebagai Akibat Investasi Ilegal oleh
Koperasi (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Rizqita, E. (2020). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH ATAS PELAKSANAAN
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA PRODUK PEMBIAYAAN DI
PERBANKAN SYARIAH (Studi Kasus Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Al-
Salaam) (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta).
Saisab, R. V. (2021). Kajian Hukum Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam
Perjanjian Baku. LEX PRIVATUM, 9(6).
Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta.
Sriono, S. (2019). Tanggung jawab pemberi fidusia terhadap benda jaminan fidusia dalam
perjanjian kredit. Jurnal Ilmiah Advokasi, 7(2).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (2) Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

11

Anda mungkin juga menyukai