Anda di halaman 1dari 9

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK

2021/2022
MATA UJIAN : PENALARAN HUKUM
JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2021/2022

Nama : Bagus Suryanto


NRP : 120119249
Kelas Paralel : A
Nomor Urut : 27

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
DESEMBER 2021
LATAR BELAKANG
Dalam membangun perekonomian, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
jaminan fidusia merupakan salah satu upaya demi mencapai masyarakat yang adil dan
makmur. Sebagai pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik
perseorangan maupun badan hukum, tentu memerlukan dana yang besar. Tan Kamello (2014)
dalam bukunya Hukum Jaminan Fidusia mengatakan bahwa Jaminan fidusia ini digunakan
secara luas dalam transaksi perkreditan karena proses pembebanannya dianggap sederhana,
mudah dan cepat. Sebagai jaminan kebendaan, dalam praktiknya, fidusia sangat digemari dan
populer sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan jaminan
fidusia berbeda dengan gadai. Pada gadai, benda jaminan harus diserahkan di bawah
kekuasaan kreditur (pemegang gadai), sedang dalam fidusia yang diserahkan adalah hak
milik atas benda jaminan, benda jaminan itu sendiri tetap dikuasai oleh debitur (penyerahan
semacam ini disebut constitutum possessorium).

Sehubungan dengan jaminan fidusia terdapat suatu kasus hukum yakni PT Delta
bermaksud meminjam uang kepada beberapa bank diantaranya :

1. Bank A senilai Rp.200.000.000;


2. Bank B senilai Rp.500.000.000;
3. Bank C senilai Rp.300.000.000.

Perjanjian kredit kepada masing-masing bank tersebut dibuat tersendiri. Atas kredit kepada
semua bank diberikan jaminan yang sama yaitu :

1. Stock barang persediaan berupa baju batik yang terletak di gudang berlokasi di
Surabaya dengan nilai objek Rp. 900.000.000,-, dan nilai penjaminan
Rp.900.000.000,-
2. Piutang dagang senilai Rp. 500.000.000,- dengan nilai penjaminan Rp.500.000.000,-

Mengingat jaminan fidusia tidak dapat dilakukan pengulangan atas objek yang sama untuk
lebih dari satu kreditur, maka apa yang harus dilakukan oleh PT Delta dan bank tersebut agar
penjaminan tersebut tetap dapat dilakukan dan para bank tetap berposisi sebagai kreditur
preferen atas objek jaminan tersebut.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
A. Bagaimana hal yang dapat dilakukan oleh PT Delta dan Bank agar penjaminan
tersebut tetap dapat dilakukan dan para Bank dapat tetap berposisi sebagai kreditur
preferen atas objek jaminan?

PEMBAHASAN

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya; Sepakat, artinya terjadi kesesuaian


kehendak antara para pihak. Kesesuaian kehendak ini terjadi pada saat melakukan
negosiasi penawaran telah diterima. Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun
terjadi penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun
kekhilafan dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi
perjanjian, maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan.
2. Cakapnya para pihak yang membuat perjanjian; Cakap, maksudnya bahwa para pihak
yang membuat perjanjian apabila orang-perorangan harus sudah dewasa, sehat akal-
fikir, dan tidak di bawah perwalian/pengampuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi,
maka statusya juga dapat dibatalkan.
3. Objek yang diperjanjikan harus tertentu; Objek yang diperjanjian adalah hal tertentu
maksudnya isi perjanjian harus jelas spesifikasinya, sehingga objeknya mudah
diidentifikasi keberadaannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian
adalah batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga
tidak dapat dilaksanakan, dan kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di
pengadilan.
4. Hal yang diperjanjikan adalah halal. Hal yang halal, artinya objek yang diperjanjian
tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan kesusilaan. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga
batal demi hukum.

Kemudian Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur, semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Subekti (1982 : 82) mengatakan bahwa dalam fidusia terkandung kata fides berarti
kepercayaan, pihak berutang percaya bahwa yang berpiutang memiliki barang itu hanya
untuk jaminan. Selanjutnya, Subekti menjelaskan arti kata fiduciair adalah kepercayan yang
diberikan secara timbal balik oleh satu pihak kepada pihak lain, bahwa apa yang keluar
ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya (ke dalam, intern) hanya suatu jaminan
saja untuk suatu barang (R. Subekti, 1978 : 76).

Pengertian fidusia terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang memberikan pengertian
fidusia adalah:

“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda”.

Sedangkan pengertian jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang memberikan
pengertian jaminan fidusia adalah:

“Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditur lainnya”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia merupakan Pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda yang bersifat memberi jaminan
pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur.

Menurut Munir Fuady (2000) dalam bukunya jaminan fidusia, terdapat 3 fase dalam
jaminan fidusia yaitu sebagai berikut :

1) Fase pertama yaitu : Fase perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst).


Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir
(obligatoir overeenkomst). Perjanjian (overeenkomst) tersebut berupa
perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia diantara pihak pemberi Fidusia
(debitor) dengan pihak penerima Fidusia (kreditor).
2) Fase kedua yaitu : Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Selanjutnya
diikuti oleh suatu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Perjanjian
kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitor kepada kreditor,
dalam hal ini dilakukan secara constitutum prosessorium, yaitu penyerahan
hak milik tanpa menyerahkan fisik benda.
3) Fase ketiga yaitu : Fase Perjanjian pinjam pakai. Dalam fase ketiga ini
dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini benda objek Fidusia yang hak miliknya
sudah berpindah kepada pihak kreditor dipinjampakaikan kepada pihak
debitor, sehingga praktis benda tersebut setelah diikat dengan jaminan fidusia
tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitor.

Dwi Tatak Subagiyo (2018) dalam bukunya Hukum Jaminan Dalam Perspektif
Undang-Undang jaminan Fidusia menyimpulkan bahwa dasar hukum dari Fidusia adalah
suatu perjanjian yakni perjanjian fidusia perikatan yang menimbulkan fidusia. Perjanjian
fidusia ini mempunyai karakteristik yaitu antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia
terdapat suatu hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditor untuk meminta
penyerahan barang jaminan dari debitor (secara constitutum posessorium). Perikatan tersebut
adalah perikatan untuk memberikan sesuatu karena debitor menyerahkan suatu barang (secara
constitutum posessorium) kepada kreditor. Berdasarkan yang diatur oleh Pasal 4 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Perikatan
dalam rangka pemberian fidusia merupakan perikatan yang assessoir, yakni merupakan
perikatan yang membuntuti perikatan lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang-
piutang. Kemudian Dwi Tatak Subagiyo menekankan bahwa Perjanjian fidusia merupakan
perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam perjanjian tak bernama (onbenoem de
overeenkomst). Sehingga perjanjian fidusia tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari
perikatan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari
satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut.
pemberian fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan kredit
konsorsium. Konsorsium adalah pembiayaan bersama suatu proyek atau perusahaan yang
dilakukan oleh dua atau lebih bank atau lembaga keuangan.

Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia sebagaimana diatur oleh Pasal 5 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Kemudian
benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan kepada kantor
pendaftaran fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik
Indonesia dan berada di lingkup tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagaimana yang diatur pada Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia
dilakukan oleh Penerima Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerimaan Fidusia, kuasa atau
wakilnya.

Oleh karena itu, bedasarkan yang diatur pada pasal 17 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Pemberi Fidusia dilarang
melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah
terdaftar. Fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun penjamin pihak ketiga ini,
tidak memungkinkan atas Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia karena hak
kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia.

Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak yang
didahulukan adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Kreditor yang piutangnya dijamin
dengan jaminan fidusia dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang
tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi
agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian
piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan
atas piutangnya seperti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 138 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang juncto Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia.

Kemudian Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999


Tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa Apabila atas Benda yang sama menjadi objek
Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan,
diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia

Didalam kasus PT Delta yang meminjam uang kepada beberapa bank yakni Bank A,
Bank B, dan Bank C dengan perjanjian kredit kepada masing-masing bank tersebut dibuat
tersendiri. Maka yang dapat dilakukan oleh PT Delta agar penjaminan tersebut tetap dapat
dilakukan adalah dengan cara membatalkan perjanjian kredit kepada masing-masing bank
dan digantikan dengan hanya satu perjanjian kredit saja, karena sebagaimana yang diatur oleh
pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia yakni, Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Namun tetap memperhatikan
persetujuan diantara kedua belah pihak seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan mengikuti peraturan dalam Pasal 8 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Jaminan
Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan
kredit konsorsium, dengan begitu PT Delta dapat melakukan perjanjian kredit kepada ketiga
bank tersebut dan PT Delta dapat memenuhi pembiayaan perusahaannya. Di dalam isi
perjanjian yang baru tersebut PT Delta melakukan perjanjian jaminan fidusia bersama dengan
Bank A, Bank B, dan Bank C.

Para Bank yakni Bank A, Bank B, dan Bank C, semuanya tidak dapat menjadi
kreditor preferen karena PT Delta melakukan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia
kepada masing-masing bank tersebut dibuat tersendiri dan pada dasarnya menurut Pasal 28
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,
apabila atas Benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian
Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan diberikan kepada pihak yang lebih dahulu
mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sehingga hanya satu dari ketiga bank
tersebut yang akan menjadi kreditor preferen, yaitu bank yang lebih dahulu mendaftarkan
pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Didalam kasus tersebut tidak begitu dijelaskan Bank mana
yang terlebih dahulu melakukan pendaftaran. Apabila perjanjian kredit dengan jaminan
fidusia dilakukan menggunakan 1 (satu) perjanjian kredit dengan jaminan fidusia saja maka
ketiga bank tersebut dapat menjadi kreditur preferen.

Dalam kasus ini Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
tidak memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor yang menerima pengalihan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia karena tidak ada ketentuan dan sanksi yang jelas
terhadap masalah pengalihan atau fidusia ulang ini. (Nurlia Latukau, dkk)

KESIMPULAN

PT Delta harus membatalkan perjanjian kredit dari setiap perjanjian kredit dengan
jaminan fudisia sebelumnya, dan menggantinya dengan dengan hanya satu perjanjian kredit
saja. dengan begitu PT Delta dapat melakukan perjanjian kredit kepada ketiga bank tersebut
dan PT Delta dapat memenuhi pembiayaan perusahaannya. Para Bank yakni Bank A, Bank
B, dan Bank C, semuanya tidak dapat menjadi kreditor preferen karena PT Delta melakukan
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia kepada masing-masing bank tersebut dibuat
tersendiri. Hanya satu dari ketiga bank tersebut yang akan menjadi kreditor preferen, yaitu
bank yang lebih dahulu mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Namun, Apabila
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia dilakukan menggunakan 1 (satu) perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia saja maka ketiga bank tersebut dapat menjadi kreditur preferen.

SARAN

Dalam hal tidak adanya perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia terhadap kreditor yang menerima pengalihan atau pembebanan
fidusia ulang atas dirinya, maka harus diadakan suatu perangkat hukum baru yang mengatur
secara tegas perlindungan hukum atas para kreditor. sehingga, tidak hanya kreditor yang
pertama kali mendaftarkan objek jaminan fidusia saja yang mendapat perlindungan hukum,
namun seluruh kreditor juga bisa mendapatkan perlindungan.
DAFTAR PUSTAKA

Kamello, Tan. 2014. Hukum Jaminan Fidusia. Bandung:Alumni.

Subekti, R. 1978. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.


Bandung:Alumni.

Subekti, R. 1982. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta:Rajawalipers.

Munir, Fuady. 2000. Jaminan Fudisia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Subagiyo, Dwi Tatak. 2018. Hukum Jaminan Dalam Perspektif Undang Undang Jaminan
Fidusia (Suatu Pengantar). Surabaya: UWKS Press.

Latukau, Nurlia. 2015. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Atas Objek Jaminan Fidusia
Yang Dibebani Fidusia Ulang Oleh Debitor Yang Sama”, Jurnal Hukum
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1349/1243, diakses
tanggal 8 Desember 2021 pukul 10.36.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Anda mungkin juga menyukai