Anda di halaman 1dari 132

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta

perhatian serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan.1 Hukum

Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan perbankan.

Dibidang perbankan kaitan ini terletak pada fungsi perbankan yakni penghimpun

dan penyalur dana bagi masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan

kredit. Kredit merupakan faktor pendukung bagi pembangunan ekonomi. Ini berarti

perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan, seperti

perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya.2

Perkreditan memberikan dukungan kepada ekonomi lemah dan para

pengusaha dalam mengembangkan usahanya. Bagi perbankan, setiap kredit yang

disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung resiko. Oleh karena itu, perlu

unsur pengamanan, yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam pemberian

kredit di samping unsur keseimbangan dan keuntungan. Bentuk pengamanan

kredit dalam praktek perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan.

Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif

adalah jaminan fidusia, sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia

banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya fidusia didasarkan

kepada yurisprudensi, sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam undang-undang

tersendiri.3

1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1.
2 H. Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni:
Bandung, 2004, hal. 1
3 Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun
1985 dan UU No. 4 Tahun 1992.

1
2

Istilah Fidusia barasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie dan dalam bahasa

Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam

berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah Fiduciare eigendom

overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan. Dalam

Bahasa Belanda disebut juga dengan Zekerheids eigendom artinya hak milik

sebagai kepercayaan.

Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti

kepercayaan. Sesuai dengan arti kata, maka hubungan hukum antara debitur

(pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum

yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia

mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi

utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan

menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

Menurut Mahadi “fidusia” berasal dari bahasa latin yang artinya kepercayaan

tehadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Juga ada kata “fido”

yang merupakan kata kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu.4

Subekti menjelaskan arti kata “fiduciair” adalah kepercayaan yang diberikan

secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa apa yang keluar

ditampakkan sebagai pemindahan milik, hanya suatu jaminan saja untuk suatu

utang.5

Fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang

memiliki dua pengertian yakni sebagai kata kerja dan kata sifat. Sebagai kata

benda, istilah fidusia mempunyai arti seorang yang diberi amanah untuk mengurus

4 Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN: 1981, hal. 61.
5 R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni:
Bandung, 1982, hal. 76.
3

kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati

dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban melakukan

perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat istilah fidusia menunjukkan

pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).

Di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia dijumpai, pengertian fidusia yaitu: “Pengalihan hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda

yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik

benda”.

Pengertian pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak

kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan,

dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan

pemberi fidusia. Jadi fidusia itu merupakan suatu cara pemindahan hak milik dari

(debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada

kreditur, tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridis levering dan

hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang

debitur), barangnya tetap dikuasai oleh debitur.

Bentuk rincian dari constitutum Prossesorium (penyerahan kepemilikan benda

tanpa penyerahan fisik benda sama sekali), fidusia ini pada prinsipnya dilakukan

melalui proses tiga fase yaitu:

• “Fase I: Fase perjanjian obligatoir (obligatoir overeenskomst)


Yaitu berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia antara pihak
pemberi fidusia dengan pihak penerima fidusia.
• Fase II: Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst)
Yaitu perjanjian berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur,
dalam hal ini dilakukan dengan penyerahan hak milik tanpa penyerahan
fisik benda (constitutum prossessorium).
4

• Fase III: Fase perjanjian pinjam pakai


Dalam hal ini benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah
kepada pihak kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga
praktis benda tersebut, setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja
dikuasai secara fisik oleh pihak debitur”.6

Perkembangan fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, pengakuan

fidusia dalam yurisprudensi sampai diaturnya jaminan fidusia dalam undang-undang.

Pada awalnya, lembaga fidusia dikenal dalam hukum Romawi dengan nama

Fidusia Cum Creditore dengan nama lengkapnya adalah Fiducia Cum Creditore

Contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan

bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur

sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan

mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah

dibayar lunas. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki

oleh kreditur akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan

sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan

wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan

secara moral saja dan bukan kekuatan hukum yang pasti. Debitur tidak akan dapat

berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang

yang diserahkan sebagai jaminan.

Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara Aw de Haan V. Heinken

Bierbrouwerij Maafschappij tanggal 25 Januari 1929 fidusia telah diakui sebagai

lembaga jaminan dengan objek benda berupa inventaris perusahaan. Putusan

Hooge Raad tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di

Belanda. Fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil penemuan

hukum oleh hakim (recthvinding), sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai
6 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2003, hal. 5-6.
5

(pand) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.7

Menurut Sri Soedewi latar belakang timbulnya jaminan fidusia adalah

“Karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai (pand)

mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan

tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat”.8 Dan Menurut Salim HS gadai

mempunyai beberapa hambatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang

meliputi:

1. Adanya asas inbezitstelling


Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada
pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi
gadai atas benda-benda bergerak berujud, karena pemberi gadai tidak dapat
menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya.
2. Gadai atas surat-surat piutang
Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena:
1. Tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang
oleh si pemegang gadai.
2. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu
harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara pemberitahuan tentang
adanya gadai piutang-piutang tersebut kepada si debitur surat utang.
3. Ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat,
sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain,
yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pada
pemegang gadai”.9

Menurut Munir Fuady ada beberapa hal yang mendasari lahirnya jaminan

fidusia, antara lain:

1. Dalam praktek terdapat kasus dimana benda yang menjadi objek jaminan
utang adalah tergolong benda bergerak tetapi pihak debitur enggan
menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada kreditur, sementara
kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika benda

7 Menurut Pasal 1512 KUHPerdata, Dalam Perjanjian Gadai, Objek Gadai Harus Berada Dalam
Kekuasaan Kreditur.
8 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya
Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta: 1977, hal. 115-116.
9 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004,
hal. 57-58.
6

tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk


jaminan utang yang objeknya benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan
kekuasaan atas benda itu kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan
jaminan fidusia.
2. Adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hak
tanggungan, misalnya hak pakai atas tanah. Sehingga hak pakai atas
tanah tersebut diikat dengan jaminan fidusia.
3. Ada benda-benda yang sebenarnya termasuk benda-benda bergerak
tetapi mempunyai sifat-sifat seperti benda tidak bergerak sehingga
pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup, terutama karena adanya
kewajiban menyerahkan kekuasaan dari jaminan tersebut. Karena itu
jaminan fidusia menjadi pilihan.
4. Perkembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu tidak selamanya
dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak
atas benda yang sebenarnya tidak bergerak tetapi tidak dapat diikatkan
dengan hipotik.
5. Adakalanya pihak kreditur dan debitur tidak keberatan agar diikatkan
jaminan utang berupa gadai, tetapi benda yang dijaminkan karena
sesuatu hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada kreditur,
misalnya saham yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu timbul
fidusia saham”.10

Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktik timbul lembaga

baru yaitu fidusia. Selain fakta di atas yang melatar belakangi lahirnya UU No. 42

Tahun 1999 tentang Fidusia berdasarkan keadaan sekarang, tercantum dalam

konsiderannya yaitu:

1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas

tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang

jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.

2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada yurisprudensi.

3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi

pihak yang berkepentingan

Di Indonesia, kasus jaminan fidusia untuk pertama kali diputus oleh

Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij

(BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah

10 Munir Fuady, op. cit., hal. 2-3.


7

benda bergerak/mobil. Hooggerechtschof dengan arrestnya tanggal 16 Februari

1933 menetapkan bahwa hak grant (grant recht) dapat dijadikan objek jaminan

fidusia.

Dalam bidang perundang-undangan, perkembangan objek fidusia dapat dilihat

setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. “Menurut Undang-Undang

Pokok Agraria, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan

hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha”.11

Dalam surat Direktur Jenderal Agraria No.D1133/73/3/73 tanggal 26 Maret

1973 dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik

(sekararang hak tanggungan). Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga

fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan atas bangunan di atas tanah hak

sewa.12

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Undang-Undang

Rumah Susun, objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang

didirikan diatas tanah hak pakai atau tanah negara.13 Dalam UU No. 4 Tahun 1992

Tentang Perumahan dan Pemukiman, objek fidusia adalah rumah, tidak diatur

secara rinci apakah rumah itu didirikan di atas suatu jenis hak atas tanah tertentu.14

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Rumah Susun yang menegaskan

objek jaminan fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam Undang-Undang

Perumahan dan Pemukiman No. 4 Tahun 1992 yang diutamakan sebagai jaminan

utang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah. Sejak keluarnya UU No. 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan, ketentuan fidusia dalam Undang-Undang Rumah

11 Lihat Pasal 25, 39, dan Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1960.


12 Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangunan-Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa, (1972) Hukum
dan Keadilan No. 3 Tahun ke III, Juni: hal. 2.
13 Lihat Pasal 12 dan 13 UU No. 16 Tahun 1985.
14 Lihat Pasal 15 dan Penjelasannya UU No. 4 Tahun 1992.
8

Susun dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan fidusia

dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman masih berlaku.15 Selanjutnya

dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, tidak

dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan utang

dengan pembebanan fidusia. Hanya saja diberlakukan ruang lingkup berlakunya

Undang-Undang Jaminan Fidusia.16

Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa:

“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan,
yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.

Jadi dapat diketahui bahwa benda-benda yang dapat dijadikan jaminan

utang dengan pembebanan fidusia meliputi benda bergerak dan benda tidak

bergerak. “Benda tidak bergerak” yang dimaksudkan ialah bangunan yang tidak

dapat dibebani dengan hak tanggungan yaitu bangunan di atas tanah hak milik

orang lain.

Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,

yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda

dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan

kenderaan bermotor. Dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka

objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas, yang antara lain terdapat

dalam ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda

15 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1992.


16 Lihat Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999, Bandingkan dengan Pengaturan Objek Hak
Tanggungan dalam Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1992.
9

yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:

1. Benda itu harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum

2. Benda berwujud dan benda tidak berwujud, termasuk piutang

3. Benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan

hak tanggungan

4. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik

5. Dapat atas satu satuan atau jenis benda dan lebih dari satu jenis atau

satuan benda

6. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia dan juga

hasil klaim asuransi objek jaminan fidusia tersebut.

7. Benda persediaan (inventory).

Hukum benda adalah sub sistem dari sistim hukum perdata nasional di satu

sisi dan di sisi lain hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan

hukum perdata nasional. Oleh karena itu penyusunan hukum benda harus

memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Hal ini penting mengingat penjelasan

Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang isinya adalah:

”Bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak

tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dapat

dijadikan objek jaminan fidusia” dan Pasal 1 angka (4) UU No. 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia yang isinya: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat

dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang

terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak

yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik”.

Fidusia memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan kredit bagi

masyarakat, khususnya perusahaan kecil dan menengah sangat membantu usaha


10

debitur. Oleh karena itu, kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda.

Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha

sehari-hari, pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan

fidusia. “Bank tidak perlu menyediakan tempat khusus barang jaminan seperti

pada lembaga gadai (pand)”.17 Dalam perjanjian gadai, barang jaminan harus

diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat 2 Kitab Undang

Undang Hukum Perdata yang isinya: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh

seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh

seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya …”.

Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang

usaha debitur. Dan “Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat

penyimpanan, khususnya bank-bank di kota besar, karena tidak adanya

gudang-gudang yang cukup luas yang mereka miliki”.18 Akibat pengaturan gadai

yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan

melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat.

Dalam UU No. 10 Tahun 1998 (UU Tentang Perubahan atas UU No. 7

Tahun 1992 Tentang Perbankan) Pasal 8 dan penjelasannya dinyatakan bahwa

pemberian kredit selalu mengandung resiko. Salah satu cara mengatasi resiko

adalah menetapkan jaminan (collateral) dalam analisis pemberian kredit.

Jaminan yang diminta bank dapat berupa jaminan pokok berupa barang

proyek (tanah dan bangunan, mesin-mesin, persediaan, piutang dagang/hak tagih,

dan lain-lain) sedangkan jaminan tambahan adalah harta kekayaan debitur.

Agunan tambahan adalah agunan yang tidak termasuk di dalam batasan agunan

17 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75.


18 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2002,
hal. 149.
11

pokok tersebut di atas. Sebagai contoh: aktiva tetap diluar proyek yang dibiayai,

surat berharga, garansi risiko, jaminan pemerintah, lembaga penjamin dan lain-lain.

Hukum jaminan yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata mengandung prinsip bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan utang

untuk segala perikatan yang dibuat19. Untuk menutupi kelemahan itu, perlu

diperjanjikan secara khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai

jaminan utang. Secara teoritis, jika seorang pemberi fidusia wanprestasi, objek

jaminan fidusia dapat dieksekusi, kalau harga jual melebihi utang debitur, kreditur

fidusia wajib mengembalikan kelebihan uang sisa penjualan kepada debiturnya.

Sebaliknya apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk membayar utang,

debitur tetap bertanggungjawab atas sisa utang tersebut.20

Menurut pihak bank, apabila ternyata objek jaminan fidusia tidak

mencukupi untuk membayar utang, bank dapat menyita barang-barang lain milik

debitur. Selain jaminan fidusia bank meminta jaminan lainnya yang diikat dengan

surat kuasa memasang hak tanggungan atau surat kuasa menjual atas hak

tanggungan, hak milik atau jaminan yang bersifat perorangan.

Tidak logis bahwa benda jaminan fidusia tidak mencukupi untuk menutupi

pembayaran utang debitur karena pada saat perjanjian kredit dengan pengikatan

jaminan fidusia, pihak bank telah melakukan analisis faktor agunan terhadap

debitur. Nilai agunan lebih besar dari pinjaman kredit yang diberikan yaitu

sebesar 50%. Oleh karena itu tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaan atas

benda-benda lainnya milik debitur. Namun asas hukum jaminan dan doktrin

hukum perdata menyatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk

19 Prinsip Hukum Jaminan tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
20 Lihat Pasal 34 UU No. 42 Tahun 1999.
12

melunasi utangnya kepada kreditur, sampai terpenuhi semua utangnya.

Dalam kasus jaminan PT Bank BRI (Persero) Tbk dengan nasabahnya

pada pengadilan negeri padangsidimpuan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, hakim telah membatalkan eksekusi jaminan yang tidak disebutkan dalam

perjanjian pokok dan juga disebabkan penjualan benda jaminan yang tidak sesuai

dengan harga pasar pada saat itu. Hakim berpendapat bahwa walaupun debitur

dinyatakan wanprestasi, sita dibatalkan dengan alasan tidak sah dan melawan

hukum. Pendapat lain menyatakan seharusnya yang boleh diminta

pertanggugjawaban hanya sebatas benda jaminan yang disebutkan dalam

perjanjian pokok dengan alasan bahwa ketika membuat perjanjian kredit, pihak

bank sudah menaksir bahwa benda agunan lebih tinggi nilainya dari jumlah

pinjaman yang diberikan

Secara teori jaminan tambahan lebih dahulu dieksekusi, jika belum cukup

untuk membayar utang sidebitur dapatlah dilakukan eksekusi terhadap jaminan

pokok, dalam proses eksekusi penjualan dilakukan sesuai dengan harga pasar

yang wajar, sehingga debitur tidak dirugikan.

Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian yang muncul karena adanya

perjanjian kredit bank (perjanjian pokok). Apabila debitur wanprestasi, bank dapat

mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang jaminan. Dalam praktik

ada kecendrungan bahwa objek jaminan fidusia akan dikuasai oleh bank, jika

debitur terbukti melakukan wanprestasi.

Jika terjadi kepailitan pada debitur, bagaimana status barang jaminan

fidusia?, apakah kreditur diakui sebagai kreditur separatis murni seperti yang

dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia dan

bagaimana dengan asas-asas hukum yang dipakai sehingga tidak tumpang tindih
13

dengan asas hukum kebendaan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia dan perlindungan hukum bagi debitur

pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk

cabang Padangsidimpuan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan

penelitian yang akan ditulis dalam sebuah tesis dengan judul: “Pelaksanaan

Perjanjian Jaminan Fidusia Pada PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang

Padangsidimpuan”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang menjadi kajian

penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada PT Bank

BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur pemberi fidusia

dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk

cabang Padangsidimpuan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Teoritis

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka penelitian

ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada PT Bank

BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap debitur pemberi fidusia

dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang
14

Padangsidimpuan.

2. Tujuan Praktis

Untuk memahami pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia dan perlindungan

hukum bagi debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia yang

berlangsung pada lingkungan PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang

Padangsidimpuan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat secara teoritis, yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Merupakan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademis serta bahan

perbandingan bagi para peneliti lainnya yang hendak melaksanakan

penelitian lanjutan, terhadap pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia.

b. Merupakan sumbangan pemikiran dalam rangka pembahasan hukum,

agar para pembuat undang-undang tidak saja memperhatikan hal-hal

yang idiil dalam pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia tetapi juga

kendala-kendala yang dihadapi di lapangan.

2. Manfaat secara praktis

a. Merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum jaminan fidusia.

b. Disamping itu penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan

masukan bagi pembentuk undang-undang dan juga kepada pihak PT

Bank BRI (Persero) Tbk dalam melaksanakan bisnisnya sehingga

benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku dan memenuhi tuntutan

masyarakat.
15

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.

1. Kerangka Teoritis

Teori yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh

perubahan hukum.21 Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum jaminan harus berlangsung

secara teratur dan diikuti dengan pembentukan hukum jaminan fidusia berjalan dari

kebiasaan kemudian diakui dalam yurisprudensi dan akhirnya ditetapkan dalam

undang-undang tersendiri.

Teori yang tepat dipakai sebagai pendukung teori perubahan masyarakat

adalah teori sistem. Menurut Lawrerence M. Friedmann, Suatu sistem hukum

terdiri dari 3 unsur yaitu: Struktur (structure), substansi (substance), dan budaya

hukum (legal Culture).22

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan

landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.23 Berdasarkan teori sistim ini,

dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan

asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib

hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi dengan ikatan asas-asas hukum

tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistem.

Mariam Darus Badrulzaman dalam Workshop Hukum Jaminan Tahun

1993 di Medan yang dikutip oleh Tan Kamelo, mengemukakan sejumlah asas-asas

hukum jaminan yang objeknya benda sebagai berikut:

“Pertama, asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah

21 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa: Bandung, 1984, hal. 102.
22 Lawrence M. Friedmann, American Law, W.W Norton dan Company: New York London,
1984, hal. 5-6.
23 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni: Bandung, 1983,
hal. 15.
16

absolute, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang
hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain
dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti
bendanya dalam tangan siapapun ia berada. Di dalam karakter ini terkandung
asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika
beberapa kebendaan diletakkan di atas suatu benda, berarti kekuasaan hak itu
ditentukan oleh urutan waktunya. Selain itu, sifat hak kebendaan adalah
memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati
dialihkan, dijaminkan, disewakan.
Kedua, asas assesoir artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang
berdiri sendiri (zelfstandingrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung
(accssotium) kepada perjanjian pokok. Ketiga, hak yang didahulukan artinya
hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang
lain.
Keempat asas asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada diatas tanah
dengan tapak tanahnya. Kelima, asas pemisahan horizontal yaitu dapat
dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan
tapaknya. Keenam, asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman
agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda.
Ketujuh, asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. Kedelapan, asas mudah
dieksekusi”.24

Dengan demikian, Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagai sub sistem

hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya, kesatuan

jaminan fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan

terhadap kumpulan unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum jaminan fidusia,

asas hukum dan pengertian hukumnya. .

Pemberian jaminan fidusia merupakan penyediaan bagian harta pemberi

fidusia untuk jaminan pemenuhan kewajibannya, artinya pemberi fidusia melepaskan

hak pemilikan secara yuridis untuk sementara. Penyerahan secara yuridis artinya

benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh pemberi fidusia agar bisnisnya

tetap berjalan. Jadi dengan demikian dalam perjanjian jaminan fidusia, konstruksi

yang terjadi adalah pemberian jaminan fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat,

sedangkan penerima fidusia sebagai pemilik yuridis.25

24 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 19-20.


25 Ibid., hal. 22.
17

Berbeda halnya dengan objek fidusia (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

No. 42 Tahun 1999), benda jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah

berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah

negara. Pembedaan hak tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah

berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah dan milik pemegang hak atas tanah tersebut.26

Secara konseptual hak tanggungan hanya dibebankan atas tanah saja, dan

benda-benda yang ada di atasnya memiliki hukum sendiri, ini berarti Undang-Undang

Hak Tanggungan menganut asas pemisahan horizontal. Pengecualian asas ini

hanya dimungkinkan apabila bangunan/rumah yang ada di atas tanah tersebut

adalah kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Pengecualian semacam ini

dibenarkan dalam teori hukum. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, antara

tanah dan bangunan/rumah yang ada di atasnya adalah terpisah dan ini sesuai

dengan asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat.

Seiring dengan perkembangan hukum, pembedaan pada benda tidak

didasarkan pada benda bergerak dan benda tidak bergerak lagi, seperti yang

terdapat dalam hukum perdata tetapi didasarkan pada benda terdaftar dan tidak

terdaftar dalam hukum jaminan.

Pendaftaran benda diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun

1961 yang diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran kenderaan bermotor,

pendaftaran kapal laut, pendaftaran pesawat terbang dan lain sebagainya. Dalam

jaminan hipotik yang menjadi objek adalah kapal yang beratnya paling sedikit

20 m3 dan telah terdaftar (Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).

Hipotik juga dapat dibebankan atas pesawat udara dan helikopter yang

telah memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Penekanan objek


26 Lihat Pasal 4 jo Penjelasan Umum angka (6) UU No. 4 Tahun 1996.
18

hipotik terletak pada aspek pendaftaran dari kapal, pesawat udara dan helikopter.

Ini menunjukkan bahwa pendaftaran memberikan fungsi yuridis untuk menetapkan

benda tersebut dianggap sebagai benda tidak bergerak yang menjadi objek hipotik.

Sebagai konsekuensinya jika pesawat udara, helikopter itu tidak terdaftar tentunya

tidak dapat dibebani dengan jaminan hipotik dan alternatif yang dapat diterapkan

adalah lembaga gadai (pand) dan jaminan fidusia.

Dengan menggunakan lembaga gadai atas kapal, pesawat dan helikopter

tentunya barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur pemegang gadai

(Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan ini sangat

merugikan debitur, alternatif jaminan yang lebih menguntungkan untuk kapal,

pesawat udara dan helikopter yang tidak terdaftar adalah jaminan fidusia (Pasal 31

UU No. 42 Tahun 1999).

Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang

dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Ini Menunjukkan jaminan

fidusia memiliki karakter assessoir (tambahan). Sebagai hak kebendaan, jaminan

fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (droit de preferent)

untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan fidusia.

Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditur-kreditur lain.

Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi (Pasal 27 UU

No. 42 Tahun 1999), hak didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena

benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit

pemberi fidusia. Dengan demikian penerima fidusia tergolong dalam kelompok

kreditur separatis.

Dalam Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa setiap

janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda
19

yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi

hukum. Dengan demikian objek jaminan fidusia tidak menjadi bagian harta pailit

penerima fidusia oleh karena hak kepemilikan atas objek jaminan fidusia tersebut

diperolehnya semata-mata sebagai jaminan

Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan

fidusia dalam buku daftar fidusia dan sekaligus untuk memenuhi asas publisitas.

Karena itu konsekuensi yuridis adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan

dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak

kebendaan yang memiliki sifat kebendaan tetapi memiliki karakter perorangan

akibatnya kreditur fidusia tidak dapat dilindungi dengan asas droit de suite dan

berkedudukan sebagai kreditur konkuren bukan kreditur preferen.

Proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai

dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan

diikuti dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia.

Tahapan proses perjanjian fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga

memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya.

2. Kerangka Konseptual

Dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi

operasional sebagai berikut:

a. Pelaksanaan adalah: perihal (perbuatan, usaha dan sebagainya)

melaksanakan (rancangan dan sebagainya)27

b. Perjanjian adalah: suatu hubungan hukum antara pemberi fidusia dengan

penerima fidusia yang terjadi di lingkungan perbankan dan notaris dalam

27 Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminto, Balai Pustaka, Jakarta, 1988. hal.
553.
20

bentuk tertulis.

c. Jaminan adalah: setiap yang diberikan oleh debitur kepada kreditur guna

menjamin dipenuhinya utang.

d. Fidusia adalah: Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.28

Jadi yang dimaksud dengan Pelaksanaan Perjanjian Jaminan Fidusia Pada

PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan adalah analisa terhadap

pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia serta perlindungan hukum terhadap

pemberi dan penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan

F. Methode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan metode penelitian

hukum empiris (socio legal research),29. Penelitian ini dilakukan untuk

mendapatkan data primer berkenaan dengan hal yang terjadi sesungguhnya

dilapangan dan dihubungkan dengan data sekunder yang diperoleh dari kasus

jaminan pada pengadilan negeri Padangsidimpuan dan data yang diperoleh dari

Bank BRI cabang Padangsidimpuan..

Penelitian ini bersifat deskriptif (descriptive research),30 yaitu suatu

penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di tempat/daerah

tertentu dan pada saat tertentu. Penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atau

28 Lihat Pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999.


29 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hal.
43.
30 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta: 2002, hal. 8-9.
21

menggambarkan secara sistematis mengenai fakta yang ada di lapangan yang

berhubungan dengan objek penelitian yaitu pelaksanaan perjanjian jaminan

fidusia.

2. Metode Pengambilan Sampel atau Teknik Sampling

Sampel adalah sebahagian dari anggota populasi yang diamati guna

mewakili keadaan populasi. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah

purpossive sampling yakni diambil dengan sengaja sesuai dengan kebutuhan.

Teknik purpossive sampling ditujukan terhadap pegawai PT Bank BRI (Persero)

Tbk cabang Padangsidimpuan yang menangani kredit, hakim yang pernah

menangani fidusia, dan notaris yang pernah menangani fidusia mitra PT Bank

BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, dengan cara melakukan wawancara

secara langsung dengan informan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya

informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah merupakan penelitian empiris. Data yang dikumpulkan

pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan

data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan informan yaitu kepala

bagian administari, bagian marketing, dan anggota bagian administrasi pada PT

Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, notaris M dan notaris L mitra

kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, dan hakim

pengadilan negeri Padangsidimpuan yang pernah menangani fidusia untuk

mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang akan diteliti. Alat

yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara (interview

guide) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.


22

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui literatur atau pustaka

dan dokumen-dokumen yaitu berupa kasus jaminan fidusia yang telah diputus

oleh pengadilan negeri Padangsidimpuan tahun 1992 yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, Surat Edaran BRI 2004, perjanjian membuka kredit dan

perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia barang) menurut

format PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan.

4. Teknik Analisis Data

Data yang didapat di lapangan berupa data primer dianalisis secara

kualitatif, dengan melakukan penafsiran terhadap data tersebut. Selanjutnya

menyederhanakan data menjadi informasi yang dapat digunakan dalam

menjelaskan permasalahan. Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah,

ditunjang dengan data sekunder dan ditafsirkan dengan menghubungkan konsep-

konsep dan pendapat pakar yang dianut dalam kerangka teoritis. Akhirnya ditarik

kesimpulan guna menjawab masalah penelitian

5. Jalannya Penelitian

Penelitian di lapangan menemui banyak kesulitan terutama dalam

mendapatkan data dari PT Bank BRI (Persero) Tbk, menurut pegawai PT Bank

BRI (Persero) Tbk banyak data yang sifatnya rahasia sehingga tidak dapat

diperoleh, terutama data nasabah yang mengambil kredit pada PT Bank BRI

(Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan.


23

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu

Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara

kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur

terhadap barang-barangnya. Istilah jaminan juga dikenal dengan agunan, yang

dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Perbankan, defenisi agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah

debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah”. Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan

tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari

bank, yang diserahkan oleh debitur kepada bank.

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan

di Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan

hukum”.31

Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh

M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang

diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang

dalam masyarakat”.32

31 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban, Gadai, dan Fiducia, Cet. IV,
Alumni: Bandung, 1987, hal. 227.
32 M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung: Jakarta, 2002,
hal. 148. 24
24

B. Jenis Jaminan
4
Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal

1820-1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Jaminan Kebendaan

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan

di Yogyakarta dihasilkan suatu rumusan bahwa jaminan kebendaan mempunyai

ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda

tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.

Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-

benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang

yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti ditegaskan

dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Penanggungan

adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si

kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si debitur manakala

orang itu sendiri tidak memenuhinya”.

Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu:

“Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri
mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan
terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan
jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung
pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,
terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.33

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

33Sri Soedewi Masjhoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum dan Jaminan
Perorangan, op. cit., hal. 46-47.
25

2. Hak tanggungan, diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.

3. Jaminan Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

4. Jaminan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara.

Menurut Soebekti jaminan perorangan (immateril) adalah: “Suatu perjanjian

antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin

dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur)”.34

Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.

2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng.

3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif, hubungan hak bersifat ekstren,

hubungan hak antara para debitur dengan pihak lain (debitur). Hubungan

hak bersifat intern, hubungan hak antara sesama debitur itu satu dengan

yang lainnya.

4. Perjanjian garansi Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.

Fungsi jaminan perorangan ini adalah sebagai jaminan/agunan tambahan

seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992.

Pihak ketiga sebagai penjamin adalah:

1. Pengurus yang sekaligus menjadi pemegang saham atau

pengendali perusahaan debitur.

2. Perusahaan yang menjadi pemegang saham atau pengendali

perusahaan debitur. Cara pengikatan jaminannya dibuat dengan

akta notariil.

Dalam Jaminan perorangan ini pengurus yang menjadi penjamin


34 R. Soebekti, op. cit., hal. 17.
26

disyaratkan, misalnya untuk menyerahkan agunan berupa tanah/rumah tinggal

yang dimilikinya baik untuk pemberian kredit baru dan tambahan, atau untuk

kredit yang berjalan. Dalam hal penjamin adalah perusahaan maka dimintakan

Company Guarantee yang harus dilampiri dengan rincian harta kekayaan

perusahaan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan perusahaan.

Secara yuridis penjamin tidak dapat dipaksa untuk menyerahkan daftar

harta kekayaannya. Meskipun penjamin menyerahkan daftar harta kekayaannya,

hak bank atas harta kekayaan penjamin tetap hanya terbatas pada jumlah dan

syarat tertentu. Sebaiknya kewajiban untuk menyerahkan daftar harta kekayaan

penjamin dilakukan secara kasuistis.

Di luar negeri lembaga jaminan dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possessorium security)

2. Lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya

Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya adalah suatu lembaga

jaminan, yang benda jaminannya berada pada penerima jaminan. Lembaga

jaminan ini dibagi menjadi enam macam:

1. Pledge or pawn, yaitu benda yang dijaminkan berada di tangan


pemegang gadai
2. Lien, yaitu hak untuk menguasi bendanya sampai utang yang berkaitan
dengan benda tersebut dibayar lunas
3. Mortgage with possession, yaitu pembebanan jaminan (hipotek) atas
benda bergerak. Lembaga ini belum dikenal di Indonesia
4. Hire Purchase, yaitu perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa,
dan hak milik atas barang tersebut baru beralih setelah pelunasan yang
terakhir
5. Conditional sale (pembelian bersyarat), yaitu perjanjian jual beli dengan
syarat bahwa pemindahan hak atas barang baru terjadi setelah syarat
dipenuhi, misalnya jika harga dibayar lunas
6. Credit sale, ialah jual beli di mana peralihan hak telah terjadi pada saat
penyerahan meskipun harga belum dibayar lunas”.35
Lembaga jaminan dengan tidak menguasai bendanya adalah suatu lembaga

35 Salim HS, op. cit., hal. 26.


27

jaminan, dimana benda yang menjadi objek jaminan tidak berada atau tidak

dikuasai oleh penerima jaminan. Yang termasuk lembaga jaminan ini adalah:

1. Mortage, yaitu pembebanan atas benda tak bergerak atau sama dengan
hipotik.
2. Chattel Moetgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak.
Umumnya ialah mortgage atas kapal laut dan kapal terbang dengan
tanpa menguasai bendanya.
3. Fiduciary transfer of ownership, yaitu perpindahan hak milik atas
kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan utang.
4. Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam (leassee) menyewa
barang modal untuk usaha tertentu dan jaminan angsuran tertentu”.36

Penggolongan ini bertujuan memudahkan debitur untuk membebani hak-

hak yang digunakan dalam pemasangan jaminan, dengan opsi jenis jaminan yang

berlaku untuk mendapatkan fasilitas kredit pada lembaga perbankan atau

pegadaian.

C. Sifat Perjanjian Jaminan

Pada dasarnya perjanjian kebendaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu

perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokok

merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan

atau lembaga keungan non bank (perjanjian utang piutang). J. Satrio dengan

mengutip pendapat Rotten mengemukakan bahwa: “perjanjian pokok adalah

perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri”.37

Perjanjian pokok ini dijumpai dalam perjanjian kedit bank. Dalam Pasal 1

angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dijumpai pengertian

kredit yaitu: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

36 Ibid., hal. 27.


37 J. Satrio, op. cit., hal. 54.
28

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Munir Fuady memberikan pengertian perjanjian accessoir adalah “perjanjian

yang tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian

lainnya yang merupakan perjanjian pokok”.38

Menurut Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani perjanjian assesoir adalah

“suatu bentuk perjanjian atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau

kebatalannya digantungkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu

syarat, kondisi atau keadaan dalam perjanjian dasar yang menjadi dasar dari

pembentukannya”.39

Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri sendiri.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan hak atas

prestasi dalam perjanjian dasar dari pihak kreditur kepada pihak ketiga membawa

serta akibat hukum beralihnya perjanjian assesoir kepada pihak ketiga yang

menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar tersebut.40

Perjanjian accessoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan

dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian accessoir ini dijumpai dalam

perjanjian dengan pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, perjanjian hak

tanggungan, perjanjian fidusia, perjanjian hipotik, perjanjian jaminan pribadi, dan

perjanjian jaminan perusahaan.

D. Pengakuan Fidusia Dalam Undang-Undang Untuk Kepastian Hukum

Secara umum diterima prinsip bahwa segala peristiwa hukum yang belum

38 Munir Fuady, op. cit., hal. 19.


39 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000,
hal. 48.
40 Ibid., hal. 49.
29

mendapat pengaturan dalam undang-undang belum memiliki kepastian hukum.

Sebaliknya apabila peristiwa hukum itu telah mendapat pengukuhan dalam

undang-undang sudah dianggap memiliki kepastian hukum. Secara logika

kepastian hukum itu tidak cukup hanya demi undang-undang atau sampai pada

tahap pelaksanaan undang-undang saja, tetapi tidak dipungkiri bahwa awal dari

kepastian hukum itu dimulai dengan pembentukan undang-undang dan juga

pelaksanaannya dalam praktek di lapangan.

Pemerintah telah banyak membentuk perundang-undangan yang baru

untuk dapat mendukung pembangunan yang sesuai dengan perkembangan

masyarakat, baik yang bersifat publik maupun yang privat. Undang-undang dibuat

untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara ketertiban

dalam masyarakat. Namun dalam perkembangannya, terjadi kontraversial antara

materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan. Tetapi tidak diimbangi

dengan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaanya.

Undang-undang merupakan kumpulan norma-norma hukum yang

dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum. Agar norma hukum itu dapat melindungi

kepentingan manusia dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka

undang-undang itu harus dilaksanakan. Melalui pelaksanaan itu undang-undang

dapat ditegakkan, walaupun dalam penegakannya mengalami hambatan. Salah

satu tujuan dari penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum.

Dengan kepastian hukum kepentingan manusia akan terlindungi dan

ketertiban akan dapat terwujud dalam masyarakat. Apakah kepastian hukum itu

dapat terwujud?

Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yakni:


30

1. Kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan

satu dengan lainnya baik dengan pasa-pasal dalam undang-undang itu

maupun dengan pasal-pasal di luar undang-undang itu.

2. Kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-

undang tersebut”.41

Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian

hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja, kepastian hukum itu tidak pernah

menyentuh kepada masyarakat. Meskipun suatu undang-undang sudah

mempunyai kepastian hukum belum menjamin, bahwa dalam pelaksanaan tidak

ada masalah. Apakah kepastian hukum yang sudah tercipta dalam undang-undang

itu akan efektif ketika undang-undang dilaksanakan?. Menurut teori hukum,

berlakunya suatu kaidah hukum itu dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek

yuridis, sosiologis dan filosofis.42

Pelaksanaan suatu undang-undang dapat dipaksakan oleh negara, tetapi

dapat pula diterima dan diakui oleh masyarakat. Jadi, secara sosiologis,

keefektifan suatu kepastian hukum yang tercantum dalam undang-undang apabila

undang-undang tersebut sudah dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat.

Apabila norma hukum dalam undang-undang itu belum pernah dilaksanakan atau

dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, tidak dapat dikatakan bahwa

kepastian hukum telah berjalan secara sempurna. Dengan demikian, persoalan

kepastian hukum merupakan suatu hal yang terletak pada substansi undang-

undangnya, aparatur pelaksana hukum, warga masyarakat dan fasilitas yang

tersedia untuk pelaksanaan undang-undang tersebut.

41 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 117.


42 Soerjona Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali::
Jakarta, 1987, hal. 13.
31

Salah satu gejala tersebut dapat dilihat dari pengaturan fidusia dalam

perundang-undangan. Lembaga fidusia merupakan suatu gejala hukum yang

memberikan keuntungan bagi pemakainya khususnya untuk melancarkan

pengembalian kredit dan juga tidak melemahkan potensi penerima kredit.

Di Indonesia, perkembangan fidusia cukup menggembirakan para

pemakainya, karena pada mulanya diatur dalam yurisprudensi kemudian

mendapat pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang

Rumah Susun. Pengaturan lembaga fidusia dalam Undang-Undang Rumah Susun

tersebut masih bersifat sumir, tetapi cukup memberikan kepastian hukum

khususnya tentang pengertian dan objek fidusia. Dalam Undang-Undang Rumah

Susun, fidusia diartikan sebagai hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas

benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan

piutang kreditur.43

Dalam rumusan ini tidak dijelaskan kedudukan kreditur sebagai kreditur

pereferents, juga tidak jelas tentang sifat penyerahan yang menjadi ciri khas dari

fidusia yakni benda yang dialihkan tetap berada pada pemberi fidusia. Dan juga

tidak dijelaskan tentang apa yang dialihkan kepada pemegang fidusia karena itu

juga merupakan hal yang penting yakni kepemilikan yang berupa hak bukan

bendanya.

Tidak dijelaskan apakah hak jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-

Undang Rumah Susun objeknya hanya berlaku pada hak pakai atas tanah negara

khusus rumah susun dan hak milik satuan rumah susun.44 Atau juga berlaku atas

bangunan bertingkat/flat di luar rumah susun.

43 Pasal 1 angka 8 UU No. 16 Tahun 1985.


44 A.P Parlindungan, Konsep Rancangan Undang-Undang Hak Tanggungan dan Gadai, Seminar
Nasional Agraria ke-3: Medan, 1990.
32

Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan melalui hipotik

apabila dibangun di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan, dan dijaminkan

melalui lembaga jaminan fidusia apabila dibangun di atas tanah hak pakai atas

tanah negara. 45 Hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 1985

Tentang Rumah Susun pada prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal

sebagai implementasi dari asas yang dianut dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Pengecualian dari asas pemisahan

horizontal dalam Undang-Undang Rumah Susun adalah dengan menunjuk

lembaga jaminan hipotik atas tanah beserta rumah susun di atasnya.

Menurut pembentuk Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah

Susun, penggunaan fidusia terhadap hak pakai atas tanah negara adalah untuk

menampung kebutuhan masyarakat, mengingat fidusia merupakan lembaga

jaminan yang hidup dan dalam kenyataannya diperlukan oleh masyarakat, oleh

karena itu fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan

demikian dapat ditafsirkan objek fidusia terhadap hak pakai atas tanah negara

dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 itu hanya bersifat temporer. Menurut

Maria Sumardjono yang dikutip oleh Tan Kamelo, penjaminan dengan fidusia tidak

dijumpai dengan pembebanan rumah susun atau hak milik satuan rumah susun.46

Jadi dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum jaminan fidusia dalam Undang-

Undang Rumah Susun secara empiris belum terwujud.

Pengakuan fidusia dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan

Pemukiman (UUPP) dijumpai pada Pasal 15, dinyatakan bahwa pemilikan rumah

dapat dijadikan jaminan utang dengan jaminan fidusia. Pembebanan fidusia atas

45 Lihat Pasal 13 UU No. 16 Tahun 1985.


46 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 123.
33

rumah dalam Pasal 15 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman ada dua cara:

1. Pemilik rumah bukan pemilik hak atas tanah dengan izin pemilik hak atas

tanah.

2. Pemilik rumah oleh pemilik hak atas tanah.

Objek fidusia adalah rumah bukan hak atas tanah. Dalam undang-undang

ini tidak dijelaskan bagaimana status hak atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa

Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menganut asas pemisahan

horizontal. Prinsip horizontal semakin jelas dengan adanya pernyataan dalam

Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 yang memberikan perumusan

pengertian rumah tanpa mengaitkan dengan hak atas tanah, dan dalam Pasal 6

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 diatur tentang pembangunan rumah di atas

tanah milik orang lain.

Setelah keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan (UUHT), ketentuan hak jaminan yang diatur dalam Undang-Undang

Rumah Susun dinyatakan tidak berlaku lagi.47 Tetapi tidak dinyatakan berlaku

juga pada Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman. Hal ini dapat dipahami

sebab Undang-Undang Hak Tanggungan bertitik tolak dari hak atas tanah,

sedangkan Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menekankan hak jaminan

atas rumah/bangunan. Jadi jelas bahwa objeknya berbeda.

Persoalan objek fidusia mengenai tanah belum terdaftar telah diatur dalam

Undang-Undang Hak Tanggungan yakni dengan menggunakan Surat Kuasa

Memasang Hak tanggungan (SKMHT), yang diikuti dengan pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya tiga bulan setelah

47 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1996.


34

diberikan.48

Pengaturan fidusia secara parsial tidak memberikan kepastian hukum

sehingga perlu diatur secara unifikasi dalam bentuk undang-undang tersendiri.

Upaya tersebut terwujud dalam UU No. 42 Tahun 1999 dengan nama Jaminan

Fidusia.

1. Perjanjian Fidusia

Dalam perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang kita menghendaki

agar barang agunan dijadikan jaminan fidusia, maka caranya adalah dengan

membuat perjanjian fidusia terlebih dahulu. Bentuk perjanjian fidusia wajib dibuat

dengan akta otentik, yang dibuat dihadapan notaris.49

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia, suatu perjanjian

yang dapat menggunakan fidusia sebagai bentuk jaminannya adalah semua

perjanjian yang berkaitan dengan suatu benda yang dapat dibebani dengan

jaminan fidusia. Perjanjian dengan jaminan fidusia merupakan perjanjian yang

bersifat assesoir (perjanjian ikutan/tambahan). Dari suatu perjanjian pokok

(perjanjian utang piutang), yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau

tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Konsekuensi dari perjanjian

assesoir ini adalah apabila perjanjian pokok tidak sah atau tidak berlaku secara

hukum, perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir juga ikut menjadi batal dan

apabila perjanjian pokok yaitu utang piutang telah lunas dengan sendirinya

perjanjian tambahan tersebut hapus.

2. Pembebanan Fidusia dan Fidusia Ulang

Pembebanan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 10 Undang-Undang


48 Lihat Pasal 15 Ayat 4 UU NO. 4 Tahun 1996.
49 Lihat pasal 5 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999.
35

jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999, yang dapat dilakukan dengan menggunakan

instrumen yang disebut dengan “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini

dibuat dalam bentuk akta otentik, yang dibuat dihadapan notaris dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pasal 6 Undang-Undang Jaminan

Fidusia, akta ini antara lain harus berisikan hal-hal:

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

d. Nilai penjaminan dan

e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah:

1. Utang yang telah ada

2. Utang yang akan ada dikemudian hari (kontinjen), tetapi telah

diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya utang yang

timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk

kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

3. Utang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi

berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan

kewajiban untuk dipenuhi, misalnya utang bunga atas perjanjian

pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian.

Yang dimaksud dengan fidusia ulang adalah atas benda yang sama yang

telah dibebankan fidusia, dibebankan fidusia sekali lagi. Walaupun dalam

Undang-Undang Jaminan Fidusia ini terlihat, ada beberapa pasal yang seolah-olah

saling bertentangan namun mengenai fidusia ulang ini dapat disimpulkan bahwa

pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 17
36

Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah “Pemberi fidusia dilarang

melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang

sudah didaftar”. Karena Undang-Undang Jaminan Fidusia masih menganut prinsip

fidusia sebagai peralihan hak milik (secara kepercayaan) bukan hanya sebagai jaminan

utang.

Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak

ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena

hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia.

Ada satu kemungkinan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu pihak

adalah kemungkinan yang diberikan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang

Jaminan Fidusia yang isinya adalah: “Jaminan fidusia dapat diberikan kepada

lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima

fidusia tersebut”. Dari penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia

tersirat bahwa yang dimaksud adalah pemberian fidusia kepada lebih dari satu

kreditur dalam bentuk pemberian kredit konsorsium atau sindikasi. Maksudnya

fidusia diberikan secara bersama-sama pada waktu yang bersamaan dan semua

kreditur saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditur tersebut.

3. Pendaftaran Fidusia

Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan

Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftarana Jmaminan

Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan Pemerintah ini
37

terdiri dari atas 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat,

perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian sertifikat.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah negara

Republik Indonesia maupun benda yang berada di luar wilayah negara Republik

Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Untuk pertama kalinya

kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah Republik Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam

lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia.

Tujuan pendaftaran fidusia adalah:

1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang


berkepentingan.
2. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak
kepada pemberi fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan fidusia
berdasarkan kepercayaan.50

Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal:

1. Benda objek jaminan fidusia yang berada di dalam negeri (pasal 11 ayat

1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).

2. Benda objek jaminan fidusia yang berada di luar negeri (pasal 11 ayat 2

Undang-Undang No. 42 tahun 1999). Terhadap perubahan isi Sertifikat

Jaminan Fidusia (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 42 tahun 1999).

Pada pokoknya pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

a. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan

wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan

50 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004,
hal. 82.
38

berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;

b. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara tertulis dan dalam

Bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan

melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia:

c. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat:

1) Identitas pemberi dan penerima fidusia

2) Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan

notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamnan fidusia;

5) Nilai jaminan;

6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Pasal 2 ayat 4 PP No. 86 Tahun 2000, permohonan pendaftaran jaminan

fidusia dilengkapi dengan:

a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia;

b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran

jaminan fidusia;

c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia.

Kantor pendaftaran fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku

Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran dan kemudian menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima

fidusia, sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia,

petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data dan tidak


39

berwenang melakukan penilaian terhadap kebenaran data yang dicantumkan

dalam pernyatan pendaftaran jaminan fidusia.

Dengan dikelurkannya Keputusan Presiden nomor 139 Tahun 2000

tanggal 30 September 2000, di setiap wilayah ibukota propinsi dibentuk Kantor

Pendaftaran Fidusia, yang terletak dalam lingkup Departemen Kehakiman dan

Hak Asasi Manusia.

Judul Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Makna

dari pencantuman kata-kata tersebut adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila debitur wanprestasi,

maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek

jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (pasal 15 ayat 2 dan 3 UU Jaminan

Fidusia). Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya

jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.

Jika terjadi kekeliruan penulisan dalam sertfikat jaminan fidusia yang

telah diterima pemohon, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat itu,

pemohon memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan

sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat tanggal yang sama dengan

tanggal sertifikat semula.51 Sertifikat jaminan fidusia dapat saja mengalami

perubahan terhadap substansi, antara lain perubahan objek jaminan fidusia,

perubahan penerima fidusia, perubahan perjanjian pokok dan perubahan nilai

jaminan.

Adanya kewajiban melakukan pendaftaran jaminan fidusia merupakan


51 Lihat Pasal 5 ayat (1) PP No. 86 Tahun 2000.
40

suatu perwujutan dari asas publisitas. Dengan adanya publikasi terhadap jaminan

utang, kreditur maupun khalayak ramai mempunyai akses untuk mengetahui

berbagai informasi yang berhubungan dengan jaminan utang tersebut. Dengan

adanya pendaftaran fidusia, diharapkan agar pihak debitur terutama debitur yang

tidak beritikat baik, tidak dapat lagi membohongi/menipu kreditur atau calon

debitur dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual benda objek

jaminan tanpa sepengetahuan kreditur. Asas publisitas secara tersirat tercantum

pada pasal 18 UU Jaminan Fidusia, yaitu: Segala keterangan mengenai benda

fidusia yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran

Fidusia terbuka untuk umum.

E. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum.

Ini menunjukkan pentingnya asas hukum dalam suatu perundang-undangan.

Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris

“principle” dan bahasa Belanda “beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang

menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Asas hukum bukan suatu perintah

hukum yang konkrit yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa hukum yang

konkrit dan tidak memiliki sanksi yang tegas. Dalam peraturan-peraturan (pasal-

pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang

merupakan cita-cita dari pembentuknya.

Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak mencantumkan dengan tegas

asas-asas jaminan fidusia yang menjadi asas fundamen dari pembentukan norma

hukumnya. Tan Kamelo melalui proses analitis mengemukakan asas-asas hukum

jaminan fidusia yang terdapat dalam UndangUndang Jaminan fidusia adalah:


41

Pertama, asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai


kreditur preferens. Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada
(droit de suite atau zaakgevolg).Ketiga, asas bahwa jaminan fidusia merupakan
perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas, keberadaan jaminan fidusia
ditentukan oleh perjanjian utama atau principal. Keempat, asas bahwa jaminan
fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen).
Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda
yang akan ada. Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap
bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain (asas pemisahan
horizontal).Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail
terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Kedelapan, asas bahwa pemberi
jaminan fidusia harus orang yang memilki kewenangan hukum atas objek jaminan
fidusia.
Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor
pendaftaran fidusia (asas publikasi). Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan
objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia
sekalipun hal itu diperjanjikan (asas pendakuan).Kesebelas, asas bahwa jaminan
fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima jaminan fidusia yang
terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia dari kreditur yang
mendaftar kemudian. Keduabelas, asas bahwa yang tetap menguasai benda
jaminan harus mempunyai itikad baik. Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia
mudah dieksekusi.52

• Asas preferens ini dapat dilihat dari pasal 1 angka 2

dan Pasal 27 UU Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 27

ini dijelaskan bahwa hak yang didahulukan adalah

hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan

piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi

objek jaminan fidusia. Berbeda halnya dengan gadai

yang tidak tegas menyatakan kreditur yang

diutamakan dari kreditur lainnya. Akan tetapi hak

untuk diutamakan yang dimiliki oleh penerima

fidusia tidak mengurangi kedudukan untuk

didahulukan terhadap piutang-piutang negara menurut

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sama


52 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 169-170.
42

halnya dengan ketentuan yang berlaku kepada hak

tanggungan.

• Asas droit de suite atau zaakgevolg, pengakuan asas ini

menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak

kebendaan dan bukan hak perorangan, dengan begitu

hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap

siapapun juga dan barhak untuk menuntut siapa saja

yang mengganggu hak tersebut. Dalam asas droit de

suite terdapat prinsip yang tua didahulukan dari yang

muda berdasarkan urutan waktunya. Hal ini perlu

dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur

pemegang fidusia untuk memperoleh pelunasan

utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia

apabila debitur pemberi fidusia melakukan

wanprestasi. Bahkan ketika benda jaminan fidusia

berada pada pihak ketiga.

Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan

fidusia dalam buku daftar jaminan fidusia. Karena itu, konsekwensi yuridis adalah

pemberlakuan asas droit de suite baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan

fidusia dalam buku daftar fidusia. Maksud penegasan ini adalah kalau jaminan

fidusia ini tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia

bukan merupakan hak kebendaan melainkan memilki karakter hak perorangan.

Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari

kreditur pemegang jaminan fidusia.

Apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang


43

jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren tidak dapat

dilindungi berdasarkan asas droit de suite (tidak didahulukan dari kreditur lain)

Asas droit de suite ini tidak berlaku pada semua objek jaminan fidusia,

ada pengecualian yaitu terhadap objek jaminan fidusia berupa benda persediaan.

Tetapi Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menjelaskan apa yang dimaksud

dengan benda persediaan tetapi hanya dijelaskan apa yang tidak termasuk benda

persediaan yaitu: mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi

objek jaminan fidusia.53 Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dijelaskan

bahwa sebelum Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 dibentuk

benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari

benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin,

dan kendraan bermotor.54 Jadi belum ada kejelasan tentang benda persediaan yang

dimaksud oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurut Tan kamelo benda

persediaan adalah benda yang diuraikan dalam suatu daftar secara detail, spesifik

baik mengenai jumlah maupun jenisnya.55

Debitur pemberi jaminan fidusia dapat mengalihkan benda persediaan

sesuai dengan cara dan prosedur yang lazim dalam dunia perdagangan. Misalnya,

dengan cara menjual kepada pihak ketiga, peralihan ini adalah sah dan pembeli

adalah pemilik yang sempurna. Pada prinsipnya, pemberi jaminan fidusia dilarang

untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain objek

jaminan fidusia, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang berupa benda

persediaan.

• Asas assesoir, asas ini mempunyai arti bahwa keberadaan

53 Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999.


54 Penjelasan Umum angka 3 UU No. 42 Tahun 1999.
55 H.Tan Kamelo, log. cit.
44

jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian pokok yaitu

perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin

dengan jaminan fidusia. Dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia , asas assesoir ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal

4 Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 yang

isinya adalah: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan

dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi

para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Sesuai dengan

asas assesoir ini hapusnya jaminan fidusia ini juga ditentukan

oleh hapusnya utang atau karena pelepasan hak atas jaminan

fidusia oleh penerima jaminan fidusia dan musnahnya benda

yang menjadi objek jaminan fidusia.56 Jadi Jaminan Fidusia ini

merupakan perjanjian yang lahir dari perjanjian pokok yaitu

perjanjian utang piutang. Asas ini juga dianut dalam perjanjian

hak tanggungan.

Pencantuman asas ini adalah untuk menghilangkan keragu-raguan

mengenai karakter jaminan fidusia yang bersifat assesoir dan bukan perjanjian

yang berdiri sendiri. Sebelum lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42

Tahun 1999 hal ini sempat meragukan bagi dunia bisnis.

Asas ini membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas

piutang dari pemegang jaminan fidusia lama kepada pemegang jaminan fidusia

yang baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari pemegang

fidusia yang lama kepada pemegang fidusia yang baru, dengan syarat bahwa

pemegang fidusia yang baru mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke


56 Pasal 25 UU No. 42 Tahun 1999.
45

kantor pendaftaran fidusia.57

• Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang

baru akan ada (kontinjen). Artinya pada saat dibuatnya akta

jaminan fidusia, utang tersebut belum ada, tetapi sudah

diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu. Asas ini

adalah untuk menampung aspirasi hukum dalam dunia bisnis

perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran

yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam

rangka pelaksanaan garansi bank.58

• Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda

yang akan ada. Asas ini telah diakui setelah keluarnya Undang-

Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang

intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda

yang akan ada.59 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tidak

hanya menetapkan objek jaminan terhadap benda yang akan

ada, bahkan memberikan aturan terhadap piutang yang akan

ada juga dapat dibebani dengan jaminan fidusia yang

sebenarnya mengandung pengertian yang sama sebab piutang

yang akan ada juga benda yaitu benda tidak berwujud untuk itu

sebenarnya pengaturan piutang yang ada ini tidak perlu lagi.

Perbedaan yang perlu ditegaskan adalah mengenai objek jaminan pada

barang perniagaan dengan barang yang akan ada. Barang perniagaan objek

jaminan fidusia sering terjadi sedangkan barang yang akan ada pergantian itu

57 Pasal 19 UU No. 42 Tahun 1999.


58 Lihat Penjelasan Pasal 7 huruf b UU No. 42 Tahun 1999.
59 Lihat Pasal 9 UU No. 42 Tahun 1999.
46

tidak terjadi dengan cepat seperti: taksi-taksi sebagai objek jaminan fidusia.

Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia

bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak

hanya terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujutan asas ini merupakan

penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan.

• Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap

bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain.

Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan

horizontal. Dalam pemberian kredit bank, dapat menampung

pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak

memiliki tanah tetapi memiliki hak atas bangunan/rumah.

Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik

bangunan adalah perjanjian sewa.

• Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail

terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek fidusia yang

dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan

penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang

dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijamin dengan

fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai

penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan.

Dalam hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.60

• Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang

memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.

Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat


60 Lihat Pasal 6 UU No. 42 tahun 1999.
47

jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini

sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia

bukanlah orang berwenang berbuat. Dalam Undang-Undang

No. 42 Tahun 1999 asas ini tidak secara tegas diatur, berbeda

dengan pengaturan dalam hak tanggungan yang mengatur secara

tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak tanggungan.

• Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor

pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut dengan asas

publikasi.61 Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan

fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut

menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian

kebendaan. Asas publikasi ini melahirkan kepastian hukum

bagi kreditur.

• Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak

dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia meskipun

hal itu diperjanjikan.62 Asas ini disebut asas pendakuan.

• Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada

kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan

ke kantor pendaftaran fidusia daripada kreditur yang

mendaftarkan kemudian

• Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai

benda jaminan harus mempunyai itikat baik. Dengan asas ini

diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara

benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan

61 Lihat pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999.


62 Lihat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UU No. 42 Tahun1999.
48

menggadaikannya kepada pihak lain.

• Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.63 Kemudahan

pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-

irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini

menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia

mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam

penjualan benda jaminan fidusia, selain melalui titel

eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang

secara umum dan dibawah tangan.

F. Jaminan Fidusia sebagai Jaminan

Kebendaan merupakan sub Sistem

Hukum Jaminan

Pengertian sistem secara umum, sistem hukum dan sistem hukum jaminan

sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Istilah

sistem dalam bahasa Yunani “systema”, Belanda “systeem”, Inggris “system”.

yang artinya keseluruhan yang terdiri dari pada macam-macam bagian,

Menurut Tan Kamelo, kata sistem secara garis besar dapat dikelompokkan

dalam dua hal yaitu:

1. Pengertian sistem sebagai entitas, sesuatu wujud benda (abstrak maupun

konkrit termasuk konseptual)

2. Penegertian sistem sebagagi suatu methode atau tata cara.64

63 Lihat Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999.


64 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 145.
49

Pengertian sistem yang menjadi acuan dalam kerangka analisis jaminan

fidusia adalah sistem dalam arti entitas, memiliki tatanan tertentu yang

menunjukkan suatu struktur yang tersususn atas komponen-komponen atau bagian-

bagian yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan.

Secara sederhana sistem diartikan sekumpulan unsur, seperti manusia,

benda-benda, konsep-konsep, yang berhubungan untuk mencapai tujuan bersama.

Dan secara etimologi sistem adalah seperangkat unsur yang berkaitan yang

bekerjasama untuk membentuk suatu kesatuan.

Para ahli hukum merumuskan pengertian sistem sebagai berikut: “Suatu

sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang

terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu

rencana atau pola, hasil dari pemikiran, untuk mencapai tujuan”.65

Suatu sistem adalah “suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri

dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain yang bekerja bersama secara

aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut”.66 Dari dua pengertian

sistem diatas dapat dipahami bahwa penekanan arti sistem terletak pada

keterkaitan antara unsur-unsur atau bagian-bagian dan kerjasama dari unsur-

unsur/bagian-bagian untuk mencapai tujuan.

Teori sistem ini adalah aliran yang paling penting dalam positivisme

hukum, yang intinya bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan

satu sama lain secara organis, secara piramida dari norma-norma yang terbentuk

secara hirarkhi.

Setelah makna sistem, perlu juga dijelaskan pengertian sistem hukum

65 Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradya Paramita: Jakarta, 1983, hal. 99.
66 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni: Bandung, 1986, hal. 88.
50

yakni kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas

mana dibangun tertib hukum.67

Menurut Sudikno sistem hukum adalah: suatu kesatuan yang terdiri dari
unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan berinteraksi satu
sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan hakiki dan
terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap masalah atau
persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya.68

Pengertian sistem hukum di atas dapat dianalisa bahwa sistem hukum

adalah peraturan hukum, asas-asas hukum yang menjadi fundamental dan

pengertian-pengertian hukum. Unsur sistem hukum dibangun di atas tertib hukum,

sehingga terdapat kehamonisan dan dapat dihindarkan tumpang tindih antara

masing-masing sistem tersebut. Kalau ada konflik antar unsur-unsur sistem

hukum, penyelesaiannya ada dalam sistem hukum itu sendiri.

Rumusan sistem hukum di atas hanya dilihat dari segi komponen substansi

hukum saja. Padahal komponen sistem hukum (element of legal system) meliputi

tiga hal yakni: structur (sturucture), substansi (substance), dan budaya hukum

(legal culture).69

Tan Kamelo menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Fiedmann dengan

ketiga unsur tersebut adalah:

1. Struktur hukum adalah jumlah dan ukuran pengadilan, jurisdiksi dan cara-cara
banding dari satu pengadilan kepada pengadilan lainnya. Struktur juga
dapat berarti bagaimana badan pembuat undang-undang diatur dan
sebagainya.
2. Substansi hukum diartikan sebagai aturan-aturan yang berlaku, norma-
norma, dan pola-pola prilaku manusia di dalam sistem.
3 Budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap
hukum dan sistem hukum kepercayaan-kepercayaan,
nilai-nilai, pandangan-pandangan pikiran-pikiran,
harapan-harapan, hal ini adalah merupakan bagian
dari budaya umum yang berkenaan dengan sistem

67 Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit.


68 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty: Yogyakarta, 1988, hal. 102.
69 Lawrence M. Friedmann, log. cit.
51

hukum. Budaya hukum dengan perkataan lain adalah


iklim dari pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindarkan atau disalahgunakan. Tanpa budaya
hukum, sistem hukum adalah tidak berdaya-ibarat
ikan mati yang terletak dalam sebuah keranjang,
bukan ikan yang hidup berenang di laut.70

Jadi dalam perkembangannya, hukum sebagai sistem mempunyai tiga

aspek. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut yakni:

1. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang


dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu
melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-
hubungan hukum.
2. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan
tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut
ketentuan formalnya yakni memperlihatkan
bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lain-
lain badan serta proses hukum itu berjalan dan
dijalankan.
3. Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam
sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan.
Tuntutan datangnya dari rakyat atatu para
pemakai jasa hukum. Di belakang tuntutan itu,
kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga
faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan,
harapan dan pendapat mengenai hukum. Kultur
hukum mengandung potensi untuk dipakai
sebagai sumber informasi guna menjelaskan
sistem hukum.71

Berdasarkan pendapat teori sistem di atas, yang sangat menentukan

berjalan atau tidaknya suatu peraturan hukum adalah budaya hukum

masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat bergantung kepada budaya hukum

anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,

lingkungan, posisi dan kedudukan, bahkan kepentingan-kepetingannya. Karena

masyarakat hukum itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, konsep budaya hukum

substantive memerlukan unsur yang dinamis. Jadi jelas bahwa hukum tidak dapat

70 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 150-151.


71 Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 166-167.
52

dilihat semata-mata sebagai perwujudan atau pencerminan dari konsep-konsep

dan peraturan hukum. Hukum dalam realitas pernyataannya harus dilihat sebagai

perwujudan atau pencerminan dari stuktur masyarakat.

Pembangunan sistem hukum yang ideal adalah menetapkan prosedur yang

jelas kepada para penegak hukum dalam rangka menerapkan atau menjalankan

hukum dengan menyediakan sarana dan prasarana yang cukup, juga meliputi

penataan aturan hukum yang pasti adil dan benar. Sistem hukum juga harus

dibangun untuk mendidik dan mengarahkan perilaku masyarakat agar mematuhi

hukum sesuai dengan cita-cita hukum yang diharapkan.

Dengan perubahan paradigma sistem hukum, dapat dikatakan pembangunan


hukum berarti pembaharuan tata hukum yang mencakup tiga koponen yakni
komponen substansi hukum disebut juga tata hukum eksternal yang terdari
dari (perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum adat dan
yurisprudensi) serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum) yang
mengutuhkannya, komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai
organisasi publik dengan para pejabatnya (legislatif, eksekutif, yudikatif), dan
komponen budaya hukum yang mencakup sikap prilaku para pejabat dan
warga masyarakat berkenaan dengan komponen-komponen lainnya dengan
proses-proses penyelenggaraan kehidupan masyarakat berhukum.72

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa sistem hukum

jaminan merupakan sub sistem dari sistem hukum benda, sedangkan sistem

hukum benda adalah sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem

hukum perdata merupakan sub sistem hukum nasional. Dengan pendekatan sistem

hukum yang demikian, dapat dikatakan sistem hukum jaminan yang akan dibentuk

harus memperhatikan aspek-aspek sistem hukum nasional yaitu substansi,

struktur, sarana dan prasarana serta budaya hukum tersebut, peranan sistem

hukum jaminan dalam pembangunan hukum dapat diwujudkan.

72B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jurnal
Hukum No. 1: 1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Universitas
Padjajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 14.
53
54

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Keadaan Umum Tempat Penelitian

Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan pada tanggal 16 Desember 1895

oleh seorang Patih Banyumas bernama Raden Bei Aria Wirjaatmadja, dengan

nama “Hulp Spaarbank der Inlandssche Besturrs Ambtenaren” (Bank Bantuan

dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi) yang

merupakan bank perkreditan rakyat yang pertama di Indonesia. Dalam perjalanan


53 mengalami beberapa kali perubahan nama, yaitu berdasarkan
sejarah bank ini telah

Surat Keputusan Ratu Belanda No. 118 tanggal 10 Juli 1912, Staatsbld 1912 No.

392, berubah nama menjadi “Centrale Kas Voor het Volscredietwezen”.

Selanjutnya berdasarkan Staatbld No. 82 dengan ordonansi tanggal 19 Februari

1934 tentang Bepalingen Betreffende de Algemeene Volkscredietbank, terjadi

perubahan menjadi “Algemeene Volkscredietbank” atau AVB.73

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945,

Pemerintah Jepang menutup semua bank termasuk AVB. Namun pada tanggal 3

Oktober 1942, AVB dengan cabangnya di Jawa dan Madura kembali dibuka

dengan nama “Syomin Gink” (Syomin = Rakyat, Ginko = Bank). Syomin Ginko

secara resmi menjadi Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 1 Tanggal 22 Februari 1946 dengan wilayah kerja di seluru Indonesia.

Dengan dikeluarkannya PP ini maka BRI menjadi bank pemerintah pertama di

Indonesia.74 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 41 Tahun 1960 dalam

Lembaran Negara No. 28/1960 tanggal 26 Oktober 1960, tiga buah bank yaitu

BRI, Bank Tani dan Nelayan (BTN) serta Nederlansche Handels Maatschappij
73 BRI 2006, Laporan Tahunan BRI Tahun 2005, Bank Rakyat Indonesia: Jakarta, 2006, hal. 1.
74 Ibid.
55

(NHM) dilebur menjadi sebuah lembaga perbankan baru bernama Bank Koperasi

Tani dan nelayan (BKTN). Bank ini bertujuan untuk membentuk usaha koperasi,

pertanian dan perikanan dalam arti luas.75

Pada tahun 1965 terjadi perubahan struktur kelembagaan pada bank-bank

milik pemerintah. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 1965, BKTN

diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan

Koperasi, Tani dan Nelayan (BI-UKTN). Selanjutnya berdasarkan Peraturan

Presiden No. 17 tanggal 27 Juli 1965 dibentuk bank tunggal dengan nama Bank

Negara Indonesia (BNI) dan BI-UKTN dilebur kedalamnya dengan nama BNI

Unit II bidang rural. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok

Perbankan, BNI unit II bidang rural diubah menjadi Bank Rakyat Indonesia.76

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang UU Perbankan dan Peraturan

Pemerintah No. 21 Tahun 1992, telah terjadi perubahan kepemilikan BRI yang

semula bank pemerintah diubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT

Bank BRI Perubahan ini dimaksudkan agar Bank BRI menjadi lebih professional

untuk mengantisipasi persaingan perbankan yang semakin ketat. Sejak bulan

Oktober 2003 BRI melakukan go public, sehingga menjadi perusahaan public

dengan nama PT Bank BRI (Persero) Tbk.77

1. Visi Misi dan tujuan Perusahaan

Sesuai dengan Corporate Plan 2003-2007, visi PT Bank BRI Tbk yaitu

untuk menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan

nasabah. Misi PT Bank BRI (Persero) Tbk adalah sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan

75 Ibid.
76 Ibid.
77 Ibid.
56

pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang


peningkatan usaha masyarakat.
2. Memeberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja
yang tersebar luas dan diukung oleh sumber daya manusia yang
professional dengan melaksanakan praktek good corporate govermance.
3. Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada
stakenholders.78

Bertitik tolak dari visi dan misi PT Bank BRI (Persero) Tbk, dibidang

perkerditan jelas arahnya menjadi bank komersial dengan menitikberatkan pada

sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal ini terlihat dari komposisi

pembiayaan yang diberikan kepada sektor usaha UMKM di atas 80% dari

fortopolio Kredit PT Bank BRI (Persero) Tbk. Di bidang pendanaan PT Bank BRI

(Persero) Tbk berusaha untuk tetap peduli dan mengutamakan kepuasan nasabah

dengan memberikan pelayanan secara prima dengan terus berusaha

mengembangkan dukungan teknologi perbankan yang canggih.

Berdasarkan visi misi tersebut, PT Bank BRI (Persero) Tbk menetapkan

tujuan perusahaan yang diselaraskan dengan kepentingan stokeholders, baik

public maupun pemerintah, yaitu sebagai berikut:

a. Pemegang saham, Memberikan hasil yang wajar (optimal) bagi


pemegang saham tanpa harus meninggalkan tanggung jawab sosial.
b. Nasabah, Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik dengan
nilai tambah yang wajar (maksimal) demi terpeliharanya hubungan
kemitraan dengan nasabah.
c. Karyawan, Menjadikan karyawan sebagai asset utama perusahaan
dengan menciptakan lingkungan dan suasana kerja yang memuaskan,
memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai
dengan prestasi serta mengembangkan budaya perusahaan
(Corporate Cultural) yang berlandaskan suatu tekad untuk mejadi
bankir entrepreneur yang piawai dan mandiri
d. Pemerintah, Menjadi persero yang sehat dengan mematuhi segala
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan berperan serta
dalam meningkatkan mutu industri perbankan Indonesia.
e. Masyarakat memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk
membangun ekonomi maupun sosial dengan menyisihkan sebagian

78 BRI 2003, Corporate Plan Bank BRI 2003-2007, Tidak dipublikasikan, BRI: Jakarta, 2003, hal.
8.
57

laba usaha yang diperoleh.79

2. Perkembangan Usaha PT Bank BRI (Persero) Tbk

Perkembangan usaha PT Bank BRI (Persero) Tbk berjalan seiring dengan

situasi dan kondisi perekonomian di Indonesia. Pada saat krisis moneter 1997

kondisi penyaluran kredit PT Bank BRI (Persero) Tbk menjadi tidak maksimal

karena sektor riil belum dapat menyerap dana perbankan secara baik. Keuntungan

perbankan juga masih mengandalkan bunga obligasi rekap dan bunga SBI yang

mempunyai tingkat resiko relatif kecil walaupun margin yang diperoleh tidak

maksimal. Di lain pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk juga harus memenuhi

peraturan dan ketentuan bank sentral yang semakin ketat dalam hal ketentuan

Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal 8% dan Non Performing Loan (NPL)

maksimal 5%. Di samping itu dengan diberlakukannya Asian Free Trade

Agreement (AFTA) maka perbankan asing akan semakin mudah masuk ke

Indonesia sehingga PT Bank BRI (Persero) Tbk juga harus sanggup memenuhi

ketentuan perbankan internasional berdasarkan Bank for International Settlement

(BIS).

PT Bank BRI (Persero) Tbk sebagai bank public dan merupakan salah satu

bank yang menerima dana rekapitulasi dari pemerintah, dari tahun ke tahun

menunjukkan kinerja yang semakin baik. Dana rekap yang diterima dari

pemerintah sebesar 29,2 triliun meningkat CAR menjadi 8%. Setelah go public

pada tahun 2003 permodalan PT Bank BRI (Persero) Tbk telah mencapai 12%.

3. Organisasi dan Jaringan Kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk

PT Bank BRI (Persero) Tbk dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang

dibantu oleh 6 orang Direktur yang membidangi bisnis. Masing-masing Direktur


79 BRI 2006, op. cit., hal. 10.
58

membawahi Bidang Bisnis Mikro dan Ritel, Bidang Bisnis Menengah, Bidang

Pengendalian Kredit, Bidang Keuangan dan Internasional, Bidang Operasional

dan Bidang Kepatuhan. Secara structural Direksi membawahi para Kepala Divisi

di Kantor Pusat dan Pemimpin Wilayah Pt Bank BRI (Persero) Tbk.

Unit kerja di kantor pusat PT Bank BRI (Persero) Tbk meliputi berbagai

bidang bisnis, operasional dan penunjang yang masing-masing dipimpin oleh para

Kepala Divisi dibantu Wakil Kepala Divisi yang membawahi para Kepala Bagian

dan Staf. Unit Kerja di tingkat wilayah PT Bank BRI (Persero) Tbk dipimpin oleh

Pemimpin Wilayah yang dibantu oleh Wakil Pemimpin Wilayah yang

membawahi Kepala Bagian dan Pemimpin Cabang yang ada di wilayah tersebut.

Unit kerja di tingkat Kantor Cabang PT Bank BRI (Persero) Tbk dipimpin oleh

Pemimpin Cabang yang membawahi para Officer, Kepala Bagian dan Kepala

Seksi serta seluruh PT Bank BRI (Persero) Tbk unit yang ada di wilayah kantor

Cabang tersebut.

Jaringan kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk meliputi wilayah yang sangat

luas dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia di samping beberapa kantor cabang

dan perwakilan di luar negeri. Saat ini jaringan kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk

terdiri dari satu (1) buah Kantor Pusat, tiga belas (13) Kantor Wilayah, dua belas

(12) Kantor Inspeksi, satu (1) buah Kantor Cabang Khusus, tiga ratus dua puluh

empat (324) Kantor Cabang, delapan (8) Kantor Cabang Syariah, seratur enam

puluh tiga (163) Kantor Cabang Pembantu, satu (1) Kantor Cabang Luar Negeri,

dua (2) Kantor Perwakilan Luar Nageri, enam (6) buah Kas Mobil, seratus empat

puluh tiga (143) Payment Point, empat ribu sembilan puluh enam (4096) Kantor

PT Bank BRI (Persero) Tbk Unit, seratus enam puluh (160) Pos Pelayanan Desa
59

dan seratus enam belas (116) Tim Pelayanan Desa.

4. Bidang Usaha PT Bank BRI (Persero) Tbk

PT Bank BRI (Persero) Tbk memilki berbagai jenis usaha yang secara garis

besar dapat di bagi dalam bidang usaha simpanan, pinjaman dan jasa bank

lainnya.

1. Usaha simpanan meliputi Girobri dan depobri dalam mata uang rupiah

maupun US dollar, sertifikat PT Bank BRI (Persero) Tbk (Sertibri),

Tabungan Britama, Tabungan Simpedes dan Tabungan Haji.

2. Usaha pinjaman meliputi kredit Prioritas atau Kredit Program, Kredit Non

Prioritas atau Kredit Komersial, Kredit Pemilikan Rumah, Kredit

Kendraan Bermotor, Kredit Profesi, Kredit Ekspress, Kupedes, Kredit

Golongan Berpenghasilan Tetap dan Pensiun dan Credit Cash Collateral.

3. Usaha jasa bank meliputi transper, inkaso, wesel, Safe Deposit Box, Wali

Amanat, ATM, Cek Perjalanan PT Bank BRI (Persero) Tbk (Cepebri),

Kliring dan jual beli Bank Notes.

4. Jasa bank lainnya meliputi biaya penyelenggaraan ibadah haji, penerimaan

SSB, STNK, SIM, BPKP, penerimaan setoran denda tilang, penerimaan

setoran tagihan telepon dan listrik, pembayaran uang pensiun PT Taspen,

pembayaran pajak bea cukai KPKN, pembayaran pajak bumi dan

bangunan (PBB), subsidi pembangunan inpres (P2KP), pelayanan setoran

PT Pusri, pelayanan pembayaran Pertamina dan pelayanan setoran

pegadaian.

B. Gambaran Umum Kantor Cabang Padangsidimpuan

Kantor Cabang (Kanca) PT Bank BRI (Persero) Tbk Padangsidimpuan


60

merupakan salah satu dari 17 kantor cabang PT Bank BRI (Persero) Tbk yang

terdapat di Kantor Wilayah Medan. Kanca PT Bank BRI (Persero) Tbk

Padangsidimpuan dipimpin oleh Pemimpin Cabang (Pinca) yang membawahi

kegiatan pelayanan kepada sektor mikro dan ritel. Dalam kegiatannya Pinca

dibantu oleh tiga orang Asisten Manajer di bawah ini:

1. Seorang Asisten Manajer Operasional (AMO) yang bertanggung

jawab terhadap kelancaran seluruh proses operasional kanca. AMO

membawahi bagian pelayanan dan bagian kas Kanca.

2. Dua orang Asisten Manajer Bisnis Mikro (AMBM), betanggung

jawab terhadap bisnis baik kredit maupun dana dan operasional

mikro di Bank BRI unit. AMBM dibantu oleh lima orang penilik

Bank BRI unit. AMBM juga membawahi bagian Supervisi

Administrasi Unit yang terdiri dari petugas Administrasi dan

Petugas Rekonsiliasi Unit.

Jumlah unit usaha yang menjadi supervisi Kanca PT Bank BRI (Persero)

Tbk Padangsidimpuan terdiri dari 15 PT Bank BRI (Persero) Tbk Unit yang

tersebar di berbagai kecamatan yang ada di Kota Padangsidimpuan, Kabupaten

Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, serta sebuah Kantor Cabang

Pembantu (KCP) yaitu KCP Panyabungan yang terletak di Kabupaten Mandailing

Natal.

Kantor Cabang PT Bank BRI (Persero) Tbk Padangsidimpuan mempunyai

segmen pelayanan perbankan di bidang bisnis ritel, sedangkan 15 PT Bank BRI

(Persero) Tbk Unit yang ada di Kanca PT Bank BRI (Persero) Tbk

Padangsidimpuan bergerak dalam pelayanan perbankan untuk sektor mikro.


61

C. Gambaran Umum Jaminan Fidusia Yang Ada Pada PT Bank BRI

(Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan.

1. Objek Jaminan Fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk

PT Bank BRI (Persero) Tbk merupakan salah satu bank yang cukup

tangguh di Kota Padangsidimpuan, telah memiliki banyak nasabah dengan

berbagai opsi pelayanan jasa perbankan yang disediakan oleh PT Bank BRI

(Persero) Tbk. Dalam Surat Edaran BRI 11 Mei 2004 Obyek jaminan fidusia

adalah:

a. Benda bergerak (berwujud maupun tidak berwujud), misalnya

persediaan/stok barang, mesin, kendaraan bermotor, piutang

dagang/usaha

b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani

hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4/1996,

misalnya hak pakai atas tanah hak milik.

c. Jika tidak diperjanjikan lain, maka jaminan fidusia meliputi hasil dari

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, juga klaim asuransi dalam

hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan.

Khusus mengenai jaminan fidusia dari pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk

diperoleh data bahwa perjanjian jaminan yang diikat dengan jaminan fidusia dari

tahun 2000 sampai 2007 berjumlah 4 buah, dan semua statusnya hanya sebagai

jaminan tambahan dan jaminan pokoknya adalah jaminan dalam bentuk hak

tanggungan. Jaminan tambahan berupa benda bergerak yaitu sepeda motor, truk,

mesin padi, mobil/taxi. Menurut Pak Riza bagian marketing PT Bank BRI

(Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan telah dibuka model kredit kendraan


62

bermotor dengan jaminan secara fidusia, tetapi karena lembaga-lembaga leasing

memberikan persyaratan yang lebih mudah dibandingkan dengan syarat yang

harus dipenuhi debitur jika berhubungan dengan bank menyebabkan perjanjian

jaminan fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan sangat

sedikit jumlahnya.

Pada dasarnya pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan merasa lebih aman dengan menggunakan jaminan hak

tanggungan, jaminan fidusia hanya akan digunakan apabila setelah dianalisis

ternyata jaminan pokok yang berupa hak tanggungan dinilai masih kurang

mencukupi dengan besarnya nilai kredit yang akan disalurkan. PT Bank BRI

(Persero) Tbk cabang Pangsidimpuan tegas menyatakan tidak mau mengikat

kredit dengan jaminan fidusia sebagai jaminan pokok.80

Praktek perbankan yang terjadi pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan, jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai jaminan sekunder

sebagai pelengkap dari hak tanggungan dan bukan sebagai jaminan primer. Dan

objek jaminan fidusia yang telah diikat semuanya adalah benda bergerak.

Mengenai objek jaminan fidusia atas benda tidak bergerak seperti

bangunan di atas tanah orang lain, hak sewa atau hak pakai dan rumah susun

belum ada nasabah yang mengajukan pinjaman. Dengan tegas pihak Bank BRI

mengatakan tidak bersedia untuk memberikan pinjaman terhadap agunan dalam

bentuk bangunan di atas tanah orang lain, hak pakai, hak sewa, dan tanah yang

tidak bersertifikat dengan alasan terlalu beresiko dan kurang bahkan tidak

memberikan kepastian hukum.

Keterangan bagian marketing ini cukup beralasan dan sejalan dengan


80 Wawancara dengan Pak Riza bagian Marketing PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang
Padangsidimpuan tanggal 29 Desember 2006
63

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/248/UPPK/PK tanggal 6 Maret 1972

(sebelum keluarnya UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fidusia)

menegaskan bahwa fidusia hanya diperlakukan terhadap barang bergerak.

Selanjutnya bank-bank dianjurkan agar tidak secara mudah menggunakan fidusia

tanpa terlebih dahulu menyelidiki keadaan moral maupun financial standing dari

calon debitur, mengingat barang bergerak itu tetap dikuasai debitur, berhasil atau

gagalnya bentuk jaminan fidusia semata-mata bergantung kepada bonafiditas dan

itikad baik debitur.

Landasan operasional Bank BRI adalah surat edaran yang terbaru yaitu

Nose: S. 8 –DIR/ADK/05/2004 tentang agunan kredit, secara yuridis hal ini

dibenarkan oleh hukum berdasarkan hirarkhi perundang-undangan yang dianut di

Indonesia, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih

tinggi dalam hukum jaminan fidusia adalah Undang-Undang Jaminan Fidusia No.

42 Tahun 1999. Dalam Surat edaran ini ditegaskan bahwa objek jaminan fidusia

adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat atas bangunan yang berdiri

di atas tanah orang lain termasuk rumah susun, hak pakai dan hak sewa dan ini

sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 tetapi dalam

praktek jelas mereka menyatakan menolak untuk memberikan kredit terhadap

nasabah yang memberikan agunan dengan objek jaminan seperti bangunan di atas

tanah hak milik orang lain, hak sewa, dan hak pakai.

Secara yuridis Bank BRI tidak melakukan pelanggaran hukum/peraturan

perundang-undangan, karena tidak bersedia memberikan kredit terhadap agunan

hak sewa, hak pakai dan bangunan yang ada di atas tanah orang lain, juga tanah

yang tidak memiliki sertifikat, hal ini dapat dikaitkan dengan asas konsensualitas

dan kebebasan berkontra, artinya apa yang diinginkan oleh pihak yang satu
64

dikehendaki juga oleh pihak yang lain. Konsensualitas dalam perjanjian tersimpul

dalam pasal 1320 yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian dan salah satu

syarat tersebut adalah “sepakat” mereka yang mengikatkan dirinya, artinya para

pihak bebas untuk melakukan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan tidak sepakat

dengan nasabah yang mempunyai agunan berupa bangunan diatas tanah orang

lain, hak pakai dan hak sewa, meskipun undang-undang Jaminan Fidusia

mengatur tentang hal ini tetapi PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan sebagai kreditur boleh menyimpangi peraturan ini di dasarkan

oleh suatu prinsip bahwa jaminan fidusia lahir karena diperjanjikan bukan karena

undang-undang.

Selayaknya PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan dapat

mengikuti perkembangan hukum jaminan yang sudah jauh lebih maju dengan

objek jaminan yang lebih luas seperti yang telah diatur dalam ruang lingkup

jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia.

Jumlah perjajian kredit dengan pembebanan secara fidusia pada PT Bank

BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan sangat sedikit, hal ini disebabkan

oleh antara lain:

1. PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan tidak memenerima

agunan berupa bangunan di atas tanah hak milik orang lain.

2. PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan tidak menerima agunan

berupa hak pakai dan hak sewa.

3. PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan juga tidak menerima


65

agunan tanah yang tidak bersertifikat

4. PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan tidak menerima agunan

benda bergerak sebagai agunan pokok.

2. Kasus Jaminan Fidusia ke Pengadilan

Hasil wawancara dengan pihak yang berkompoten dengan bagian kredit

pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padandsidimpuan sampai dengan hari

terakhir penelitian belum/ tidak ada kasus tentang jaminan fidusia yang sampai ke

pengadilan baik jaminan fidusia berkedudukan sebagai jaminan primer maupun

jaminan sekunder sebagai pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Mungkin ini

berkaitan dengan rahasia bank.

Setelah menghubungi bagian perdata di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

diperoleh data bahwa ada satu kasus debitur yang melakukan wanprestasi pada PT

Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan sebelum keluarnya Undang-

Undang Jaminan Fidusia yaitu kasus dengan register No. 13/PDT.

G/1992/PN.PSP.

Menurut Pak Afandi hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan untuk membantu dalam penelitian ini, tidak banyak kasus

menyangkut fidusia yang sampai ke Pengadilan karena debitur melakukan

wanprestasi atau hal lain, disebabkan oleh kesadaran hukum masyarakat kota

Padangsidimpuan khususnya nasabah PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan cukup tinggi artinya debitur melakukan kewajiban-

kewajibannya dengan baik, disamping agunan yang dapat diikat dengan jaminan

fidusia sangat terbatas dan hanya sebagai jaminan sekunder saja.81

81 Wawancara dengan Hakim Afandi SH, Hakim pada Pengadilan Negeri Padangsidimpuan
tanggal 8 Januari 2007.
66

Ditambah lagi setelah keluarnya UU Jaminan Fidusia No 42 Tahun 1999

telah memberikan peluang yang luas bagi para pihak debitur (nasabah) dengan

kreditur (pihak bank) menawarkan beberapa opsi dalam hal eksekusi, apabila

terjadi permasalahan dikemudian hari. Untuk melakukan eksekusi terhadap barang

objek fidusia dengan kekuasaan sendiri karena sertifikat jaminan fidusia yang

telah memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (penjelasan

pasal 15 ayat 2).

Penjelasan Pak Afandi ini cukup beralasan jika dilihat dari tujuan

dibentuknya UU jaminan fidusia itu sendiri yaitu untuk memenuhi kebutuhan

hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin

kepastian hukum serta mampu untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak

yang berkepentingan.

Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 juga menawarkan

proses eksekusi yang lebih praktis, efisien, murah dan cepat bagi para pihak dalam

perjanjian, terutama perjanjian yang dibuat oleh lembaga perbankan dengan

syarat bahwa perjanjian jaminan fidusia tersebut harus dibuat dengan akta notaris

dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, dibandingkan dengan perjanjian

fidusia yang dibuat di bawah tangan hingga proses eksekusinya lewat gugatan

biasa, yang melalui proses birokrasi berbelit-belit dan proses peradilan yang

sangat lama dan melelahkan.

D. Pelaksanaan Jaminan Secara Fidusia

1. Fungsi Juridis Jaminan Fidusia Sebagai Pengaman Kredit Bank


67

PT Bank BRI (Persero) Tbk dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai

penyalur dana masyarakat secara aktif memberikan kredit kepada nasabah, dalam

menyalurkan kredit didasarkan kepada prinsip kehati-hatian, dan ini terlihat dalam

sistim penilaian yang dilakukan berdasarkan prinsip keyakinan atas kemampuan

dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya.

Untuk memperoleh keyakinan, sebelum memberikan kredit, PT Bank BRI

(Persero) Tbk melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,

modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Prinsip ini lebih dikenal dengan

istilah 5 C’s yakni Character (watak, kepribadian), Capital (modal), Collateral

(jaminan, agunan), Capacity (kemampuan), dan Conditions of Economic (kondisi

ekonomi).82 Dalam praktek pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan menentukan kecukupan jaminan, ditentukan oleh hasil analisis

terhadap watak, kemampuan, kapital, serta kondisi dan prospek usaha nasabah dan

agunan.83 Oleh karena itu, dalam menentukan kecukupan jaminan kredit, setiap

pejabat kredit, baik pejabat pemrakarsa maupun pejabat pemutus

mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu:

a. Kondisi dan Prospek Usaha Debitur

Dari hasil analisis yang dilakukan secara mendalam terhadap unsur watak,

kemampuan, kapital serta kondisi ekonomi/politik dari seorang debitur atau calon

debitur, pejabat kredit (pejabat pemrakarsa dan pemutus) harus mampu

mengambil suatu kesimpulan yang mengarah pada keyakinan bahwa pinjaman

yang diberikan akan dapat dibayar kembali (sesuai dengan yang diperjanjikan).

Tingkat keyakinan pejabat kredit tersebut akan dipakai sebagai bahan

82 Wawancara dengan pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan. di


Padangsidimpuan tanggal 29 Desember 2006
83 Surat Edaran BRI Tahun 2004, hal. 2.
68

pertimbangan dalam menentukan kecukupan jaminan suatu kredit yang diberikan.

b. Nilai Agunan Pokok dan Tambahan

Berdasarkan hasil judgement atas unsur–unsur tersebut di atas, pejabat

pemrakarsa dan pejabat pemutus, harus mampu mengambil keputusan mengenai

macam agunan yang dipersyaratkan, yaitu apakah cukup agunan pokok saja atau

perlu diminta agunan tambahan.

Agunan kredit dapat hanya berupa agunan pokok tersebut apabila

berdasarkan aspek-aspek lain dalam ”first way out” (watak, kemampuan, modal

dan prospek), diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan

utangnya.

Apabila menurut judgement pemutus, agunan pokok yang disediakan tidak

dapat menutup kecukupan jaminan, yang disebabkan adanya kesulitan dalam

pengikatan dan penguasaan agunan pokok, sehingga tidak dapat memberikan hak

preference bagi Bank BRI, maka agunan tambahan menjadi wajib dipenuhi.

Dalam mempertimbangkan kecukupan nilai agunan kredit, harus didasarkan

keyakinan dari Pejabat kredit Lini (pemrakarsa dan pemutus) bahwa nilai agunan

tersebut akan dapat meminimalkan tingkat kerugian (loss given default) dan

memperbesar recovery rate apabila debitur wanprestasi di kemudian hari.

Perlu juga dilakukan kajian untuk menetapkan persyaratan yang diperlukan

agar agunan kredit (baik untuk agunan pokok maupun agunan tambahan) tersebut

dapat dijamin keamanannya, pengikatan hukumnya, penguasaannya,

efektifitasnya pada saat diperlukan.

c. Kecukupan Jaminan

Berdasarkan kesimpulan atau judgement atas kualitas nasabah atau calon

nasabah (yang diperoleh melalui analisis terhadap watak, kemampuan, modal,


69

serta kondisi dan prospek usaha seperti di atas ), serta nilai agunan yang ada

seperti diuraikan. di atas, pejabat pemrakarsa dan pejabat pemutus kredit harus

mampu mengambil kesimpulan mengenai kecukupan jaminan untuk mendukung

kredit yang diberikan.

Penilain watak menyangkut masalah reputasi dari calon debitur dalam

mempergunakan kredit sesuai dengan tujuan dan selalu memenuhi kewajibannya

membayar kredit tepat pada waktu yang diperjanjikan.

Penilaian kemampuan menyangkut kemampuan calon debitur dalam

menjalankan dan mengembangkan usahanya sehingga berjalan lancar. Dengan

kondisi usaha yang menguntungkan dan kejelasan pertambahan pendapatan

nasabah pasti mampu membayar utang pokok dan bunganya.

Penilaian modal menyangkut masalah besarnya modal yang dimiliki calon

debitur. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki oleh debitur akan semakin

baik karena keterlibatan debitur terhadap maju dan mundurnya usaha sangat besar.

Penilaian jaminan menyangkut tentang harta benda milik debitur atau milik pihak

ketiga yang merupakan jaminan tambahan dalam mengamankan penyelesaian

kredit.

Penilaian kondisi ekonomi menyangkut masalah situasi perekonomian dan

politik secara makro (kondisi dan situasi yang memberikan dampak positif bagi

prospek usaha debitur). Dari kelima faktor penilaian yang dilakukan oleh PT Bank

BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, faktor yang berfungsi sebagai

pengaman yuridis dari kredit yang disalurkan adalah jaminan kredit.

Jaminan kredit dalam arti luas bukan hanya menyangkut agunan yang

diberikan oleh debitur tetapi juga meliputi faktor-faktor lain seperti: bonafiditas
70

dan prospek usaha. Dalam arti sempit, jaminan kredit hanya ditujukan kepada

benda agunan yang diberikan debitur yang lazim disebut dengan jaminan

tambahan berupa harta benda.

Wajib dijadikan jaminan adalah yang berkaitan secara langsung dengan

objek yang dibiayai, dan meminta jaminan kredit sebagai jaminan tambahan

bukan suatu kewajiban bank.84 Pemberian kredit tanpa jaminan tambahan dikenal

dengan unsecured loans. PT Bank BRI (Persero) Tbk memberikan kredit model

ini jika dalam analisis jaminan, jaminan utama telah memenuhi standar untuk

menjamin penyelesaian kredit yang akan disalurkan.

Pada umumnya, yang diterima bank adalah tanah yang sudah bersertifikat

dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah hak tanggungan. Sebelum keluarnya

Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 pengikatan atas tanah yang

belum bersertifikat dilakukan dengan menggunakan surat kuasa jual atau

perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa. Artinya pihak bankmau

memberikan kredit kepada nasabah yang mempunyai agunan tanah yang belum

bersertifikat.

Setelah keluarnya UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan bank

tidak menerima lagi tanah yang belum bersertifikat untuk dijadikan sebagai

agunan, dengan alasan bahwa bentuk pengikatan jaminan baik surat kuasa jual

maupun perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa bukanlah suatu

lembaga jaminan yang memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi bank dan

konsekuensi yuridisnya bagi bank hanya sebagai kreditur konkuren.

Setelah keluarnya UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

dinyatakan bahwa tanah yang tidak bersertifikat tidak dapat dijadikan sebagai

84 Lihat Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998.


71

agunan dan sebagai jalan keluarnya dapat diikat dengan fidusia. PT Bank BRI

(Persero) Tbk dengan jelas menyatakan bahwa tanah belum bersertifikat tidak

dapat dijadikan sebagai agunan baik untuk bentuk jaminan dengan hak

tanggungan maupun dalam bentuk jaminan fidusia. Dengan argumen bahwa tanah

yang tidak bersertifikat terlalu beresiko bagi bank artinya jika debitur melakukan

waprestasi pihak bank berada pada posisi yang sangat lemah dan debitur punya

banyak kesempatan untuk berbuat curang85

Dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa jaminan fidusia yang dijumpai

pada PT Bank BRI (Persero) Tbk adalah jaminan fidusia yang merupakan jaminan

pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Jika dilihat dari sistim hukum jaminan

kebendaan, jaminan fidusia dan hak tanggungan memiliki kekuatan yuridis yang

sama, hanya berbeda dalam objeknya. Jaminan fidusia cenderung lebih kecil nilai

pinjaman kreditnya jika dibandingkan dengan pinjaman kredit yang diikat dengan hak

tanggungan.

Jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi

keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa debitur akan melunasi

pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir

karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antar bank

dengan debitur. Oleh karena itu , fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih

bersifat khusus jika dibandingkan dengan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal

1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Fungsi yuridis pengikatan benda

jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang sangat urgen

dari perjanjian kredit. Hubungan fungsi yuridis jaminan fidusia sebagai pengaman

kredit bank dapat dilihat dari akta jaminan fidusia di bawah ini:

85 Wawancara dengan pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan di


Padangsidimpuan pada tanggal 29 Dsember 2006
72

Bahwa untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban pembayaran


kembali pinjaman, baik berupa pokok, bunga, denda bunga, dan ongkos-
ongkos serta biaya- biaya lainnya tanpa pengecualian, maka kedua belah
pihak sepakat dan setuju untuk mengadakan perjanjian penyerahan Hak
Milik Atas Kepercayaan (Fiducia). Selanjutya disebut perjanjian dengan
syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Sebagai jaminan hutang
yang dimaksud dalam Perjanjian Membuka kredit Nomor:…tanggal…
dibuat dihadapan notaris, pihak pertama setuju untuk menyerahkan hak
milik atas kepercayaan kepada pihak kedua dan pihak kedua setuju untuk
menerima penyerahan tersebut dari pihak pertama, yaitu atas: 1(satu) unit
kendraan bermotor Merk Mitsubishi, Type L300, jenis Mobil Penumpang
Tahun Perakitan 1996/2477.CC, Nomor Rangka/NIK:..L300DB.215595,
Nomor Mesin 4D56-698650, Warna Putih Kombinasi, Buku Pemilik
Kendraan Bermotor A Nomor: 4972754B, Nomor Polisi BB.1531-RA,
terdatar atas nama…dengan nilai penjaminan sebesar …86
Fungsi yuridis jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta jaminan

fidusia akan lebih menguatkan kedudukan bank sebagai kreditur preferen. Dan

juga memperoleh kepastian terhadap pengembalian utang debitur sekaligus

mengurangi tingkat resiko bank dalam menjalankan usahanya.

2. Perjanjian Membuka Kredit

Pemberi fidusia yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah

ditetapkan dalam formulir reviw dokumen maka tahap selanjutnya adalah

membuat perjanjian membuka kredit dibuat dengan akta notaris yang mengatur

tentang:

a. Data pemberi kredit/bank dan penerima kredit/nasabah

b. Besarnya nilai pinjaman

c. Besarnya bunga

d. Jangka waktu pinjaman

e. Pengakuan utang

f. Jaminan pokok berupa usaha/proyek yang dibiayai dan

86 Dikutip dari Akta Penyerahan Hak Milik Atas Kepercayaan Nomor 132 tanggal 30 Juni 2006
yang dibuat Notaris L di Padangsidimpuan. Pihak pemberi kredit adalah PT Bank BRI (Persero)
Tbk dan nasabahnya adalah seorang wiraswasta.
73

tanah yang diikat dalam bentuk hak tanggungan

g. Jaminan tambahan berupa benda bergerak yaitu: mobil,

taxi, mesin padi, truk dan stok barang-barang dagangan

yang telah ada sekarang maupun yang akan ada dikemudian

hari yang disebut (objek jaminan fidusia), yang diikat

dengan jaminan dalam bentuk fidusia.

Biaya pembuatan akta perjanjian membuka kredit ini, menurut notaris L

menyangkut rahasia notaris.

3. Pengikatan/Pembebanan Jaminan Secara Fidusia

Nilai pengikatan agunan merupakan nilai yang menggambarkan minimal

besarnya hak Bank BRI atas agunan kredit yang diikat, dan merupakan perkiraan

besarnya kewajiban debitur kepada Bank BRI yang dapat ditutup oleh agunan

tersebut, apabila di kemudian hari terjadi kegagalan pembayaran kredit. Pemutus

harus menentukan besarnya nilai pengikatan agunan dengan pertimbangan utama

untuk memaksimalkan recovery rate apabila kredit menjadi bermasalah.

Secara umum, Undang-Undang telah memberikan jaminan perlindungan

kepada kreditur sebagaimana diatur dalam pasal 1131 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yaitu: “segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak

maupun yang tidak bergerak, baik yang sekarang ada maupun yang akan ada di

kemudian hari menjadi tanggungan/ jaminan atas hutang-hutangnya”. Jaminan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1131 tersebut masih dirasakan terlalu umum

dan belum sepenuhnya melindungi kreditur apabila debitur wanprestasi. Untuk

mengatasi hal tersebut, serta untuk dapat memberikan rasa aman bagi kreditur
74

(bank), maka kreditur dapat meminta benda tertentu dalam bentuk barang, baik

bergerak maupun tidak bergerak, sebagai agunan atas kredit yang diberikan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 4

sampai 10 Undang-Undang jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999. Sifat Jaminan

fidusia adalah perjanjian ikutan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang

menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

pembebanan barang sebagai agunan adalah:

o Pembebanan Fidusia
1. Dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia
2. Memuat sekurang-kurangnya :
• Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia, meliputi: nama
lengkap, agama, tempat tinggal/ tempat kedudukan, tempat dan
tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.
3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia,
antara lain :
• Mencantumkan benda tersebut dan bukti kepemilikannya,
• Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan
benda yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap seperti stok
bahan baku, barang jadi atau portofolio perusahaan efek, maka
dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis,
merek dan kualitas dari benda tersebut.
5. Nilai penjaminan
6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
7. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari 1 (satu)
penerima fidusia dalam hal kredit konsorsium atau kredit
sindikasi
8. Jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia
ditempat kedudukan pemberi fidusia dan pendaftarannya
mencakup benda baik yang berada di dalam maupun diluar
wilayah Negara Republik Indonesia.
9. Pendaftaran jaminan fidusia dimaksud dilakukan oleh penerima
fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan
pendaftaran jaminan fidusia yang memuat :
• Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
• Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat
kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia
• Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
• Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
• Nilai penjaminan
75

• Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia


10. Klausula yang perlu diperhatikan atau yang lazimnya terdapat pada
akta jaminan fidusia, antara lain :
• Obyek jaminan fidusia benar-benar milik pemberi jaminan fidusia
dan pembebanan jaminan fidusia dilakukan di tempat dimana
obyek jaminan fidusia berada.
• Pembebanan jaminan fidusia menyebabkan obyek jaminan fidusia
menjadi milik penerima fidusia/bank, namun obyek jaminan
tersebut tetap berada pada dan dalam kekuasaan pemberi fidusia
selaku peminjam pakai. Untuk obyek jaminan berupa piutang,
pemberi gadai juga bertindak selaku penyelenggara
administrasi/tata usaha dari obyek jaminan.
• Penerima fidusia atau wakilnya yang sah, setiap waktu berhak dan
dengan ini telah diberi kuasa dengan hak subtitusi oleh pemberi
fidusia untuk memeriksa tentang adanya dan tentang keadaan
obyek jaminan fidusia tersebut.
• Apabila bagian dari obyek jaminan fidusia atau antara obyek
jaminan fidusia ada yang tidak dapat digunakan lagi, maka pemberi
fidusia berjanji dan karenanya mengikat diri untuk mengganti
bagian dari atau obyek jaminan fidusia lainnya yang sejenis, yang
nilainya setara dengan yang digantikan serta yang dapat disetujui
penerima fidusia, sedang pengganti obyek jaminan fidusia tersebut
termasuk dalam jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta ini.
• Pemberi fidusia tidak berhak untuk melakukan fidusia ulang atas
obyek jaminan fidusia. Pemberi fidusia juga tidak dapat
membebankan, menggadaikan atau menjual atau mengalihkan
dengan apapun obyek jaminan fidusia kepada pihak lain, tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
• Pemberi fidusia menjamin kepada penerima fidusia bahwa obyek
jaminan fidusia tersebut tidak terikat sebagai tanggungan untuk
menjamin hutang lain.
• Obyek jaminan fidusia yang insurable agar diasuransikan
berdasarkan judgement dari pemutus kredit.87

4. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Suatu perubahan yang cukup mendasar dari perkembangan jaminan fidusia

adalah mengenai pendaftaran. Sebelum keluarnya Undang-Undang Jaminan

Fidusia pendaftaran jaminan fidusia belum menjadi suatu kewajiban, tetapi setelah

keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 pendaftaran

jaminan fidusia semakin krusial. Pendaftaran tersebut memiliki arti yuridis

87 Surat Edaran BRI Tahun 2004, hal. 19.


76

sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian

jaminan fidusia. selain itu, pendaftaran jaminan fidusia merupakan syarat untuk

memenuhi asas publisitas dalam memperoleh kepastian hukum.

PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan setelah keluarnya

Undang-Undang Jaminan Fidusia, semua perjanjian jaminan yang diikat dengan

jaminan fidusia didaftarkan.88 Akibat hukum perjanjian jaminan fidusia yang

didaftar di kantor pendaftaran fidusia adalah melahirkan perjanjian kebendaan

yang berkarakter kebendaan seperti droit de suite dan hak preferensi melekat pada

kreditur penerima jaminan fidusia

Yang didaftarkan adalah akta jaminan fidusia dan bendanya. Hal ini dapat

dianalisis langsung dari akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris, ditemukan

fakta yuridis bahwa yang didaftarkan adalah akta jaminan fidusia dan benda

jaminan fidusia. Contoh pendaftaran jaminan fidusia yang dituangkan dalam akta

jaminan fidusia berbunyi sebagai berikut:

Penerima fidusia atau kuasanya berwenang untuk melaksanakan


pendaftaran jaminan fidusia kepada kantor pendaftaran fidusia untuk
keperluan tersebut menghadap dihadapan pejabat atau instansi yang
berwenang memberikan keterangan, menandatangani surat/formulir,
mendaftarkan jaminan fidusia atau objek jaminan fidusia tersebut dengan
melampirkan Pernyataan Pendaftran Jaminan Fidusia, dan mengajukan
permohonan perubahan dalam hal terjadi perubahan atas data yang
tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia, selanjutnya menerima
Sertifikat Jaminan Fidusia dan/atau pernyataan perubahan, serta dokumen-
dokumen lain yang bertalian. Untuk keperluan itu membayar semua biaya
dan menerima kwitansi segala uang pembayaran serta selanjutnya
melakukan segala tindakan yang perlu dan berguna untuk melaksanakan
ketentuan dari akta ini.89

Pernyataan bahwa yang didaftar adalah akta jaminan fidusia dan benda/

88Wawancara dengan pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan di


Padangsidimpuan tanggal 26 Desember 2006.
89 Dikutip dari Pasal 11 Akta Jaminan Fidusia No. 132 tanggal 30 Juni 2006, Akta Notaris Model
PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan.
77

objek jaminan fidusia ini juga didukung oleh keterangan yang diberikan oleh

notaris L (notaris mitra Bank BRI Cabang Padangsidimpuan) yang menyebukan

bahwa syarat pendaftaran jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia salah

satunya adalah foto copy surat kemilikan kendraan bermotor yang telah

dilegalisasi oleh notaris untuk agunan fidusia yang berbentuk benda bergerak.

Pendaftaran jaminan fidusia sangat penting, namun dalam praktik

perkreditan di lingkungan bank dan lembaga pembiayaan lainnya di Padangsidimpuan

masih ada perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Hal ini diungkapkan

oleh notaris M yang menyatakan bahwa masih ada perjanjian jaminan fidusia

yang dibuat di bawah tangan dan tidak didaftarkan dan ada juga yang dibuat

dengan akta notaris tetapi tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.90 Tetapi

ketika diminta datanya menolak dengan alasan menyangkut rahasia bank.

Setiap perjanjian penjaminan pada dasarnya masuk dalam kelompok

hukum perikatan walaupun memiliki dimensi hukum kebendaan. Salah satu ciri

hukum perikatan, adalah sifatnya yang fakultatif (tidak memaksa). Sesuai azas

kebebasan berkontrak masing-masing pihak bebas saling mengikatkan diri selama

syarat sahnya perjanjian terpenuhi. Sebaliknya, hukum kebendaan lebih banyak

berciri imperatif (memaksa) karena berlaku umum untuk semua pihak.

Suatu perjanjian penjaminan hak kebendaan memiliki kedua ciri tersebut.

Walaupun para pihak bebas menyusun klausulanya, perjanjian itu wajib memuat

beberapa unsur yang ditentukan undang-undang. Hal ini jelas terlihat dalam

Undang-Undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (“Undang-Undang

Jaminan Fidusia”).

Tidak terpenuhinya unsur-unsur wajib/imperatif dalam undang-undang


90 Wawancara dengan Notaris M di Padangsidimpuan tanggal 4 Januari 2007.
78

penjaminan tidak berakibat perjanjian itu sendiri batal. Namun, pihak yang

memiliki hak atas perjanjian itu tidak bisa menikmati haknya yang diberikan

dalam undang-undang yang bersangkutan. Jaminan fidusia yang tidak memenuhi

syarat imperatif dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Fidusia (misalnya syarat

akta jaminan fidusia dalam Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu tidak

dibuat secara notariil) tidak akan dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran

Fidusia. Akibatnya sang kreditur tidak menikmati hak mendahului yang lazimnya

didapat dari perjanjian penjaminan sesuai Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Perjanjian yang disusun dengan konsep fidusia yang lama (fiduciairie

eigendom overdracht atau biasa disingkat FEO) tetap sah dan berlaku mengikat

pada kedua belah pihak. Namun, perjanjian itu tidak memberikan hak mendahului

pada sang kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dibanding kreditur

lainnnya. Kreditur hanya berhak atas pelunasan dari hasil penjualan objek jaminan

bersama-sama dengan kreditur konkuren lainnya.

Cara meminta eksekusinya pun berbeda. Kreditur tidak bisa menggunakan

titel eksekutorial yang lazimnya dinikmati kreditur pemegang fidusia (lihat Pasal

29 UU Fidusia). Ia hanya dapat mengajukan gugatan perdata terhadap debitur.

Konsekuensi bagi kreditur yang tidak melakukan pendaftran jaminan fidusia adalah

kreditur tidak mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang Jaminan Fidusia.

a. Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia

Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang

Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan

Fidusia mengatur tentang pendaftaran fidusia adalah sebagai berikut ini.

Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa,


79

atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran fidusia. Permohonan itu diajukan secara tertulis

dalam bahasa Indonesia. Permohonan pendaftaran melampirkan pernyataan

pendaftaran fidusia. Pernyataan itu memuat:

• Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

• Tanggal, tempat dan nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat

kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia

• Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

• Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

• Nilai penjaminan.

• Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

o Permohonan itu dilengkapi dengan:

• Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia

• Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk

melakukan pendaftaran jaminan fidusia

• Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 2 ayat

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta

Jaminan Fidusia).

a. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan dalam buku daftar fidusia pada

tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

b. Membayar biaya pendaftaran fidusia.

Biaya pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor


86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Biaya Pendaftaran fidusia ditentukan secara
berjenjang disesuaikan dengan besarnya nilai penjaminannya. Apabila nilai
penjaminannya kurang dari Rp. 50.000.000., maka besarnya biaya
pendaftarannya paling banyak Rp 50.000 besarnya biaya pendaftaran fidusia
ini adalah 1 per mil dari nilai penjaminan (nilai kredit). Berikut ini
80

dicantumkan besarnya biaya pembuatan akta dan baiya pendaftaran.91

No. Nilai Penjaminan Besar Biaya


1. < Rp 50.000.000. Paling banyak

Rp. 50.000.
2 > Rp 50.000.000. s.d. Rp 100.000.000. Rp. 100.000.
3. > Rp 100. 000. 000 s.d Rp. 250. 000.000. Rp. 200.000.
4. > Rp 250.000.0000.s.d. Rp. 500.000.000. Rp. 500.000.
5. > Rp 500.000.000. s.d. Rp 1.000.000.000. Rp. 1.000.000.
6. > Rp 1.000.000.000. s.d. Rp.2.5 000.000.000. Rp. 2.000.000.
7. > Rp. 2.500.000.000. s.d. Rp. 5.000.000.000. Rp. 3.000.000.
8. > Rp. 5.000.000.000. s.d. 10.000.000.000. Rp. 5.000.000.
9. > Rp. 10.000.000.000. ke atas Rp. 7.500.000.
Tabel biaya Pembuatan Akta 92

Walaupun biaya pembuatan akta jaminan telah ditentukan dalam Peraturan

Pemerintah, namun para notaris juga telah menentukan tarif yang dikenakan pada
93
nasabah. Tarif yang ditentukan oleh notaris sebesar 2% dari nilai jaminan.

Menurut notaris L sebagai mitra kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan dalam membuat akta Jaminan untuk setiap pembuatan akta

jaminan fidusia untuk PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan

dikenakan biaya yang sama yaitu sebesar Rp. 150.000 untuk setiap pembuatan

akta fidusia, tanpa melihat besarnya nilai jaminan. Untuk bank lain ada yang Rp.

125.000, biayanya tidak sama untuk setiap bank.

• Berkas permohonan fidusia terdiri dari:

a. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia


b. Salinan akta jaminan fidusia (notariil)
c. Surat Kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk
melakukan pendaftaran jaminan fidusia
d. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia94

Menurut Notaris L dalam praktek yang biasa dilakukannya, untuk


91 Salim HS, op. cit., hal 84.
92 PP No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan
Akta Jaminan Fidusia Tanggal 30 September 2000.
93 Salim HS, ibid., hal. 85.
94 Surat Edaran BRI Tahun 2004, log. cit.
81

pendaftaran fidusia adalah:

a. Membeli blanko formulir seharga Rp. 25.000 dan menyertakan surat


pernyataan pendaftaran fidusia yang dibuat di bawah tangan
b. Foto copy Bukti Pemilik Kenderaan Bermotor yang telah dilegalisasi oleh
notaris.
c. Foto copy KTP Pemberi dan Penerima Fidusia
d. Surat Kuasa dari bank kepada notaris untuk mendaftarkan fidusia
e. Salinan akta fidusia
f. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia.
Setelah mengisi semua formulir dengan benar kemudian dimasukkan ke
loket pendaftaran dengan membayar sebesar Rp. 50.000 sampai Rp.75.000. Setelah
selesai, membayar biaya pendaftaran fidusia sebesar 150.000.s/d. Rp. 200.000
untuk nilai penjaminan sebesar Rp. 100.000.000.s/d. Rp. 500.000.000, dan jika
Rp. 500.000.000. ke atas dapat dilakukan negosiasi dengan pegawai Kantor
Pendaftaran Fidusia. Jadi tidak harga mati, dapat dilakukan tawar menawar,
hingga biaya pendaftaran ini berbeda-beda tergantung petugas dan keahlian kita
dalam negosiasi. 95

Tentang biaya pendaftaran ini diatur dalam Pasal 2 ayat 3 yang

menyatakan bahwa besarnya biaya pendaftaran jaminan fidusia ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah tersendiri mengenai penerimaan negara bukan pajak.

Dapat disimpulkan bahwa biaya pembuatan akta jaminan fidusia ini tidak

benar-benar mengikuti peraturan yang berlaku yaitu PP No. 86 Tahun 2000

Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta

Jaminan Fidusia oleh karena itu diharapkan ke depan agar pemerintah lebih

memperketat pengawasan serta memberikan sanksi admistrasi yang tegas kepada

notaris yang nakal. Diharapkan pemerintah dalam pendaftaran jaminan fidusia ini

juga memberikan solusi yang lebih baik artinya biaya pendaftaran jaminan secara

fidusia ini dibuat dengan harga/tarif yang seimbang dan sama menurut jumlah

yang telah ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum dan juga melakukan

upaya pengawasan agar pegawai kantor pendafatran fidusia benar-benar

melaksanakan peraturan yang berlaku dengan sebaik-baiknya.

95 Wawancara dengan Notaris L di Padangsidimpuan pada tanggal 2 Januari 2007.


82

c. Selanjutnya Kantor Pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku

daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran.

Tujuannya adalah agar kantor pendaftaran fidusia tidak melakukan

penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran

jaminan fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat

dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan

fidusia dalam buku daftar fidusia ini dianggap sebagai saat lahirnya jaminan

fidusia. Hal ini berlainan dengan FEO dan cessi jaminan yang lahir pada waktu

perjanjian dibuat antara debitur dan kreditur.

Sebagai bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan pemegang jaminan

fidusia adalah sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan kantor pendaftran fidusia

pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran

jaminan fidusia. Penyerahan sertifikat ini kepada penerima fidusia juga dilakukan

pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Sertifikat

jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila debitur

cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi

objek jaminan fidusia atas kekuasannya sendiri. Sertifikat jaminan fidusia ini

sebenarnya merupakan salinan dari buku daftar fidusia yang memuat catatan

tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada saat pernyataan

pendaftaran.
83

Ketentuan tentang adanya kewajiban pendaftaran ini merupakan hal yang

yang sangat urgen dalam jaminan fidusia mengingat bahwa pada umumnya objek

jaminan fidusia adalah benda bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit

mengetahui siapa pemiliknya mengingat ketentuan dalam Pasal 1977 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu siapa yang menguasi benda bergerak maka

ia akan dianggap sebagai pemiliknya (bezit geldt als volkomen titel).

5. Perjanjian Fidusia Merupakan Perjanjian yang Bersifat Assesoir

Ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan

bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak tanggungan yang tetap dalam

penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap

kreditur lainnya.

Ini berarti Undang-Undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan

jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (Zakelijke

zekerheid) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepdada penerima

fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditur yang lainnya. Hak ini tidak

hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia (Pasal 27 ayat 3

Undang-Undang Jaminan Fidusia). Dengan demikian tidak ada alasan untuk

menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah perjanjian yang bersifat obligatoir

(perorangan) bagi kreditur.

Setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999


84

dapat diketahui secara pasti bahwa sifat perjanjian jaminan fidusia adalah

assesoir yang sebelumnya masih meragukan bagi para ahli hukum. Pasal 4

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas

dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, atau tidak berbuat

sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki

sifat sebagai berikut:

a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok


b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok
c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak
dipenuhi.96

Asas-asas Fidusia yang dimuat dalam surat edaran BRI tahun 2004 tertulis

bahwa perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian yang bersifat assesoir.

Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengikuti bendanya (asas Droit de Suite)


2. Didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah (Asas Publisitas)
3. Memberikan hak untuk menjual langsung (Eksekutorial)
4. Obyek yang diikat fidusia adalah tertentu/terinci (Asas
Spesialitas)
5. Merupakan Perjanjian ikutan (Assesoir) 97

Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang lahir dan tidak terpisahkan

dari perjanjian kredit bank. Artinya perjanjian jaminan fidusia tidak akan ada

tanpa didahului oleh suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian pokok/dasar

Keterkaitan sifat perjanjian jaminan fidusia dengan perjanjian kredit dapat

dilihat dari isi perjanjian jaminan fidusia baik yang dibuat dengan akta notaris

96Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 125.


97 Surat Edaran BRI Tahun 2004, hal. 17.
85

maupun yang dibuat di bawah tangan. Hal ini erat kaitannya dengan asas hukum

yang paling urgen yang mendasari sistem hukum perjanjian yakni asas yang

menentukan lahirnya perjanjian, asas yang berkenaan dengan isi perjanjian dan

asas yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.

Perjanjian jaminan fidusia selalu dan harus dibuat secara tertulis, oleh

karena itu terdapat bermacam-macam model perjanjian jaminan fidusia sesuai

dengan keinginan masing-masing bank. Dan setiap bank mempunyai karakteristik

tersendiri baik dari segi bentuk maupun dari segi isi perjanjiannya. Hal ini

didasarkan kepada asas kebebasan berkontra yang dianut dalam hukum perjanjian

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian jaminan fidusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

perjanjian kredit sebagai perjanjian induknya. Dalam perjanjian kredit telah

ditentukan hal-hal yang telah disepakati oleh debitur dan kreditur, antara lain

debitur memberikan jaminan fidusia. Kesepakatan tersebut berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak. Apabila debitur wanprestasi, kreditur dapat

melaksanakan haknya sesuai dengan isi perjanjian.

Setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999,

bentuk perjanjian fidusia secara tegas dinyatakan harus dibuat dengan akta

notaris.98 Alasan pembentuk undang-undang menetapkan akta notaris adalah

bahwa akta notaris merupakan akta otentik sehingga memiliki kekuatan

pembuktian sempurna.

Namun menurut Sutan Remy Sjahdeini: tidak jelas alasan harus dibuatnya

pembebanan benda dengan jaminan fidusia secara notaril, mengingat selama ini

perjanjian fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan”.99

98 Lihat Pasal 5 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999.


99 Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
86

Keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa


pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih
dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan jaminan fidusia
secara notaril tersebut dibandingkan dengan pembebanan di bawah tangan,
secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan
para debitur, terutama debitur pengusaha lemah. Meskipun biaya
pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena
tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang izin prakteknya di
daerah yang bersangkutan, notaris dapat secara sewenang-wenang untuk
menetapkan biaya pembuatan akta.100

Lagi pula catatan pada notaris yang berkenaan dengan lahirnya pembebanan

fidusia tidak dapat diakses oleh publik. Berbeda dengan catatan pada kantor

registrasi yang dinyatakan pada Pasal 18 UU No. 42 Tahun 1999 sebagai terbuka

untuk umum yang pada kelanjutannya tidak dapat dimanfaatkan sama sekali oleh

publik untuk mengetahui status pembebanan jaminan atas suatu barang.

Masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih jauh sehubungan dengan

berlakunya UU No. 42 Tahun 1999, jaminan fidusia ini dapat menjadi amat

berguna bagi ekonomi nasional secara makro. Oleh karena itu, perlu kiranya ada

suatu komitmen yang kuat dari pihak-pihak terkait, seperti Menteri Kehakiman

dan HAM dalam menjalankan administrasi kantor registrasi fidusia. Juga

Mahkamah Agung agar memiliki persepsi yang sama atas visi dan misi Undang-

Undang fidusia ini, sehingga fidusia sebagai suatu instrumen jaminan yang

diterima secara luas.

Apabila perjanjian jaminan fidusia itu dibuat dibawah tangan maka

kreditur tidak memperoleh hak untuk didahulukan (preferen) dan juga tidak

dilindungi dengan asas droit de suite. Penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia

dengan aka notaris harus diartikan bersifat fakultatif (tidak memaksa) sebab

Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan sanksi apabila tidak dibuat

Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.


100 Ibid.
87

dengan akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia tetapi

kreditur hanya tidak akan mendapatkan haknya sebagai kreditur yang pereferen

dan tidak dapat dilindungi dengan asas droit de suite.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat masih banyak perjanjian

jaminan fidusia yang tidak dibuat dengan akta notaris dan tidak didaftarkan,

perbuatan dari lembaga pembiayaan bisnis tersebut tidak sesuai dengan tujuan

Undang-Undang Jaminan fidusia artinya Undang-Undang Jaminan Fidusia

berlaku terhadap setiap perjanjian yang membebani benda dengan jaminan

fidusia. Oleh karena itu perjanjian yang dimaksud dalam Undang-Undang

Jaminan Fidusia bukan hanya berlaku terhadap perjanjian jaminan fidusia di

lingkungan perbankan saja, tetapi juga meliputi perjanjian kredit di lingkungan

lembaga pembiayaan bisnis lainnya yang membuat perjanjian jaminan fidusia.

Secara tegas tidak dijelaskan dalam penjelasan umumnya maupun dalam

penjelasan pasalnya bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia berlaku bagi

lembaga pembiayaan bisnis bukan bank tetapi dari kata-kata “setiap perjanjian”

yang tercantum dalam pasal 2 Undang- Undang Jaminan Fidusia dapat ditafsirkan

bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia berlaku juga bagi lembaga pembiayaan

bisnis bukan bank.

Penafsiran yang membawa makna dubius dapat diselesaikan dengan

pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem, Pasal 2 Undang-Undang Jaminan

Fidusia yang isinya adalah “Undang-Undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian

yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia.” Harus diartikan

sebagai elemen yang mempunyai makna penting dalam kaitannnya dengan pasal-

pasal lain dari Undang-Undang Jaminan Fidusia secara keseluruhan. Pasal 2


88

Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut mempunyai makna yang penting jika

dikaitkan dengan perbuatan hukum yang berkaitan dengan pembebanan benda

sebagai jaminan fidusia. Dapat disimpulkan dengan penelitian ini bahwa sifat

perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian yang bersifat assesoir dan bukan

perjanjian yang berdiri sendiri.

6. Perubahan Status Yuridis Atas Kemilikan Benda Jaminan Fidusia

Pengertian kemilikan benda dalam hukum jaminan memiliki makna yang

luas mencakup hak milik atas benda dan hak penguasaan atas benda. Jika seorang

debitur menyerahkan harta benda sebagai jaminan kepada krediturnya berarti

sebagian kekuasaan atas kemilikan benda itu beralih kepada kreditur.

Jaminan fidusia adalah jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum

positif, yang memberikan keuntungan secara ekonomis kepada pelaku usaha

bisnis jika dibandingkan dengan lembaga jaminan gadai. Keuntungan ini dilihat

dari adanya penguasaan terhadap benda jaminan sehingga usaha tetap berjalan dan

pinjaman kredit dapat dikembalikan dengan lancar.

Fiducia Eigendom Overdracht (FEO), untuk selanjutnya disebut fidusia,

merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

dalam penguasaan pemilik benda. Tetapi penyerahan hak milik atas benda

jaminan fidusia tidaklah sempurna seperti pengalihan hak milik dalam jual beli,

pengalihan hak hanya secara constitutum prossesorium, artinya secara yuridis hanya

hak kepemilikannya yang dialihkan sedangkan barangnya berada dalam kekuasaan

pemberi fidusia.
89

Pengalihan hak dalam perjanjian jaminan fidusia masih bergantung pada

satu syarat yaitu apabila pemberi fidusia melakukan wanprestasi. Ini berarti

kreditur penerima fidusia belum sepenuhnya sebagai pemilik benda. Penyerahan

yuridis yang sudah terjadi, hak miliknya terbatas sebagai pemilik jaminan.

Dalam praktek perkreditan dengan jaminan terdapat dua gejala hukum

yang masih meragukan yaitu:

1. Pemberi jaminan fidusia sejak ditandatangi akta perjanjian

fidusia berubah kedudukannya sebagai peminjam pakai atau

peminjam pengganti dan bukan lagi sebagai pemilik benda.101

Hal ini sejalan dengan surat edaran BRI tahun 2004, bahwa pembebanan

jaminan fidusia menyebabkan obyek jaminan fidusia menjadi milik penerima

fidusia/bank, namun obyek jaminan tersebut tetap berada pada dan dalam

kekuasaan pemberi fidusia selaku peminjam pakai.102

2. Pemberi jaminan fidusia bukan pemilik benda secara yuridis tetapi sebagai

pemilik manfaat.103

Dalam hal yang pertama, pengalihan hak milik atas benda jaminan fidusia

membawa akibat hukum bahwa debitur pemberi jaminan fidusia semula sebagai

pemilik kemudian berubah sebagai peminjam pakai. Sebaliknya dalam hal yang

kedua pihak debitur pemberi jaminan fidusia tetap merupakan pemilik benda

jaminan yang memanfaatkan barang tersebut sedangkan kreditur penerima

jaminan fidusia hanya menerima penyerahan benda sebagai jaminan utang dalam

arti yuridis.

Kaitannya dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999,

101 Munir Fuady, loc. cit.


102 Surat Edaran BRI Tahun 2004, log. cit.
103 Wawancara dengan Notaris M tanggal 19 Desember 2006 di Padangsidimpuan, Dan Notaris L
tanggal 26 Desember 2006 di Padangsidimpuan.
90

perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian kebendaan yang murni dan diatur

secara tersendiri dalam undang-undang sebagai bagian dari sistem hukum jaminan

kebendaan. Dengan karakter kebendaan, status kreditur penerima jaminan fidusia

hanya sebagai pemilik benda jaminan. Dilihat dari aspek hukum perikatan, hak

kreditur sebagai pemilik benda jaminan baru muncul apabila dipenuhinya syarat

tangguh yang tercantum dalam Pasal 1263 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Jadi dengan syarat menangguhkan ini, menyebabkan suatu perikatan

belum lagi mempunyai daya kerja perikatan atau pemenuhan perikatan belum

dapat dilaksanakan. Lahirnya benda kemilikan bagi kreditur penerima jaminan

fidusia adalah pada saat dilakukan pendaftaran di kantor pendaftaran fidusia.

Dalam pelaksanaan jaminan secara fidusia setelah jaminan fidusia lahir

secara hukum/setelah dilakukan pendaftaran di kantor pendaftaran fidusia secara

singkat dapat diuraikan sebagai berikut: si peminjam harus mengizinkan bank

untuk melakukan setiap perbuatan yang diwajibkan oleh bank dari waktu ke

waktu guna melaksanakan hak-hak bank di bawah perjanjian. Si peminjam akan

segera menyerahkan kepada bank segala surat-surat serta dokumen yang dianggap

perlu oleh bank untuk memperoleh manfaat juga hak-hak serta kuasa-kuasa penuh

dari perjanjian, tanpa pembatasan setiap dokumen, yang memperpanjang,

mengubah, mengganti, atau memindahkan perjanjian ini. Si Pemberi fidusia

dengan ini memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada bank untuk

bertindak dan untuk menandatangani setiap dokumen atau surat atas nama si

peminjam.

Seandainya si peminjam tidak dapat membayar kepada bank suatu jumlah


91

yang jatuh pembayarannya dan yang wajib dibayar oleh si peminjam di bawah

dokumen-dokumen utang dari perjanjian, maka tanpa tuntutan untuk membayar

atau pemberitahuan untuk memperoleh keputusan, perintah atau kuasa dari suatu

pengadilan, bank dapat menjual atau melepaskan dengan cara lain barang-barang

agunan atau sesuatu bagian dari barang-barang itu. Setiap pembayaran atau

pelepasan lainnya dapat dilakukan pada setiap waktu dan tempat, umum atau di

bawah tangan, dengan atau tanpa iklan atau pemberitahuan mengenai waktu dan

tempatnya, dengan harga yang dianggap paling baik oleh bank.

Pembeli barang-barang itu memiliki hak mutlak, bebas dari setiap tuntutan

atau setiap jenis hak dari si peminjam, termasuk penguasaan kembali, hak-hak itu

semuanya dengan ini dilepaskan oleh si peminjam.

Dalam melaksanakan setiap hak penjualan di bawah perjanjian ini, tidak

akan perlu bagi bank untuk membuktikan jumlah, yang pembayarannya jatuh pada

waktu itu dan harus dibayar oleh si peminjam kepada bank di bawah dokumen-

dokumen utang atau perjanjian, bank atau wakilnya berhak menentukan jumlah,

pembayarannya pada waktu itu dan harus dibayar oleh si peminjam kepada bank

berdasarkan buku-buku serta catatan-catatan bank, tetapi tanpa mengurangi hak si

peminjam kemudian untuk membuktikan, bahwa jumlah tersebut adalah kurang

dari jumlah yang ditentukan semula oleh bank atau wakilnya, untuk memperoleh

selisihnya dari bank, tetapi bank tidak bertanggung jawab kepada si peminjam

atas ganti kerugian atau bunga dalam peristiwa tersebut.

Apabila perlu bank dapat bertindak atas nama si peminjam selama

melaksanakan sesuatu hak di bawah perjanjian, maka si peminjam memberikan

kuasa penuh dengan hak substitusi kepada bank atau wakilnya apabila untuk
92

melaksanakan hak-hak yang dianggap perlu yang ada hubungannya dengan

pelaksanaan hak-hak tersebut. Surat kuasa merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari perjanjian. Tanpa kuasa dokumen-dokumen utang dan perjanjian

tidak akan dibuat. Oleh karena itu surat kuasa tidak akan dapat ditarik kembali

dan tidak akan berakhir karena peristiwa dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang isinya adalah: “Pemberian kuasa berakhir: dengan ditariknya

kembali surat kuasanya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si

kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa

maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau

menerima kuasa”.

Setiap hasil penjualan akan dipergunakan oleh bank untuk membayar

utang si peminjam dan apabila lebih akan dibayar oleh bank kepada si peminjam

tetapi tanpa kewajiban pada pihak bank untuk membayar bunga dan kerugian

lainnya.

Apabila hasil penjualan barang masih belum mencukupi untuk

pembayaran utang, si pemijam harus membayar sisanya kepada bank hingga

tanggal pembayarannya. Perjanjian akan mengikat bank dapat dilaksanakan oleh

bank serta para pengganti dan penerima hak mereka.

E. Perlindungan Hukum Terhadap Pemberi dan Penerima jaminan Fidusia

1. Objek Jaminan Fidusia Tidak Dapat Dimilki oleh Bank

Dalam hukum jaminan fidusia, persoalan yang sering menimbulkan

masalah yuridis adalah ketika debitur pemberi jaminan fidusia tidak melaksanakan

suatu kewajiban yang seharusnya telah diperjanjikan. Kelalaian debitur

merupakan bukti adanya wanprestasi.


93

Wanprestasi debitur pada prinsipnya dapat dikategorikan dalam tiga hal

yaitu:

1. Apabila debitur tidak membayar jumlah utang kepada bank


berdasarkan perjanjian kredit sesuai waktu yang telah
ditetapkan.
2. Debitur pemberi fidusia lalai dalam memenuhi
kewajibannya untuk membayar utang kepada bank dan
cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang ditentukan
dalam perjanjian tanpa adanya surat teguran dari juru sita.
3. Wanprestasi tidak ada diatur sama sekali dalam akta perjanjian jaminan
fidusia tetapi cukup diatur dalam perjanjian pokoknya.104

Pada praktek PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan

sebelum mengatakan debitur telah melakukan wanprestasi selalu didahului dengan

pembinaan dan kunjungan secara kekeluargaan, teguran I, II, III jika masih belum

melakukan kewajibannya dapatlah dikatakan telah terjadi wanprestasi pada

debitur.105

Menurut Pak Lubis sebagai Supervisor ADK pada PT Bank BRI (Persero)

Tbk cabang Padangsidimpuan sebelum dilayangkan surat teguran I, II, III pihak

BRI sudah mengetahui bahwa pemberi fidusia/debitur mulai goyang dalam arti

usahanya tidak stabil, ini diketahui misalnya jika dia seorang pengusaha yang

bergerak dibidang angkutan terjadi misalnya longsor atau banjir, otomatis

perjalanan akan macet dan tertunda yang akibatnya pendapatan perusahaan akan

menurun yang akan berdampak terhadap pembayaran kredit. Dalam hal ini pihak

Bank BRI akan mengunjungi nasabah secara kekeluargaan dan berusaha untuk

mencari solusi dengan berdiskusi dengan pihak nasabah/pemberi fidusia.

Setelah dilayangkan surat teguran I, II, III, pihak PT Bank BRI

(Persero) Tbk juga belum langsung melakukan eksekusi terhadap barang

104 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 198.


105 Wawancara dengan Pak Riza, Bagian Marketing PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang
Padangsidimpuan pada tanggal 26 Desember 2006.
94

agunan tapi masih memberikan tenggang waktu 60 hari lagi untuk melakukan

pembinaan/restrukturisasi/penyelesaian jika upaya ini juga tidak memberikan hasil

maka PT Bank BRI (Persero) Tbk akan menetapkan debitur pemberi fidusia telah

melakukan wanprestasi.

Dengan fakta yuridis tersebut, wanprestasi menimbulkan akibat hukum

bagi kreditur penerima fidusia yaitu melahirkan hak untuk melakukan eksekusi

terhadap barang jaminan. Tapi bukan berarti memberikan hak kepada kreditur

untuk langsung dapat memiliki benda jaminan. Tetapi dalam praktek bank selalu

menguasai benda jaminan kalau debiturnya macet, padahal secara normatif hal ini

tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Secara yuridis perlakuan kreditur untuk melakukan eksekusi, apabila

debitur melakukan wanprestasi adalah sah, hal ini terkait dengan hal-hal yang

telah disepakati oleh para pihak pada awal perjanjian dan dinyatakan dalam

substansi perjanjian harus dilaksanakan dan mengikat bagi para pihak sebagai

undang-udang.106

Dalam penelitian yang dilakukan pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan tidak ditemukan kasus jaminan fidusia yang sampai ke

pengadilan yang disebabkan oleh debitur melakukan wanprestasi (mungkin ini

menyangkut rahasia bank) tetapi dapat dianalisa dari pengikatan agunan PT Bank

BRI (Persero) Tbk dalam surat edaran tahun 2004 menegaskan bahwa bila suatu

saat debitur melakukan wanprestasi PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsididmpuan telah melakukan antisipasi, yaitu dengan menyatakan hak

untuk menjual langsung benda jaminan fidusia yang dijumpai dalam asas-asas

jaminan fidusia yang menjadi landasan operasional PT Bank BRI (Persero) Tbk
106 Lihat Pasal 1320 jo 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
95

cabang Padangsidimpuan. Menurut Keterangan dari Notaris L ada juga bank yang

melakukan antisipasi apabila debitur melakukan wanprestasi dengan terlebih

dahulu meminta tanda tangan dalam sebuah kwitansi. Dan ini biasanya model

perjanjian dilakukan dibawah tangan sebab kreditur tidak mendapatkkan hak

preferen yang dijanjikan oleh Undang-Undang No. 42 Tahun 1992.107

Dalam penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

ditemukan kasus dengan register No.13/PDT.G/1992/PN.PSP. Dalam perkara

antara Tuan Hakim Pandapotan, Ny. Sioe Pie Tju sebagai penggugat melawan Tn

Matheuis Sahertiam (tergugat I), Kantor Lelang Negara (tergugat II), Pemerintah

RI,Cq. Menteri Keuangan RI di Jakarta, Cq. Panitia Urusan Piutang negara

Cabang Medan (tergugat III), BRI Pusat Jakarta, Cq. BRI Cabang

Padangsidimpuan (tergugat IV).

Bahwa penggugat I dan II dalah suami isteri dan mempunyai harta

bersama sebidang tanah hak milik dengan sertifikat hak milik No. 31 Tahun 1982

beserta bangunan rumah toko di atasnya yang terletak di jalan Thamrin No. 68

Padangsidimpuan. Berdasarkan suatu persetujuan dengan Viktor Harahap seorang

partikulir yang tinggal di Jl. Mesjid Raya Baru No. 19 Padangsidimpuan

melakukan bersama ikatan akta credit Verband No. 489/Des/Psp Timur/1987

Tanggal 17 Desember 1987 dengan tergugat IV yaitu Bank Rakyat Indonesia

Cabang Padangsidimpuan sebesar Rp 35.000.000.(tiga puluh lima juta) dengan

agunan tanah hak milik Viktor Harahap dengan sertifikat hak milik No. 1 tanggal

14 Mei 1974 seluas 14.000 m2 terletak di Desa Batunadua Jae Kec.

Padangsidimpuan.

Bahwa tanah hak milik penggugat I dan II dengan sertifikat hak milik no.
107 Hasil wawancara dengan Notaris L, pada tanggal 9 Desember 2006.
96

31 tahun 1982 tidak diikutsertakan sebagai agunan pada akte kredit verband

tertanggal 17 Desember 1987 tersebut. Karena Viktor Harahap tidak membayar

credit beserta bunganya kepada tergugat IV, maka atas permintaan tergugat IV,

maka tergugat II dan Tergugat III melakukan pelelangan atas barang agunan tanah

hak milik sertifikat No. 1 Tahun 1974 bersama tanah hak milik sertifikat no.31

tahun 1982 beserta bangunan rumah toko di atasnya.

Terutama menyangkut sertifikat hak milik No. 31 tahun 1982 beserta

rumah toko di atasnya adalah harta para penggugat yang tidak turut diagunkan

kepada tergugat IV ternyata telah turut dilelang oleh tergugat II dan III dan

tergugat I sebagai pembeli lelang pada tanggal 16 Januari 1992 No. 35/1991-1992.

Seharusnya bank tidak meletakkan sita jaminan terhadap barang miliknya yang

lain sebab tidak disebutkan dalam substansi perjanjian pokok, yang seharusnya

benda-benda bergerak milik debitur yang lain terlebih dahulu diekekusi seperti

benda bergerak yang dijadikan sebagai jaminan tambahan dalam bentuk fidusia

yaitu berupa barang dagangan yang dinilai pada penelitian terahir sejumlah

Rp 8.625.000. Berdasarkan fakta di atas penggugat I dan II mengajukan gugatan

ini karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan merugikan para

penggugat. Ditambah lagi pada tanggal 25 Februari 1992 dengan surat No. 3/Pdt-

Eks/1992/PN.Psp. Pengadilan negeri Padangsidimpuan telah memperingatkan

para penggugat untuk mengosongkan tanah dan rumah toko kepunyaan para

penggugat yang terletak di Jalam Thamrin No. 68 Padangsidimpuan.

Selain alasan yang dikemukakan di atas Penggugat I pada tanggal 14

Januari 1992 juga telah membayar kepada tergugat III uang sebesar Rp.

4.090.910. (empat juta sembilan puluh ribu sembilan ratus sepuluh rupiah) sebagai

angsuran utang kepada tergugat IV oleh karena itu tidak pantas tergugat III dan
97

tergugat IV melakukan secara sepihak lelang eksekusi atas tanah dan rumah toko

yang berada di atasnya di Jl. Thamrin No. 68 dengan sertifikat hak milik No. 31

Tahun 1982.

Demikian juga dengan lelang terhadap tanah dengan sertifikat hak milik

No. 1 Tahun 1974 atas nama Viktor Harahap yang berlangsung pada tanggal

16 Januari 1992 No. 35/1991-1992 oleh tergugat-tergugat, ternyata hanya dengan

harga lelang sebesar Rp. 3000000. (tiga juta rupiah) padahal dengan harga sedikit

dibawah harga pasaran yang berlaku pada saat itu, tanah tersebut dapat dijual

dengan nilai sebesar Rp. 30.000.0000.(tiga puluh juta rupiah) dengan demikian

oleh para penggugat tindakan para tergugat-tergugat adalah tindakan sekongkol

yang dengan sengaja handak merugikan para penggugat oleh karena itu para

penggugat cukup punya alasan untuk menggugat dan memohon pembatalan lelang

eksekusi atas tanah dengan sertifikat No. 1 Tahun 1974 karena jelas bertentangan

dengan kepatutan, keadilan, berdasarkan hukum yang berlaku.

Debitur mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan. Dengan alasan keberatan antara lain adalah debitur/penggugat

memohon pembatalan lelang eksekusi atas tanah dengan sertifikat No. 1 Tahun

1974 tersebut dan mengangkat sita jaminan terhadap harta debitur yang tidak

disebutkan dalam perjanjian pokok berupa tanah dan rumah toko dengan sertifikat

No. 31 Tahun 1982.

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan telah memutuskan bahwa lelang

terhadap agunan dengan sertifikat tanah No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah tidak sah

dan melawan hukum serta membatalkan jual beli lelang tersebut. Dan juga

menyatakan sita jaminan yang telah dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri
98

Padangsidimpuan atas tanah dan rumah toko yang ada di atasnya dengan sertifikat

hak milik No. 31 Tahun 1982 yaitu sita tanggal 25 April 1992 No.

13/Pdt.G/1992/PN.Psp, tidak berharga dan diangkat.

BRI sebagai pihak yang kalah dalam perkara ini mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Medan, di sini hakim mengukuhkan keputusan Pengadilan

negeri Padangsidimpuan, selanjutnya BRI melakukan kasasi ke Mahkamah Agung

dan Mahkamah Agung juga mengukuhkan keputusan Pengadilan Tinggi Medan.

Dalam kasus ini jaminan fidusia (jaminan tambahan) yang diletakkan atas barang-

barang dagangan tidak diproses seharusnya kreditur lebih dahulu mengambil

pelunasan dari barang-barang bergerak milik debitur.

Dalam kasus di atas BRI cabang Padangsidimpuan tidak bertindak

langsung sebagai pemilik agunan, tetapi masih melalui proses lelang secara umum

terhadap agunan tetapi nilai penjualannya tidak sesuai dengan harga pasaran pada

saat itu, hingga mengakibatkan debitur merasa dirugikan.

Dapat disimpulkan bahwa hakim memutuskan batal terhadap lelang

tersebut adalah disebabkan harga barang agunan jauh dibawah harga pasaran,

walaupun dalam klausul perjanjian telah diatur tentang substansi perjanjian jika

bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, debitur dapat melakukan gugatan

perdata ke pengadilan/meminta pembatalan kepada hakim.108

2. Terjadinya Overmacht Terhadap Objek Jaminan Fidusia

Dalam perjanjian jaminan fidusia, pada pokonya ditentukan bahwa debitur

pemberi fidusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab atas keadaan dari setiap

kehilangan, kemunduran, kehancuran, kemusnahan, pengurangan kualitas atau

nilai dan kerusakan barang-barang yang dijadikan objek jaminan fidusia. Oleh

karena itu debitur pemberi fidusia harus melakukan pemeliharaan agar benda

108 Materi Kuliah Hukum Bisnis Bu Yulfasni pada Tanggal 4 Januari 2007.
99

jaminan fidusia dalam keadaan baik. Debitur pemberi fidusia wajib mengganti

benda jaminan fidusia apabila benda tersebut rusak atau hilang atau tidak dapat

lagi dipakai.

Kreditur penerima fidusia memiliki hak atas benda jaminan fidusia dalam

kaitannya dengan penjaminan utang debitur. Dan realisasi ini terjadi apabila

debitur melakukan wanprestasi yaitu tidak melakukan kewajiban membayar

utang. Pertanggungjawaban utang tersebut adalah dengan meletakkan sita jaminan

atas barang/benda yang menjadi agunan yang kemudian akan dijual menurut

ketentuan hukum jaminan.

Apabila agunan jaminan fidusia dalam keadaan rusak, dan debitur fidusia

tidak dapat melunasi utangnya, penyitaan benda jaminan, atas permintaan kreditur

fidusia tidak harus menunggu memperbaiki benda tersebut seperti dalam keadaan

semula seperti pada saat debitur fidusia menyerahkan benda jaminan itu.

Kelalaian atas kewajiban merawat benda jaminan fidusia adalah tanggung jawab

debitur fidusia. Bagaiman jika terjadi keadaan memaksa artinya rusak, musnah,

dan hilangnya benda jaminan diluar kekuasaan debitur ?.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat

melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang

berada di luar kekuasaannya, seperti karena adanya gempa bumi, banjir, lahar,

kebakaran dan lain-lain.

Ketentuan tentang overmacht (keadaan memaksa) diatur dalam pasal 1244

dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1244 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata isinya adalah :”Debitur harus dihukum untuk mengganti

biaya, kerugian dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak

dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan


100

perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.”

Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata isinya adalah: ”Tidak

ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau

karena hal yang tejadi karena kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau

berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang

terhalang olehnya”.

Dari isi Pasal 1244 dan Pasal 1245 dapat dipahami bahwa undang-undang

memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak mengganti biaya, kerugian

dan bunga kepada kreditur oleh karena keadaan memaksa diluar kekuasaan

debitur, tetapi keadaan memaksa itu harus dapat dibuktikan oleh debitur.

Keadaan memaksa ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Keadaan memaksa absolut

b. Keadaan memaksa relatif

Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama

sekali tidak dapat memenuhi utangnya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa

bumi, banjir bandang, kebakaran dan adanya lahar.

Keadaan memaksa relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur

masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu

haru dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang tidak seimbang, atau

menggunakan kekuatan jiwa yang berada di luar kemampuan manusia, atau

kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Dari pengertian di atas

dapat dipahami bahwa keadaan memaksa absolut, debitur tidak diwajibkan untuk

mengganti biaya kerugian dan bunga sedangkan keadaan memaksa relatif debitur
101

masih dimungkinkan untuk melakukan prestasinya meskipun dengan menunda

waktu pembayaran.

Dalam Praktek PT Bank BRI (Persero) Tbk mengatur tentang overmacht

ini dalam Surat Edaran BRI yang isinya adalah hapusnya jaminan fidusia karena

hapusnya hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia dan

musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Maksud kalimat di atas bila dianalisa dengan cermat dapat dipahami

bahwa apabila benda agunan musnah di luar kekuatan manusia maka jaminan

fidusia dianggap hapus. Tetapi Menurut keterangan Pak Lubis sebagai kepala

bagian admistrasi kredit, menyatakan bahwa: objek jaminan fidusia yang musnah

itu telah diasuransikan (pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk selalu mewajibkan

pemberi fidusia untuk mengasuransikan barang-barang agunan Pasal 3 bagian e

dalam perjanjian hak milik atas kepercayaan/fidusia barang menurut format PT

Bank BRI (Persero) Tbk terlebih dahulu dan musnahnya disebabkan oleh faktor

yang sama dengan jenis asuransi yang dipilih oleh pemberi fidusia berdasarkan

kesepakatan dengan PT Bank BRI (Persero) Tbk, misalnya asuransi kebakaran

untuk kenderaan bermotor maka apabila terjadi kebakaran maka pemberi fidusia

tidak berkewajiban lagi untuk membayar ganti rugi. Dan akan dikurangkan

dengan jumlah utang yang dinilai sesuai dengan penjaminan yang telah

diperjanjikan dengan pihak bank sejak awal atas kenderaan tersebut, apabila

ternyata uang pengganti dari perusahaan asuransi tersebut tidak mencukupi

pemberi fidusia wajib membayar sisanya, dan bila lebih kreditur akan

mengembalikan kepada pemberi fidusia dengan tidak ada kewajiban untuk

membayar bunga atau ganti kerugian berupa apapun.

Konsekuensinya apabila musnahnya barang tidak sesuai dengan jenis


102

asuransi yang dipilih, pemberi fidusia tetap harus mengganti sesuai dengan

kewajiban pemberi fidusia seperti telah ditetapkan dalam dokumen perjanjian

berdasarkan kepercayaan yang dibuat oleh PT Bank BRI (Persero) Tbk:

• Mengganti dengan barang-barang yang sama atau sekurang-

kurangnya sama nilainya apabila barang-barang dimaksud rusak

atau tidak dapat dipergunakan sama sekali.109

3. Proses Eksekusi Jaminan Fidusia

Salah satu ciri dari jaminan utang kebendaan yang baik adalah jika hak

tanggungan itu dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sangat

sederhana, efisien dan memberikan kepastian hukum. Seperti di Amerika, kreditur

boleh mengambil sendiri barang agunan tetapi dengan syarat dapat menghindari

perkelahian.

Jaminan fidusia juga memiliki unsur cepat, murah dan pasti yang diatur

dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999. Tetapi sebelum

keluarnya UU No. 42 Tahun 1999 ketentuan tentang proses eksekusi ini sangat

tidak jelas. Sehingga banyak kalangan yang menafsirkan bahwa proses eksekusi

ini harus melalui gugatan biasa lewat pengadilan yang panjang, mahal dan

memakan waktu yang sangat lama. Dalam Undang-Undang Rumah Susun No 16

tahun 1985 diatur dengan eksekusi di bawah tangan, tetapi ini hanya berlaku

terhadap objek bangunan atas rumah susun.

Undang-Undang Jaminan Fidusia mengambil pola eksekusi hak

tanggungan yang mengatur eksekusi fidusia secara bervariasi, sehingga para pihak

dapat memilih model eksekusi yang diinginkan. Model-model eksekusi jaminan

109 Pasal 3 bagian c Akta Perjnjian Penyerahan Hak Milik Atas Kepercayaan (Fiducia Barang No.
132 Format PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan.
103

fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999 adaalah

sebagai berikut:

A. Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yakni lewat

suatu penetapan pengadilan.

B. Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan

pengadilan) di depan pelelangan umum.

C. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditur sendiri

D. Lewat gugatan biasa (meskipun tidak secara tegas diatur dalam UU No.

42 Tahun 1999)

1. Eksekusi Fidusia Dengan Titel Eksekutorial

Dalam proses pengikatan jaminan fidusia dinyatakan bahwa jaminan fidusia

harus dibuat dengan akta notaris dan didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia

untuk mendapatkan kepastian hukum bagi kreditur. Dalam akta fidusia yang

dibuat oleh notaris ini selalu terdapat irah-irah yang berbunyi “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” irah-irah

inilah yang memberikan titel eksekutorial, yakni titel yang mensejajarkan

kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan.

Dengan demikian akta tersebut dapat langsung dieksekusi (tanpa perlu lagi

suatu putusan pengadilan). Dengan demikian fiat eksekusi adalah seperti

mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti. Yakni

dengan cara meminta “fiat” dari ketua pengadilan yaitu memohon penetapan dari

ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi dan ketua pengadilan yang akan

memimpin eksekusi.

Menurut Hakim afandi kreditur yang minta penetapan pengadilan ini tidak
104

pernah terjadi lagi setelah keluarnya UU No. 42 tahun 1999 sebab para pihak

kreditur dan debitur telah mempunyai opsi eksekusi yang jelas diakui sah secara

hukum yang prosesnya jauh lebih cepat, mudah dan praktis serta lebih

menguntungkan bagi para pihak.

2. Eksekusi Fidusia Secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum

Eksekusi jaminan fidusia dapat juga dilakukan lewat lembaga pelelangan

umum (kantor lelang), dan hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi

pembayaran piutang debitur. Parate eksekusi ini dapat dilakukan tanpa melibatkan

pengadilan yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) huruf b yang isinya adalah:

”Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima

fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya

dari hasil penjualan”.

3. Eksekusi Fidusia Secara Parate Eksekusi Dengan Penjualan di Bawah Tangan

Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi

(mengeksekusi tanpa lewat pengadilan) dengan cara menjual benda objek fidusia

tersebut dibawah tangan, dengan memenuhi syarat yang telah diatur dalam UU

No.42 Tahun 1999 Pasal 29 yang isinya adalah:

• Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan

penerima fidusia.

• Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut

dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

• Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi/penerima

fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

• Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar


105

yang beredar di daerah yang bersangkutan.

• Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu

bulan sejak diberitahukan secara tertulis.

5. Eksekusi Fidusia Secara Mendaku

Eksekusi fidusia secara mendaku adalah eksekusi fidusia dengan cara

mengambil barang fidusia untuk menjadi milik kreditur secara langsung tanpa

lewat transaksi apapun. UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara

tegas melarang eksekusi secara mendaku ini. Diatur dalam Pasal 33 UU No. 42

Tahun 1999 yang isinya adalah: “Setiap janji yang memberikan kewenangan

kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi jaminan fidusia

apabila debitur cidera janji akan batal demi hukum”.

Ketentuan yang melarang eksekusi secara mendaku menunjukkan bahwa

UU No. 42 Tahun 1999 ini kurang konsekuen sebab hukum jaminan fidusia

dianggap sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan maksudnya benda

objek fidusia tersebut sudah berpindah kepemilikannya kepada pihak kreditur,

sementara pihak kreditur menyerahkan penguasaan benda tersebut kepada pihak

debitur secara kepercayaan.

Jika hendak konsekuen berlakunya sistem penyerahan hak milik secara

kepercayaan ini, maka benda tersebut sudah menjadi milik pihak kreditur,

mestinya larangan eksekusi mendaku ini tidak perlu ada.Tetapi secara logika bila

dianalisa secara mendalam maksud dari pembentuk Undang-Undang No. 42

Tahun 1999 dengan larangan eksekusi secara mendaku ini adalah untuk

memberikan perlindungan kepada debitur pemberi fidusia apabila debitur cidera

janji, artinya agar kreditur melakukan eksekusi yang fair dan transparan sehingga
106

debitur tidak merasa dirugikan sebab eksekusi melalui badan pelelangan negara

secara umum saja dapat menyebabkan harga barang jaminan sangat tidak

seimbang dengan harga pasar (kasus yang diperoleh dari pengadilan negeri

Padangsidimpuan Register No.13/PDT.G/1992/PN. PSP.) apalagi eksekusi secara

mendaku otomatis kreditur penerima fidusia akan sangat berkuasa.

6. Eksekusi Fidusia Lewat Gugatan Biasa

Dalam Pasal 29 UU No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

dijelaskan model-model eksekusi jaminan fidusia dan di sana tidak disebutkan

bahwa pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi lewat gugatan biasa ke

pengadilan. Secara logika model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan

hukum acara yang umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada dalam

hukum acara umum.

Tujuan model-model eksekusi khusus yang diatur dalam Undang-Undang

No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah untuk mempermudah dan

membantu pihak kreditur menagih utangnya dengan jalan mengeksekusi barang

jaminan tersebut, disebabkan eksekusi fidusia lewat gugatan biasa memakan

waktu yang lama dan prosedur yang berbelit-belit, tidak praktis dan sangat tidak

efisien.

Dalam praktek PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan

dalam hal eksekusi ini Pak Riza memberikan penjelasan sebenarnya belum ada

kasus tentang wanprestasi debitur yang berakibat lahirnya hak kreditur untuk

melakukan eksekusi setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42

tahun 1999, tetapi pada saat ini kalaupun misalnya ada debitur yang melakukan

wanprestasi pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan belum


107

dapat berbuat apa-apa karena sedang menunggu peraturan baru yang mengatur

tentang eksekusi terhadap agunan bank pemerintah. Tetapi selama ini jika ada

kredit macet/debitur yang melakukan wanprestasi penagihannya diserahkan

kepada Panitia Urusan Piutang Negara.110

Penyelesaian kredit macet pada bank-bank swasta diselesaikan melalui

jalur pengadilan. Sedangkan khusus terhadap kredit macet pada bank-bank

pemerintah, selama ini proses penagihannya dilakukan lewat Panitia Urusan

Piutang Negara (PUPN), yang dibentuk dengan Undang-Undang No.49/Prp/1960,

dan Badan Usaha Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), yang dibentuk dengan

Keputusan Presiden No.21 Tahun 1991. Pasal 2 dari Keppres No. 21 tahun 1991

menentukan bahwa BUPN mempunyai tugas menyelenggarakan pengurusan

piutang negara dan lelang baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan

tugas PUPN maupun lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam hal

tertentu, kredit macet pada bank pemerintah, atau bank swasta yang ada dana

pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Contohnya tentang

tuduhan korupsi ini adalah heboh kredit macet di BAPINDO diawal tahun 1994.111

PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan

padanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan negara. Dengan demikian

bagi bank milik negara menyelesaikan kredit macetnya harus dilakukan melalui

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dimana dengan adanya penyerahan

piutang macet kepada badan tersebut secara hukum wewenang penguasaan atas

hak tagih dialihkan kepadanya.

110 Hasil wawancara dengan Pak Riza, Bagian Marketing Bank BRI Cabang Padangsidimpuan
pada tanggal 26 Desember 2006.
111 Frans Hendra Winarta, Teknisi Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan Hukum,
2003, www… hukumonline.com (terakhir dikunjungi pada bulan Februari 2007).
108

4. Kewenangan Pemberi Fidusia Terhadap Barang Jaminan

Kewenangan hukum dalam perjanjian jaminan fidusia sangat perlu.

Jaminan perkreditan selalu keliru dengan istilah berwenang untuk bertindak dan

berwenang untuk menguasai. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dianut ajaran bahwa untuk sahnya suatu penyerahan mempunyai syarat antara lain

adalah: harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai bendanya.

Biasanya orang tersebut adalah pemilik benda. Jadi yang dimaksud oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah orang yang wenang menguasai dan bukan

orang yang wenang bertindak.

Realisasi dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini dapat

dirujuk kepada hukum jaminan fidusia, sehingga jaminan fidusia hanya dapat

diberikan oleh pemilik yang mempunyai kewenangan menguasai benda jaminan

fidusia. secara yuridis, prinsip ini akan membawa konsekuensi bahwa apabila

debitur pemberi jaminan fidusia bukan orang yang mempunyai kewenangan

menguasai terhadap harta benda jaminan fidusia, berarti jaminan fidusia yang

dilahirkan adalah cacat hukum. Sebab syarat bagi sahnya jaminan fidusia adalah

bahwa pemberi fidusia mempunyai hak kepemilikan atas benda yang menjadi

objek jaminan fidusia pada waktu menyerahkan jaminan fidusia. Secara yuridis

jika salah satu syarat sahnya perjanjian tidak dipenuhi menyebabkan perjanjian itu

cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan dari hakim.

Oleh karena itu sebelum mengikat perjanjian jaminan fidusia, harus

diselidiki terlebih dahulu apakah pihak pemberi jaminan fidusia adalah pemilik

yang wenang menguasai bendanya atau hanya sebagai pemegang saja. Dan hal ini

harus secara tegas dimuat dalam akta jaminan fidusia.


109

Pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan dalam klausul

perjanjiannnya memuat dengan tegas bahwa obyek jaminan fidusia benar-benar

milik pemberi jaminan fidusia. Dalam penelitian ini dokumen perjanjian jaminan

fidusia yang dibuat sesudah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No 42

Tahun 1999 yang dibuat dengan akta notaris diperoleh gambaran sebagai berikut :

• Pihak pemberi fidusia menjamin bahwa


barang-barang tersebut adalah miliknya
sendiri dan tidak sedang digadaikan atau
dijaminkan untuk suatu hutang atau
dijaminkan untuk suatu pertanggungan atau
dibebani dengan ikatan berupa apapun,
bebas dari sitaan dan tidak dalam sengketa.
• Menyerahkan kepada pihak kedua semua
surat bukti kepemilikan atau surat-surat atas
barang-barang dimaksud.112

5. Hak Preferensi Dari Penerima Fidusia

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak preferen hanya

diberikan kepada kreditur yang diistimewakan (privilege), gadai dan hipotik.

Gadai dan hipotik lebih tinggi kedudukannya dari hak privilege kecuali undang-

undang menentukan sebaliknya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tidak ada dinyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia memiliki hak preferen

tetapi karena jaminan fidusia juga merupakan jaminan kebendaan seperti halnya

gadai, secara analogi jaminan fidusia juga mempunyai hak preferen.

Setelah keluarnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 semakin jelas dan

secara eksplisit dinyatakan bahwa jaminan fidusia mempunyai hak preferen.

Yang dimaksud dengan hak preferensi adalah: “Hak dari kreditur

pemegang jaminan tertentu untuk terlebih dahulu diberikan haknya (dibandingkan

dengan kreditur lain) atas pelunasan piutangnya yang diambil dari hasil penjualan

112 Dikutip dari Pasal 2 dan 3 Akta Jaminan Fidusia No. 132 tanggal 30 Juni 2006, Akta Notaris
Model PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan
110

barang jaminan utang tersebut”.113

Hak preferen dalam Undang-Undang No. 42 Tahun1999 diatur dalam

Pasal 27 ayat 2 yang menjelaskan bahwa: “Hak preferensi adalah hak penerima

fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang

menjadi objek jaminan fidusia”.

Hak preferensi bagi penerima fidusia diatur dengan tegas di dalam Pasal

27 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999 yaitu: ”Penerima fidusia memiliki hak yang

didahulukan terhadap kreditur lainnya. Dengan demikian hak preferen pemegang

fidusia tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No 42 Tahun 1999 yang

memberikan kedudukan yang sama dengan hak tanggungan, hipotik, dan hak

gadai.

Hak preferen ini baru didapatkan oleh pemegang fidusia pada saat

didaftarkannya fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia hal ini dijelaskan dalam

penjelasan pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 ayat (1): Hak yang

didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek

jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia”.

Salah satu karakter perjanjian jaminan kebendaan adalah hak preferen.

Jaminan fidusia adalah salah satu hak jaminan kebendaan, maka hak preferen

merupakan sifat yang melekat pada jaminan fidusia. Hak preferen bukanlah hak

kebendaan melainkan hak terhadap benda dan hak tersebut tidak timbul karena

undang-undang tetapi karena diperjanjikan. Dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia dikatakan bahwa hak preferen disamakan dengan hak didahulukan.114

Hak preferen ini dapat dilihat dalam konteks:

113 Munir Fuady, op. cit., hal. 41.


114 Lihat Penjelasan Pasal 27 UU No. 42 Tahun 1999.
111

a. Hak preferen ini harus dilihat dalam kaitannya dengan kreditur-kreditur


lain.
b. Menggambarkan adanya kaitan antara hak dengan objek jaminan fidusia
c. Pelaksanaan hak adalah untuk mengambil pelunasan piutang bukan
memiliki objek jaminan fidusia.
d. Hak preferen lahir pada saat jaminan fidusia didaftarkan.115

Permasalahan yuridis ini dapat dilihat dari kasus yang terungkap dalam

Putusan Pengadilan Negeri Medan dalam Perkara Bank Bumi Daya v Kantor

Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T Mahogani Indah Industri No.

40/Pdt.Plw/1994 tanggal17 November 1994. Dalam kasus ini, hakim

mempermasalahkan dua kreditur yaitu Bank Bumi Daya sebagai kreditur

penerima fidusia atas benda jaminan fidusia dari P.T Mahogani Indah Industri dan

Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat sebagai kreditur atas pajak debitur. Dalam

putusannya pengadilan berpendapat bahwa hak preferen atas benda jaminan

fidusia diberikan kepada kreditur Kantor Pelayanan Pajak. Alasan hukum yang

diberikan pengadilan adalah bahwa negara mempunyai hak mendahulu atas

tagihan pajak di atas segala tagihan lainnya, kecuali atas tagihan ongkos perkara

dan hak komisioner. Tagihan jaminan fidusia tidak merupakan kekecualian dari

hak mendahulu negara atas tagihan pajak.

Bila dianalisa sebenarnya kedua piutang tersebut adalah piutang negara

sebab bank tersebut adalah bank pemerintah, hanya bedanya piutang pajak terbit

dari undang-undang sedangkan piutang bank adalah piutang yang terbit dari

perjanjian jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 1133 dan 1134 ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, piutang fiscus merupakan hak privilege yang

ditunjuk oleh undang-undang perpajakan untuk didahulukan penagihannya dari

piutang jaminan fidusia.

115 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 324.


112

Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa undang-undang jaminan fidusia

memang tidak selalu sempurna untuk mengatur semua permasalahan yang timbul,

oleh karena itu harus selalu dilakukan koreksi dan penyempurnaan hukum

jaminan ke depan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

6. Pengaruh Kepailitan Pemberi Fidusia/Debitur Dan Likuidasi Bank

Terhadap Objek Jaminan Fidusia

Kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk didahulukan guna

mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek

jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului dari kreditur

lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi. Hak

yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena benda yang menjadi

objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia.116

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur Pailit yang

pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.117

Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan,

secara eksplisit diatur tentang kreditur pemegang fidusia sebagai kreditur separatis

yaitu dalam Pasal 55 ayat (1) yang isinya antara lain adalah: Setiap kreditor

pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas

kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi

kepailitan.

Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Pasal 56

ayat (1) dinyatakan bahwa Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam

116 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, op. cit., hal.125.


117 Lihat Pasal 1 UU Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Membayar Utang.
113

pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada

dalam penguasaan debitur pailit atau curator, ditangguhkan untuk jangka waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit

diucapkan. Kedudukan separatis bank/kreditur jaminan fidusia ini seharusnya

diatur dalam undang-undang jaminan fidusia atau dicantumkan dalam akta

jaminan fidusia. Dalam praktek PT Bank BRI (Persero) Tbk pencantuman

kedudukan separatis bank dalam akta jaminan fidusia tidak dijumpai.

Kreditur penerima fidusia tidak perlu kuatir akan kehilangan agunannya

apabila debitur pemberi fidusia dinyatakan pailit sebab benda agunan tidak masuk

dalam harta pailit si pemberi fidusia dan menurut Undang-Undang kepailitan

kreditur penerima fidusia dapat mengeksekusi benda agunan seperti tidak terjadi

kepailitan. Likuidasi bank adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian

seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank.118

Setelah bank dilikuidasi, dalam kaitannya dengan perjanjian jaminan

kredit seperti jaminan fidusia, segala piutang bank terhadap nasabah diambil alih

oleh tim likuidasi. Hal ini berarti tim likuidasi yang menggantikan kedudukan

bank tersebut sebagai pemilik benda jaminan fidusia. Penagihan piutang terhadap

nasabah/pemberi fidusia dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan

dalam perjanjian kreditnya. Tim likuidasi tidak dapat menjual benda jaminan

fidusia apabila debitur pemberi fidusia tetap melaksanakan kewajibannya dengan

baik.

Dalam Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa setiap

janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda

118 Pasal 17 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas PP No. 68 Tahun 1996
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
114

yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi

hukum. Dengan demikian objek jaminan fidusia tidak menjadi bagian harta pailit

penerima fidusia oleh karena hak kepemilikan atas objek jaminan fidusia tersebut

diperolehnya semata-mata sebagai jaminan. Dapat disimpulkan bahwa dalam

Undang-Undang Tentang Kepailitan ditentukan bahwa benda yang menjadi objek

jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi. Penjelasan Pasal 27

ayat 3 UU No. 42 Tahun 1999.


115

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan Jaminan secara fidusia pada PT Bank BRI (Persero)

Tbk cabang Padangsidimpuan dilakukan melalui penilaian yang

115seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek

usaha dari debitur dilanjutkan dengan mengisi daftar reviw

dokumen, membuat perjanjian membuka kredit dan perjanjian

fidusia secara notaril dan mendaftarkan ke kantor pendaftaran

fidusia.

2. Perlindungan bagi pemberi fidusia, sebelum dinyatakan

wanprestasi PT Bank BRI (Persero) Tbk melakukan usaha-usaha

berupa restrukturisasi, pembinaan dan berdialog secara

kekeluargaan dalam mencari solusi, hingga debitur ditetapkan

melakukan wanprestasi PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

Padangsidimpuan tidak bertindak sebagai kreditur yang langsung

menjadi pemilik barang agunan tetapi bentindak untuk menjual

langsung barang agunan baik melalui pelelangan umum dan juga

penjualan dibawah tangan untuk mendapatkan harga yang lebih

tinggi.

3. Perlindungan hukum bagi kreditur penerima fidusia cukup

terjamin dengan adanya fakta bahwa pelaksanaan jaminan secara

fidusia telah dilakukan sesuai dengan tata cara yang telah

ditetapkan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun


116

1999. PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan

mendapat hak preferent, dilindungi dengan asas droit de suite, menjadi

kreditur separatis apabila debitur pailit, juga berhak untuk melakukan

eksekusi dengan kekuasaan sendiri dan bila timbul gugatan karena

kesalahan debitur terhadap penggunaan dan pengalihan benda, pemberi

fidusia bertanggung jawab penuh.

B. Saran

1. Sebaiknya Semua bank baik bank pemerintah

maupun swasta melakukan pendaftaran jaminan

fidusia sebab jaminan fidusia lahir pada saat

perjanjian fidusia tersebut didaftarkan yang

akan melahirkan perjanjian dengan karakter

kebendaan.

2. Jaminan fidusia ini memiliki kelemahan karena

objek yang dijaminkan berada di tangan debitur

sehingga debitur yang tidak mempunyai itikad

baik dapat melakukan kecurangan dan sulit

untuk dipantau. Oleh karena itu perlu dibuat

peraturan pelaksana agar pelaksanaan di

lapangan dapat berjalan dengan baik

sehubungan dengan moralitas dan itikad baik.

3. Penerima fidusia sebaiknya memperoleh

kepastian dalam undang-undang untuk

memberikan suatu tanda pada bukti hak milik


117

atas objek fidusia bahwa benda tersebut telah

dibebani hak jaminan fidusia seperti yang ada

pada hak tanggungan.

4. Undang-Undang sebaiknya juga memberikan

solusi yang lebih praktis apabila pemberi fidusia

merasa haknya dirugikan selain melakukan

gugatan perdata ke pengadilan untuk

menciptakan perlindungan hukum yang

seimbang bagi pemberi dan penerima fidusia.

5. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia telah berlaku namun

masih banyak hal-hal yang perlu dikaji, sebab

hukum jaminan dapat menjadi amat berguna

bagi ekonomi nasional secara makro, sebab itu

masih perlu suatu komitmen yang kuat dari

pihak-pihak terkait seperti menteri kehakiman

dan hak azasi manusia dalam menjalankan

administrasi kantor registrasi fidusia, juga

Mahkamah Agung agar memiliki persepsi yang

sama atas visi dan misi Undang-Undang fidusia

ini, sehingga fidusia sebagai suatu instrumen

jaminan yang diterima secara luas.


118

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ......................................
.....................................................................................1
B. Rumusan Permasalahan ................................................
...................................................................................13
119

C. Tujuan Penelitian ..........................................................


...................................................................................13
D. Manfaat Penelitian .......................................................
...................................................................................13
E. Kerangka teoritis dan Konseptual.................................
...................................................................................14
F. Metode Penelitian .........................................................
...................................................................................20
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DAN
JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Jaminan ..........................................................
......................................................................................23
B. Jenis Jaminan ...................................................................
......................................................................................24
C. Sifat Perjanjian Jaminan ..................................................
......................................................................................27
D. Pengakuan Fidusia dalam Undang-Undang Untuk
Kepastian Hukum...................................................................
............................................................................................29
1. Perjanjian Fidusia ............................................................
34
2. Pembebanan Fidusia dan Fidusia Ulang ........................
35
3. Pendaftaran Fidusia .........................................................
37
E. Asas-Asas Jaminan Fidusia ....................................................
40
F. Jaminan Fidusia sebagai Jaminan Kebendaan merupakan sub
sistem hukum jaminan ..........................................................
47
BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA
PADA BANK BRI CABANG PADANGSIDIMPUAN
120

A. Keadaan Umum Tempat Penelitian ................................


......................................................................................53
1. Visi Misi dan Tujuan Perusahaan ...
.....................................................54
2. Perkembangan Usaha Bank BRI ....
.....................................................56
3. Organisasi dan Jaringan Kerja
Bank BRI ........................................
.....................................................56
4. Bidang Usaha Bank BRI ................
.....................................................57
B. Gambaran Umum Kantor Cabang Padangsidimpuan ......
......................................................................................58
C. Gambaran Umum Jaminan Fidusia yang ada pada Bank
BRI Cabang Padangsidimpuan. .............................................
............................................................................................59
1. Objek Jaminan Fidusia ...................
.....................................................59
2. Kasus Jaminan Fidusia ke
Pengadilan ......................................
.....................................................63
D. Pelaksanaan Jaminan Secara Fidusia......................................
............................................................................................65
1. Fungsi Yuridis Jaminan Fidusia
Sebagai Pengaman Kredit Bank .....
.....................................................65
2. Perjanjian Membuka Kredit ...........
71.....................................................
3. Pengikatan /Pembebanan Jaminan
Fidusia ............................................
.....................................................72
4. Pendaftaran Jaminan Fidusia ..........
121

.....................................................74
5. Perjanjian Fidusia Merupakan
Perjanjian Yang Bersifat Assesoir
.....................................................82
6. Perubahan Status Yuridis Atas Kemilikan Benda Jaminan
Fidusia .............................................................................
......................................................................................88
E. Perlindungan Hukum Terhadap Pemberi dan Penerima
Jaminan Fidusia .....................................................................
............................................................................................92
1. Objek Jaminan Fidusia Tidak
Dapat Dimiliki Oleh Bank ..............
.....................................................92
2. Terjadinya Overmach Terhadap Objek
Jaminan Fidusia ..................................
.....................................................98
3. Proses Eksekusi Barang Jaminan
Fidusia ............................................
...................................................102
4. Kewenangan Pemberi Fidusia
Terhadap Barang Jaminan ..............
...................................................108
5. Hak Preferensi Dari Penerima
Fidusia .............................. 109
6. Pengaruh Kepailitan Pemberi
Fidusia/Debitur dan Likuidasi Bank
Terhadap Objek Jaminan Fidusia.....
...................................................112
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................
....................................................................................115
B. Saran ................................................................................
122

....................................................................................116
DAFTAR KEPUSTAKAAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Kasus Jaminan Yang Sudah Diputus Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

Tahun 1992.

Perjanjian Membuka Kredit Format Bank BRI Cabang Padangsidimpuan

Perjanjian Fidusia Format Bank BRI Cabang Padangsidimpuan

Sertifikat Fidusia

Surat Edaran Bank BRI Tahun 2004 Cabang Padangsidimpuan

Surat Kuasa Di Bawah Tangan Untuk Mendaftarkan Perjanjian Fidusia Format

Bank BRI Cabang Padangsidimpuan


123

PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA


PADA BANK BRI CABANG PASANGSIDIMPUAN
(Dermina Dalimunthe, 05211013, Ilmu Hukum, PPS UNAND, 2007)

ABSTRAK

Menurut sistem hukum kita, dan juga hukum dikebanyakan negara-negara


Eropa Kontinental, jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak,
maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai tersebut
harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang
menjadi objek jaminan utang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut
haruslah berbentuk hipotik (sekarang hak tanggungan dengan keluarnya UU No. 4
Tahun 1996 Tentang hak Tanggungan). Dalam hal ini barang objek jaminan tidak
diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur. Akan tetapi
terdapat kasus-kasus bahwa barang objek jaminan utang masih tergolong barang
bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut
kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan
kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya, karena itulah dibutuhkan
adanya satu bentuk jaminan utang yang objeknya masih tergolong benda bergerak
tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur.
Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana pada awalnya objeknya adalah
benda bergerak yang kemudian berkembang kepada benda tidak bergerak yang tidak
dapat diikat dengan hak tanggungan, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak
beralih dari debitur kepada kreditur, jaminan ini dikenal dengan nama jaminan
fidusia, yang pada awalnya hanya didasarkan kepada yurisprudensi hingga akhirnya
diatur dalam suatu Undang-Undang tersendiri yaitu UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia. Masalah dalam penelitian ini adalah 1).Bagaimana pelaksanaan
perjanjian jaminan fidusia pada Bank BRI cabang Padangsidimpuan? 2). Bagaimana
perlindungan hukum bagi debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia pada
Bank BRI cabang Padangsidimpuan? Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum empiris (socio legal research).Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa 1) Pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada Bank BRI cabang
Padangsidimpuan dilakukan melalui penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur dilanjutkan dengan
mengisi dan memenuhi semua syarat pada reviw dokumen kemudian membuat
perjanjian membuka kredit dan perjanjian fidusia secara notaril dan mendaftarkan ke
kantor pendaftaran fidusia. 2) Perlindungan hukum bagi debitur pemberi fidusia
adalah apabila debitur telah dinyatakan melakukan wanprestasi kreditur tidak langsung
menjadi pemilik benda agunan tetapi bertindak untuk menjual langsung benda agunan
sesuai dengan proses eksekusi yang telah ditetapkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.
Perlindungan hukum bagi kreditur penerima fidusia adalah dengan adanya fakta bahwa
124

perjanjian fidusia pada Bank BRI Cabang Padangsidimpuan dibuat dengan akta
notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, kreditur mendapatkan hak untuk
didahulukan/preferen, dilindungi dengan asas droit de suite, berkedudukan sebagai
kreditur separatis dan memiliki titel eksekutorial.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Bahsan, M, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung:


Jakarta, 2002.

Darus Badrulzaman, Mariam, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 1991.

________________________, Bab-Bab Tentang Creditverban, Gadai, dan


Fiducia, Bandung, 1987,

Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminto, Balai Pustaka, Jakarta,


1988

M. Friedmann, Lawrence, American Law ,W.W Norton & Company, New York
London, 1984.

Mahadi, Filsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

______, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN, 1981.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.

Mascjoen Sofwan, Sri Soedewi, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga


Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1977.

____________________________, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok


Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Bina Usaha, Yogyakarta,
1980.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.

______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,


125

Jakarta: 2003

Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1991.

HS, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2004.
Subekti, R, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, Alumni, Bandung, 1982.

Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1983.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1982


.
Soekanto, Soejono, dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta, 1987.

Tan Kamelo, H, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,


Alumni, Bandung, 2004.

_____________, Hukum Bisnis Masalah Hukum Perbankan, Perkreditan dan


Jaminan, Kumpulan kertas Kerja Mariam Darus Badrulzaman (seri I),
Fakultas Hukum USU, Medan, 1998.

Waluyo, Bambang Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta:


2002

Widjaya, Gunawan, dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Grafindo Persada,


Jakarta, 2000.

II. Peraturan Perundang-Undangan

1. UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.


2. UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
3. UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
4. UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
5. UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.
6. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UU Pokok Agraria.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
8. UU Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Membayar Utang.
9. PP No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
10. PP No. 40 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas PP No. 68 Tahun 1996
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
dan Likuidasi Bank.
126

III. Jurnal Hasil Penelitian dan Makalah

M. Kleyn, W, Keputusan dan Ketidakpastian Peralihan Milik Fidusier,


Compendium Hukum Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia
Belanda, Gravenhage, 1978.

Mangunkusumo, Sumardi, Fidusia Bangunan-Bangunan diatas Tanah Hak Sewa,


Hukum dan Keadilan No. 3 Tahun III, Mei/Juni 1972.

Gautama, Sudargo, Pengakuan Fidusia Dalam Perundang-undangan Di Indonesia,


Varia Peradilan, Majalah Hukum No. 30, IKAHI, Jakarta, 1988.

Remy Sjahdeini, Sutan, Komentar Pasal Demi Pasal UU No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000.

Hendra Winarta, Frans, Teknisi Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui


Pendekatan Hukum, 2003, www… hukumonline.com (terakhir dikunjungi
pada bulan Februari 2007.

P. Parlindungan, A, Konsep Rancangan Undang-Undang Hak Tanggungan dan


Gadai, Seminar Nasional Agraria ke-3: Medan, 1990.
127
128

PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA PADA

PT Bank BRI (Persero) Tbk CABANG PADANGSIDIMPUAN

TESIS

Oleh :

DERMINA DALIMUNTHE
NO. BP 05211013

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2007
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan
129

rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan baik. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang. Tesis
ini berjudul:
PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA PADA
PT Bank BRI (Persero) Tbk CABANG PADANGSIDIMPUAN
Penyelesaian karya ilmiah berupa tesis ini dapat diselesaikan penulis
dengan baik walaupun melalui jalan panjang, dengan ridho Allah swt serta
dorongan dan bantuan dari semua pihak. Namun dengan segala keterbatasan serta
ilmu pengetahuan yang dimiliki penulis, dalam penulisan tesis ini banyak
kekurangan dan kelemahan. Dengan kerendahan hati penulis menerima kritikan
dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.
Dalam penyelesaian tesis ini penulis sadar bahwa banyak pihak yang telah
memberikan bantuan kepada penulis, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Yang mulia dan tercinta suami, ibu dan ayah,
serta anak-anakku (Irvan Arya, Rosihan Arbi
dan Suty Suhaimi) yang telah memberikan
bantuan baik moril maupun materil kepada
penulis mudah-mudahan segala pengorbanan
yang telah diberikan dibalas dengan pahala yang
berlipat ganda.
2. Bapak Dekan, Pembantu Dekan beserta Staf
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas
yang telah memberikan bantuan kepada penulis
dalam proses menyelesaikan studi dan tesis ini.
3. Bapak Direktur, Ibu dan Bapak Sekretasis
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Andalas, Padang.
4. Ibu Prof. Dr. Yulia Mirwati SH, CN, MH
sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak
Tasman SH, MH sebagai anggota Komisi
130

Pembimbing yang telah banyak membimbing


dan meluangkan waktu untuk penulisan ini.
5. Kepada rekan-rekan seangkatan PPS Universitas
Andalas yang telah ikut memberikan motivasi
kepada penulis, dan kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Semoga bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak baik moril maupun materil
menjadi amal sholeh di sisi Allah swt, amin.
Demikian tesis ini penulis hadapkan atas segala bantuan yang diberikan
mudah-mudahan menjadi amal sholeh di sisi Allah swt dan semoga tesis
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Billahitaufiq wal hidayah
Alhamdulillah hirobbil alamin

Padang, Juni 2007

Penulis
131

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : DERMINA DALIMUNTHE, SH


NO. BP : 05211013
Tempat/Tgl Lahir : Sihepeng, 28 Mei 1971
Alamat : Jln. DR. M. Hatta No. 6A RT 11/RW IV Kec. Kuranji
Padang 25152

Nama Orang Tua:


Ayah : Zubir Dalimunthe
Ibu : Nurlena Harahap
Alamat : Jln. Tano Bato Gn. Setia Kel. Batang Ayumi Jae
Padangsidimpuan Sumatera Utara
Jenjang Pendidikan:
• SD Ngeri 16 Padangsidimpuan Th 1978- 1984
• SMPN 3 Padangsisimpuan Th 1984- 1987
• SMAN 2 Padangsidimpuan Th 1987-1990
• Universitas Islam Sumatera Utara Th 1990- 1995

Tesis
Judul : PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA PADA
PT Bank BRI (Persero) Tbk CABANG PADANGSIDIMPUAN

Pembimbing I : Prof. Dr. Yulia Mirwati SH, CN, MH


Pembimbing II : Tasman SH, MH

Durasi Perkuliahan : 2 Tahun


Wisuda :
132

Yudicium :

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya tulis dengan judul

PELAKSANAAN PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA PADA PT Bank BRI

(Persero) Tbk CABANG PADANGSIDIMPUAN adalah hasil kerja atau karya

saya sendiri dan bukan jiplakan dari hasil kerja atau karya orang lain, kecuali

kutipan yang sumbernya dicantumkan. Jika dikemudian hari pernyataan ini

ternyata tidak benar, maka status kelulusan dan gelar yang saya peroleh menjadi

batal dengan sendirinya.

Padang, Juni 2007


Yang Membuat Pernyataan

Dermina Dalimunthe
Bp 05211013

Anda mungkin juga menyukai