Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hukum Jaminan Umum

Istilah jaminan yang digunakan dalam lembaga hukum jaminan di Indonesia

merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda yaitu zekerhaid atau coutie

yang berarti cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping

pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Dasar hukum dari

hukum jaminan di Indonesia terdapat pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) yang menyatakan bahwa, “Segala

kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yangsudah

ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk

perikatan perseorangan.”

Adapun dalam Pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan kebendaan tersebut

menjadi jaminan bersama-sama semua orang yang mengutangkan padanya;

pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu

menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Beberapa ahli juga

mendefinisikan istilah jaminan antara lain:

1. Hartono Hadisapoetro berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu

yang diberikan kepada debitur untuk menimbulkan keyakinan bahwa


debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang

timbull dari suatu perikatan.

2. M. Bahsan berpendapat bahwa jaminan adalah segala sesuatu yang

diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang

piutang dalam masyarakat.

3. Mariam Darus Badrulzaman sebagaimanayang dikutip oleh Frieda

Husni Hasbullah menyatakan bahwa jaminan adalah suatu tanggungan

yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur

untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

4. Thomas Suyanto berpendapat bahwa jaminan adalah penyerahan

kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung

pembayaran kembali suatu hutang.

Dari rumusan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata tersebut, dapat

disimpulkan bahwa ada 2 (dua) macam bentuk jaminan yaitu Jaminan Umum dan

Jaminan Khusus. Definisi dari jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi

kepentingan semua kreditur yang menyangkut semua harta kekayaan debitur. 1 Dari

definisi tersebut dapat dilihat bahwa benda-benda jaminan tidak hanya diperuntukkan

untuk kreditur tertentu, akan tetapi hasil dari penjualan benda yang menjadi jaminan

akan dibagi secara seimbang untuk seluruh kreditur sesuai dengan jumlah hutang

yang dimilik oleh debitur.

1
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberikan, (Jakarta:
Indo Hill-Co, 2005), hlm. 8.
Dalam jaminan umum ini tidak akan terjadi masalah jika hasil penjualan

benda jaminan mencukupi seluruh hutang debitur kepada kreditur, akan tetapi jika

hasil penjualan benda jaminan tidak mencukupi hutang debitur kepada kreditur maka

hasil penjualan benda jaminan akan dibagi berdasarkan presentase piutang yang

dimiliki oleh kreditur kepada debitur. Hali ini akan tetap menjadi masalah, karena

hutang debitur tetap tidak dapat dibayar secara lunas sehingga akan menimbulkan

kerugian terhadap kreditur. Jadi jaminan umum masih belum memberikan keamanan

bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya secara penuh. Untuk

memberikan keamanan terhadap pelunasan hutang kepada debitur dibutuhkan suatu

bentuk jaminan yang memberikan hak kepada kreditur untuk menjadi kreditur

preferent yaitu kreditur yang harus didahulukan dalam pembayaran diantara kreditur-

kreditur lainnya jika debitur melakukan wanprestasi.

Oleh karena itu dibentuklah bentuk jaminan lain, yaitu bentuk jaminan

khusus. Adapun ciri-ciri dari jaminan umum adalah:

1. Para kreditur mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, artinya

tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dan disebut

sebagai kreditur yang konkuren.

2. Ditinjau dari sudut haknya, para kreditur konkuren mempunyai hak yang

bersifat perorangan, yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap

orang-orang tertentu.

3. Jaminan umum timbul karena undang-undang, artinya antara para pihak

tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikian para kreditur


konkuren secara bersama-sama memperoleh jaminan umum berdasarkan

undang-undang.

2.2. Hukum Jaminan Khusus

Bentuk jaminan khusus muncul sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan

yang ada pada bentuk jaminan umum. Dalam Pasal 1132 KUHPerdata terdapat

kalimat yang berbunyi, “kecuali diantara para kreditur ada alasan-alasan yang sah

untuk didahulukan”. Dengan adanya kalimat tersebut dalam Pasal 1132 KUHPerdata,

terdapat kemungkinan diadakan perjanjian yang menyimpang dari pengaturan

jaminan umum. Bentuk jaminan khusus ditentukan secara terbatas dan tegas pada

Pasal 1133 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Hak untuk didahulukan diantara

orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai, dan dari hipotek”. Jadi

adanya alasan untuk dapat didahulukan dapat terjadi karena ketentuan undnag-

undnag, dapat juga terjadi karena diperjanjikan antara debitur dan kreditur.

Namun menurut J. Satrio, jaminan khusus tidak memberikan jaminan bahwa

tagihan pasti akan dilunasi akan tetapi hanya memberikan kepada yang tidak

memegang jaminan khusus atau dengan kata lain relatif lebih terjamin dalam

pemenuhan tagihan.2 Oleh karena itu, dalam doktrin masih dikenal mengenai

pembagian bentuk jaminan yang lain, yaitu: yang pertama adalah hak jaminan

kebendaan (zakelijke zekerheidscrechten), yang kedua adalah hak jaminan perorangan

2
J. Satrio, Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 10.
(personalijkezekerheidscrechten), kemudian yang ketiga adalah Hak jaminan yang

lain.

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur atas

suatu kebendaan milik debitur hak untuk memanfaatkan benda tersebut jika debitur

melakukan wanprestasi. Dalam jaminan kebendaan ini, benda milik debitur yang

dapat dijaminkan dapat berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak. Untuk

benda bergerak, dapat dijaminkan dengan gadai dan fidusia. Sedangkan untuk benda

yang tidak bergerak, dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, adapun cirri-ciri dari

jaminan kebendaan adalah:

1. Merupakan hak mutlak atas suatu benda.

2. Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu

milik debitur.

3. Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun.

4. Selalu mengikuti benda di tangan siapapun benda tersebut berada (droit de

suite/zakaaksqevolg).

5. Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan lebih dulu terjadi akan

lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de prefernce).

6. Dapat diperalihkan secara hipotik bersifat perjanjian tambahan

(accessoir).

Dengan adanya hak jaminan kebendaan ini diharapkan dapat memberikan

kepada kreditur kedudukan yang lebih baik, karena:


1. Kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas

tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda

tertentu milik debitur dan/atau

2. Ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat

kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan

suatu tekanan psikologis kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya

dengan baik terhadap kreditur. Disini adanya semacam tekanan psikologis

kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya adalah karena benda

yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga

baginya. Sifat manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang

berharga dan telah dianggap atau telah diakui menjadi miliknya, menjadi

dasar hukum jaminan.3

Selain jaminan kebendaan adapula yang disebut dengan jaminan perorangan.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian

antara seorang yang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin

dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur. 4 Jaminan perorangan ini

tidak memberikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu, karena harta

kekayaan pihak ketiga hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu

perikatan seperti borgtocht.5 Dasar hukum dari jaminan perorangan atau

penanggungan diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata yang berbunyi“Suatu perjanjian


3
Ibid., hlm.12
4
Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Meurut Hukum Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bhakti, 1989), hlm. 15.
5
Frieda Husni Hasbullah, Op. Cit., hlm. 12.
dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatan si berhutang manakala orang ini sendiri tidak

memenuhinya”. Kemudian pada Pasal 1822 KUHPerdata menyatakan, “Seorang

penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat

yang lebih berat, daripada perikatan si berutang.

Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari

hutangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk

lebih dari hutangnya, atau dengan syarat-syarat yang kurang jika penanggungan

diadakan untuk lebih dari hutangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat,

maka perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah hanya untuk apa yang

diliputi oleh perikatan pokoknya. Jadi dalam perjanjian penanggungan, kewajiban

dari penanggung kurang ataupun sama dari perjanjian pokoknya, maka perjanjian

penanggungan dapat dilaksanakan.

Namun, apabila kewajiban penanggung lebih besar dari pada pejanjian

penanggungan batal, akan tetapi kewajiban dari penanggung hanya sebatas pada

jumlah yang disyaratkan pada perjanjian pokok. Kedudukan dari perjanjian

penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir, yang artinya jika

perjanjian pokok batal, maka perjanjian penanggungan juga akan batal. Akan tetapi

dalam Pasal 1821 KUHPerdata memberikan ruang untuk terjadinya pengecualian.

Pasal 1821 KUHPerdata menyatakan:

“Tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun

dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan,


biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya

mengenai dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal

kebelumdewasaan”.

Jadi dalam Pasal 1821 KUHPerdata menerangkan bahwa, dapatlah suatu

perjanjian penanggungan dapat tetap sah meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan

jika berhubungan dengan diri pribadi seseorang misalnya dalam hal belum dewasa.

Adapun ciri-ciri dari jaminan perorangan adalah:

1. Mempunyai hubungan langsung dengan orang tetentu.

2. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu.

3. Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan hutang

misalnya borgtocht.

4. Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung hak kesamaan atau

keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan mana piutang yang

terjadi kemudian. Dengan demikian tidak mengindahkan urutan terjadinya

karena semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta

kekayaan debitur.

5. Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda

jaminan dibagi antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang

masing-masing.

Macam jaminan yang terakhir menurut klasifikasi J. Satrio selain jaminan

kebendaan dan jaminan perorangan adalah jaminan yang lain. Hal ini merupakan

pengembangan dari jaminan kebendaan. Benda-benda yang dapat dijaminkan adalah


yang mempunyai hak ekonomis dan bisa diperjualbelikan, sedangkan dalam praktek

banyak terdapat perjanjian yang menjadikan benda-benda yang tidak mempunyai

nilai ekonomis menjadi jaminan, misalnya ijasah, surat keterangan pengangkatan

pegawai, dan surat pension. Benda-benda ini brsifat sangat pribadi sehingga sulit

untuk dimasukkan dalam jaminan kebendaan. Meskipun benda-benda ini sangat

berharga bagi pemiliknya akan tetapi akan sulit dieksekusi karena benda-benda ini

tidak mempunyai nilai ekonomis untuk orang lain dan tidak dapat dijual sehingga

tidak dapat dikatakan sebagai suatu jaminan kebendaan.

2.2.1. Gadai

1. Pengertian gadai

Pengertian dari gadai berdasarkan Pasal 1150 KUHPerdata adalah

suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang

diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan

atas utangnya, dan yang member wewenang kepada kreditur untuk

mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahului

kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai

pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan,

dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu

sebagai gadai dan yang harus didahulukan. Dasar hukum dari gadai adalah

Pasal 1150 sampai Pasal 1160 KUHPerdata.

Kata gadai dalam undang-undang digunakan dalam 2 (dua) arti,

pertama-tama untuk menunjuk kepada bendanya (benda gadai, Pasal 1152


KUHPerdata), kedua, tertuju pada haknya (hak gadai, seperti Pasal 1150

KUHPerdata).6 Saat terjadinya gadai meliputi 2 (dua) tahap, yaitu:

a. Tahap pertama terjadinya hak gadai adala perjanjian pinjam uang

dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan,

dimana perjanjian ini bersifat konsensuil dan obligatoir.

b. Tahap kedua terjadi penyerahan benda gadai dalam kekuasaan

penerima gadai (kreditur). Karena benda gadai adalah benda bergerak,

maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasan debitur.

2. Sifat-Sifat Gadai

Hak gadai memiliki sifat kebendaan pada umumnya yaitu hak

absolute, droit de suite, droit de preference, hak menggugat, dan lain-lain.

Disamping sifat-sifat kebendaan tersebut, hak gadai memiliki siat-sifat

khusus, yaitu:

a. Accessoir, yaitu berlakunya hak gadai tergantung padaada atau

tidaknya perjanjian pokok atau hutang-piutang artinya, jika perjanjian

hutang piutang sah, maka perjanjian gadai sebagai perjanjian

tambahan juga sah, dan sebaliknya jika perjanjian hutang piutang tidak

sah, maka perjanjian gadai juga tidak sah. Dengan demikian jika

perjanjian hutang piutang beralih maka otomatis hak gadai juga

beralih, tetapi sebaliknya hak gadai ta dapat dipindahkan tanpa

berpindahnya perjanjian hutang piutang dan jika karena atu alasan

6
J. Satrio, Op. Cit,, hlm. 89.
tertentu perjanjian gadai batal, maka perjanjian hutang piutang masih

tetap berlaku asal dibuat secara sah.

b. Berdasarkan ketentuan Pasal 1160 KUHPerdata, barang gadai tidak

dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya diantara para waris si berhutang

atau diantara para waris si berpiutang dapat dibagi-bagi. Dengan

demikian gadai meliputi seluruh benda sebagai satu kesatuan, artinya

sebagian hak gadai tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian

hutang.

c. Barang yang digadaikan merupakan jaminan bagi pembayaran kembali

hutang debitur kepada kreditur. Jadi barang jaminan tidak boleh

dipakai, dinikmati apalagi dimiliki. Kreditur hanya berkedudukan

sebagai houder bukan burgerlijke bezitter.

d. Barang gadai berada dalam kekuasaan kreditur atau penerima gadai

sebagai akibat adanya syarat inbezitstelling. Syarat inbezitstelling

dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1150 dan Pasal 1152

KUHPerdata dan merupakan syarat utama untuk sahnya suatu

perjanjian gadai. Namun, sebelum benda-benda diserahkan oleh

debitur kepada kreditur, perjanjian gadai akan selalu didahului dengan

perjanjian pokok atau perjanjian hutangpiutang karena tanpa perjanjian

pokok, maka perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir tidak akan

terjadi.

2.2.2. Fidusia
1. Pengertia Fidusia

Istilah berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan.

pengertianfidusia berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu

benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Fidusia merupakan lembaga jaminan yang mirip dengan gadai yaitu

keduanya sama-sama mensyaratkan benda bergerak sebagai jaminan. Hal

yang membedakan fidusia dengan gadai adalah pada fidusia, benda yang

dijaminkan tetap dalam kekuasaan kreditur.

Dasar Hukum dari praktek fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sama dengan gadai, fidusia pada

dasarnya adalah suatu perjanjian accessoir antara debitur dan kreditur

yang isinya pernyataan penyerahan hak milik secara kepercayaan atas

benda-benda milik debitur kepada kreditur, namun benda-benda tersebut

masih tetap dikuasai oleh debitur sebagai peminjam pakai dan bertujuan

hanya untuk jaminan atas pembayaran kembali uang pinjaman. Untuk

penyerahannya dilakukan secara constitutum possessorium artinya

penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas benda-benda yang

bersangkutan karena benda-benda tersebut masih di tangan debitur,

2. Ciri-ciri Fidusia
Sebagaimana jaminan gadai, jaminan fidusia juga memiliki ciri-ciri

khusus, adapau ciri-ciri jaminan fidusia adalah:

a. Accessoir

Timbulnya fidusia didahului dengan suatu perjanjian

meminjam uang atau perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian

pokok. Kemudian sebagai jaminan pelunasan hutang dibuatlah suatu

perjanjian tambahan berupa perjanjian dengan jaminan fidusia

tersebut. Oleh karena itu jika perjanjian pokok berupa hutang piutang

dilunasi, maka otomatis perjanjian fidusia berakhir. Dengan

berakhirnya penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan ini

tergantung pada perjanjian pokoknya.

b. Constitutum Possessorium

Kalau dalam perjanjian gadai benda harus dilepaskan dari

kekuasaan pemberi gadai/debitur dan hak milik atas benda tetap

berada dalam tangan debitur, maka dalam perjanjian fidusia terjadi

penyimpangan yaitu benda tetap dikuasai oleh debitur walaupunhak

milik atas benda tersebut telah berpindah ke tangan kreditur. Oleh

karena itu kkonstruksi demikian dinamakan penyerahan hak milik

dengan melanjutkan penguasaan atas benda jaminan.

c. Parate executie

Sehubungan dengan kedudukan separatis dan hak preferen

yang dimiliki kreditur, demikian juga adanya pengakuan oleh


yurisprudensi bahwa fidusia merupakan hukum jaminan kebendaan

yang seperti halnya gadai dan hipotek, maka kreditur selaku penerima

fidusia berhak melakukan parate executie atau menagih piutangnya

dari hasil penjualan benda yang dijaminkan tanpa suatu executorial

title.

2.2.3. Hak Tanggungan

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, hak

tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan

pada hak atas tanah (sebagaimana dimaksud dalam UUPA) berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu,

untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, ciri-ciri dari

hak tanggungan adalah sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamaknan atau mendahului kepada

pemegangnya. Hal ini sesuai denganmaksud dari Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996. Demikian juga sebagaimana yang

dimaksud dengan Pasal 20 (ayat 1 b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 yang antara lain menyatakan bahwa objek hak tanggungan dijual

melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam


peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak

tanggungan dengan hak mendahuku daripada kreditur-kreditur lainnya.

2. Selalu mengikuti objek yang dijamin oleh siapapun objek itu berada.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996. Dalam penjelasan atas Pasal 7 tersebut, dinyatakan bahwa sifat ini

merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak

tanggungan. Walupun objek hak tanggungan sudah berpindahtangan dan

menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dpat menggunakan haknya

melalui eksekusi jika debitur cidera janji.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Sebagaimana diketahui

dalam eksekusi putusan dikenal 4 (empat) macam eksekusi yaitu:

a. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 HIR merupakan

eksekusi putusan yang menghukum hak yang dikalahkan untuk

membayar sejumlah uang.

b. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, adalah eksekusi

putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.

Untuk memenuhi prestasi melakukan suatu perbuatan sudah tentu

seseorang tidak dapat dipaksakan, oleh karena itu pihak yang


dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang

akan diperolehnya dinilai dengan uang.

c. Eksekusi parate (parate executie) terjadi apabila seorang

kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai title

executorial tercantum dalam Pasal 1155 dan Pasal 1178 ayat (2)

KUHPerdata) artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa

melalui gugatan atau tanpa melalui pengadilan.

Kemudian untuk persyaratan objek hak tanggungan antara lain:

a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa

uang.

b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam daftar umum karena harus

memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.

c. Memunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila kreditur

cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual di muka umum.

d. Memerlukan penunjukan oleh undang-undang.

2.3. Perbuatan Melawan Hukum

2.3.1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari

hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi

proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan

melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all),
berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang

merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang terkena salahnya

menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut

kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh

Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan

dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan

hukum yang berasal dari KUHPerdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad

ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum

(torf) versi hukum Anglo Saxon.7

Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri

Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:

1. Periode sebelum tahun 1838;

Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar

terhadap perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai

on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti

bahwa suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.

2. Periode antara tahun 1838-1919;

Setelah tahun 1838 sampai sebelum tahun 1919, pengertian perbuatan

melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap

hak subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum

7
Munir Fuady (a), Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005), hlm. 80.
adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku atau melanggar hal subjektif orang lain. Dalam hal ini

Pasal 1365 KUHPerdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan

hukum (culpa in committendo) sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata

dipahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan

(culpa in committendo). Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak

berbuat) tidak melanggar undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak

termasuk perbuatan melawan hukum.

3. Periode setelah tahun 1919;

Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Road terhadap perbuatan

melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya

yang luas dan luwes.

Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa “orang

yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat

bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri”. 8 Setelah adanya

arrest dari Hoge Road 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka

pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu:

Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain,
atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang
berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat
yang sempit),atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun
melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas
masyarakat terhadap diri atau benda orang lain).9

8
I.S. Adiwinata, Pengantar Study Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 184.
9
Ibid., hlm. 185.
Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti

luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar

hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau

yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan

kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam

masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak

tertulis seperti adat istiadat dan lain-lain.

Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan

hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam

arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut.

Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah

merupakan penggabungkan dari kedua pasal tersebut. Lebih jelasnya pendapat

tersebut adalah:

Perbuatan dalam arti “perbuatan melawan hukum” meliputi perbuatan


positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda “daad” (Pasal 1365)
dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa Belanda “nataligheid”
(kelalaian) atau “onvoorzigtgheid” (kurang hati-hati) seperti
ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.10

Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang

betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata itu untuk orang

yang tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum

yang sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal

10
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 142.
1365 KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya

mempunyai arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari

1919, karena pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu

masih sempit. Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut,

pengertian melawan hukum itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga

perbuatan negatif. Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula

dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata.

Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang

secara etimologi, KUHPerdata, keputusan Mahkamah Agung Belanda dengan

arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para sarjana hukum, walaupun

saling berbeda antara satu sama lainnya, namun mempunyai maksud dan

tujuan yang sama, yaitu member penegasan terhadap tindakan-tindakan

seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan

kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal tersebut telah ada

aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik secara tertulis

maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya. 11 Ajaran

sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana

di samping asas legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum

yang formal dan materil.12

1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

11
Ibid., hlm. 144.
12
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 21.
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik

undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk

dapat dipidananya perbuatan.Ajaran sifat melawan hukum formal adalah

apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsure yang termuat

dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana.

Jika ada alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam

undang-undang.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur

rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela, karena itu

ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang,

dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak

tertulis.
2.3.2. Syarat Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu

perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai

berikut:

1. Adanya suatu perbuatan

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku

4. Adanya kerugian bagi korban

5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan

melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:

Ad.1. Adanya Suatu Perbuatan

Kata perbuatan meliputi perbuatan positif, yang bahasa aslinya

“daad” (Pasal 1365 KUHPerdata) dan perbuatan negatif, yang dalam

bahasa aslinya bahasa Belanda “nalatigheid” (kelalaian) atau

“onvoorzigtigheid” (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal

1366 KUHPerdata. Dengan demikian, Pasal 1365 KUHPerdata itu

untuk orang-orang yang betul-betul berbuat, sedangkan Pasal 1366

KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran dua


Pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti

kerugian.13

Perbuatan adalah perbuatan yang nampak secara aktif, juga

termasuk perbuatan yang nampak secara tidak aktif artinya tidak

nampak adanya suatu perbuatan, tetapi sikap ini bersumber pada

kesadaran dari yang bersangkutan akan tindakan yang harus dilakukan

tetapi tidak dilakukan.14 Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh

suatu perbuatan dari pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa

dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti

aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak

berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk

membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku

(karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena

itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan

atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang

diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam perjanjian.

Kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengandung semua

gradasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai pada kesalahan

dalam arti “tidak sengaja” (lalai). Menurut hukum perdata, seorang itu

dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa telah

13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 4.
14
Achmad Ichsan, Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1969), hlm. 250.
melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya

dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu

tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira-kirakan. Dapat dikira-

kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat

mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya

dilakukan/tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan itu harus juga diukur

secara subjektif, artinya apa yang justru orang itu dalam

kedudukannya dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu

seharusnya dilakukan/tidak dilakukan.

Ad.2. Perbuatan tersebut Melawan Hukum

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum.

Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum tersebut diartikan dalam arti

yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:15

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku,

b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum,

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zedeen),

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain atau

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan

oleh undang-undang. Dengan demikian, melanggar hukum

15
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 4.
(Onrechtmatig) sama dengan melanggar Undang-Undang

(Onwetmatig).

Ad.3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Untuk itu kesalahan dalam arti objektif adalah seseorang

dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena berbuat

kesalahan, apabila ia bertindak dari pada seharusnya dilakukan oleh

orang-orang dalam keadaan itu dalam pergaulan masyarakat.

Kesalahan dalam arti subjektif adalah melihat pada orangnya yang

melakukan perbuatan itu, apakah menurut hukum dapat

dipertanggungjawabkan artinya fisik orang itu normal atau masih

kanak-kanak. Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang

Perbuatan Melawan Hukum tersebut, Undang-Undang dan

yurisprudensi mensyaratkan agar para pelaku haruslah mengandung

unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan

tersebut.

Tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak

termasuk tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Jika

pun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan

tersebut (strict liability), hal tersebut tidak didasari atas Pasal 1365

KUHPerdata, tetapi didasarkan kepada uUndang-undang lain.16 Karena

Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan

16
Ibid.
(schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui

bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan

dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat

dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut:

a. Ada unsur kesengajaan, atau

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa)

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht-

vaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri,

tidak waras, dan lain-lain.

d. Adanya Kerugian Bagi Korban

Perbuatan melawan hukum, unsur-unsur kerugian dan ukuran

penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan

demikian, penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melawan

hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur yaitu biaya,

kerugian yang sesungguhnya, dan keuntungan yang diharapkan

(bunga). Kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang.

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat

agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat

dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang

hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan

melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga


mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan

uang.

Ad.4. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian

Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari

suatu kerugian, maka perlu diikuti teori “adequate veroorzaking” dari

Von Kries. Menurut ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan

yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat

diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi antara

perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung.

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan

kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan

hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu

teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab

akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah

“fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab

yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab

secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat

tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum,

sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for”

atau “sine qua non”.

Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang

sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. Selanjutnya agar lebih


praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang

lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira-kira” (proximate

cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling

membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam

hukum tentang perbuatan melawan hukum.

2.3.3. Jenis Perbuatan Melawan Hukum

Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19,

perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang

berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan

yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain. 17 Penggunaan writ ini

kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem

writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui

sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum

Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari 3 (tiga) bagian:

1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur

kesalahan);

2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan);

3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).18

Mutlak Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan

perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang

17
Munir Fuady (a), Op. Cit., hlm. 82.
18
Ibid., hlm. 83.
dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian

bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan

melawan hukum, yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa

unsur kesengajaan maupun kelalaian);

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.19

Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun

tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan

kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum

dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan

atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala

sesuatu yang dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu

adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti

undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain

sebagainya.

Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah

melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu

harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran

hukum itu tidak harus membawa kerugian kepada orang lain. Dengan

demikian antara kalimat, “tiap perbuatan mnelanggar hukum”, tidak dapat

19
Munir Fuady (b), Perbuatan Melawan Hukum, (Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 3.
dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam

mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata tersebut di atas.

2.4. Kerangka Konseptual

Dalam hal ini ada beberapa definisi dari berbagai isitilah-istilah yang akan

digunakan dalam penulisan ini, untuk merumuskan definisi operasional dapat

digunakan sumber-sumber sebagai berikut:

1. Gugatan adalah suatu tuntutan hak dari setiap orang

atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan

kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan

kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui

pengadilan.20

2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena

perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka

pengadilan.21

3. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena

perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.22

4. Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai suatu

kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau


20
Sarwono, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 31.
21
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 1 angka 2.
22
Ibid.
mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu

kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi

terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.23

5. Jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana

debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut

ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam waktu yang

ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur.24

6. Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi

kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan.

Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk

menjualnya jika debitur cedera janji, dan mengambil dari hasilnya

seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur

kepadanya.25

23
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 7.
24
Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta:
Liberty, 1984), hlm. 20.
25
Andrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2001), hlm. 54.

Anda mungkin juga menyukai