Anda di halaman 1dari 5

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK

2021/2022
MATA UJIAN : KRIMINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI
JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2021/2022

Nama : Bagus Suryanto


NRP : 120119249

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
DESEMBER 2021
Jawaban Nomor 1 Tugas individu (dikumpulkan di ULS masing-masing)
Saudara telah mengerjakan tugas analisa Tipologi Korban dalam potongan film
berjudul “27 Steps of May”. Lampirkan hasil analisa atas tugas tersebut sebagai
jawaban soal no. 1 (diperbolehkan jika ada perbaikan dari tugas sebelumnya).

Analisa karakter May dalam film 27 Steps of May terkait tipologi korban menurut :

1. Ezzat Abdel Fattah

May di dalam film tersebut termasuk dalam korban “No Participating Victims”, karena
Non Participating Victims ini adalah kelompok korban yang menyangkal/menolak
kejagatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan
kejahatan. Di dalam film tersebut May menjadi korban pemerkosaan pada saat ia
masih kecil dan tidak mengetahui bahwa ia akan terkena kejahatan tersebut. May
sebagai seorang anak-anak ia belum mengerti dunia luar seperti apa dan belum
memiliki wawasan yang luas terkait dunia luar yang begitu kejam. Pada awalnya dia
hanya memiliki tujuan untuk bermain di taman bermain tetapi di tengah perjalanan
pulang ia melewati gang sempit yang gelap yang tanpa sepengatahuan dia, ia tiba-
tiba disekap dan diperkosa. Anak kecil tidak mengetahui dan menyangka bahwa ia
akan terjadi kejahatan tersebut. Namun, dalam film tersebut May ini juga dapat
dikelompokan dalam “Provocative victims”, provocative victim adalah kelompok
korban yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. May yang hanya
seorang anak kecil melewati jalan pulang yang sempit dan gelap, serta tidak
didampingi oleh orang tua dapat menjadi pemicu kejahatan tersebut.

2. Stephen Schafer

May di dalam film tersebut tidak saling kenal dengan pelaku sehingga terjadi tindak
kejahatan tersebut sehingga pelaku dapat dengan mudah melakukan tindak kejahatan
tersebut sehingga May termasuk dalam golongan “Unrelated Victims”. May didalam
film tersebut sendirian melewati gang yang gelap dan sempit sehingga dengan mudah
menjadi target pelaku dalam melancarkan tidak kejahatannya sehingga termasuk
dalam Provocative Victims. May didalam film tersebut adalah anak kecil yang lemah
sehingga dapat dengan mudah menjadi target pelaku tindak kejahatan sehingga
dapat digolongkan sebagai Biologically Victims. May yang sendirian melewati gang
sempit dan gelap tanpa diawasi orang tuanya sehingga termasuk dalam korban
socially weak victims. Dapat disimpulkan bahwa May dalam film tersebut termasuk
dalam golongan korban Unrelated Victims, Provocative Victims, Precipicative Victims,
Biologically Weak Victims, dan Socially weak victims.

Jawaban Nomor 3

Tugas individu (dikumpulkan di ULS masing-masing) Carilah peraturan


perundang-undangan pelaksanaan kompensasi / restitusi di Indonesia.
Bandingkan pengaturan kompensasi / restitusi antara negara yang telah kalian
pelajari tersebut dengan pelaksanaan kompensasi / restitusi yang diatur di
dalam peraturan di Indonesia tersebut

Pemulihan oleh suatu pemerintahan kepada kelompok-kelompok korban yang


menderita akibat kesalahan negara disediakan oleh Republik Federal Jerman kepada
para korban penganiayaan Nazi. Hukum-hukum terdahulu yang berlaku di Jerman
setelah Perang Dunia II menangani kompensasi untuk kekayaan yang bisa
diidentifikasi. Yang lebih berjangkauan jauh adalah Undang-Undang dan Perjanjian-
perjanjian Kompensasi berikutnya, yang diberlakukan dan ditetapkan dari tahun 1948
dan seterusnya, hingga kemudian diberlakukannya Undang-Undang Final Federal
(Bundesentschadigungs schluessgesetz/BEG) pada tahun 1965.

Sebagaimana yang diatur oleh BEG, seorang korban penganiayaan Nazi didefinisikan
sebagai korban yang tertindas karena oposisi politik terhadap Sosialisme Nasional,
atau disebabkan oleh ras, agama atau ideologi, dan yang menderita dengan
konsekuensi kehilangan jiwa, kerusakan pada anggota badan atau kesehatan,
kehilangan kebebasan, kekayaan atau hak milik, atau kerugian pada prospek profesi
atau ekonomi. Suatu aspek penting dari kriteria untuk bisa memenuhi persyaratan
berdasarkan BEG adalah prinsip kewilayahan dari hukum itu. Sebuah klaim untuk
mendapatkan kompensasi terikat pada tempat tinggal pengaju klaim, yakni harus
berdomisili di Jerman. Tetapi undang-undang tersebut tidak hanya mencakup
penduduk Republik Federal Jerman dan bekas penduduk dari bekas wilayah Jerman
seperti tahun 1937, tetapi juga mencakup berbagai ketegori pengungsi, emigran,
orang-orang yang dideportasi atau diusir-sejauh mereka, untuk beberapa waktu
lamanya-mempunyai tempat tinggal atau tempat persinggahan permanen di Jerman.
Adapun mengenai berbagai kategori kerusakan yang dicakup oleh BEG, yang berikut
ini dapat dicatat:

a) Kehilangan jiwa mencakup, menurut penafsiran Mahkamah, pembunuhan


terencana, pembunuhan tidak direncanakan dan kematian sebagai akibat
kerusakan terhadap kesehatan yang ditimbulkan pada korban, terutama juga
di kamp-kamp konsentrasi
b) Kerusakan pada anggota badan atau kesehatan mengakibatkan kompensasi
kalau kerusakan itu bukan merupakan kerusakan sepele. Artinya, kerusakan
itu mengakibatkan atau mungkin mengakibatkan hambatan terus-menerus
terhadap kemampuan mental atau fisik korban;
c) Kerusakan terhadap kebebasan mencakup perampasan kebebasan dan
pembatasan terhadap kebebasan. Dalam perampasan kebebasan termasuk
penahanan oleh polisi atau militer, penangkapan oleh Partai Sosialis Nasional,
pemenjaraan untuk penahanan atau hukuman, penahanan di kamp
konsentrasi dan tinggal paksa di ghetto
d) Kerusakan pada prospek profesi dan ekonomi menyebabkan diajukannya
kompensasi kalau korban telah kehilangan kekuatan untuk mencari
penghasilan.

Banyak korban penganiayaan Nazi tidak memenuhi persyaratan untuk BEG.


Diantara para korban ini terdapat warga negara Belgia, Denmark, Belanda dan
Perancis yang dianiaya dan dirugikan di negara mereka sendiri. Untuk memenuhi
klaim-klaim ini, sejumlah negara (Luksemburg, Norwegia, Denmark, Yunani,
Belanda, Perancis, Belgia, Italia, Swiss, Austria, Inggris-Britania Raya, Swedia)
pada tahun antara 1959-1961 mengadakan “perjanjian global” dengan Republik
Federal Jerman dimana mereka menerima dana untuk pembayaran kepada
masing-masing pengajuan klaim. Sebelumnya pada tahun 1952, Republik Federal
Jerman dan Israel telah menandatangani perjanjian dimana Jerman berusaha
membayar kompensasi kepada Israel untuk membantu penyatuan para pengungsi
yang terusir dan melarat dari Jerman dan untuk membayar restitusi dan ganti rugi
atas klaim orang-orang, organisasi Yahudi, dan untuk rehabilitasi para korban
Yahudi dari penganiayaan Nazi.
Jumlah Kompensasi adalah tiga milyar D-Mark, sekitar satu setengah milyar Euro
dalam bentuk barang dan claims conference menerima sekitar 225 juta Euro
sebagai ganti rugi. Sejarawan Hans Gunter asal Munchen menceritakan, “masalah
yang paling besar waktu itu adalah bagaimana mengukur kerugian, akhirnya yang
dipilih adalah biaya integrasi para pengungsi di Israel”.

Sementara di Indonesia dalam pelaksanaan kompensasi diatur dalam Undang-


Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Sebagaimana yang diatur oleh pasal 7A ayat (1) dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Korban tindak
pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:

a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung


sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Namun pemberian bentuk-bentuk kompensasi di peraturan perundang-undangan


di Indonesia tidak rumusankan cukup jelas. Maka dari itu. Di Indonesia pemberiaan
Bentuk-bentuk kompensasi harus juga harus dirumuskan secara jelas sebagai
panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk
kompensasi. Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam bentuk uang
harus juga ada panduan dan rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi
diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat
diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti: kerugian fisik
dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang
(lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan. Sehingga Perlunya
pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul tanggung jawab
negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.

Anda mungkin juga menyukai