TUGAS MAKALAH
ZULFIKAR
P2B121074
Dosen Pengampu:
Dr. Sarbaini, S.H., M.H.
UNIVERSITAS JAMBI
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAMBI
2022
1
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................... 3
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KORBAN
PELANGGARAN HAM YANG BERAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Korban Pelanggaran Ham Yang Berat ........................................... 4
B. Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak-Hak Korban .... 8
C. Pengaturan Perlindungan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM
Yang Berat Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 10
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terjadi akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Sementara itu, saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
proses peradilan pidana. Di Indonesia keberadaan saksi dan korban masih belum
mendapat perhatian yang serius, terutama yang berkaitan dengan perlindungan dan
keselamatan atas dirinya. Tidak terungkapnya suatu kasus disebabkan oleh saksi
dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat
perkara pelanggaran HAM yang berat, dimana pelanggaran HAM berat sendiri
1
Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, dan Zainal Abidin (a), Perlindungan
Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
2005), hal.2.
3
Dalam kasus pelanggaran HAM berat, rasa sakit yang dialami oleh korban
atas peristiwa kekerasan tidak hanya terjadi pada saat kekerasan berlangsung,
namun penyiksaan yang dialami korban akan terus membayangi pikiran mereka,
terlebih lagi jika peristiwa tersebut tidak pernah terungkap kebenarannya. Hal inilah
yang dialami oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat pada
umumnya.2
sebenarnya dapat diberikan dan secara jelas telah ditegaskan dalam undang- undang
tidak menjadi bagian dari proses peradilan HAM. Proses peradilan sebagian besar
hanya dilaksanakan untuk mencari tahu siapa pelaku dan menjatuhkan sanksi
pidana atas pelakunya, tetapi keadilan bagi korban apalagi keluarganya kurang
diperhatikan.
B. Rumusan Masalah
Ali
2
Nursahid, “Matinya Nalar Keadilan.” <http://alinursahid.
wordpress.com/2007/04/18/matinya-nalar-keadilan/>, diakses 18 April 2022.
4
BAB II
ke-2 PP No. 2 Tahun 2002 yang dimaksud dengan korban adalah sebagai berikut.
Sementara itu, Pasal 1 butir ke-3 PP No.3 Tahun 2002 yang dimaksud
Definisi diatas juga dapat ditemukan dalam Pasal 1 butir ke-2 PP No. 44
Tahun 2008. Selain itu pengertian mengenai korban dapat ditemukan dalam
5
of Crimes and Abuse of Power) yang diadopsi berdasarkan Resolusi Majelis Umum
“(a) Victims means natural persons who have suffered harm as a result of
the commission of any crime within the jurisdiction of the Court; (b) Victims
may include organizations or institutions that have sustained direct harm to
any of their property which is dedicated to religion, education, art or
science or charitable purposes, and to their historic monuments, hospitals
and other places and objects for humaniarian puposes. (a) korban berarti
orang-orang yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi
Mahkamah; (b) korban bisa mencakupi organisasi-organisasi atau lembaga-
lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta miliki
mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendidikan, seni atau
ilmu pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan karitatif dan atas monumen-
monumen sejarah mereka, rumah sakit dan tempat-tempat serta obyek-
obyek lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau misi
kemanusiaan.)” 4
3
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan [Declaration of Basic Principles ofJustice for Victims of Crimes and Abuse of
Power], Section A, article. dikutip dari <http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/h_comp49>.
4
Hukum Acara dan Pembuktian Mahkamah Pidana Internasional [Rulesof Procedure and
Evidence International Criminal Court], Rule 85. dikutip dari
<www.un.org/ICC/orp/lst_session/report/english/port11_0_l.pdf>
6
Dengan demikian, konsep korban sangat luas pengertiannya, tidak hanya
seseorang yang mengalami langsung akibat dari suatu kejahatan pelanggaran HAM,
tetapi juga keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang
juga merangkum hampir semua jenis penderitaan yang mungkin dialami oleh para
korban yang tidak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun
emosional oleh para korban, seperti mengalami trauma dan seterusnya. Lebih lagi,
korban pelanggaran HAM secara struktural selalu rakyat (warga negara), baik
PSK tidak menyebutkan aspek karakter korban yang secara kolektif bisa menjadi
korban kejahatan. Dengan demikian, maka pada pelanggaran hak asasi manusia,
korban bisa jadi merupakan kelompok etnis atau ras. Sementara itu, pada UU PSK
kelompok sebagaimana dicakup pula dalam definisi dalam PP No. 2 Tahun 2002
ataupun Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse
5
Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM Di
Indonesia, cet.I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 6.
7
of Power serta Aturan 85 Pengadilan Pidana Internasional. Konteks cakupan dari
subyek korban ini tentunya akan memberikan implikasi khususnya terhadap pranata
bernegara. Sementara itu, negara merupakan penjamin dan pelindung hak-hak asasi
manusia. Persoalan paling berat dalam berlaku tidaknya hak-hak azasi adalah
siapa pun, termasuk pemegang kuasa. Disini, hak asasi manusia diarahkan untuk
pelanggaran hukum perang dengan suatu akses yang efektif dan setara untuk
6
Syahrial Martanto Wiryawan dan Melly Setyowati, PemberianBantuan Dalam Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban: Sebuah Observasi Awal, cet.I, (Jakarta: Indonesia
Corruption Watch bekerjasama dengan Institute for Criminal Justice Reform dan Koalisi
Perlindungan Saksi, 2007), hal.11.
7
LG.Saraswati, et al., Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus (Depok: Filsafat UI
Press, 2006), hal. 279.
8
memperoleh keadilan dan juga harus memberikan atau ganti rugi yang efektif bagi
perlindungan HAM bagi masyarakatnya. Selain itu, negara juga memiliki tanggung
jawab atas pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM yang berat. Bahwa
negara memiliki tanggung jawab atas pelanggaran HAM tersebut secara tersirat
dapat kita temukan dalam Pasal 8 UU HAM, dimana dalam pasal tersebut dikatakan
paling tidak ada kewajiban negara di satu sisi untuk mengingatnya dan hak korban
menghukum dan hak korban selain hak-hak atas keadilan dan hak atas pemulihan
Semua kewajiban negara dan hak korban itu diakui dan diatur dalam norma-norma
internasional untuk hak asasi manusia akan mengemuka apabila suatu negara
melanggar kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia (Theo Van Boven,
2002;24).
8
Wahyu Wagiman, et.al (a), Siasat Baru Pemerintah Untuk Meminimkan
Tanggungjawabnya Atas Hak Korban: Catatan Terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah
Tentang Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Jakarta: Koalisi
Perlindungan Saksi, 2008), hal.2-3.
9
Rudi M. Rizki, kumpulan esai Pencarian Kebenaran di Masa Transisi (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, 2003), hal. 315.
10
Ifdal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, ed., Kebenaran Vs. Keadilan,
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2003), hal. 9.
9
Kewajiban negara untuk memulihkan hak korban seharusnya tidak perlu
dikaitkan dengan ada atau tidaknya proses peradilan. Artinya bahwa korban
pelanggaran HAM berhak mendapatkan pemulihan baik ada pelaku yang dibawa
ke pengadilan atau tidak. Hal ini sesuai dengan definisi korban pelanggaran HAM
bahwa seseorang itu dapat dianggap sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya
itu berhasil diidentifikasi atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan
pelaku. 11
KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban
11
Prinsip Dasar dan Panduan Tentang Hak Atas Pemulihan dan Reparasi Kepada Korban
Pelanggaran HAM Berat Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Pelanggaran Serius
Hukum Humaniter Internasional, [Basic Principles and Guidelines on The Rights to A Remedy
and Reparation for Victims of Gross Violation of International Human RightsLaw and Serious
Violations of International Humanitarian Law], Paragraph No.9.
12
Theo, “Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui LembagaRestitusi dan
Kompensasi,” Teropong Vol.II No.9 (Juni 2003): 31.
10
kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Kedua, hak korban
dinyatakan dalam Pasal 168 KUHAP, yaitu hak untuk mengundurkan diri
sebagai saksi. Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugian
KUHAP.
permohonan penyediaan dana kepada Menteri Hukum dan HAM c/q Sekjen
Kerugian.
13
Ibid.
11
Kemudian, dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03
perdata dan yang biasanya diajukan melalui gugatan perdata. Hal ini akan
Selain itu, terdapat pula Petunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
pelanggaran HAM berat, yang pertama, perlindungan saksi dan korban yang
diatur dalam Pasal 34 UU PHAM dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun
korban dan/atau keluarga korban pelanggaran HAM berat yang diatur dalam
Pasal 35 UU PHAM dan diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002.
12
Di dalam UU PHAM pengaturan mengenai pentingnya perlindungan bagi saksi
perlindungan saksi dan korban. Ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU PHAM tidak
apa saja yang diperoleh korban dan saksi serta siapa yang bertanggung jawab
memberikan perlindungan fisik dan mental kepada korban dan saksi kasus
perlindungan korban dan saksi. Kemudian oleh Pasal 34 ayat (3) UU PHAM
dikatakan bahwa mengenai tata cara atau pelaksanaan perlindungan korban dan
saksi lebih jauh akan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Berkaitan dengan pasal
dan mental kepada saksi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, agar
13
peradilan terhadap pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan dengan
baik.
III PP ini menjelaskan tata cara pemberian perlindungan dilakukan dan institusi
(a) Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman
korban dan saksi diatur dalam Pasal 5 PP No. 2 Tahun 2002, yaitu sebagai
berikut.
Sedangkan menurut ayat (2) pasal yang sama, institusi yang bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan kepada korban dan saksi adalah dilihat
14
dari tahapan proses penyelesaian kasus itu sendiri. Untuk tahap penyelidikan
Ada fase dimana pelayanan perlindungan dihentikan. Menurut Pasal 7 ayat (1)
dihentikan apabila:
15
Penghentian perlindungan yang didasarkan oleh pertimbangan penegak
hukum atau aparat keamanan harus diberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan (saksi dan korban) dalam waktu paling lambat tiga hari sebelum
korban dan saksi, nampaknya PP No. 2 Tahun 2002 sudah cukup jelas
maka yang menjadi masalah apakah ada anggaran di setiap instansi penegak
hukum tersebut dan hal tersebut belum secara tegas diatur.14 Lebih lagi,
pelaksanaan perlindungan dapat lebih praktis dan efektif serta tidak tumpang
Hak-hak terhadap korban kemudian semakin kuat dan diakui dalam sistem
hukum nasional dengan diakuinya hak korban pelanggaran HAM yang berat
PHAM. Namun, sayangnya regulasi ini hanya khusus ditujukan kepada para
korban pelanggaran HAM yang berat dan bukan untuk keseluruhan korban
tindak pidana.
14
Jamin Ginting, “Menyikapi Keberadaan PP No.2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat,”
Law Review Vo.III No.1 (Juli 2003): 81.
16
Dalam Pasal 35 ayat (3) UU PHAM mengamanatkan pengaturan lebih
mendapatkan restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku yang
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
(b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
17
(c) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
perlindungan berakhir.
terbukanya identitas saksi akan semakin besar. Selain itu, bila identitas saksi
15
Anatomi (KPK), “Harmonisasi & Prospek UU Perlindungan
Saksi.”<http://www.elsam.or.id/pdf/Harmonisasi_&_Prospek_UU_PSK.pdf>, diakses 18 April
2022.
18
Kedua, mengenai ketentuan Pasal 5 huruf j tentang disediakan hak
baru” adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman.
Rumusan penjelasan ini terasa agak janggal. Seharusnya ketika bicara soal
tidak terbatas hanya pada proses peradilan saja, dan harusnya sifatnya
maka saksi dan/atau korban akan tetap enggan memberikan keterangan dalam
proses peradilan. 16
Mengenai tugas dan kewenangan LPSK, dapat merujuk pada dua pasal utama
dalam pemberian perlindungan bagi saksi dan/atau korban yakni Pasal 1 angka
3 dan Pasal 12 UU PSK. Dalam kedua pasal tersebut disebutkan bahwa LPSK
16
Erni Setyowati, et al., Bobot Kurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang
Kualitas Legislasi 2006, cet.I, (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2007),
hal.181.
19
adalah lembaga yang bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan serta dan hak-hak lain kepada
saksi dan/atau korban. Namun, UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, salah
seorang anggota Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, mengenai tugas dan
perlindungan kepada saksi dan korban yang tersebar dalam UUPSK tersebut,
kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, dan hak atas
restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
29).
(Pasal 29).
20
6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili
korban serta jangka waktu dan besaran biaya. Bertitik tolak dari dua hal
tersebut, maka pengaturan pelaksanaan kedua pasal tersebut kini diatur dalam
Menurut PP No.44 Tahun 2008 bagi korban pelanggaran HAM berat berhak
21
DAFTAR PUSTAKA
Erni Setyowati, et al., Bobot Kurang, Janji Masih Terutang: Catatan PSHK
tentang Kualitas Legislasi 2006, cet.I, (Jakarta: Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia, 2007).
Ifdal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, ed., Kebenaran Vs. Keadilan,
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, 2003.
LG.Saraswati, et al., Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, Depok: Filsafat
UI Press, 2006.
22
Victims of Crimes and Abuse of Power], Section A, article. dikutip dari
<http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/h_comp49>.
23