Anda di halaman 1dari 112

i

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN PACITAN TENTANG PENYELENGGARAAN

BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

i
ii

KATA PENGANTAR

Pada kesempatan ini, Tim Perancang Peraturan


Perundang-Undangan Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Jawa Timur mengucapkan terimakasih
kepada Pemerintah Kabupaten Pacitan atas kepercayaan
yang diberikan kepada Tim Perancang Peraturan
Perundang-Undangan Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Jawa Timur untuk mengerjakan kajian
akademik dan selanjutnya menyusun Naskah Akademik,
sehingga Tim Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa
Timur dapat mengabdikan ilmu hukum pada
kemanfaatan pemerintahan daerah dan masyarakat,
sekaligus juga memperoleh masukan dalam rangka
pengayaan ilmu hukum yang berorientasi pada kebijakan
publik atau kepentingan masyarakat yang sensitif pada
kemanusiaan.
Naskah Akademik ini terdiri dari dua naskah,yakni
Naskah Akademik dan naskah Konsep Awal Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Bantuan
Hukum Bagi Masyarakat Miskin. Naskah Akademik
sebagai hasil penelitian hukum dikerjakan dalam tiga
aspek landasan keberlakuan yaitu landasan filosofis,
landasan yuridis, dan landasan sosiologis, dan dalam
lingkaran hermeneutik: memahami, menginterpretasi,
dan menerapkan secara bolak-balik antara keseluruhan
dan bagian.
Pada akhirnya, kami tempatkan Naskah Akademik
ini dalam proses kebijakan publik yang deliberatif,
ii
iii

sehingga membuka proses partisipasi masyarakat.


Masyarakat dalam aras hukum positif mempunyai h ak
memberikan masukan baik secara lisan atau tertulis
pada pembuatan peraturan perundang-undangan, juga
kepada Naskah Akademik ini beserta Konsep Awal
Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin.

iii
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................


KATA PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................... ii
BAB I LATAR BELAKANG .....................................................
1.1. Pendahuluan ..................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah ........................................... 11
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penyusunan Naskah
Akademik .......................................................... 12
1.4. Metode Penelitian ............................................... 13

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS


2.1 Kajian Teoritis .................................................... 18
2.2. Teori Peraturan Perundang-undangan ................ .22
2.3. Kajian terhadap Asas/Prinsip Yang terkait ..........30
2.4. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan
Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Hukum
Yang Dihadapi Masyarakat ............................... 37
2.5. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem
Baru Yang Akan Diatur Dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Pacitan Tentang
Pembentukan Dana Cadangan Terhadap Aspek
Kehidupan Masayrakat Dan Dampaknya
Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara .......... 43

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN
3.1.Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ... 48
3.2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja ................................................................. 55
3.3. Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum ................................ 58
3.4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Advokat ............................................................ 58
3.5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum ................... 59

iv
v

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS


4.1. Landasan Filosofis ............................................ .61
4.2. Landasan Sosiologis ......................................... 67
4.3. Landasan Yuridis ............................................. .69

BAB V JANGKUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN PACITAN TENTANG
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI
MASYARAKAT MISKIN ............................................... 73

BAB VI PENUTUP
6.1. KESIMPULAN ................................................... 76
6.2. SARAN .............................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................


LAMPIRAN Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan
Tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi
Masyarakat Miskin ...............................................

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan Negara yang

berdasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan

terhadap HAM terkait dengan equlity before the law

(persamaan didepan hukum) yang dijamin dalam system

hukum di Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Pasal

28D ayat (1) amandemen ke – 2 UUDN RI Tahun 1945 yang

memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama

bagi setiap orang. Bantuan hukum merupakan hak

konstitusional setiap warga Negara atas jaminan

perlindungan hukum dan jaminan persamaan didepan

hukum, sebagai sarana pengakuan HAM. Mendapatkan

bantuan hukum bagi setiap orang adalah perwujudan acces

to justice (akses terhadap keadilan) sebagai implementasi

dari jaminan perlindungan hukum, dan jaminan persamaan

didepan hukum. Hal ini sesuai dengan konsep bantuan

hukum yang dihubungkan dengan cita-cita negara

kesejahteraan (welfare state).


1
2

Sistem hukum Indonesia dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya

persamaan dihadapan hukum (equlity before the law),

sehingga dalam Pasal 27 ayat (1) UUDN RI Tahun 1945

disebutkan “Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya

dalam hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya”. Salah satu upaya untuk mewujudkan keadilan

atau kesamaan kedudukan dalam hukum yaitu dengan

adanya bantuan hukum bagi setiap warga Negara yang

terlibat dalam kasus hukum, akan tetapi pada

kenyataannya bantuan hukum hanya mampu dirasakan

oleh orang yang mampu saja (Frans Hendra Winarta,

2017:71).

Bantuan hukum merupakan pelayanan hukum ( legal

service ) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan

hukum dan pembelaan terhadap hak-hak asasi

tersangka/terdakwa sejak ia ditahan sampai diperolehnya

putusan pengadilan yang tetap. Pemahaman perlindungan

hukum, bukan pada kesalahan tersangka/terdakwa

melainkan hak asasi tersangka/terdakwa agar terhindar dari

2
3

perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan

sewenang-wenang dari aparat penegak hukum1.

Bantuan hukum merupakan instrumen penting dalam

Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap individu,

termasuk hak atas bantuan hukum. Hak atas bantuan

hukum merupakan salah satu hak yang terpenting yang

dimiliki oleh setiap warga negara. Karena dalam setiap

proses hukum, khususnya hukum pidana, pada umumnya

setiap orang yang di tetapkan sebagai tertuduh dalam suatu

perkara pidana, tidaklah mungkin dapat melakukan

pembelaan sendiri dalam suatu proses hukum dan dalam

pemeriksaan hukum terhadapnya. Dengan demikian

tidaklah mungkin seorang tersangka dalam suatu tindak

pidana.

Supremasi hukum dikenal juga dengan “the rule of law”

yang diartikan sebagai “the governance not by man but by

law”, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh manusia;

bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu

hanyalah kaedah atau pedoman dan sekaligus sarana atau

alat, tetapi harus ada manusianya yang menjalankan adan

1
H.M.A.Kuffal,2004, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum,UMM Press, Malang
hlm.158
3
4

melaksanakannya secara konsisten berdasarkan hukum,

dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang.

Hukum itu diciptakan atau direkayasa oleh manusia,

terutama hukum tertulis. Setelah hukum itu tercipta maka

manusia terikat pada hukum, harus tunduk pada hukum.

Hal ini tidak lain adalah untuk kepentingan manusia itu

sendiri. Hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi demi

kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya manusia

tidak boleh diperbudak oleh hukum. “Governance not by

man but by law” berarti bahwa tindakan-tindakan resmi

(pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus tunduk

pada peraturan-peraturan hukum.

Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memberi pesan adanya keinginan

kuat bahwa negara menjamin terselenggaranya persamaan

kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan

terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk

mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta

jaminan kepada setiap orang yang berhak mendapatkan

akses keadilan (justice for all). Hal ini bahkan merupakan

hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini

menjadi penting karena negara selalu dihadapkan pada

kenyataan adanya sekelompok masyarakat yang miskin atau


4
5

tidak mampu, sehingga sering tidak bisa mewujudkan

haknya untuk mendapatkan keadilan (yang semestinya

terselenggara dalam kaitannya dengan konsep negara

hukum).

Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara

hukum (konstitusionalisme) tersebut, maka negara perlu

campur tangan karena hal itu menjadi kewajiban negara

untuk menjamin hak setiap orang mendapatkan keadilan.

Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya

bantuan hukum kepada orang miskin atau orang yang tidak

mampu sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan

yang merupakan amanat konstitusi. Kewajiban tersebut

termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi dan

menghormati hak atas bantuan hukum. Sehingga pemegang

kewajiiban utama dalam pemenuhannya adalah negara.

Dalam konteks pemenuhan HAM pada masyarakat, bahwa

pemenuhan HAM dalam bantuan hukum merupakan hak

konstitusional setiap warga Negara.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011

tentang Bantuan Hukum ( untuk selanjutnya disebut UU

Bantuan Hukum ), Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh

Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada


5
6

Penerima Bantuan Hukum. Sedangkan menurut Soerjono

Soekanto, bantuan hukum pada pokoknya memiliki arti

bantuan hukum yang diberikan oleh para ahli bagi warga

masyarakat yang memerlukan untuk mewujudkan hak-

haknya serta juga mendapatkan perlindungan hukum yang

wajar2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau

kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak

dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah

hukum. Sedangkan pada ketentuan umum pada angka 2,

disebutkan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang

atau kelompok orang miskin.

Selanjutnya dalam Pasal 3 UU Bantuan Hukum

disebutkan bahwa Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin bertujuan untuk:

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan

Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara

sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam

hukum;

2
IGN. Ridwan Widyadharma, 2010, Profesional Hukum dalam Pemberian Bantuan
Hukum, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 26.

6
7

c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum

dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara

Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam rangka penyelenggaraan UU Bantuan Hukum

ini, Daerah dapat mengalokasikan anggaran

Penyelenggaraan Bantuan Hukum Masyarkat Miskin dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dimana

pengaturan di daerah mengenai Penyelenggaraan Bantuan

Hukum Bagi Masyarakat Miskin harus diatur dengan

Peraturan Daerah. Di dalam mewujudkan masyarakat yang

sejahtera di daerah, negara berdasarkan asas desentralisasi

menyerahkan sebagai kewenangannya pada daerah.

Dianutnya asas desentralisasi memberi arah untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di

daerah. Karakter desentralisasi adalah penyelenggaraan

otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya dan tugas

pembantuan diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD

NRI Tahun 1945. Dalam kettentuan tersebut ditegaskan

bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,

dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan


7
8

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan. Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (5)

menegaskan Pasal Pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat. Berdasarkan pemahaman penyelenggaraan asas

otonomi seluas- luasnya memberi arah kepada Pemerintah

Kabupaten Pacitan untuk membentuk Kebijakan

(membentuk Peraturan Daerah).

Penguatan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, selanjutnya

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi dasar

dalam pembentukan Kebijakan atau peraturan daerah.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 236 UU 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintah Daerah yang menentukan:

(1) Untuk menyelenggaraka Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk

oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat

materi muatan:

8
9

a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah dalam

membentuk Perda diatur dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah. Dalam Pasal 3 dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah mengatur bahwa dalam Pasal 2

disebutkan produk hukum daerah berbentuk peraturan dan

penetapan. Selanjutnya dalam Pasal 3 menentukan bahwa

Produk hukum daerah yang berbentuka peraturan terdiri

atas :

a. perda;

b. perkada;

c. PB KDH; dan

d. peraturan DPRD

Di dalam konteks ini dapat dipahami bahwa

pembentukan produk hukum daerah yang berupa


9
10

pengaturan dapat berupa Perda. Perda yang dimaksud

dalam naskah akademis ini adalah Perda Provinsi. Mengenai

materi muatan Peraturan Daerah dapat berupa

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan

serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda juga dapat

memeuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dalam UU No 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum disebutkan pada Pasal 19

yang menegaskan:

(1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran

penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Daerah.

Ketentuan ini dipahami bahwa dalam penyelenggaraan

bantuan hukum harus ada Perda yang mengatu terlebiuh

dahulu. Mengingat pengaturan bantuan hukum

diperuntukan pada masyarakat miskin, dengan demikian

daerah dapat mengalokasikan dana bantuan hukum kepada

masyarakat miskin melalui APBD.

10
11

Pemahaman dalam konsidran menimbang UU 16 Tahun

2011 tentang Bantuan hukum menegaskan bahwa negara

berkewajiban memberikan bantuan hukum bag masyarakat

miskin sebagai perwujudan perlindungan HAM. Dalam Pasal

1 angka 1 UU 16 Tahun 2011 menentukan bahwa bantuan

hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi

Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima

Bantuan Hukum. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 UU 16

Tahun 2011 ditegaskan bahwa Penerima banuan hukum

adalah orang atau kelompok orang miskin. Pasal 1 angka 3

menegaskan bahwa pemberi bantuan hukum adala lembaga

bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang

memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU. Dengan

demikian pemahaman bantuan hukum dalam naskah

akademis ini adalah bantuan hukum untuk orang atau

kelompok orang miskin.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan uraian pada Latar Belakang maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan

bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Pacitan?

11
12

2. Apakah perlu dibentuk pengaturan tentang

penyelenggaraan bantuan hukum untuk masyarakat

miskin di Pacitan?

3. Bagaimana mekanisme penyelenggaraan bantuan

hukum untuk masyarakat miskin di Pacitan?

1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN

NASKAH AKADEMIK

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah

yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah

Akademik dirumuskan sebagai berikut :

1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi

sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Pacitan tentang Penyelenggaraan

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin?.

2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Pacitan tentang Penyelenggaraan

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin?

3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang

lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan

dalam Rancangan Peraturan Daerah Peraturan Daerah

Kabupaten Pacitan tentang Penyelenggaraan Bantuan

Hukum Bagi Masyarakat Miskin?


12
13

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan tentang

Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

adalah sebagai berikut :

1) Sebagai acuan, arahan penyusunan dan pembahasan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan tentang

Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat

Miskin.

2) Sebagai dasar koseptual dalam penyusunan pasal-pasal

dan penjelasan Raperda Kabupaten Pacitan tentang

Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat

Miskin.

3) Sebagai rujukan stakeholder, DPRD, Pemerintah Daerah

serta pihak terkait dalam meningkatkan pelayanan dan

pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin akan adanya

bantuan hukum di lingkungan Kabupaten Pacitan.

1.4 METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH

AKADEMIK

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada

dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian

penyusunan Naskah Akademik digunakan metode

13
14

yang berbasiskan metode penelitian hukum.3 Metode

penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

hukum, dengan langkah-langkah sebagai berikut4 :

Pertama, melakukan studi tekstual, yakni

menganalisis secara kritikal terhadap pasal-pasal

dalam peraturan perundang- undangan dan

peraturan kebijakan serta peraturan

pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:

a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu

teks hukum dengan melakukan kontemplasi

terhadap banyak pesan dalam teks hukum dan

mencari relasi diantara bagian-bagian dari teks

hukum itu;

b. menemukan dan menjelaskan makna teks

hukum itu dan implikasinya terhadap

pemerintah Kabupaten dan masyarakat dalam

konteks penanggulangan kemiskinan.

3
Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan
Refleksi,Yayasan Obor, hal. 177-178
4
Langkah-langkah penelitian hukum tersebut merujuk pada Metode Penelitian Hukum berbasis
kajian sosio-legal, sebagaimana terangkum dalam Marhaendra Wija Atmaja, “Metode Penelitian
Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan”,
Risalah Kuliah dalam Mata Kuliah Teori dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan pada
Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar,
2014, h. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan kajian soswio-
legal dan implikasi metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal,
(Denpasar: Pustaka Larasan, 2012); dan Soelistyowati Irianto, “Praktik Penelitian Hukum:
Perspektif Sosiolegal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian
Hukum: Knstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011)
14
15

Kedua, melakukan studi empirik, yaitu :

(1) dengan melakukan identifikasi dan analisis

bekerjanya hukum di masyarakat yaitu

bekerjanya UU No 16/ 2011 tentang Bantuan

Hukum serta peraturan pelaksanaannya; dan

(2) untuk mendapatkan data empirik tentang

kondisi riil penyelenggaraan bantuan hukum

di Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dan

pengalaman dan pemahaman dari para

pejabat di lingkungan Perangkat Daerah yang

membidangi Bantuan Hukum. Studi empirik

dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner

(daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.

Ketiga, melakukan analisis terhadap data yang

terkumpul (baik data peraturan maupun data

empirik) dengan merujuk pada Miles dan Huberman,

yang membedakan empat tahap dalam proses

analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Menurut

Miles dan Huberman, analisis data terkandung

dalam tiga tahapan terakhir.

Penggunaannya dalam penelitian hukum

penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai


15
16

berikut :5

a. reduksi data (data reduction), yaitu proses

pemilihan, penyederhanaan, abstraksi data

berdasarkan tema-tema yang ditentukan dalam

konstelasi penanggulangan kemiskinan.

b. penyajian data (data display), merupakan proses

interpretasi, proses pemberian makna, terhadap

unsur- unsur maupun totalitas, kemudian

menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk

uraian naratif dan/atau tabulatif dikaitkan

dengan permasalahan yang diajukan; dan

c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion

drawing and verification), proses akhir analisis

adalah penarikan kesimpulan, yakni memberikan

jawaban atas permasalahan yang telah

diajukan, yang dalam proses penelitian

berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus

diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh

kesimpulan yang valid.

Keempat, menggunakan hermeneutika hukum,

5
Merujuk pada Miles dan Hubermas berdasarkan pemahaman Agus Salim, Teori &
Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h.
22-23; dan Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-
Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.
310-311.

16
17

sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa

penyajian data (data display), merupakan proses

interpretasi, proses pemberian makna, terhadap

unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan

interpretasi tersebut dilakukan interpretasi berbasis

hermeneutika hukum.

17
18

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. KAJIAN TEORITIS

2.1.1. Konsep Bantuan Hukum

Berdasarkan pemahaman Pasal 1 angka 1 UU

No 16 Tahun 2011, konsep bantuan hukum

merupakan jasa hukum yang diberikan oleh

Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma

kepada Penerima Bantuan Hukum.

Berdasarkan pemahaman konsep bantuan

hukum yang termuat dalam Pasal 1 angka 1

UU No 16 Tahun 2011 dipahami sebagai bahwa

bantuan hukum merupakan hak individu dan

hak kelompok untuk mendapatkan bantuan

hukum apabila mendapat permasalahan. Dengan

demikian dapat dikatakan bantuan hukum

merupakan hak konstitusional setiap warga

negara atas jaminan perlindungan hukum dan

jaminan persamaan di depan hukum, sebagai

sarana pengakuan HAM. Mendapatkan bantuan

hukum bagi setiap orang adalah perwujudan

acces to justice (akses terhadap keadilan) sebagai


18
19

implementasi dari jaminan perlindungan hukum,

dan jaminan persamaan di depan hukum. Hal

ini sesuai dengan konsep bantuan hukum yang

dihubungkan dengan cita-cita negara

kesejahteraan (welfare state).

Menurut Abdurahman Istilah bantuan hukum

diterjemahkan dari dua istilah yang berbeda yaitu

“Legal Aid” dan “Legal Assistance”. Istilah Legal Aid

biasanya digunakan untuk pengertian bantuan hukum

dalam arti sempit berupa pemberian jasa-jasa dibidang

hukum kepada seseorang dalam suatu perkara secara

cuma-cuma khususnya bagi mereka yang tidak mampu.

Legal Assistence dipergunakan untuk menunjukkan

pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak

mampu maupun pemberian bantuan hukum oleh para

advokat yang menggunakan honorarium6. Selanjutnya,

Adnan Buyung Nasution memberikan pemahaman

bantuan hukum sebagai legal aid, yang berarti

pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yang

terlibat dalam suatu kasus atau perkara yaitu :

1) Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan

6
Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia: Penerbit Cendana Press ,
Jakarta h.17-18
19
20

cuma-cuma;

2) Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih

dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan

masyarakat miskin;

3) motifasi utama legal aid adalah menegakkan hukum

dengan jalan membela kepentingan hak asasi rakyat

kecil yang tak punya dan buta hukum7.

Berdasarkan pemahaman konsep bantuan hukum

sebagaimana di paparkan di atas, pemahaman bantuan

hukum dalam naskah akademis ini adalah pemahaman

bantuan hukum untuk masyarakat yang tidak mampu

atau miskin. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan

Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan

terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok

orang miskin. Berdasarkan apa yang diatur pemerintah

dalam UU Bantuan Hukum tersebut, terlihat bahwa

politik pembangunan hukum negara yang tercermin

dalam kebijakannya yaitu bahwa Pemerintah

berdasarkan konstitusi negara menjamin perlindungan

hukum bagi masyarakat miskin berdasarkan asas

7
Adnan Buyung Nasution, dkk.,2007,,Bantuan Hukum Akses Masyarakat
Marginal terhadap Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan
dan Perbandingan, LBH Jakarta, h.13
20
21

persamaan kedudukan didepan hukum.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma,

bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum

yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran

honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,

dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan

pencari keadilan yang tidak mampu.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pada Pasal 1

angka 1 dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa

hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum

secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat

Miskin tersebut bertujuan untuk:

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima

Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses

keadilan;

b. mewujudkan hak konstitusional segala warga

negara sesuai dengan prinsip persamaan

kedudukan di dalam hukum;


21
22

c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan

Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh

wilayah Negara Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum ini,

dijelaskan bahwa selama ini, pemberian Bantuan

Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang

atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan

untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh

ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak

konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian

Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan

jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau

kelompok orang miskin.

2.2. Teori Perundang-undangan

Marhaendra Wija Atmaja menyatakan bahwa teori

perundang- undangan adalah sumber kewenangan,

hirarki norma hukum perundang-undangan dan

landasan keabsahan peraturan perundang-undangan8.

a. Sumber kewenangan ada tiga yaitu atribusi, delegasi

8
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Hukum Dalam Pengakuan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Disertasi pada Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, h.21
22
23

dan mandat. Penjabaran tiga kewenangan tersebut

disajikan dalam bentuk table9 sebagai berikut :

Tabel 1

Penjabaran sumber kewenangan

Atribusi Delegasi Mandat

Atribusi adalah Penyerahan Wewenang yang

kekuasaan wewenang diperoleh

pemerintah yang pemerintahan dari melalui atribusi

langsung suatu badan atau maupun

diberikan oleh pejabat pemerintah delegasi dapat

undang-undang kepada badan atau dimandatkan

atau pemberian pejabat yang lain. kepada badan

wewenang Setelah wewenang atau pegawai

pemerintah yang diserahkan maka bawahan ,

baru oleh suatu pemberi wewenang apabila pejabat

ketentuan dalam tidak mempunyai yang

peraturan wewenang lagi. memperoleh

perundang- wewenang itu

undangan baik tidak sanggup

yang diadakan oleh melakukan

9
Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah Perspektif
Teori otonomi & Desentralisasi dalam Penyelengaraan Pemerintahan Negara
Hukum dan Kesatuan, Setara Press Malang , h. 126
23
24

original legislator sendiri.

ataupun delegate d Pada mandate,

legislator. Mandan atau

pemberi mandate

tetap berwenang

untuk

melakukan

sendiri

wewenangnya

apabila ia

menginginkan

dan member

petunjuk kepada

mandataris

mengenai apa

yang

diinginkannya.

Tabel diolah dari buku “Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah


Perspektif Teori otonomi & Desentralisasi dalam Penyelengaraan
Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan”.

b. Hierarki norma hukum perundang-undangan

kental dipengaruhi oleh teori hierarki

(Stufenbau Theory) dari Hans Kelsen, yang

24
25

merupakan teori hukum murni yang dalam

sistem hukum bertumpu pada faham

positivisme hukum yang dasar-dasar

filsafatnya adalah aliran positif (positivism).

Aliran positiviesme ini pada awalnya

berkembang di Prancis pada dua dasa warsa

pertama abad-19 dengan proponen utamanya

August Comte (seorang matematikawan

terkenal yang kemudian menjadi seorang

sosiolog kenamaan)10. Teori Hierarki

diperkenalkan sebagai sebuah system anak

tangga dengan kaidah berjenjang. Suatu

hukum mengatur kreterianya sendiri

sepanjang suatu norma hukum menentukan

norma lain dibuat dan juga isi norma tersebut.

Selanjutnya sejak suatu norma hukum valid

karena dibuat dengan cara yang ditentukan

oleh norma hukum lain, maka norma

terakhir merupakan alasan validitas yang

pertama11. Sebagaimana di tegaskan oleh

kelsen dalam teorinya “ The unity of this norms

10
A Mukthei Fadjar, 2014, Teori-Teori Hukum Kontenporer, Setara Press (Kelompok
Penerbit Intrans) Malang h.8.
11 Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta , h. 109.
25
26

is constituted by the fact that the creation of the

norm-the lower one is determined by another- the

higher-the creation of which of determined by a

still a higher norm, and that this regressus is

terminated by a highest, the basic norm which,

being the supreme reason of validity of the whole

legal order, constitutes its unity12. Oleh karena

itu hukum yang paling rendah harus

berpegangan pada norma hukum yang lebih

tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi

(Konstitusi) harus berpegangan pada norma

hukum yang paling mendasar (grundnorm).

Kelsen menempatkan Grundnorm sebagai

puncak dari norma-norma, yang kemudian

disusul oleh norma yang lebih rendah. Melalui

hubungan yang bersifat superior dan inferior

maka selanjutnya norma paling tinggi akan

dikonkretkan dalam norma yang lebih rendah

sampai kepada norma yang paling konkrit atau

yang disebut proses “konkritizierung”.

Hal yang perlu diperhatikan dalam

Stufenbautheory adalah bahwa keseluruhan


12
Hans Kelsen, General Theory of Law & State, with a new introduction by A Javier Trevino, Trancaction
Publiher New Brunswick (U.S.A.) and London (U.K.0), h. 124.
26
27

hukum positif itu tersusun dalam sebuah

hierkhi logika. Dijelaskan bahwa Teori

hierarkhi norma dipengaruhi oleh teori Adolf

Merkl. Teorinya adalah tahapan hukum yaitu

bahwa hukum adalah suatu sistem tata aturan

hierarkhis, suatu sistem norma yang

mengkondisikan dan tindakan hukum.

Pembuatan hierarkhi ini termanifestasi dalam

bentuk regresi dari system hukum tata hukum

yang lebih tinggi ke sistem tata hukum yang

lebih rendah. Lebih lanjut teori Adolf Merkl

memandang bahwa norma hukum memiliki

dua wajah yaitu :

a) norma hukum itu keatas, ia bersumber dan

berdasar pada norma yang ada diatasnya.

b) Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi

dasar dan menjadi sumber bagi norma yang

dibawahnya.

Oleh karena itu norma tersebut mempunyai

masa berlaku (recht Kracht) yang relative

karena masa berlakunya suatu norma itu

tergantung pada norma hukum yang diatasnya,

sehingga apabila norma hukum yang berada di


27
28

atasnya dicabut atau di hapus, maka norma-

norma hukum yang berada di bawahnya

tercabut atau terhapus pula13

c. Landasan keabsahan peraturan perundang-

undngan (peraturan Daerah).

Landasan keabsahan pembentukan peraturan

daerah dapat dilihat dari tiga aspek filosofis,

sosiologis dan yuridis. Ketiga aspek ini

disajikan dalam bentuk table :

Tabel 2

Landasan keabsahan dalam pembentukan Perda

Landasan Uraian

Filosofis Dalam pembentukan peraturan daerah

landasan filosofis merupakan

pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk mempertimbangkan

Pandangan hidup, kesadaran dan cita

hukum, yang meliputi suasana batiniah

serta falsafah bangsa Indonesia yang

bersumberkan pada Pancasila

13
Farida Maria, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,hal. 25.
28
29

dan Pembukaan UUD Negara Republik

Indonesia tahun 1945.

Sosiologis Landasan sosiologis merupakan

pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam berbagai aspek.

Landasan sosiologis ini menyangkut

fakta empiris mengenai perkembangan

masalah, kebutuhan masyarakat dan

Negara.

Yuridis Landasan sosiologis merupakan

pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan

yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi

kekosongan hukum dengan

mempertimbangkan aturan yang telah

ada, yang akan di ubah, atau yang akan

dicabut guna menjamin kepastian

hukum dan rasa keadilan masyarakat.

29
30

2.3.KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT

DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Pemahaman pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang berupa

asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan arahan dalam

memahami secara mendalam mengenai ruang

lingkup dan tujuan pembentukan peraturan

perundang-undangan. Pemahaman asas hukum

oleh Ron Jue sebagai nilai yang melandasi

kaedah hukum14. Dengan demikian asas

hukum bukan peraturan ( een rechtsbeginselen

is niet een rechtregel), melainkan nilai yang

melandasi norma yang ada dalam peraturan

perundang-undangan. Selanjutnya J.J.H.

Bruggink memberikan batasan tentang asas

hukum sebagai sejenis meta-kaidah yang

berkenaan dengan kaidah-kaidah perilaku. Asas

hukum berfungsi sebagai fondasi dari sistem

hukum positif dan sebagai batu uji kritis

terhadap sistem hukum positif15.

14
B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya bakti,Bandung, h.121
15
J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh Arief Sidarta, 1996, Refleksi
Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti, Bandung, h. 123-133
30
31

Definisi asas hukum menurut Paul Scholten adalah

pikiran- pikiran dasar yang terdapat di dalam dan

dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan

dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan

hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan

dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang

sebagai penjabarannya.16 A. Hamid S.Attamimi

mengkatagorikan asas pembentukan perundang-

undangan menjadi dua yaitu asas formal dan asas

materiil :

a. Asas formal terdiri dari :

1. asas tujuan yang jelas;

2. asas perlunya pengaturan;

3. asas organ / lembaga yang tepat;

4. asas materi muatan yang tepat;

5. asas dapatnya dilaksanakan; dan

6. asas dapat dikenali.

b. Asas materiil terdiri dari :

1. asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan

fundamental negara;

2. asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara

16
Ibid, h. 119-120
31
32

Berdasarkan Atas Hukum; dan

4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan

yang Berdasarkan Sistem Konstitusi.

Di Indonesia, asas ini telah dipositifkan dalam

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Asas yang berifat formal diatur dalam Pasal

521 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.

Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam

penjelasan pasal. Asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang bersifat formal.

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

baik dan yang bersifat formal berdasarkan Pasal 5 UU No

12 Tahun 2011 dan penjelasannya :

Dalam membentuk Peraturan Perundang- undangan

harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

meliputi:

a. kejelasan tujuan

bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang


32
33

tepat

bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan

harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat

Pembentuk Peraturan Perundang- undangan yang

berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila

dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak

berwenang.

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi

muatan

bahwa dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus benar- benar

memperhatikan materi muatan yang tepat

sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan

Perundang- undangan.

d. dapat dilaksanakan

bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus memperhitungkan

efektivitas Peraturan Perundang-undangan

tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, sosiologis, maupun yuridis

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan

bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan dibuat


33
34

karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. kejelasan rumusan

bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan

harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-undangan,

sistematika, pilihan kata atau istilah, serta

bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

g. Keterbukaan

bahwa dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mulai dari perencanaan,

penyusunan penyusunan, pembahasan,

pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan

terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan

masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk memberikan masukan

dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.
34
35

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU 12/2011, maka

prinsip- prinsip profesionalitas, transparan dan

akuntabel, dan teknokrasi dibutuhkan sebagai kerangka

administratif bagi Penanggulangan Kemiskinan. Prinsip-

prinsip ini digunakan pula sebagai landasan penyusunan

Naskah Akademis dan norma Rancangan Peraturan

Daerah Tentang Bantuan Hukum.

Kajian asas dalam penyusunan Naskah akademis

dan rancangan peraturan daerah tentang Bantuan

Hukum juga dapat didasarkan pada asas-asas yang

terdapat dalam UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum. Adapun asas-asas tersebut adalah :

1. asas keadilan adalah menempatkan hak dan

kewajiban setiap orang secara proporsional, patut,

benar, baik, dan tertib.

2. asas persamaan kedudukan di dalam hukum adalah

bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan

yang sama di depan hukum serta kewajiban

menjunjung tinggi hukum.

3. asas keterbukaan adalah memberikan akses kepada

masyarakat untuk memperoleh informasi secara

lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam

mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara


35
36

konstitusional.

4. asas efisiensi adalah memaksimalkan pemberian

Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber

anggaran yang ada.

5. asas efektivitas adalah menentukan pencapaian

tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.

6. asas akuntabilitas adalah bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan

Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat.

Berdasarkan pemahaman asas baik yang

merupakan pandangan ahli maupun asas yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan terkait dapat

digunakan sebagai arahan dalam penyusunan naskah

akademis dan substansi norma Rancangan Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin.

36
37

2.4.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK

PENYELENGGARAAN, KONDISI YANG ADA,

SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

MASYARAKAT

2.4.1. Letak dan Kondisi Geografis

Secara astronomis, Pacitan terletak antara 7 92’ - 8 29’

Lintang Selatan dan 110 90’ - 111 43’ Bujur Timur.

Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Pacitan terletak

di Barat Daya dari Propinsi Jawa Timur yang berbatasan

langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Sebelah Utara

Kabupaten Pacitan berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo

(Jawa Timur) dan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah),

sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek

(Jawa Timur), sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera

Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Wonogiri (Jawa Tengah). Kabupaten Pacitan terdiri dari 12

kecamatan, yaitu:

1. Kecamtan Donorojo;

2. Kecamatan Punung;

3. Kecamatan Pringkuku;

4. Kecamatan Pacitan;

5. Kebonagung;

6. Kecamatan Arjosari;
37
38

7. Kecamatan Nawangan;

8. Kecamatan Bandar;

9. Kecamatan Tegalombo;

10. Kecamatan Tulakan;

11. Kecamatan Ngadirojo;

12. Kecamatan Sudimoro.

Kabupaten Pacitan sebagian besar berupa bukit dan

gunung, jurang terjal dan termasuk deretan Pegunungan

Seribu yang membujur sepanjang Pulau Jawa, terletak pada

posisi antara 7º 92’ - 8o 29’ Lintang Selatan dan 110o90’ -

111o43’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Pacitan,

adalah seluas 1.389,87Km2. Wilayah administrasi

Kabupaten Pacitan terdiri dari 12 wilayah kecamatan yaitu:

Kecamatan Donorojo (109,09 Km2), Kecamatan Punung

(108,81 Km2), Kecamatan Pringkuku (132,93 Km2),

Kecamatan Pacitan (77,11 Km2), Kecamatan Kebonagung

(124,85 Km2), Kecamatan Arjosari (117,06 Km2), Kecamatan

Nawangan (124,06 Km2), Kecamatan Bandar (117,34 Km2),

Kecamatan Tegalombo (149,26 Km2), Kecamatan Tulakan

(161,62 Km2), Kecamatan Ngadirojo (95,91 Km2)

danKecamatan Sudimoro (71,86 Km2) Berdasarkan elevasi

(ketinggian dari permukaan laut), terdapat 5 kecamatan

yang berada di ketinggian 50 mdpl kebawah yaitu:


38
39

Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan

Arjosari, Kecamatan Ngadirojo dan Kecamatan Sudimoro.

Sedangkan tujuh kecamatan sisanya berada di ketinggian

lebih dari 300 mdpl dengan Kecamatan Bandar adalah yang

paling tinggi yaitu mencapai 946 mdpl.

Jarak antara Ibukota Kabupaten ke kecamatan:

1. Pacitan–Kec. Donorojo : 35 km.

2. Pacitan- Kec. Punung : 29 km.

3. Pacitan- Kec. Pringkuku : 22 km.

4. Pacitan- Kec. Kebonagung : 7 km.

5. Pacitan- Kec. Arjosari : 10 km.

6. Pacitan- Kec. Nawangan : 34 km.

7. Pacitan- Kec. Bandar : 72 km.

8. Pacitan- Kec. Tegalombo : 34 km.

9. Pacitan- Kec. Tulakan : 27 km.

10. Pacitan- Kec. Ngadirojo : 39 km

11. Pacitan- Kec. Sudimoro : 53 km

Penduduk Kabupaten Pacitan berdasarkan hasil

Sensus Penduduk tahun 2020 sebanyak 586,11 ribu jiwa.

Dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil Sensus

Penduduk tahun 2010, penduduk Pacitan mengalami

pertumbuhan sebesar 8,18 persen. Sementara itu besarnya

angka rasio jenis kelamin tahun 2020 penduduk laki-laki


39
40

terhadap penduduk perempuan sebesar 100,45. Kepadatan

penduduk di Kabupaten Pacitan tahun 2020 mencapai 422

jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 12 kecamatan cukup

beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di

kecamatan Pacitan dengan kepadatan sebesar 1.014

jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Pringkuku sebesar

246 jiwa/km2. Jumlah Angkatan Kerja di Kabupaten Pacitan

2020 sebesar 366.285 orang. Pengangguran terbuka sebesar

8.339 orang. Proporsi terbesar pengangguran terbuka

berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas dan

sederajat sebesar 3.120 orang. Jumlah Angkatan Kerja jika

dilihat berdasarkan status pekerjaan utama didominasi oleh

pekerja berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak

dibayar sebanyak 108.215 orang dan pekerja keluarga/tak

dibayar sebanyak 105.967 orang

2.4.2. Kondisi dan Permasalahan Yang Dihadapi

Masyarakat di Kabupaten Pacitan

1. Perkara Pidana dan Perdata Pada Tahun 2020

a. Jumlah Perkara Pidana sebanyak:

- 64 perkara

b. Jumlah Perkara Perdata sebanyak:

- 4 Gugatan

- 43 Gugatan Sederhana
40
41

2. Kemiskinan di Kabupaten Pacitan Pada Tahun

2020

a. Garis Kemiskinan (Rupiah/Kapita/Bulan) yaitu :

Rp. 296.271,-

b. Persentase Penduduk Miskin sebesar : 14,54 %

c. Jumlah Penduduk Miskin sebesar : 80.820.000.

3. Jumlah Penerima Bantuan dan Anggaran

Bantuan Sosial Pangan Pada Tahun 2020

a. Jumlah penerima bantuan

- Rencana : 53.817

- Realisasi : 94,14 %

b. Jumlah anggaran (ribu/rupiah)

- Rencana : 10.763.400

- Realisasi : 94,77 %

Bantuan hukum adalah hak konstitusional setiap

warga. Lahirnya UU Bantuan Hukum seharusnya menjadi

wujud nyata tanggung jawab negara terhadap Hak Atas

Bantuan Hukum sebagai akses keadilan bagi seluruh

masyarakat Indonesia sebagaimana diamanahkan oleh UUD

1945, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(HAM), kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 14 ayat (3)

huruf (d) kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan


41
42

Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)

yang telah disahkan melalui Undang-Undang nomor 12

tahun 2005, juga ada pemberian jaminan bagi setiap orang

untuk mendapatkan bantuan hukum dan pelayanan dari

Advokat ( a right to have a legal counsel ) yang berkualitas

bagi masyarakat miskin. Ada 5 pilar mengenai bantuan

hukum yakni:

1. Accesible yakni bantuan hukum harus dapat

diakses dengan mudah;

2. Affordability di mana bantuan hukum dibiayai oleh

negara;

3. Sustainable yakni bantuan hukum harus terus ada

dan tidak tergantung pada donor sehingga negara

harus menganggarkannya dalam APBN;

4. Credibility di mana bantuan hukum harus dapat

dipercaya dan memberikan keyakinan bahwa yang

diberikan adalah dalam rangka peradilan yang

tidak memihak (juga saat mereka menghadapi

kasus melawan negara, tidak ada keraguan

tentang itu); serta

5. Accountability dimana pemberi bantuan hukum

harus dapat memberi pertanggungjawabkan

keuangan kepada badan pusat dan kemudian


42
43

badan pusat harus mempertanggungjawabkan

kepada parlemen

Dengan demikian konsepsi bantuan hukum dalam UU

No 16 Tahun 2011 adalah bantuan hukum merupakan

bantuan pembiayaan dari negara bagi masyarakat

miskin yang berhadapan dengan hukum.

Sebelumnya, negara tidak melakukan

pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi

masyarakat.

2.5.KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK

KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA

PADA ASPEK BEBAN KEUANGAN DAERAH.

Sesuai dengan judul di atas, bahwa Pembentukan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Bantuan

Hukum Bagi Masyarakat Miskin merupakan sarana

untuk menjaga agar terlaksananya :

a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas

tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan

kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan

penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat

miskin;

43
44

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan bantuan

hukum yang layak sesuai dengan asas-asas umum

pemerintahan dan korporasi yang baik;

c. terpenuhinya penyelenggaraan bantuan hukum bagi

masyarakat miskin sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; dan

d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum

bagi masyarakat dalam penyelenggaraan bantuan

hukum bagi masyarakat miskin.

Dengan demikian pembentukan Peraturan

Daerah tentang penyelenggaraan bantuan hukum bagi

masyarakat miskin membawa implikasi pada aspek

keuangan daerah, sehingga sangat diperlukan adanya

pengaturan sebagai dasar dalam penyelenggaraan

bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Hukum

sebagai Konsep Kesejahteraan Masyarakat

Hubungan antara masyarakat dengan hukum

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Ini sesuai dengan ungkapan dimana ada masyarakat

disitu ada hukum. Dapat ditegaskan bahwa hukum

memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat

dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga melalui

pengaturan itu bisa terwujud satu masyarakat yang


44
45

sejahtera, sesuai dengan yang diamanatkan dari tujuan

negara indonesia yang tercantum dalam pembukaan

UUD 1945.

Pasal 28H Ayat (2) UUDN RI Tahun 1945,

menyatakan bahwa :

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Ketentuan Pasal 28H ayat (2) tersebut semakin

memperkuat terjaminnya setiap warga negara khususnya

warga negara tidak mampu, mengakses keadilan dengan

cara mendapatkan bantuan hukum dari pemberi

bantuan hukum agar haknya untuk mendapatkan

kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan, benar-benar dapat dijamin dan

terwujud. Meskipun kehadiran organisasi bantuan

hukum bukanlah menjadi satu-satunya pihak yang

paling bertanggung jawab dalam melakukan tugas

bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu

secara cuma-cuma.

Tetapi mengingat visi dan misi yang diusung oleh

pemberi bantuan hukum sejak awal adalah dalam jalur


45
46

”pengabdian” dan kerja sukarela (volunteer), maka

sangat bisa dipertanggungjawabkan apabila kemudian.

kehadiran pemberi bantuan hukum perlu diatur dalam

undang-undang tersendiri tentang Bantuan Hukum,

tanpa harus ditafsir bahwa kehadirannya sudah cukup

terwakili dengan hadirnya advokat dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 dalam Pasal 28I

Ayat (4) yang menyatakan bahwa :

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama

pemerintah.

Dan Ayat (5) yang menyatakan bahwa :

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia

sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,

maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,

dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan (5) tersebut

semakin meneguhkan jaminan hak-hak setiap orang

khususnya yang tidak mampu dalam mendapatkan

akses keadilan melalui kehadiran Undang-Undang

tentang Bantuan Hukum. Pasal 28I ayat (4) dan (5),

sebagai pintu utama bagi penegakan jaminan hak-hak

setiap orang yang tidak mampu untuk mendapatkan


46
47

akses keadilan melalui pemberian bantuan hukum dari

pemberi bantuan hukum, yang sekaligus dasar utama

konstitusional bagi perlunya kehadiran pemberi bantuan

hukum untuk mendapatkan pengaturan secara khusus

dalam bentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum,

mengingat kedudukan, tugas, dan fungsinya yang sangat

strategis, yakni melaksanakan amanat konstitusi.

Dengan demikian kehadiran Undang-Undang tentang

Bantuan Hukum yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum, yang dalam Pasal 1

angka 1 dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa

hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum

secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum,

dan pernyataan bahwa dalam rangka penyelenggaraan

UU Bantuan Hukum ini, Daerah dapat mengalokasikan

anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dimana

pengaturan di daerah mengenai penyelenggaraan

Bantuan Hukum harus diatur dengan Peraturan Daerah.

hal ini telah memberikan arahan yang tepat dan konkrit

bagi perumusan kebijakan daerah dalam

penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat

miskin.
47
48

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT YANG

MENJADI DASAR HUKUM

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum disebutkan, bahwa meskipun

Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung

jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa

"Negara Indonesia adalah negara hukum". Dalam negara hukum,

negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap

individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan

pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya

untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum

yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga

negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice)

dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Seperti yang telah dijelaskan pada BAB I, berdasarkan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 1

angka 1 dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang

48
49

diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada

Penerima Bantuan Hukum. Penerima Bantuan Hukum adalah orang

atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar

secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum.

Sedangkan pada ketentuan umum pada angka 2, disebutkan bahwa

Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang

miskin. Selanjutnya dalam Pasal 3 UU Bantuan Hukum disebutkan

bahwa Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum

untuk mendapatkan akses keadilan;

b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai

dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum

dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia; dan

d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Memperhatikan dasar hukum yang telah diuraikan yang

berkaitan dengan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, menjadi

tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengupayakan

perlindungan hukum khusunya dalan pemberian Bantuan Hukum.

49
50

Pemberian bantuan hukum pada masyarakat miskin merupakan

pemenuhan hak konstitusional masyarakat miskin untuk

mendapatkan keadilan. Untuk itu perlu ada dasar hukum terkait

dengan Bantuan hukum di Kabupaten Pacitan. Adapun Peraturan

Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Dasar Konstitusional kewenangan Pemerintah Daerah dalam

melaksanakan ketentuan dan pembentukan Peraturan

Daerah tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin

adalah :

Pasal 18 ayat (6) :

6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah

dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi dan tugas pembantuan

Sedangkan dasar konstitusional dari substansi yang diatur

oleh peraturan daerah kota Surabaya ini yaitu mengenai

bantuan hukum untuk masyarakat miskin adalah :

Pasal 28 D :

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

50
51

perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) tersebut menjamin

bahwa setiap orang termasuk orang yang tidak mampu,

mempunyai hak untuk mendapatkan askses terhadap

keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan.

Karena sangat sulit bisa dipahami secara konstitusional,

bahwa orang miskin dapat memperoleh jaminan terhadap

hak pengakuan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum tetapi mereka orang yang tidak mampu

dan tidak pula diberi akses terhadap keadilan, melalui

lembaga-lembaga pengadilan Negara (litigasi).

Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan

sosialnya, serta berhak untuk menacri, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia

Seseorang yang memerlukan bantuan hukum pada

hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan

51
52

dijamin oleh Pasal 28F UUDN Republik Indonesia Tahun

1945. Disamping itu adalah menjadi hak seseorang untuk

memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan

terpercaya.

Pasal 28 G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang

dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman

dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.

Ketentuan pasal tersebut menegaskan bahwa setiap warga

Negara khususnya yang tidak mampu, dan mengalami

masalah hukum, berhak untuk mendapat bantuan hukum

secara Cuma-Cuma, sekaligus sebagai implementasi dari hak

bebas untuk mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah

kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat

52
53

sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28H

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan

Ketentuan Pasal 28H ayat (2) tersebut menjelaskan bahwa

setiap warga Negara khususnya warga Negara tidak mampu

untuk mendapat akses terhadap keadilan dengan cara

mendapat bantuan hukum dari PBH agar haknya untuk

mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat

dijamin dan terwujud.

Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.

53
54

(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu.

(3) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama

Pemerintah.

(4) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia

sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis,

maka pelaksanaan hak asasi manusi dijamin, diatur, dan

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan pasal 28I ayat (1), (2) ,(4),dan (5) tersebut

meneguhkan jaminan hak-hak setiap orang khusunya yang

tidak mampu dalam mendapatkan akses terhadap keadilan

melalui kehadiran Peraturan Daerah tentang Bantuan

Hukum. Pasal 28 I ayat (1), (2), (4), dan (5), sebagai pintu

utama bagi penegakan jaminan hak-hak setiap orang yang

tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan melalui

pemberian Bantuan Hukum di Daerah.

54
55

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa

kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2020 tentang Cipta Kerja

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan

perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan

Pemerintahan Daerah di Indonesia dalam berbagai urusan

diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

mengganti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dengan menekankan pada 2 (dua)

hal, yaitu:

a. penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta

55
56

peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

b. efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan

daerah perlu ditingkatkan dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antara

Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah,

potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang

dan tantangan persaingan global dalam kesatuan

sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan penjelasan di atas, penyelenggaraan

pemerintah daerah ditekankan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Darah ini terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal

dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada

urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan

konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan

Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara

56
57

Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kota

/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan

Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan

Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait

Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal

(SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional

masyarakat.

Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

merinci urusan pemerintahan wajib yang terdiri atas:

a. urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan

Pelayanan Dasar yakni urusan pemerintahan yang

sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar;

dan

b. urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan

dengan Pelayanan Dasar.

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan

pelayanan dasar menurut Pasal 12 ayat (1) terdiri atas:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

57
58

d. perumahan rakyat dan kawasan kumuh;

e. ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan

masyarakat; dan

f. sosial.

3. Undang – Undang No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan

Hukum

Disebutkan dalam Undang-Undang ini berkaitan

pengalokasian anggaran pada Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD) yaitu :

(1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan

Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Daerah.

4. Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat

Pasal 22

(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-

Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian

bantuan hukum secara cuma-Cuma sebagaimana

58
59

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah

Advokat juga mempunyai kewajiban untuk melakukan

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada

pencari keadilan yang tidak mampu. Tetapi kewajiban

tersebut tidak jelas dan tidak focus khusus karena tugas

pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma hanya

menjadi salah satu tugas “tambahan dan sampingan” dari

Advokat. Sebab disamping tidak ada pengaturan sanksinya

secara tegas (melalaikan kewajiban memberikan bantuan

hukum cuma-Cuma, hanya dipandang sebagai masalah etis).

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42

Tahun 2013 Tentang Syarat Dan tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum

Pasal 19 :

(1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan

Bantuan Hukum dalam APBD.

(2) Daerah melaporkan penyelenggaraan Bantuan Hukum

yang sumber pendanaannya berasal dari APBD kepada

Menteri Dalam Negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalokasian Anggaran

59
60

Penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.

60
61

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

4.1 LANDASAN FILOSOFIS

Dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat sesuai

perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama

dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah yang

kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh

masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya terkait

dengan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat, di satu sisi negara bertindak sebagai regulator yang

mengatur bagaimana masyarakat harus berperilaku guna

mencapai terwujudnya suatu ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat, pengaturan tersebut dituangkan dalam bentuk

produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah. Sedangkan di

sisi lain pemerintah bertindak sebagai pelayan masyarakat (public

service) selaku pengguna layanan. Sementara rakyat memiliki hak

atas pelayanan publik dari negara karena sudah memenuhi

kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar pajak atau

pungutan lainnya (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat

dalam partisipasi penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu

61
62

bentuk pelayanan publik yang sangat mendasar dan menjadi

tugas negara sekaligus sebagai upaya untuk mencapai tujuan

negara menyelenggarakan ketertiban umum sebagaimana

tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan

filosofis apabila rumusannya atau norma-normanya mendapat

pembenaran filosofis secara mendalam, khususnya filsafat

terhadap pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi

nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika

pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik.

Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung

tinggi. Di mana di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan,

kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.

Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran

yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Hukum itu diciptakan

atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah

hukum itu tercipta maka manusia terikat pada hukum, harus

tunduk pada hukum. Hal ini tidak lain adalah untuk kepentingan

manusia itu sendiri. Hukum harus mempunyai kekuasaan

tertinggi demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya

manusia tidak boleh diperbudak oleh hukum. “Governance not by

62
63

man but by law” berarti bahwa tindakan-tindakan resmi

(pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus tunduk pada

peraturan-peraturan hukum.

Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan

tidak memihak (fair dan impartial court). Hak ini merupakan hak

dasar setiap manusia yang bersifat universal, berlaku di

manapun, kapanpun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi.

Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban Negara.

Setiap warga negara tanpa memandang suku, warna kulit,

status sosial, kepercayaan, dan pandangan politik berhak

mendapatkan akses terhadap keadilan. Indonesia sebagai negara

hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan

hukum dalam dasar negara dan konstitusinya. Sila Kedua

Pancasila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan Sila Kelima

Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"

mengakui dan menghormati hak warga negara Indonesia untuk

keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum

yang ada serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan

setiap warga negara berhak memporoleh kesempatan yang sama

dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang

63
64

untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Tanggung jawab negara

ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiar

ketatanegaraan pada ranah legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak

boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan.

Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang

tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan

dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut. Tanpa

adanya pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan

hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai universal

hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.

Bantuan Hukum adalah media bagi warga negara yang tidak

mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi,

jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan

hukum meliputi masalah hak warga negara secara konstitusional

yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga negara yang

tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah

hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu

menghadapi kekuatan negara secara struktural.

64
65

Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus

dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga

negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam

memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tidak

mampu. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar

bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga

negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam

akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke

arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang

kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berdasarkan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,

pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah

jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara

cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Penyelenggaraan

Bantuan Hukum tersebut bertujuan untuk :

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan

Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai

dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

65
66

c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum

dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara

Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam Penjelasan Umum UU Bantuan Hukum ini, dijelaskan

bahwa selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan

belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin,

sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena

terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan

hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian

Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan

terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang

miskin.

Berdasarkan apa yang diatur pemerintah dalam UU Bantuan

Hukum tersebut, terlihat bahwa politik pembangunan hukum

negara yang tercermin dalam kebijakannya yaitu bahwa

pemerintah berdasarkan konstitusi negara menjamin

perlindungan hukum bagi masyarakat miskin berdasarkan asas

persamaan kedudukan didepan hukum.

66
67

Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-

undangan di daerah yang menjamin hak warga negara Indonesia

untuk mendapatkan akses keadilan dan pendampingan hukum

termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi masyarakat yang tidak

mampu yang tentunya dengan mempertimbangkan tingkat

anggaran yang dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah.

4.2 LANDASAN SOSIOLOGIS

Berdasarkan angka 4 huruf B Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan menyebutkan, bahwa :

"Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris

mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat

dan negara." Rumusan tersebut sama dengan angka 4 huruf B

Lampiran II Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun

2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana

67
68

telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120

Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah.

Konsideran menimbang huruf b UU No. 23 Tahun 2014

menyebutkan:

Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan

kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Kabupaten Pacitan belum mempunyai pengaturan mengenai

penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin secara

menyeluruh di daerahnya, sehingga diperlukan pembentukan

Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan tentang Penyelenggaraan

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin dalam rangka

pemenuhan hak konstitusional masyarakat miskin dan

merupakan kelompok yang rentan sosial di Kabupaten Pacitan.

Ini penting menunjukan keberpihakan Kepala Daerah dan DPRD

68
69

Kabupaten Pacitan dalam membantu masyarakat di Kabupaten

Pacitan yang berhadapan dengan permasalahan hukum, sehingga

mendapatkan bantuan hukum.

4.3 LANDASAN YURIDIS

Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum

banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga

mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat

oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak

konstitusional mereka.

Berdasarkan angka 4 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan menyebutkan landasan yuridis pembentukan

peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

69
70

Perundang-Undangan menyebutkan landasan yuridis

pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu :

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,

atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa

keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan

hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur

sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang

baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang

sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang

tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang

sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi

tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum

ada.

Rumusan tersebut sama dengan angka 4 huruf C Lampiran II

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018

70
71

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Landasan yuridis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten

Pacitan tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin berdasarkan :

(1) Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal

28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4967);

(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan

Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5235);

(4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5248);

71
72

(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

72
73

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI PERATURAN DAERAH

5.1 Jangkauan dan Arah Pengaturan

Adapun jangkauan pengaturan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Pacitan tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum

Bagi Masyarakat Miskin diantaranya terkait:

a. Penyelenggaraan Bantuan Hukum;

b. Pendanaan;

c. Peran Serta Masyarakat; dan

d. Pembinaan dan Pengawasan

5.2 Ruang Lingkup Materi Muatan

Adapun ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Pacitan tentang Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai

pengertian istilah, dan frasa, yaitu:

1. Daerah adalah Kabupaten Pacitan.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Pacitan.

3. Bupati adalah Bupati Pacitan.

73
74

4. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh

Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada

Penerima Bantuan Hukum.

5. Masyarakat miskin adalah orang perseorangan atau

sekelompok orang yang memiliki identitas kependudukan

yang sah di Provinsi Jawa Timur yang kondisi sosial

ekonominya dikatagorikan miskin dan dibuktikan dengan

Kartu Keluarga Miskin atau Surat Keterangan Miskin dari

Lurah atau Kepala Desa.

6. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga Bantuan

Hukum atau organisasi kemasyarakatan di Daerah yang

memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

Bantuan Hukum.

7. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok

orang miskin yang berdomisili atau bertempat tinggal dan

tercatat sebagai penduduk di Daerah.

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang

selanjutnya disingkat APBD adalah APBD Kabupaten

Pacitan beserta dengan perubahannya.

74
75

9. Litigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang

dilakukan melalui jalur pengadilan untuk

menyelesaikannya.

10. Nonlitigasi adalah proses penanganan perkara hukum

yang dilakukan di luar jalur pengadilan untuk

menyelesaikannya.

b. Materi yang akan diatur yaitu:

1. Penyelenggaraan Bantuan Hukum;

2. Pendanaan;

3. Peran Serta Masyarakat; dan

4. Pembinaan dan Pengawasan.

c. Ketentuan Penutup

Mengatur tentang tenggat penetapan peraturan pelaksanaan

dari Peraturan Daerah ini.

75
76

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebagaimana diterangkan dalam bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Hal yang mendasari penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten

Pacitan tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi

Masyarakat Miskin adalah perlunya suatu pedoman bagi

Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dalam pemberian

bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai wujud upaya

Pemerintah Daerah dalam memberikan pemenuhan atas hak

masyarakat miskin khususnya dalam hal mendapatkan

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Adapun

mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat

miskin ini pelaksanaannya mengacu pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, antara lain

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang

76
77

Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan

Penyaluran Dana Bantuan Hukum, dan Peraturan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015

tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Nomor 63 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 10 Tahun 2015 tentang Peraturan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013

tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan

Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

2. Peraturan daerah ini memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan

yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan

pembentukannya. Landasan filosofis yang mendasari

terbentuknya peraturan daerah ini adalah pemahaman bahwa

setiap orang berhak untuk mendapatkan pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum. Landasan sosiologis yang

mendasari terbentuknya peraturan daerah ini adalah

77
78

keberadaan masyarakat miskin sebagai kelompok rentan

sosial termasuk dalam menghadapi permasalahan hukum

sehingga perlu mendapatkan bantuan hukum. Sedangkan

landasan yuridis yang mendasari terbentuknya peraturan

daerah ini yaitu sehubungan dengan adanya perkembangan

hukum dan guna menyesuaikan dengan kondisi yang dialami

di Kabupaten Pacitan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap

ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan bantuan

hukum bagi masyarakat miskin.

3. Ruang lingkup materi muatan dalam peraturan daerah ini

yaitu:

a. Penyelenggaraan Bantuan Hukum;

b. Pendanaan;

c. Peran Serta Masyarakat; dan

d. Pembinaan dan Pengawasan.

6.2 Saran

Mengingat pentingnya rancangan peraturan daerah ini

sebagaimana terurai di atas, maka perlu dilakukan sosialisasi

dan proses konsultasi publik agar masyarakat (dalam hal ini

stakeholder terkait) mengetahui dan dapat memberikan saran,

masukan, dan pendapat guna menyempurnakan pengaturan di

78
79

dalam rancangan peraturan daerah ini untuk kemudian dapat

dilaksanakan pembahasan tahap selanjutnya dan

menetapkannya menjadi peraturan daerah.

79
80

DAFTAR PUSTAKA

H.M.A.Kuffal,2004, Penerapan KUHAP Dalam Praktek


Hukum,UMM Press, Malang hlm.158

IGN. Ridwan Widyadharma, 2010, Profesional Hukum


dalam Pemberian Bantuan Hukum, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 26.

Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum


Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, hal. 177-178

Marhaendra Wija Atmaja, “Metode Penelitian Hukum dalam


Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-
undangan”, Risalah Kuliah dalam Mata Kuliah Teori dan
Perancangan Peraturan Perundang-undangan pada Progran Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Denpasar, 2014, h. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati
Irianto, “Memperkenalkan kajian soswio-legal dan implikasi
metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian
Sosio-Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012); dan Soelistyowati
Irianto, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, dalam
Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum:
Knstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2011)

Miles dan Hubermas berdasarkan pemahaman Agus Salim,


Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 22-23; dan Nyoman
Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan
Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 310-311.

80
81

Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia:


Penerbit Cendana Press , Jakarta h.17-18

Adnan Buyung Nasution, dkk.,2007,,Bantuan Hukum


Akses Masyarakat Marginal terhadap Keadilan, Tinjauan
Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan
Perbandingan, LBH Jakarta, h.13

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Hukum Dalam


Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan
Peraturan Daerah, Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Brawijaya, h.21

Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga


Daerah Perspektif Teori otonomi & Desentralisasi dalam
Penyelengaraan Pemerintahan Negara Hukum dan
Kesatuan, Setara Press Malang , h. 126

A Mukthei Fadjar, 2014, Teori-Teori Hukum Kontenporer, Setara


Press (Kelompok Penerbit Intrans) Malang h.8.

Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen tentang
Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamah Konstitusi
RI, Jakarta , h. 109.

Hans Kelsen, General Theory of Law & State, with a new introduction
by A Javier Trevino, Trancaction Publiher New Brunswick (U.S.A.)
and London (U.K.0), h. 124.

Farida Maria, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,


Yogyakarta,hal. 25.

B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra


Aditya bakti, Bandung, h.121

81
82

J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh Arief Sidarta,


1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti,
Bandung, h. 123-133

82
-1-

LAMPIRAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN


TENTANG
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN
-2-

BUPATI PACITAN
PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PACITAN,

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan


pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum;
b. bahwa masyarakat miskin merupakan kelompok
rentan sosial, termasuk dalam menghadapi
permasalahan hukum sehingga perlu mendapatkan
bantuan hukum;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
-3-

Hukum, Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan


anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat
Miskin;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil Dalam
Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Jawa Barat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 1950), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1954 tentang Pengubahan Undang-Undang
Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Kota-kota Besar dan Kota-Kota
Kecil di Jawa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
551);
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum (Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Nomor
5248);
-4-

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013
tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan
Hukum (Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 98
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5421);
6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 10 Tahun 2015 tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 816)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
63 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
-5-

Manusia Nomor 10 Tahun 2015 tentang


Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2130).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PACITAN


dan
BUPATI PACITAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI
MASYARAKAT MISKIN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Pacitan.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Pacitan.
3. Bupati adalah Bupati Pacitan.
4. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima
-6-

Bantuan Hukum.
5. Masyarakat miskin adalah orang perseorangan atau
sekelompok orang yang memiliki identitas kependudukan yang
sah di Provinsi Jawa Timur yang kondisi sosial ekonominya
dikatagorikan miskin dan dibuktikan dengan Kartu Keluarga
Miskin atau Surat Keterangan Miskin dari Lurah atau Kepala
Desa.
6. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga Bantuan Hukum
atau organisasi kemasyarakatan di Daerah yang memberi
layanan Bantuan Hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Bantuan
Hukum.
7. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang
miskin yang berdomisili atau bertempat tinggal dan tercatat
sebagai penduduk di Daerah.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disingkat APBD adalah APBD Kabupaten Pacitan beserta
dengan perubahannya.
9. Litigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang
dilakukan melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.
10. Nonlitigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang
dilakukan di luar jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.

Pasal 2
Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum
untuk mendapatkan akses keadilan di Daerah;
b. mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai prinsip
-7-

persamaan kedudukan di dalam hukum;


c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum di
Daerah;
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efiien, dan dapat
dipertanggungjawabkan; dan
e. terpenuhinya perlindungan terhadap hak asasi manusia.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini yaitu penyelenggaraan
Bantuan Hukum yang sumber pendanaannya berasal dari APBD.

BAB III
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan Bantuan Hukum dalam
bentuk fasilitasi anggaran Bantuan Hukum kepada Pemberi
Bantuan Hukum yang melaksanakan Bantuan Hukum
terhadap permasalahan hukum yang dihadapi Penerima
Bantuan Hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perkara hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara
baik litigasi maupun non-litigasi.
-8-

(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


meliputi:
a. menjalankan kuasa;
b. mendampingi;
c. mewakili;
d. membela; dan/atau
e. melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum Penerima Bantuan Hukum

Bagian Kedua
Wewenang

Pasal 5
(1) Bupati berwenang dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan
Bantuan Hukum; dan
b. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Bantuan
Hukum.
(3) Bupati dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
perangkat daerah yang membidangi urusan hukum.

Bagian Ketiga
Pemberi Bantuan Hukum

Pasal 6
(1) Pemberi Bantuan Hukum harus memenuhi syarat sebagai
-9-

berikut:
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program Bantuan Hukum.
(2) Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan
fasilitasi anggaran Bantuan Hukum kepada Bupati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara
pengajuan permohonan fasilitasi anggaran Bantuan Hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Bupati.

Pasal 7
Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a. mendapatkan bantuan pendanaan dalam menjalankan
tugasnya memberi bantuan hukum kepada Penerima Bantuan
Hukum;
b. mengeluarkan pernyataan dan/atau menyampaikan pendapat
dalam pelaksanaan tugasnya memberi bantuan hukum kepada
Penerima Bantuan Hukum dengan tetap berpedoman pada
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mencari dan mendapatkan informasi, data, dan dokumen
lainnya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lainnya
yang berhubungan dengan tugasnya; dan
d. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan
- 10 -

keselamatan selama menjalankan pemberian bantuan hukum.

Pasal 8
(1) Dalam memberikan bantuan hukum, Pemberi Bantuan Hukum
wajib:
a. memberikan bantuan hukum kepada Penerima Bantuan
Hukum hingga permasalahannya selesai atau telah ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap
perkaranya;
b. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau
keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum
berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani kecuali
ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. melayani Penerima Bantuan Hukum sesuai dengan prinsip
pelayanan publik;
d. melaporkan proses pemberian bantuan hukum kepada
Walikota melalui instansi;
e. menjalankan kewajiban lain sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f. memberikan perlakuan yang sama kepada Penerima
Bantuan Hukum tanpa membedakan jenis kelamin,
agama, kepercayaan, suku, dan pekerjaan serta latar
belakang politik; dan
g. dalam menjalankan tugas bersikap independen.
(2) Pemberi Bantuan Hukum yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
administratif.
- 11 -

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pengembalian semua dana bantuan hukum yang telah
diterima yang bersumber dari APBD ke Kas Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Penerima Bantuan Hukum

Pasal 9
Penerima Bantuan Hukum berhak:
a. mendapatkan bantuan hukum hingga perkara hukumnya
selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
b. mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan standar bantuan
hukum dan/atau kode etik advokat;
c. mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma;
d. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemberian bantuan hukum;
e. mendapatkan layanan yang sesuai dengan prinsip pelayanan
publik; dan
f. mencabut surat kuasanya dengan sepengetahuan Pemberi
Bantuan Hukum.
- 12 -

Pasal 10
Penerima Bantuan Hukum wajib:
a. mengajukan permohonan kepada Pemberi Bantuan Hukum
untuk mendapatkan bantuan hukum;
b. menandatangani Surat Kuasa Khusus;
c. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara
secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum; dan
d. membantu kelancaran pemberian bantuan hukum.

Bagian Kelima
Pemberian Bantuan Hukum

Pasal 11
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, Penerima Bantuan
Hukum harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pemberi Bantuan Hukum.
(2) Permohonan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan persyaratan sebagai berikut:
a. identitas Penerima Bantuan Hukum;
b. uraian singkat tentang permasalahan hukum yang
dimohonkan;
c. data yang berkenaan dengan perkara;
d. surat keterangan miskin dari Lurah atau Kepala Desa atau
Pejabat yang berwenang di domisili Penerima Bantuan
Hukum; dan
e. surat kuasa jika permohonan diajukan oleh keluarga atau
kuasa.
(3) Dalam hal Penerima Bantuan Hukum tidak mampu menyusun
- 13 -

permohonan secara tertulis, permohonan dapat disampaikan


secara lisan.
(4) Permohonan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituliskan oleh Pemberi Bantuan Hukum dengan tanda
tangan/cap jempol Penerima Bantuan Hukum.
(5) Identitas Pemohon/Penerima Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan Kartu
Tanda Penduduk dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.

Pasal 12
(1) Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan
persyaratan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah
berkas permohonan bantuan hukum diterima.
(2) Dalam hal permohonan bantuan hukum telah memenuhi
persyaratan, Pemberi Bantuan Hukum wajib menyampaikan
kesediaan dan penolakan secara tertulis dalam jangka waktu
paling lama 3 (hari) kerja terhitung sejak permohonan
dinyatakan lengkap.
(3) Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, Penerima
Bantuan Hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan
surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
(4) Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, Pemberi
Bantuan Hukum wajib memberikan alasan penolakan secara
tertulis.

Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Bantuan
- 14 -

Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 diatur


dalam Peraturan Bupati.

Bagian Keenam
Bantuan Hukum Litigasi dan Nonlitigasi

Paragraf 1
Bantuan Hukum Litigasi

Pasal 14
(1) Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi dilakukan oleh
Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan
Hukum dan/atau Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan
Hukum.
(2) Dalam hal jumlah Advokat yang terhimpun dalam wadah
Pemberi Bantuan Hukum tidak memadai dibanding banyaknya
jumlah Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum
dapat merekrut Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas
Hukum.
(3) Dalam melakukan pemberian bantuan hukum, Paralegal,
Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan bukti tertulis
pendampingan dari Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Mahasiswa Fakultas Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah lulus mata kuliah hukum acara.
- 15 -

Pasal 15
Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 meliputi:
a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa mulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara
pidana.
b. pendampingan dan/atau mewakili Penerima Bantuan Hukum
pada seluruh tahapan di persidangan dalam perkara perdata.
c. pendampingan dan/atau mewakili Penerima Bantuan Hukum
pada seluruh tahapan di persidangan dalam perkara tata
usaha negara.

Paragraf 2
Bantuan Hukum Nonlitigasi

Pasal 16
(1) Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi dilakukan oleh
Advokat, Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum
dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus
verifikasi dan akreditasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemberian bantuan hukum secara Nonlitigasi meliputi
kegiatan:
a. penyuluhan hukum;
b. konsultasi hukum;
c. investigasi perkara;
d. penelitian hukum;
e. mediasi;
- 16 -

f. negosiasi;
g. pemberdayaan masyarakat;
h. pendampingan diluar pengadilan; dan/atau
i. pembuatan dokumen hukum.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian Bantuan
Hukum Litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan
Bantuan Hukum Non Litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB IV
PENDANAAN

Pasal 18
(1) Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan
untuk penyelenggaraan bantuan hukum dibebankan kepada
APBD sesuai dengan kemampuan Pemerintah Daerah.
(2) Penyaluran dana Bantuan Hukum Litigasi dilakukan setelah
Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan Perkara pada setiap
tahapan proses beracara dan menyampaikan laporan yang
disertai dengan bukti pendukung.
(3) Tahapan proses beracara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan tahapan penanganan Perkara dalam:
a. kasus pidana, meliputi penyidikan, dan persidangan di
pengadilan tingkat I, persidangan tingkat banding,
persidangan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali;
b. kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan
- 17 -

pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding,


putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan
kembali; dan
c. kasus tata usaha negara, meliputi pemeriksaan
pendahuluan dan putusan pengadilan tingkat I, putusan
pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat
kasasi, dan peninjauan kembali.
(4) Penyaluran dana Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dihitung berdasarkan persentase tertentu dari
tarif per Perkara yang mengacu pada standar biaya
pelaksanaan Bantuan Hukum Litigasi.
(5) Penyaluran dana Bantuan Hukum pada setiap tahapan proses
beracara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghapuskan kewajiban Pemberi Bantuan Hukum untuk
memberikan Bantuan Hukum sampai dengan Perkara yang
ditangani selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran dana
pemberian bantuan hukum Litigasi dan Nonlitigasi diatur
dalam Peraturan Bupati.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 19
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan
Bantuan Hukum.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
antara lain melalui:
- 18 -

a. laporan terhadap dugaan pelanggaran penyelenggaraan


Bantuan Hukum;
b. penyebarluasan informasi terkait penyelenggaraan Bantuan
Hukum; dan
c. penyampaian pendapat dan saran terkait penyelenggaraan
Bantuan Hukum.
(3) Laporan, pendapat dan saran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf c, disampaikan kepada Walikota
secara tertulis melalui Perangkat Daerah yang membidangi
urusan hukum.
(4) Dalam hal perangkat telah tersedia, laporan, pendapat dan
saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c
dapat dilakukan secara elektronik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 20
(1) Bupati melakukan pembinaan penyelenggaraan Bantuan
Hukum.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. lembaga Bantuan Hukum atau organisasi kemasyarakatan
yang belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) dan berkedudukan di Daerah; dan
b. masyarakat Daerah.
- 19 -

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain


dilakukan melalui kegiatan:
a. sosialisasi;
b. penyuluhan; dan
c. diskusi publik.
(4) Dalam melaksanakan pembinaan terhadap lembaga Bantuan
Hukum atau organisasi kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, Pemerintah Daerah dapat
berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan
Bantuan Hukum.

Pasal 21
(1) Bupati melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan agar penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai
dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bupati dapat membentuk tim pengawas
penyelenggaraan Bantuan Hukum.
(4) Pembentukan tim pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 22
Bupati dapat meneruskan temuan penyimpangan pemberian
Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan Hukum kepada
instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 20 -

Pasal 23
Dalam hal Penerima Bantuan Hukum tidak mendapatkan haknya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
bantuan hukum, Penerima Bantuan Hukum dapat melaporkan
Pemberi Bantuan Hukum kepada Bupati melalui Inspektorat, induk
organisasi Pemberi Bantuan Hukum, atau instansi lain yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 24
Dalam hal Advokat Pemberi Bantuan Hukum Litigasi tidak
melaksanakan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 sampai dengan Perkaranya selesai atau mempunyai
kekuatan hukum tetap, Pemberi Bantuan Hukum wajib mencarikan
Advokat pengganti.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.

Pasal 26
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


- 21 -

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran


Daerah Kabupaten Pacitan

Ditetapkan di Pacitan
pada tanggal …
BUPATI PACITAN,
ttd.

Diundangkan di Pacitan
pada tanggal …
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PACITAN,
ttd.
….
Lembaran Daerah Kabupaten Pacitan Tahun 2022 Nomor … Seri …
- 22 -

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

I. UMUM
Sistem hukum Indonesia dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya
persamaan dihadapan hukum (equlity before the law), sehingga
dalam Pasal 27 ayat (1) UUDN RI Tahun 1945 disebutkan
“Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum
dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan
melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk
hak atas bantuan hukum. Penyelenggaraan bantuan hukum
kepada warga negara, khususnya warga miskin,
merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai
implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi
serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan
akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di
hadapan hukum (equality before the law).
Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah Peraturan
Daerah ini dalam rangka pemenuhan hak konstitusional
masyarakat miskin dan merupakan kelompok yang rentan
- 23 -

sosial secara keseluruhan di wilayah Kabupaten Pacitan. Hal


itu sesuai dengan amanah dari peraturan perundang-
undangan di atasnya, khususnya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Materi pokok yang diatur di dalam Peraturan Daerah ini
meliputi :
1. Penyelenggaraan Bantuan Hukum;
2. Pendanaan;
3. Peran Serta Masyarakat; dan
4. Pembinaan dan Pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
- 24 -

Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
- 25 -

Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.

Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pacitan Nomor … Seri …

Anda mungkin juga menyukai