Oleh :
NPM :
01012111135
Fakultas Hukum
Universitas Khairun
Ternate
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah Hukum Acara Perdata dan Sumber-
sumber Hukumnya” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Hukum Acara Perdata. Selain itu, makalah ini juga bertujuan sebagai bahan pembelajaran bagi
saya sendiri agar dapat menambah wawasan dan khasanah keilmuan tentang sejarah hukum
acara perdata dan sumber hukumnya sesuai judul makalah ini.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah hukum acara perdata
karena telah memberikan tugas ini yang membuat saya menjadi lebih mengetahui dan
memahami pengetahuan dan wawasan pada mata kuliah Hukum Acara Perdata ini. Terima
kasih saya ucapkan juga kepada semua pihak yang ikut membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini masih belum sempurna jadi kritik dan saran
sangat diperlukan dalam pengembangan belajar saya.
ii
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II ........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
iii
14. Yurisprudensi; ......................................................................................................... 8
PENUTUP................................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 10
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia selalu mengadakan hubugan dengan orang lain.
Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama dengan manusia lain itu demi hidupnya
sendiri. Karena hal itu, maka menimbulkann suatu jenis hukum yang ketentuannya mengatur
tentang kahidupan maupun hubungan manusia di dalam masyarakat, yang dinamakan “Hukum
Perdata” atau privat recht. Hukum Perdata ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan
membatasi tingkah laku manusia dalam memenhi kepentingan(kebutuhannya) di masyarakat.
Dalam hukum perdata dibagi menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formil
Untuk menjaga dan menjamin agar hukum perdata materil berjalan dengan baik maka ada juga
hukum perdata formil. Hukum perdata formil disebut Hukum Acara Perdata, yaitu keseluruhan
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil.
Hukum acara perdata sebagai hukum perdata formil tentunya telah melewati beberapa
masa dan penyesuaian agar dapat berguna di dalam masyarakat. Karena hukum itu berkembang
mengikut perkembangan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian yang telah dipaparkan di atas maka akan dibahas tentang sejarah
hukum acara perdata serta sumber hukumnya lebih lanjut dengan beberapa rumusan masalah
berikut:
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar saya dan mungkin juga pembaca bisa
mengetahui tentang :
1
BAB II
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata, maka ada dua hal yang akan diuraikan
yaitu tentang sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum acara di peradilan
dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang
mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesich
Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan di bidang pidana.
Dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHAP), maka pasal- pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi.1
Nama semula dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) adalah Indonesich Reglement
yang berarti reglemen bumiputera , yang dirancang oleh MR HL Wichers, di mana pada waktu
itu Presiden Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial
Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846
No 3, Mr Wischers diberi tugas untuk merancang sebuah reglemen (peraturan) tentang
administrasi polisi dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan bumiputera. Dengan
uraian yang panjang itu dimaksudkan: Hukum acara perdata dan pidana. Dalam waktu yang
relatif singkat yaitu belum sampai satu tahun, Mr Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana
peraturan acara perdata dan pidana yang terdiri dari 432 Pasal.
1
Laila M. Rasyid, Herinawati, Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hlm. 11-12.
2
sebab dalam IR apa yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih
daripada seorang bawahan dari asisten residen.2
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan di bagi
atas peradilan gubernemen dan peradilam pribumi. Peradilan gubernemen di Jawa dan Madura
di satu pihak dan di luar Jawa di lain pihak. Dibedakan peradilan untuk golongan Eropa
(Belanda) dan untuk bumiputera. Pada umumnya peradilan gubenemen untuk golongan Eropa
ada tingkat peradilan pertama ialah Raad Van Justtitie sedangkan untuk golongan Bumiputera
ialah Landraad. Kemudian Raad Van Justitie ini juga menjadi peradilan banding untuk
golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakimhakim pada kedua macam peradilan
tersebut tidak tentu. Banyak orang Eropa (Belanda) menjadi hakim Landraad dan adapula
orang bumiputera di Jawa menjadi hakim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk
orang Eropa.
Dalam perkembangan selanjutnya selama hampir 100 tahun sejak berlakunya Reglemen
ini ternyata telah banyak sekali mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan
dengan kebutuhan praktek peradilan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam reglemen
tersebut. Dengan demikian ketentuanketentuan dalam reglemen itu hanya merupakan sebagian
saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis.
Sebenarnya yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan adalah bagian
hukum acara pidana. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura untuk menjamin adanya kepastian
hukum acara tertulis di muka pengadilan gubernemen bagi golongan Bumiputera dan timur
asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), maka pada tahun 1927 Gubernur Jenderal
Hindia Belanda mengumumkan reglemen hukum acara untuk daerah seberang dalam Stb No
227 Tahun 1927 dengan sebutan Rechtrglement voor de Buitengewesten disingkat RBg.
Ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam Inlandsch Reglement untuk
golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuanketentuan
hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku di kalangan mereka sebelumnya. Dengan
terbentuknya RBg ini maka di Hindia Belanda terdapat tiga macam reglemen hukum acara
untuk pemeriksaaan perkara di muka pengadilan gubernemen pada tingkat pertama, yaitu :
2
Laila M. Rasyid, Herinawati, op.cit., hlm. 12.
3
1. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (BRv) untuk golongan Eropa yang
berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie Gerecht.
2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing
di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
3. Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan Bumiputera dan
Timur Asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang) yang berperkara di muka
Landraad.3
Pada zaman pendudukan Jepang, setelah penyerahan kekuasaan oleh pemerintah Belanda
kepada balatentara Dai Nippon pada bulan Maret 1942, maka pada tanggal 7 Maret 1942 untuk
daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang No
1 Tahun 1942. Dalam pasal 3 ditentukan : “semua badan pemerintah dan kekuasannya, undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah militer”
Berdasarkan undang-undang ini, maka peraturan hukum acara perdata untuk Jawa dan
Madura masih tetap berlaku HIR. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura badan kekuasaan
balatentara Dai Nippon juga mengeluarkan peraturan yang sama seperti di Jawa dan Madura.
Dengan demikian hukum acara perdata untuk luar Jawa dan Madura masih tetap berlaku RBg.
Pada bulan April 1942 pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan.
Dengan demikian BRv, sebagai hukum acara yang diperuntukkan bagi golongan Eropa
tidak berlaku lagi, ketentuan hukum acara perdata yang masih berlaku untuk pemeriksaan
perkara perdata di muka pengadilan negeri adalah HIR untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk
daerah di luar Jawa dan Madura. Sedangkan bagi semua mereka yang hukum materialnnya
termuat dalam BW dan WvK masih dapat mengikuti ketentuan BRv, sepanjang itu dibutuhkan
karena tidak diatur dalam HIR dan RBg.
3
Laila M. Rasyid, Herinawati, op.cit., hlm. 14.
4
Perkembangan peraturan hukum acara setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih
memakai ketentuan pada masa pemerintahan balatentara Dai Nippon yang didasarkan atas
Ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan Pasal IV Undang-undang Dasar 1945 tanggal 18
Agustus 1945 Juncto Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945.
Sumber Hukum Acara Perdata adalah tempat dimana dapat ditemukan peraturan hukum
acara perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu;
HIR ( Het Herziene Indonesich Reglement) merupakan Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada zaman Belanda untuk daerah Pulau Jawa dan Madura. Sesuai ketentuan yang
diatur dalam Bab. IX Pasal 115-245 serta Pasal 372-394 HIR. Setelah dihapusnya Pengadilan
Kabupaten melalui Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 maka Pasal 115 – 117 dalam
HIR tidak berlaku lagi serta dengan pembentukan Undang-undang No. 20 Tahun 1947 Tentang
Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura maka peraturan yang mengatur tentang banding dalam
Pasal 188-194 HIR, juga tidak berlaku lagi;4
RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa
dan Madura. RBg ini, diatur di dalam lima bab dan tujuh ratus dua puluh tiga pasal yang
mengatur tentang pengadilan pada umumnya. Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat
di dalam Bab II Title I,II,III,VI dan VII tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang
adalah Title IV dan V tentang Landraad (sekarang Pengadilan Negeri)
Sesuai ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Hukum
Acara Perdata di Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang-
undang Darurat tersebut. Yang dimaksud Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tersebut
adalah Het Herziene Indonesich Reglement(HIR) untuk daerah Jawa dan Madura dan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura. Berikut Surat
4
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Jakarta: Premadamedia Group, 2018, hlm. 3-4.
5
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 19 Tahun 1964 dan SEMA No. 3 Tahun 1965
menegaskan berlakunya HIR, RBg dan RO (Reglement tentang Organisasi Kehakiman S. 1847
No. 23 dan BW Buku IV sebagai sumber daripada Hukum Acara Perdata serta selebihnya
tersebar di dalam BW. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
merupakan koodifikasi hukum perdata materiil namun juga mengatur tentang Hukum Acara
Perdata terutama terkait Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (Pasal 1865-1993), selain
itu juga terdapat di dalam pasal Buku I yang terkait dengan tempat tinggal atau domisili (Pasal
17-25) serta beberapa pasal di dalam Buku II dan Bukum III (Pasal; 533, 535 dan Pasal 1365).5
Ordonansi tahun 1867 Nomor 29 memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang
kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (bumiputra)
atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal Ordonansi diambil alih didalam
penyusunan Rechtsreglement voor deBuitengewesten (RBg).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura
yang berlaku sejak 24 Juni 1947, maka dengan adanya undang-undang ini, peraturan mengenai
banding dalam HIR Pasal 188-194 tidak berlaku lagi.
5
Zainal Asikin, op.cit,. hlm. 4-5.
6
8. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951;
7
c. Bagian Ketiga Pasal 56-65 Tentang Pemeriksaan sengketa perihal kewenangan
mengadili
d. Bagian Keempat Pasal 66-77 Tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
e. Bagian Kelima Pasal 78 Tentang Pemeriksaan sengketa yang timbul karena
perampasan kapal.6
14. Yurisprudensi;
Untuk mengisi kekosongan hukum dan ketidaksempurnaan atas banyak hal yang terkait
dengan Hukum Acara Perdata di Indonesia peninggalan zaman Hindia belanda, maka menurut
S.J.F Andreae dalam rechtgeleerdhandwoordenboek, Yurisprudensi dapat berarti peradilan
umum dan ajaran hukum yang dicipkatan serta dipertahankan oleh peradilan.
6
Zainal Asikin, op.cit,. hlm. 6-7.
8
16. Adat Kebiasaan
Menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa kebiasaan yang dianut oleh para
hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, juga sebagai sumber hukum acara.
Dalam hal ini untuk menjamin ditegakkannya hukum perdata materiil. Adat kebiasaan hakim
yang tidak tertulis ini, dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, dapat menjadi salah satu
sumber hukum acara demi menjamin kepastian hukum.
17. Doktrin
Doktrin merupakan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Pendapat para sarjana
hukum terkemuka ini menjadi sumber hukum karena adanya pendapat umum yang menyatakan
bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (pendapat umum
para sarjana). Dengan demikian, doktrin mempunyai kekuatan mengikat namun bukan hukum
( boleh diterima boleh juga tidak).
7
Zainal Asikin, op.cit,. hlm. 9.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, maka
sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku hingga sekarang
belumlah terhimpun dalam sebuah kodifikasi. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) serta yang lainnya merupakan peninggalan
dari kolonial Belanda. Namun seiring berjalannya waktu akan menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat yang di Indonesia.
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata bisa di bilang sudah banyak juga yang di atur
dengan maupun dalam undang-undang maupun peraturan lain yang ada di Indonesia.
10
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
M. Rasyid, Laila, Herinawati. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal Press, 2015.
https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/HKUM4405-M1.pdf
11