Anda di halaman 1dari 27

ASAS HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA

USAHA NEGARA
Dosen pengampu : Saiful Anshori,S.H.I, M.H.

DISUSUN OLEH :
1. Zulfikri (2283130084)
2. Gani Arifuddin Gymnastiar (2283130100)
3. Ghina Azellia Zahra (2283130104)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN HUKUM TATANEGARA
TAHUN 2023/1444 H

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-nya,
kudrah dan iradah nya serta kekuatan dan Kesehatan, dan ilmu pengetahuan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah
dan limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan sampai zaman yang terang benderang dan dari zaman kebodohan
sampai zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan, juga kepada keluarga serta para
sahabat-sahabat beliau.
Kami sebagai penyusun makalah sangat menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan baik itu dari penyusunan maupun tata Bahasa penyampaian dalam makalah
ini. Oleh karena itu kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari para
pembaca agar kami dapat memperbaiki isi makalah ini. Kami berharap semoga karya
ilmiah yang kami susun ini dapat memberikan manfaat dan nuga inspirasi bagi para
pembaca.

Cirebon, 22 Maret 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI
MAKALAH ......................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................4
A. Latar Belakang ................................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 4
C. Tujuan penulisan................................................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 6
A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA USAHA
NEGARA ................................................................................................................................................... 6
B. SEJARAH ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA ........ 9
C. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA
USAHA NEGARA ..................................................................................................................................14
D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA,PIDANA,DAN PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA .................................................................................................................................................17
BAB III PENUTUP....................................................................................................................................26
A. KESIMPULAN................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Acara Perdata bisa disebut juga dengan Hukum acara perdata formil. Sebutan
Hukum Acara Perdata lebih lazim dipakai daripada Hukum perdata formil. Hukum acara
perdata atau hukum perdata formil merupakan bagian dari hukum perdata. Karena, disamping
hukum acara perdata formil juga ada hukum perdata materiil. Hukum perdata materiil ini
lazim nya disebut hukum perdata saja. Yang dimaksud dengan hukum perdata formil atau
hukum acara perdata adalah peraturan perundang undangan yang mengatur tentang pelaksaan
sanksi hukuman terhadap para pelanggar hak-hak keperdataan sesuai hukum materiil
mengandung sanksi yang sifatnya memaksa.

Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan diadakannya Hukum Pidana, oleh karena
itu, Hukum Acara Pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan Hukum Pidana.

Peradilan tata usaha negara (PTUN) merupakan salah satu Lembaga peradilan di Indonesia
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA). Yang mengurus sengketa yang terjadi pada
pelaksanaan administrsi negaara atau tata usaha negara/ sama seperti beberapa Lembaga
peradilan lainnya, PTUN saat ini sudah mulai menerapkan system informasi dalam
melaksanaaan aktifitas instansi nya. Sala satu dari system informasi yang telah diterapkan di
PTUN adalah system informasi administrasi perkara pengadilan tata usahaa negara (SIAD-
PTUN). Aplikasi ini merupakan aplikasi yang dapat membantu pengguna dalam mengolah
data administrasi perkara. Data administrasi yang dimaksud adalah data gugatan dan data
persidangan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha Negara?
2. Bagaimana sejarah hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha Negara?

4
3. Apa saja sumber-sumber hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha
Negara?
4. Apa saja asas-asas hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha Negara?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha
negara.
2. Untuk mengetahui sejarah hukum acara perdataa, pidana, dan pengadilan tata usaha
negara.
3. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata
usaha Negara.
4. Untuk mengetahui asas-asas hukum acara perdata, pidana, dan pengadilan tata usaha
negara.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA


USAHA NEGARA
a) Hukum acara perdata
Hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara
mempertahankan dan memelihara hukum perdata materiil. Adapun pengertian hukum
acara perdata menurut para ahli :

1. Wirjono Prodjodikoro
Hukum acara perdata merupakan suatu peraturan yang mengatur bagaimana cara untuk
mengajukan suatu perkara perdata ke pengadilan dan juga mengatur bagaimana cara
hakim perdata memberikan putusan kepada subjek hukum.
2. Tirramidjaja
Hukum acara perdata adalah rangkaian pengaturan yang memuat cara bagaimanaa orang
harus bertindak dihadaapan pengadilan dan cara bagaaimana pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau peraturan
hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksaan hukum perdata
materiil.
4. R. Subekti
Hukum acara perdata adalah mengabdi pada hukum materiil, setiap perkembangan tiap
perkembangan dalam hukum materiil itu, sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian
hukum acaranya.
b) Hukum Acara Pidana

Istilah lain yang banyak dikenal di Indonesia adalah “Hukum Pidana Formiil” dengan
maksud untuk membedakan dengan “Hukum Pidana Materiil”. Hukum pidana materiil
mengatur segala hal yang mengenai syarat syarat dapat dipidana nya suatu perbuatan,
sedangkan hukum pidana formil mengatur mengenai bagaimana negara melalui

6
perangkat-perangkat nya melaksnakan haknya untuk memidanakan dan menjatuhkan
pidana.

Pengertian hukum acara pidana tidak didefinisikan langsung dalam


KUHAP,melainkan hanya bagian-bagian nya saja, seperti penyidikan, penuntutan,
mengadili, pra peradilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan,
penangkapan, penahanan, dan lain lain nya. Adapun menurut para sarjana hukum
mengemukakan pengertian hukum acara pidana sebagai berikut:

1. Van Bemmelen
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh
negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut
a. Negara melalui alat alatnya menyidik kebenaran.
b. Sebisa mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
c. Mengambil Tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap pembuat dan bila
perlu menahannya.
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke hadapan
hakim tersebut.
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatn pidana atau
Tindakan tata tertib.
f. Upaya hukum untuk melawan kepiutusan tersebut.
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tata tertib.
2. R. Soesilo
Hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan peraturan hukum yang memuat
ketentuan ketentuan mengatur soal-soal, sebagai berikut :
a. Cara bagaimana harus mengambil Tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan,
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-
kebenaran tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan.
b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan
bagaimana harus mencari, menyelidik, dan menyidik orang orang yang disbutir

7
bersalah dalam tindak pidana, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang
tersebut.
c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah
badan, dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu, untuk
membuktikan kesalahan tersangka.
d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam siding pengadilan terhadap terdakwa oleh
hakim sampai di jatuhkan pidana.
e. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan tindak pidan aitu harus
dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan : yang
mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan
hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara
bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
3. J. C. T. Simorangkir,
Hukum acara pidana adalah hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan
hukum pidana materiil.
4. Wirjono Prodjodikoro
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu
merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan
pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
5. Bambang Poernomo
Hukum acara pidana ialah pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk
dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara
pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana.
c) Pengadilan Tata Usaha Negara

Adapun pengertian pengadilan tata usaha negara menurut para ahli adalah

1. De La Bassecour Caan
Hukum tata usaha negara adalah himpunan peraturan peraturan tertentu yang menjadi
sebab maka negara berfungsi, peraturan peraturan itu mengatuur hubungan antara tiap
tiap warga negara dengan pemerintahnya.

8
2. E. Utrecht
Hukum tata usaha negara adalah kaidah kaidah yang membimbing turut serta
pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomi itu adalah kaidah kaidah hukum,
yaitu kaidah kaidah yang oleh pemerintah sendiri diberi sanksi dlam hal pelanggaran.
Kaidah kaidah tersebut mengatur perhubungan antara alat alat pemerintah dengan
individu dalam masyarakat.
B. SEJARAH ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN TATA USAHA
NEGARA
a) Acara Hukum Perdata

Hukum private atau hukum perdata di eropa barat dibagi dalam hukum perdata dan
hukum dagang. Di Indonesia pembagian seperti ini juga dikenal dalam pembagian hukum
perdata dan hukum dagang. Dari sejarahnya diketahui bahwa hukum perdata eropa ini bagian
terbesar berasal dari Perancis yang dikodifikasi pada tanggal 21 Maret 1804. Sebelum
kodifikasi tersebut di negeri perancis tidak ada kesatuan hukum.

Wilayah negeri Perancis terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan tengah yang
merupakan daerah hukum local (pays de et coutumier) dan bagian selatan yang merupakan
daerah hukum romawi (Pays de droit et etcrich) hukum yang berlaku dibagian utara dan
bagian tengah itu terutama huum kebiasaan Perancis kuno yang tumbuh sebagai hukum local
dan berasal dari hukum Germania yang berlaku di wilayah negeri negeri Germania Perancis
pada waktu sebelum resepsi hukum romawi disitu. Tetapi disamping hukum kebiasaan
Perancis yang kuno itu, yang tumbuh sebagai hukum local, berlaku juga hukum romawi yang
berpengaruh besar. Hukum yang berlaku di bagian selatan ialah terutama hukum romawi yang
telah mengalami kodifikasi dalam “corpus luris civilis” dari justinianus. Tetapi huku romawi
ini tidak berhasil melenyapkan hukum local. Mengenai perkawinan maka diseluruh wilayah
negeri Perancis berlaku hukum kanonik, yaitu hukum yang ditetapkan gereja katolik roma.
Disamping bermacam macam peraturan hukum itu berlaku juga peraturan peraturan yang
dibuat oleh pengadilan Perancis.

Pada bagian kedua abad ke-17 di negeri Prancis telah timbul aliran-aliran yang
menciptakan suatu kodifikasi hukum yang akan berlaku di negara tersebut agar diperoleh

9
kesatuan dalam hukum Perancis. pada akhir abad ke-17 dan pada bagian pertama abad ke-18
dibuat

Oleh Raja Perancis beberapa peraturan perundang-undangan umum yang memuat


kodifikasi beberapa bagian hukum Prancis pada waktu itu. antara peraturan-peraturan tersebut
ada 3 yang menjadi penting sebagai sumber hukum historis untuk mempelajari sejarah hukum
perdata Eropa: yang mengatur soal-soal mengenai pemberian, Yang mengatur soal-soal
mengenai testamen. tiga ordordonansi ini terkenal dengan nama ordonansi ordonansi
daguissau (kanselir raja Louise XV).

Kodifikasi hukum perdata Perancis baru dijadikan pada waktu sesudah Revolusi Perancis
. pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas
membuat rencana kodifikasi. panitia itu terdiri atas empat anggota yaitu: Portalis, Tronchet,
Bigot The Preameneu, dan Mallevill’e. Yang menjadi sumber kodifikasi hukum itu: hukum
Romawi menurut peradilan Prancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Potheir dan
Domat, hukum kebiasaan daerah Prancis peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah
kami sebut Dan hukum yang dibuat pada waktu Revolusi Perancis Kodifikasi hukum perdata
itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804. pada tahun 1807 maka kodifikasi hukum perdata itu
bernama code Civil Des Prancis “Diundangkan lagi dengan nama “code napoleon”Motor itu
sekarang masih berlaku di negeri Perancis, yaitu Code Civil Prancis. pada tahun 1807 juga
diadakan kodifikasi hukum dagang dan hukum pidana .

Dari tahun 1811sampai tahun 1838, code Napoleon ini, seperti code Prancis lain berlaku
juga di negeri Belanda sebagai kitab undang-undang hukum resmi setelah akhirnya
pendudukan Perancis di negeri Belanda Pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal kodifikasi
undang-undang dasar negara Belanda dari tahun 1814 dibentuk suatu panitia yang bertugas
membuat rencana kodifikasi hukum Belanda. Panitia ini diketuai oleh mr.j.m Camper (tahun
1776, tahun 1824) yang menjadi sumber kodifikasi hukum perdata Belanda ialah: untuk
bagian terbesarnya “code Napoleon” dan untuk bagian kecilnya hukum Belanda yang kuno.

Pada tahun 1816 oleh Camper disampaikan kepada raja Belanda suatu rencana kondifikasi
hukum perdata tetapi rencana tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia -
pada waktu itu negara Belanda dan Belgia bersatu sehingga menjadi satu negara - karena
rencana itu oleh Camper didasarkan atas hukum Belanda yang kuno Sedangkan para ahli

10
hukum atau bangsa Belgia hendak menurut “Code Napoleon”. setelah mendapat perubahan
sedikit maka rencana itu disampaikan kepada parlemen Belanda pada tanggal 22 November
1820 rencana tersebut terkenal dengan nama “Ontwerp Camper” rencana Camper. dikatakan,
setelah mendapat perubahan sedikit “karena bagian terbesar dari rencana itu masih tetap
didasarkan atas hukum Belanda yang kuno”.

Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara negeri Belanda dan Belgia
pada tahun 1830 maka kodifikasi hukum perdata Belanda itu baru dapat diselesaikan pada
tahun 1838. Pada tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda lain yaitu
di samping kitab undang-undang hukum perdata Belanda diadakan juga kitab undang-undang
hukum dagang Belanda peraturan susunan pengadilan Belanda (RO), kitab undang-undang
hukum acara privat Belanda. “Algemena Bepalingen Van Wetgeving” Belanda “AB
Belanda”.

b) Acara Hukum Pidana

Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat
Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan.
Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia,
adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup
dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa
penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia,
dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak
termasuk dalam lapangan hukum pidana.

Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1


ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku
dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire
strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi
dalam lapangan hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan
diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor
nederlansch indie (wetboek voor de europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal
Perancis yang sedang berlaku di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van

11
Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku
sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia.

Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan Pasal II


Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana
yang berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946
diberlakukan juga untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang
ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain dalam
Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Prp
Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp.
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan KetentuanKetentuan Mengenai
Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.

c) Pengadilan Tata Usaha Negara

Cita cita terbentuknya undang undang peradilan tata usaha negara sudah dimulai sejak
lahirnya uud 1945, hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 24 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukanoleh suatu mahkamah agung dan lain lain badan kehakiman
menurut undang undang. Susunan dan badan kehakiman diatur dengan undang undang.

Peradilan tata usaha negara sebagai peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai di
sahkan nya undang undang no.5 tahun 1986 pada tanggal 29 desember1986, dalam
konsideran “menimbang” undang undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya peradilan tata usaha negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin
kehidupan keluarga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang
serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang tata usaha negara dan para warga

12
masyarakat. Dengan demikian, lahirnya PERATUN yang menjadi bukti bahwa Indonesia
adalah negara hukum, yang menjunjung tinggi nilai nilai keadilan. Kepastian hukum hak asasi
manusia (Ham). Sebagai negara yang demokratis Indonesia memiliki system ketatanegaraan
dengan memiliki Lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif. Dari ketiga Lembaga tersebut
eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan
Lembaga lainnya, oleh karena perlu ada control terhadap pemerintah untuk adanya check and
balances. Salah satu bentuk control yudisial atas Tindakan administrasi pemerintah adalah
melalui Lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka peradilan tata usaha negara
(PERATUN) dibentuk dengan undang undang no.5 tahun 1986. Yang kemudian dengan
adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan uu no 9 tahu 2004 tentang
perubahan uu no.5 tahun 1986.

Perubahan yang mendasar dari uu no.5 tahun 1986 adalah dengan dihilangkan nya
wewenang pemerintah. Department kehakiman sebagai Pembina organisasi, administrasi, dan
keuangan serta di hilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
umum bagi hukum Peratun. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi Lembaga
peratun. Disamping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi
administrative serta publikasi terhadap badan atau pejabat TUN (tergugat) yang tidak mau
melaksanakan putusan peratun, menjadikan peratun yang selama ini dinilai sebagi masyarakat
sebagai “Macan Ompong”kini telah menunjukan giginya.

Sejak dimulai operasikan Peratun pada tanggal 14 januari 1991 berdasarkan peraturan
pemerintah no.7 tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya 3 pengadilan
tinngi tata usaha negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, kemudian
berkembang dengan didirikannya pengadilan tata usaha negara (PTUN) diseluruh ibukota
provinsi sebagai pengadilan tingkat utama. Hingga saat ini eksistensi dan peratun sebagai
suatu Lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa,
mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dan pihak
pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi
dan sumbangsih didalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta
menciptakan perilaku aparatur yang bersih dan taat hukum serta sadar atas tugas dan
fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.

13
C. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
a. Hukum Acara Perdata

Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum
perdata ditemukan. Asal mula merujuk pada sejarah kepadaa sejarah asal dan pembentuknya
sedangkan “Tempat” menunjukan kepada rumusan rumusan tersebut dimuat, ditemukan dan
dapat dibaca. Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Sumber hukum materiil

Sumber hukum materiil adalah tempat darimana hukum itu diambil. Sumber dalam arti
materiil adalah sumber dalam arti tempat.

2. Sumber hukum formal

Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan
dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.

Volmar membagi sumber hukum perdata menjadi 4 macam yaitu: KUH perdata. Traktat
yurispudensi dan kebiasaan.

Dari keempat sumber tersebut diagi lagi menjadi dua macam yaitu, sumber hukum perdata
tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis.sumber hukum perdata tertulis, yaitu
tempat ditemukannya kaidah kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber hukum
tetrulis.sumber hukum perdata tidak tertulisa adalah tempat ditemukannya kaidah hukum
perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti dalam hukum kebiasaan.

Secara khusu sumber hukum perdata Indonesia tertulis, yaitu :

1. Algemene Bepalingen Van Wetgeving (AB)


2. KUH perdata atau BW merupakan, ketentuan hukum produk Hindia Belanda yang
diundangkan tahun 1848 diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi .
3. KUHD atau Wetboek van koonvandehel (WVK)
4. Undang undang no.5 tahun 1960 tentang pokok pokok agrarian.

14
5. Undang undang no.1 tahun 1974tentang ketentuan ketentuan pokok perkawinan, dan
ketentuan ketentuan yang tercantum dalam buku 1 KUH perdata, khususnya mengenai
perkawinan tidak berlaku secara penuh
6. Undang undang no.4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda
benda yang berkaitan dengan tanah.
7. Undang undan no.42 tahun 1999 tentang jaminan vidusia
8. Undan undan no.24 tahuun 2004 tentang Lembaga jaminan simpanan (LPS) untuk
mengatur hubungan public dan mengatur hubungan hukum perdata
9. Intruksi presiden no.1 tahun 1991 teentang kompilasi hukum islam (KHI), yang
mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum pewarisan, dan hukum
perwakafan.
b. Hukum Acara Pidana

Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dari “Hukum Pidana tertulis dan hukum
pidana tidak tertulis”.

1. Hukum pidana tertulis sebagai induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah
KUHP. Nama aslinya adalah “Wetboek Van Stravecht Voor Netherlands Indie”
(WvSMI atau WvS).
2. Hukum pidana tidak tertulis sumber hukum pidana tidak tertulis ini adalah hukum
pidana adat. Dasar hukum yang berlaku adalah berlakunya hukum pidana adat,
pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, adalah Indische Staat Reglin (I.S) pasal
131 Joalgemen Bepalinge Van Wetgeving (A.B).
c. Pengadilan Tata Usaha Negara

Hukum tata usaha negara juga mempunyai beberapa sumber hukum, dapat dibagi
menjadi dua yaitu :

1. Hukum tertulis
Berupa tiap peraturan perundang undangan dalam arti meteriil yang berisi
peraturan tentang wewenang badan atau jabatan TUN untuk melakukan Tindakan
Tindakan hukum TUN dan yang mengatur tentang kemungkinan untuk
mengganggu gugat Tindakan hukum TUN yang bersangkutan. Hukum tertulis
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

15
a) Peraturan perundang undangan yang bersifat umum yang berisi ketentuan
ketentuan yang mengatur tentang bentuk danisi Tindakan Tindakan hukum tata
usaha negara serta hubungan hubungan hukum yang dilahirkan pada
umumnya.
b) Peraturan perundang undangan yang bersifat khusus yang memberikan
wewenang wewenang kepada para badan atau pejabat tata usaha negara untuk
melakukan Tindakan hukum tata usaha negara dalam mengurus atau mengatur
suatu bidang kehidupan dalam kehidupan masyarakat.

2. Hukum tidak tertulis


Sumber hukum ini berkembang dalam teori hukum dan Yuris Prudensi
pemerintahan maupun peradilan. Sebelum dibentuknya peradilan tata usaha negara
di Indonesia, perkembangan dan penerepan asas asas tersebut sudah terjadi dalam
Yuris Prudensi hukum perdata, hal itu dikenal dengan adanya perbuatan perbuatan
penguasa yang dinyatakan sebagai upaya bersifat sewenang wenang, penyalah
gunaan wewenang, dilakukan dengan itikad buruk, melanggar norma kepatutan,
yang sekarang berkembang sebagai asas umum pemerintahan yang baik.

Sesungguhnya keberadaan tata usaha negara telah dikehendaki sejak jaman Hindia
Belanda yang dituangkan dalam ketentuan pasal 134 pasal (1) IS (ternyata
konkordan dengan gronwet di Netherland yaitu pasal 160 dan 161) dan pasal
20R.O (Regelement Of the Rechtelijke Hetbeleid Der Justiti) atau peraturan
susunan pengadilan dan kebijaksaan kehakiman (LNHB1847 NO.57), RO ini
merupakan peraturan jaman Hindia Belanda yang tidak dicabut dan tetap berlaku
berdasarkan peraturan peralihan pasal II undang undang dasar 1945 (berdasarkan
uud 1945 setelah amandemen adalah pasal 1).

16
D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA,PIDANA,DAN PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA
1) Asas Hukum Acara perdata
a) Hakim Bersifat Menunggu
Hakim bersİfat menunggu maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya
tuntutan hak diajukan kepadanya kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka
tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau
tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan (Pasal 1 18 HIR, 142 RBg.).
Asas dari hükum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu
inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka hakim tidak
bekerja atau hakim tidak ada. Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi (wo kein
klager ist,ist kein reicther,nemo judex sine actore).
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang
hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya "index ne procedal
ex officio". Hanya yang menyelenggarakan proses adalah Negara. Akan tetapi sekali
perkara diajukan kepadanya, pengadilan dilarang menolak unluk ınemeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkaıl wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1)
UU No. 48 tahun 2009 tentsng kekuasaan kehakiman.
b) Hakim pasif
Asas hukum acara perdata yang kedua yaitu hakim dalam memeriksa suatu
perkara bersikap pasif. Artinya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada hakim ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim.
Dengan kata lain, penggugat menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan,
seberapa luas (besar) tuntutan, juga tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu
perkara akan dilanjutkan atau dihentikan, misalnya lewat perdamaian atau gugatan
dicabut. Semua tergantung para pihak, bukan pada hakim.

17
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan menilai siapa di antara para
pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan mana yang benar dari dalil
yang dikemukakan tersebut.
c) Hakim Aktif
Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, dalam artian untuk
memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari
kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Hakim wajib mengadili
seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3)
HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.
Adapun asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut dengan
verhandlungsmaxime. Meskipun hakim bersifat pasif (tidak menentukan luasnya pokok
perkara), bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai pimpinan sidang, hakim
harus aktif memimpin jalannya persidangan, menentukan pemanggilan, menetapkan
hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila perlu), serta
memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan.
d) Sidang pengadilan terbuka untuk umum
Asas hukum acara perdata yang keempat adalah sidang perkara perdata di
pengadilan terbuka untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan
mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini secara tegas dituangkan
dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU 48/2009:
1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain.
2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, mengakibatkan putusan batal demi
hukum.

Dalam praktiknya, meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk


umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan
terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah.

18
Namun, dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinaan, sering kali
persidangan dilakukan secara tertutup. Tetapi pada awalnya, persidangan harus tetap
dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.

e) Mendengar Kedua Belah Pihak

Asas hukum acara perdata yang kelima adalah kedua belah pihak harus
diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Asas acara perdata
bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram
partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide.

Asas hukum acara perdata yang satu ini mengartikan hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak
didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

f) Putusan Harus Disertai Alasan

Semua putusan hakim (pengadilan) pada asas hukum acara perdata harus
memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini
merupakan argumentasi sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para
pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai
objektif. Karena alasan-alasan tersebut, putusan hakim (pengadilan) mempunyai
wibawa.

Sering kali, alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan didukung


yurisprudensi dan doktrin. Ini tidak berarti hakim terikat pada putusan hakim
sebelumnya, tapi hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.

Asas the binding force of precedent tidak dianut di Indonesia, namun terikatnya
atau berkiblatnya hakim terhadap yurisprudensi ialah karena yakin bahwa putusan
mengenai perkara yang sejenis memang sudah tepat dan meyakinkan.

g) Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya

19
Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Larangan ini karena anggapan hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Jika
dalam suatu perkara, hakim tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

h) Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan

Selain asas hukum acara perdata bahwa hakim harus menunjuk dasar hukum
dalam putusan, hakim harus memutus semua tuntutan penggugat. Hakim tidak boleh
memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut.

Ini dikenal dengan iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur adalah
hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang
didasarkan kepadanya. Misalnya penggugat mengajukan tuntutan agar tergugat
dihukum mengembalikan utangnya, tergugat dihukum membayar ganti rugi, dan
tergugat dihukum membayar bunga. Maka, tidak ada satu pun dari tuntutan tersebut
yang boleh diabaikan hakim.

i) Beracara Dikenakan Biaya

Asas hukum acara perdata selanjutnya adalah seseorang yang akan beperkara
dikenakan biaya perkara. Biaya perkara tersebut meliputi biaya kepaniteraan, biaya
panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya meterai.

Namun, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari
membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang
dibuat oleh pejabat setempat.

j) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

Tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain
(kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat terjadi langsung

20
pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara. Adapun beperkara di pengadilan
tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya.

Namun, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila
dikehendaki. Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di
pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu pihak yang
bersangkutan.

2.Asas hukum acara pidana


a) Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Sejak adanya HIR, asas ini sudah tersirat dengan kata-kata yang lebih tegas
daripada yang dipakai di Dalam KUHAP. Untuk menunjukkan sistem peradilan cepat,
banyak ketentuan di dalam KUHAP yang memakai istilah “segera”, sementara di
dalam HIR
kalimat yang digunakan lebih jelas, misalnya Dalam Pasal 71 HIR dikatakan bahwa
jika hulp magistraat melakukan penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh
empat jam memberitahu jaksa. Tentulah frasa “satu kali dua puluh empat jam” lebih
pasti dari kata “segera” yang banyak digunakan dalam KUHAP untuk mewujudkan
asas peradilan cepat24.
Dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa: “Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana
dan biaya ringan”. Kata “sederhana” di sini maksudnya adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. “Biaya ringan”
artinya adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh setiap kalangan masyarakat.
Dan “cepat” dapat diartikan dengan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan dalam
proses penanganan perkara, terutama untuk menghindari proses penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim, hal tersebut merupakan salah satu upaya terhadap
perwujudan hak asasi manusia.
b) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang
berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau

21
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap”. Makna dari asas praduga tidak bersalah ini adalah bahwa dalam setiap proses
pelaksanaan acara pidana, tersangka atau terdakwa wajib harus diperlakukan
sebagaimana orang yang tidak bersalah dan aparat penegak hukum wajib untuk
memerhatikan dan memenuhi hak-haknya selama proses hukum berlangsung.
c) Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Pasal 153 ayat (3): “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
2. Pasal 153 ayat (4): “tidak dipenuhiinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.
Asas ini bermakna bahwa masyarakat umum dapat memantau setiap
proses persidangan sehingga akuntabilitas putusan hakim dapat
dipertanggungjawabkan dan juga menghindarinya adanya kecurangan-kecurangan yang
mungkin saja terjadi terjadi dalam proses hukum pada perkara-perkara pidana tertentu.
d) Asas Persamaan Dihadapan Hukum (Equality Before the Law)
Asas ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”. Asas ini juga menjadi motto Persatuan Jaksa dalam bahasa Sanskerta
“tan hana dharma manrua”. Makna dari asas ini adalah setiap orang dari golongan
apapun mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum tanpa
membeda-bedakan status sosial, ras, agama dan suku.
e) Asas Oportunitas
Asas oportunitas merupakan wewenang untuk melakukan penuntutan yang hanya
dimiliki oleh penuntut umum. Di Indonesia, asas ini merupakan kewenangan dari Jaksa
sebagai badan khusus yang berwenang berdasarkan undang-undang untuk melakukan

22
penuntutan perkara pidana terhadap tersangka dan/atau terdakwa. Bisa dikatakan
bahwa Jaksa memiliki peran dominan (dominus litis) pada penuntutan perkara pidana
dalam proses hukum acara pidana.
A.Z. Abidin Farid26 merumuskan tentang asas oportunitas sebagai berikut:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut
atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum”.
Tidak semua negara memberlakukan asas oportunitas sama dengan di Indonesia. Pada
hukum acara pidana di Inggris, RRC dan Muangthai, hak penuntutan pidana berada di
tangan setiap orang. Terutama bagi orang yang dirugikan oleh delik itu. Di Muangthai
orang biasa atau yang dirugikan dapat melakukan penuntutan pidana dan dapat juga
bekerja sama dengan penuntut umum (joint prosecutors)27.
f) Asas Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 diatur tentang kebebasan untuk memperoleh
bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa, antara lain:
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan;
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat
pemeriksaan pada setiap waktu;
4. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka didengar oleh penyidik dan
penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara;
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna
kepentingan pembelaan;
6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.
g) Asas Akusator dan Inkuisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)
Penerapan asas ini membuktikan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator, yaitu
adanya kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum bagi setiap orang yang
berhadapan dengan hukum. Asas inkuisitor artinya tersangka dipandang sebagai objek
pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR dalam pemeriksaan pendahuluan. Asas
inkuisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat
bukti terpenting dalam pemeriksaan perkara pidana, sehingga penegak hukum

23
berusaha untuk mendapatkan keterangan-keterangan tersangka dengan berbagai cara,
bahkan dengan kekerasan. Akan tetapi, lama-kelamaan sesuai dengan perkembangan
hak-hak asasi manusia asas ikuisitor ini mulai ditinggalkan oleh banyak negara yang
menjunjung tinggi HAM 28 . Seiring dengan itu, sistem pembuktikan yang
menggunakan alat bukti pengakuan berganti dengan “keterangan terdakwa” dengan
penambahan alat bukti berupa keterangan ahli, dan tentunya dilakukan dengan cara
yang lebih manusia dan bermartabat.
h) Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Ketentuan mengenai asas ini diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHAP, dimana
dalam hal pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Yang dianggap pengecualian dari
asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu
putusan verstek atau in absentia, contohnya dalam pemeriksaan perkara pelanggaran
lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP). Dalam hukum acara pidana khusus seperti pada
tindak pidana ekonomi dan korupsi juga dikenal pemeriksaan pengadilan
secara in absentia29.
3. Asas Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara
a) asas praduga rechtmatig yang mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa
selalu harus dianggap benar rechtmatig sampai ada pembatalan nya dengan asas ini
gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang digugat.
b) asas pembuktian bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5/1986,
kemudian dibatasi dengan ketentuan pada pasal 100 UU No 5/1986.
c) asas keaktifan Hakim (dominus litis), keaktifan Hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah
badan atau pejabat tata usaha negara yang menguasai Peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar dikeluarkan keputusan
yang digugat. Sedangkan pihak penggugat adalah orang per orang atau badan
hukum perdata yang dalam posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui
betul peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya
keputusan yang digugat.

24
d) Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes).
sengketa TUN adalah sangketa di ranah hukum public. Di mana akibat hukum
yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan
asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja.

25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas hukum merupakan unsur yang sangat penting dalam pembentukan peraturan hukum.
Di dalam pembentukan kehidupan bersama yang baik, dituntut pertimbangan tentang asas
atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup
bersama. Dengan demikian asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum. karena itu bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum. Dikatakan
demikian karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum.

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Atau lebih ringkasnya, asas hukum
merupakan latar belakang dari terbentuknya suatu hukum konkrit.

26
DAFTAR PUSTAKA
Dr Herlina Manullang SH, MHum. (2019) PENGANTAR ILMU HUKUM INDONESIA. Medan,
Bina Media Perintis.
https://bantuanhukum-sbm.com/artikel-sejarah-hukum-pidana-indonesia
DR. HJ. Jum S.H., M.H,. (2012) Jakarta. HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Putra, G. (2021). Asas Hukum Acara Pada Umumnya.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/asas-hukum-acara-perdata-lt62ac05c59f6cb/

Yetisma Saini,Febrina Annisa.(2022). HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA.

Darda Syahrizal, S. H. (2013). Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara.
MediaPressindo.

27

Anda mungkin juga menyukai