Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Hukum Acara Perdata


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata
Dosen Pengampu: Lisa Aminatul Mukaromah, M.S.I

Di Susun Oleh :
1. M Asrof Maulana (20040889)
2. Lilik Mardiyah (20040890)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, dan hidayahnya sehingga
penulisan makalah “Pengantar Hukum Acara Perdata”, dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Hukum Acara Perdata.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
yang terhormat:

1. M.Jauharul Ma’arif, M.Pd.I., Selaku rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri
Bojonegoro.
2. Agus Sholahuddin,.S.Pd.I., Selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas Nahdlatul Ulama
Sunan Giri Bojonegoro.
3. Lisa Aminatul Mukaromah,M.S.I Selaku Dosean pengampu mata kuliah yang selalu
mendukung Lembaga Keuangan Syariah kami sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah masih banyak kekurangan karena
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Untuk itu kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sangat diharapkan kami demi kesempurnaan laporan ini.

Demikian kata pengantar ini kami buat, semoga dapat bermanfaat khususnya bagi diri sendiri
pribadi kami dan pembaca bagi umumnya.

Bojonegoro,18 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Pengertian Hukum Acara Perdata ........................................................................... 3


B. Sejarah Hukum Acara Perdata ................................................................................ 4
C. Sumber Hukum Acara Perdata................................................................................ 8
D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata ........................................................................... 11
E. Perbedaan Hukum Acara Perdata Dan Hukum Acara Pidana……………………..16

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 18

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang, mempunyai


kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya
kepentingan mereka itu saling bertentangan, hal mana dapat menimbulkan suatu
sengketa. Untuk menghindarkan gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk
mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum,
yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan
hidup bermasyarakat. Dalam kaidah hukum yang ditentukan itu, setiap orang
diharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota
masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi, dan apabila kaidah hukum
tersebut dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau
hukuman. 1

Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu kesemuanya
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil.

Dalam menyelesaikan terkait perkara perdata, tugas hakim adalah melakukan


penyelidikan, apakah hubungan hukum yang telah dijadikan dasar gugatan benar-
benar ada atau tidak, karena itu hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa
yang terjadi melalui pembuktian. Dengan melakukan pembuktian agar dapat
memperoleh kebenatan dan bertujuan menetapkan hubungan hubungan antara
kedua belah pihak serta memutuskan putusan berdasarkan pembuktian.

1
M.Yahya Harahap ”Hukum Acara Perdat Idonesia”2016

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Hukum Acara Perdata?
2. Bagaimana Sejarah Hukum Acara Perdata?
3. Sebutkan Sumber Hukum Acara Perdata?
4. Sebutkan Asas-asas Hukum Acara Perdata?
5. Apa Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hukum Acara Perdata.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Acara Perdata.
3. Mengetahui Asas-Asas Hukum Acara Perdata.
4. Untuk Mengetahui Sumber Hukum Acara Perdata.
5. Untuk Mengetahui Perbedaan Hukum Acara Perdata Dengan Hukum
Acara Pidana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan
perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret
lagi, dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada
putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri
merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang
bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan
sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri
ini tidak dibenarkan jika kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak
kita.2Adapun definisi menurut para ahli sebagai berikut:

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian


peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.
2. R. Subekti berpendapat hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil,
maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiil itu
sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.
3. M.H Tirtaamidjaja mengatakan hukum acara perdata ialah suatu akibat yang
timbul dari hukum perdata materil.
4. Soepomo mengatakan dalam peradilan perdata tugas hakim ialah
mempertahankan tata hukum perdata (Burgelijke Rechtorde) menetapkan apa
yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.

2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 2

3
5. Soedikno Mertokusumo menuliskan hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Konkretnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutus dan pelaksanaan daripada
putusannya.
6. Menurut Abdul Kadir Muhammad hukum acara perdata ialah peraturan
hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim
(pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan
keputusan hakim.

Pasal 666 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


menentukan bahwa apabila dahan-dahan atau akar-akar sebatang pohon yang
tumbuh di pekarangan seseorang tumbuh menjalar atau masuk ke pekarangan
tetangganya, yang disebut terakhir ini dapat memotongnya menurut kehendaknya
sendiri setelah pemilik pohon menolak permintaan untuk memotongnya. Seakan-
akan ketentuan undang-undang ini membenarkan tindakan menghakimi sendiri.
Namun, meski di sini tidak ada persetujuan untuk melakukan pemotongan dahan-
dahan tersebut, setidaktidaknya yang bersangkutan telah minta izin sehingga
perbuatan itu dilakukan dengan pengetahuan pemilik pohon . Dengan adanya
peraturan hukum acara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali haknya yang
telah dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha menghindarkan
diri dari tindakan main hakim sendiri. Dengan lewat hakim, orang mendapat
kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya hak
sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, dan lain-lain. Dengan demikian,
diharapkan selalu ada ketenteraman dan suasana damai dalam hidup
bermasyarakat.

B. Sejarah Hukum Acara Perdata

1. Sejarah Singkat HIR


Ketentuan yang mengatur tentang Hukum Acara Perdata di lingkungan 1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty,
1993), hlm 2. 4 peradilan umum disebut Herziene Indonesich Reglement (HIR).

4
HIR mengatur acara di bidang perdata dan bidang pidana, serta berlakunya UU
No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP),
maka pasal-pasal yang semula mengatur hukum pidana dalam HIR tidak berlaku
lagi. Istilah semula Herziene Indonesisch Reglement yaitu Indonesich Reglement
yang berarti bumiputera yang dipelopori oleh MR HL Wichers, pada saat itu
presiden Hoogerechtshof yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia pada saat
zaman kolonial Belanda. Atas surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen pada
tanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr Wischers diberi tugas merancang sebuah
reglement atau peraturan yang mengenai administrasi polisi serta proses perdata
dan pidana bagi golongan bumiputera2 . Dalam kurun waktu satu tahun, Mr
Wichers berhasil mengajukan rencana peraturan acara perdata dan pidana terdiri
pasal 432 pasal. Reglement Indonesia ditetapkan pada tanggal 5 April 1848 dan
berlaku mulai tanggal 1 Mei 1848.
Dalam sejarah perkembangan selanjutnya selama hampir seratus tahun
semenjak berlakunya, Inlandsch Reglement ini ternyata telah mengalami beberapa
kali perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik
peradilan terhadap hal-hal yang belum diatur dalam reglemen itu. Dengan
demikian, ketentuan-ketentuan dalam Inlands Reglement itu hanya merupakan
sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis. Adapun
yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan itu sebenarnya adalah
bagian hukum acara pidananya. Karena itu, dipandang perlu untuk
mengundangkan kembali reglemen itu secara lengkap. Adapun kronologis dari
perubahan itu sebagai berikut.
a. Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926 setelah mengalami beberapa
kali perubahan perubahan dan penambahan maka Pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan kembali isi Inlandsch Reglement itu dengan Stb. 1926-559 jo
496.
b. Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun 1941 dilakukan
secara mendalam, terutama menyangkut acara pidananya. Karena itu,
dipandang perlu mengundangkan kembali isi Inlandsch Reglement secara
keseluruhan. Perubahan itu dilakukan dengan Stb.1941 -32 jo.98. Dalam Stb.
1941-32 ini, sebutan Inlandsch Reglement diganti dengan sebutan Het
Herziene Indonesisch Reglemen disingkat HIR.

5
c. Pengundangan secara keseluruhan isi Het Herziene Indonesisch Reglement itu
dilakukan dengan Stb. 1941-44. Setelah itu, tidak ada perubahan lagi yang
bersifat penyesuaian setelah Indonesia merdeka, yaitu dengan berlakunya
Undang-Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunankekuasaan, dan acara pengadilan sipil.
perubahan atau pembaruan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada
tahun 1941 sebenarnya hanya dilakukan terhadap ketentuan mengenai acara
pidananya, yaitu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum
(openbaar ministerie) yang berdiri sendiri. Maksudnya, anggota-anggotanya, para
jaksa, dan yang dahulunya ditempatkan di bawah pamong praja diubah menjadi di
bawah jaksa tinggi atau jaksa agung. Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama
sekali tidak mengenai acara perdata.3 Sebelum pembaruan tersebut dalam Inlandsc
Reglement, jaksa pada hakikatnya adalah bawahan dari assisten resident yang
adalah pamong praja4
2. Sejarah singkat RBg
Pada tahun 1927 gubernur jenderal Hindia Belanda telah mengumumkan
reglemen hukum acara perdata untuk daerah seberang dengan Stb. 1927-227
dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang disingkat RBg.
Dalam RBg telah terdapat ketentuanketentuan hukum acara perdata yang sudah
ada dalam Inlandsch Reglement yang sudah ada untuk golongan bumiputera dan
timur asing di Jawa dan Madura dan ditambah ketentuan yang telah berlaku
dikalangan mereka sebelumnya.
Pada zaman Hindia Belanda, pengadialn dibagi menjadi dua yaitu: perdilan
gubernemen dan peradilan pribumi. Peradilan gubernemen terletak di Jawa dan
Madura. Pada umumnya perdilan gubernemen untuk golongan Eropa berada
ditingkat peradilan pertama adalah Raad Van Justtitie sedangkan untuk golongan
bumiputera adalah Landraad. Dalam perkembangan selama hampir 100 tahun
sejak diberlakukannya Reglement ini, ternyata banyak sekali perubahan dan
penambahan yang disesuaikan peradilan mengenai hal-hal yang belum diatur
dalam Reglemen tersebut. Dengan itu ketentuan yang dalam Reglemen hanya
sebagai ketentuan Hukum Acara tidak tertulis.

3
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum (Pustaka Kartini, 1988), hlm. 14.
4
Subekti R. Hukum Acara Perdata (Bandung: Penerbit Binacipta, 1977), hlm. 9.

6
Dengan terbentuknya RBg, maka terdapat tiga macam reglemen hukum acara
di pengadialn gubernemen pada tingakt pertama:
a. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (BRv), untuk golongan eropa
yang berperkara di Raad van Justitie dan Residentie Gerecht
b. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan bumiputera dan timur
asing di Jawa dan Madura yang berperkara di landraad.
c. Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg), untuk golongan bumiputera
dan timur asing di luar Jawa dan Madura yang berperkara di landraad.

Pada zaman Jepang, setelah penyerahan kekuasaan pemerintah Belanda


kepada balatentara Dai Nippon pada bulan Maret 1942, maka pada tanggal 7
Maret 1942 ditujukan untuk daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara Dai
Nippon lalu mengeluarkan ketetapan UU No. 1 Tahun 1942 dalam pasal 3 sebagai
berikut: “Semua badan pemerintah dan kekuasaannya, Undang- undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah militer ”.

Berdasarkan UU tersebut, maka peraturan hukum acara perdata masih tetap


berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Sementara itu hukum acara perdata di luar
wilayah Jawa dan Madura masih tetapa berlaku RBg 5 .Pada bulan April 1942
pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan
dan kekuasaan pengadilan, yang berbunyi: “Untuk semua golongan penduduk
kecuali orang-orang bangsa Jepang hanya diadakan satu jenis pengadilan sebagai
pengadilan sehari-hari yaitu pengadilan negeri (Tihoo Hooin) untuk pemeriksaan
pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi (Kootoo Hooin) untuk pemeriksaan
pada tingkat kedua”.

Berdasarkan peraturan tersebut, golongan penduduk yang termasuk golongan


Eropa harus patuh pada satu jenis pengadilan tingkat pertama yaitu: Pengadilan
Negeri menggantikan Landraad, sedangkan Raad van Justitie dan Residente
Gerecht dihapuskan. Dan perkembangan peraturan Hukum Acara Perdata setelah
kemerdekaan masih menggunakan ketentuan pada masa pemerintahan balatentara
Dai Nippon yang didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan Psal IV

5
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975), hal. 9

7
UUD 1945 Tanggal 18 Agustus 1945 Juncto Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun
1945 Tanggal 10 Oktober 1945.

Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk pengadilan negeri,
yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya
sama saja sehingga secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan
hukum acara perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Karena
itu, asas unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat
1951-1 dalam bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah tercapai.
Kemudian, peraturan hukum acara perdata yang ada tersebut diperkaya dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun yang ditunggu
selanjutnya untuk masa akan datang adalah hukum acara perdata nasional ciptaan
sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum acara perdata
warisan zaman Pemerintahan Hindia Belanda dahulu yang hingga sekarang masih
berlaku.6

C. Sumber Hukum Acara Perdata


1. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUDar 1/1951
Hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan Undang-Undang Darurat 1951-1 tersebut menurut
peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
pengadilan negeri dalam daerah Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud oleh
Undang-Undang Darurat tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR atau reglemen Indonesia yang diperbarui: S. 1848 Nomor 16, S.
1941 Nomor 44) untuk daerah Jawa dan Madura serta Rechtsglement voor de
Buitengewesten (RBg atau reglemen daerah seberang: S. 1927 Nomor 227) untuk
daerah luar Jawa dan Madura. Jadi, untuk acara perdata, yang dinyatakan resmi
berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan
Madura.
Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (BRv atau reglemen acara
perdata, yaitu hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S. 1847 Nomor 52,
1849 Nomor 63), merupakan sumber juga dari hukum acara perdata. Supomo
berpendapat bahwa dengan dihapuskannya raad van justitie dan hooggerechtshof,
Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 7—15

8
sajalah yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan, hukum acara
perdata manakah yang diberlakukan apabila seorang yang tunduk pada BW (kitab
undang-undang hukum perdata) mengajukan gugatan cerai? Dalam praktik, acara
yang diatur dalam Rv akan diterapkan.
Kecuali itu, dapat disebutkan Reglement op de Rechterlijke Organisasie in het
beleid der justitie in Indonesie (RO atau Reglemen tentang Organisasi
Kehakiman: S. 1847 Nomor 23) dan BW buku IV sebagai sumber dari hukum
acara perdata dan selebihnya terdapat dalam BW, WvK (Wetboek van
Koophandel; Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan Peraturan Kepailitan.7
2. UU Nomor 48 Tahun 2009
Tidak boleh dilupakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan
Kehakiman yang diundangkan pada 29 Oktober 2009 yang memuat beberapa
ketentuan tentang hukum acara perdata.
3. UU Nomor 3 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undangundang
tersebut mengatur susunan Mahkamah Agung; kekuasaan Mahkamah Agung;
serta hukum acara Mahkamah Agung, termasuk pemeriksaan kasasi, pemeriksaan
tentang sengketa kewenangan mengadili, dan peninjauan kembali. Undang-
undang ini memuat ketentuan hukum acara perdata.
4. UU Nomor 49 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum yang
mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan umum juga
sebagai sumber hukum acara perdata.
5. Yurisprudensi
Sebagai perbandingan, perlu diketahui juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 (Lembaran Negara 77) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
penerapannya selambat-lambatnya lima tahun sesudah diundangkannya.
Yurisprudensi merupakan sumber pula dari pada hukum acara perdata, antara lain
dapat disebutkan putusan Mahakamh Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99
K/Sip/197122 yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka

7
Sudikno Mertokoesoemo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 6—7.

9
yang tunduk pada BW dengan tidak membedakan antara permohonan untuk
mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan perceraian itu
sendiri yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian di dalam
persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 HOCI.
6. Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara
Wirjono Prodjodikoro 8 (1975)23 berpendapat bahwa adat kebiasaan yang
dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata juga
sebagai sumber dari hukum acara perdata. Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari
hakim dalam melakukan pemeriksaan itu akan beraneka ragam. Tidak mustahil
adat kebiasaan seorang hakim berbeda, bahkan bertentangan dengan adat
kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan
pemeriksaan. Mengingat bahwa hukum acara perdata dimaksudkan untuk
menjamin dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum perdata materiil yang
berarti mempertahankan tata hukum perdata, pada asasnya hukum acara perdata
bersifat mengikat dan memaksa. Sementara itu, adat kebiasaan hakim dalam
melakukan pemeriksaan perkara perdata yang tidak tertulis dalam melakukan
pemeriksaan tidak akan menjamin kepastian hukum.
7. Perjanjian Internasional
Salah satu sumber hukum acara perdata ialah perjanjian internasional,
misalnya ”perjanjian kerja sama di bidang peradilan antara Republik Indonesia
dan Kerajaan Thailand”. Di dalamnya, terdapat kesepakatan mengadakan kerja
sama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh
bukti-bukti dalam hal perkara-perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara
kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan beperkara dan menghadap ke
pengadilan di wilayah pihak yang lainnya dengan syarat-syarat yang sama, seperti
warga negara pihak itu. Masing-masing pihak akan menunjuk satu instansi yang
berkewajiban untuk mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian
dokumen panggilan. Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jendral
Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, sedangkan Kerajaan
Thailand adalah Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.
8. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan

8
Wirjono Prodjodikoro, 1975. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Penerbit Sumur

10
Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga
atau sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Akan tetapi,
doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena
didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu
menyebabkan putusan hakim bernilai objektif juga.
9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Instruksi dan Surat Edaran MA, merupakan sumber Hakim dalam menggali
Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Perdata Materiil. Meskipun dalam
ilmu hukum Instruksi dan Surat Edaran tidak termasuk dalam salah satu sumber
hukum dan tidak pula tercantum dalam sumber hukum yang ditentukan dalam
pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan, akan tetapi dalam praktik Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah
Agung dijadikan salah satu rujukan oleh para Hakim.
D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
1. Hakim Bersifat Menunggu.
Hakim Bersifat Menunggu maksudnya Hakim bersifat menunggu datangnya
tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan
maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah satu
perkara atau tuntunan hak itu akan diajukan atau tidak diserahkan kepada pihak
yang berkepentigan (pasal 118 HIR, 142 rBg).
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya,
yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak di serahkan sepenuhnya kepada
yang berkepentingan. Kalau tidak ada. Demikianlah bunyi Pemeo yang tidak asing
lagi (wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore). Jadi tuntutan
hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang Hakim
menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya (index ne procedat ex
efficio). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi selain
perkara dijukan kepadanya, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata berifat pasif dalam arti kata bahwa
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan oleh para pihak yang

11
berperkara dan bukan oleh Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
perdilan (Pasal 4 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekeasaan Kehakiman).
Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secendum allegata
iudicare).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim
terikat pada peristiwa yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan Hakim.
Asas ini di sebut verhandlungsmaxime. Jadi pengertian pasif adalah bahwa Hakim
tidak menentukan luas daripada pokok sengketa.
Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Akan tetapi itu, semuanya
tidak berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali, selaku pimpinan sidang harus
aktif memimpin dan memeriksa perkara.
3. Hakim Aktif
Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus aktif sejak perkara
dimasukkan ke pengadilan, memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan,
membantu para pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai
dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam sistem HIR/RBg tidak
ada keharusan menunjuk kuasa hukum, seorang yang buta hukum pun dapat
menghadap sendiri ke muka pengadilan.
Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada
saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan
bahwa ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan
waktu dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun
kuasanya. Hal ini tidak berarti bahwa hakim memihak. Di sini, hakim hanya
menunjukkan bagaimana seharusnya bentuk dan isi sebuah surat gugat. Selain itu,
dalam sidang pemeriksaan perkara, hakim memimpin jalannya sidang agar dapat
tercapai peradilan yang tertib dan lancar sehingga asas peradilan cepat dapat
tercapai. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib menambahkan dasar hukum
yang tidak dikemukakan oleh para pihak, Pasal 178 ayat (1) HIR, 189 ayat (1)
RBg. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, 206 ayat (1) RBg, bahwa ketua pengadilan
memimpin jalannya eksekusi.
Dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, hakim wajib
mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang

12
tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3
HIR, 189 ayat 2 dan 3 RBg). Demikian pula halnya apakah pihak yang
bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak bukanlah kepentingan dari
pada hakim (Pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1947, Pasal 199 RBg).
4. Sifatnya Terbuka Persidangan
Sidang pemeriksaan di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum,
yang berarti bahwa setiap orang itu diperbolehkan hadir dalam persidangan.
Tujuannya untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang
peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat (1) dan 20 UU
No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman). Apabila tidak dibuka untuk
umum maka putusan tidak sah dan batal demi hukum.
Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk “sosial control”. Asas
terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara
tertulis kecuali apabila ditentukan lain oleh Undangundang atau apabila
berdasarkan alasan yang penting dan dimuat dalam berita acara yang
diperintahkan oleh Hakim dan persidangan tersebut dilakukan dengan cara
tertutup.
5. Mendengar Kedua Belah Pihak (Penggugat Dan Tergugat)
Dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam
Hukum Acara Perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta harus diberi kesempatan untuk memberikan
pendapat. Dalam Hukum Acara Perdata kedua belah pihak harus diperlakukan
dengan sama tidak memihak satu sama lain. Pengadilan mengadili menurut
hukum dan tidak membedabedakan orang. Seperti dalam pasal 4 ayat 1 UU nomor
48 tahun 2009 mengandung arti bahwa di dalam Hukum Acara Perdata yang
berperkara harus sama-sama diperhatikan berhak atas perlakuan. Asas kedua belah
pihak itu lebih dikenal dengan asas “audi et alterampartem” atau “ eines mannes
redeist keines mannes rede, man soll sie horen alle beido”. Bahwa Hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan
tidak diadili atau tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya.
6. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan-Alasan

13
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili (pasal 25 UU Nomor 4 Tahun 2004 jo. Pasal 184 ayat 1 319 HIR
618 RBG). Alasan-alasan tersebut dimaksud sebgai pertanggung jawaban hakim
kepada putusan masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu
hukum sehingga mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itu
putusan mempunya wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkannya.
Hal yang sama juga dijumpai pada pasal 50 (1) UU No. 48 Tahun 2009 yang
menentukan “putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
bersumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili.
7. Hakim Harus Menunjuk Dasar Keputusannya.
Meskipun hakim tidak harus mencari-cari perkara di dalam masyarakat, sekali
suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Larangan untuk menolak memeriksa
perkara disebabkan adanya anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia
novit). Seandainya dalam memeriksa suatu perkara hakim tidak dapat menemukan
hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970). Hal ini didasarkan pada Pasl 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 yang menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum. Ketentuan
demikian itu didasarkan pada ketentuan yang berada dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman37 dan juga dalam HIR ataupun RBg38. Oleh karena itu,
dalam melaksanakan kewajibannya yang demikian itu, dituntut keterampilan dan
intelektualitas seorang hakim.
8. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai
sebagai dasar putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak
(Pasal 178 ayat (2) HIR, 189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat mengajukan
tuntutan-tuntutan 1) tergugat dihukum mengembalikan utangnya; 2) tergugat
dihukum membayar ganti rugi; 3) tergugat dihukum membayar bunga maka tidak
satu pun dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim. Mengenai hakim akan

14
menolak atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu tidak menjadi masalah,
tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut.9
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hakim memutus menurut
hukum adat maka putusan hakim harus ”tuntas”. Itu artinya bahwa putusan hakim
tersebut harus sungguh-sungguh menyelesaikan atau menyudahi masalah atau
sengketa antara para pihak itu. Oleh karena itu, putusan hakim Indonesia biasa
disebut atau merupakan bemiddelende vonnis (putusan antara)10
9. Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada dasarnya dikenakan biaya (pasal 2 ayat 4) UU No. 48
Tahun 2009 dan pasal 121 ayat 4, 182, 183 HIR, serta pasal 145 ayat 4, 192-194
RBG. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Biaya tersebut juga dikeluarkan
untuk pengacara atas bantuan yang dimintakan kepadanya.
Namun bagi yang tidak mampu membayar biara perkara, dapat mengajukan
perkara secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan
dari pembiayaan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak
mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 23 HIR, 273 RBG).
10. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang
lain, sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang
berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakilki oeh
kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa
sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan
kepada seorang kuasa.
Menurut RO pada persyaratan untuk bertindak sebagai prosedur yaitu ia harus
sarjana hukum pasal 186. Tujuannya wajib sarjana hukum (verplichte
procureurstellink) ini tidak lain untuk lebih meminjam pemeriksaan yang objektif,
lancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil. Perwakilan
dapat terjadi dengan alasan:
a. Ketentuan undang-undang seperti anak dibawah umur oleh orang tua atau
wali.

9
Sudikno Mertokoesoemo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
10
Mochammad Dja’is dan Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR (Semarang: Percetakan Oetama, 2007).

15
b. Perjanijian kuasa khusus seperti perwakilan yang dilakukan oleh pengacara
atau penasehat hukum.
c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu
atau beberpa kelompok (peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 20002
tentang acara gugatan perwakilan kelompok.
d. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan ( pasal 2 Ayat 4
UU No. 48 tahun 2009.

Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tIdak berbelit-


belit. Cepat menunjukkan jalannya peradilan yang cepat dan proses
penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus 13 dilanjutkan oleh ahli
warisnya. Biaya ringan maksudnya biayanya yang serendah mungkin sehingga
dapat terjangkau oleh masyarakat.11

E. Perbedaan Hukum Acara Perdata Dan Hukum Acara Pidana

Di dalam tata hukum Indonesia ada dua hukum acara yaitu Hukum Acara
Perdata dan Hukum Acara Pidana, yang di mana kedua hukum tersebut bertujuan
untuk memelihara dan mempertahankan hukum materiil dan untuk melindungi subyek
hukum. Di samping itu kedua hukum tersebut mempunyai perbedaan yang cukup
mendasar yakni:

1) Perbedaannya Dalam Mengadili

Hukum Acara Perdata mengatur cara-cara mengadili perkara-perkara di muka


pengadilan perdata oleh Hakim perdata. Sedangkan Hukum Acara Pidana
mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh
Hakim pidana.

2) Perbedaan Pelaksanaannya

Pada acara perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang
dirugikan. Sedangkan pada acara pidana inisiatifnya itu datang dari penuntut
umum (Jaksa).

3) Perbedaan Dalam Penuntutan

11
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S. H., SU, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jakarta, 2015, hal. 14.

16
Dalam acara perdata yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan.
Penggugat berhadapan dengan tergugat, jadi tidak terdapat penuntut umum atau
Jaksa. Sedangkan dalam acara pidana, Jaksa menjadi penuntut terhadap si
terdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum mewakili negara, berhadapan dengan
terdakwa. Jadi di sini terdapat seorang Jaksa.

4) Perbedaan Dalam Alat-Alat Bukti


Dalam acara perdata terdapat lima alat bukti diantaranya tulisan, saksi,
sumpah, persangkaan dan pengakuan. Sedangkan dalam acara pidana ada empat
alat bukti pada acara perdata kecuali alat bukti sumpah.
5) Perbedaan Penarikan Kembali Suatu Perkara
Dalam acara perdata sebelum ada putusan Hakim pihak-pihak yang
bersangkutan boleh menarik kembali perkaranya. Sedangkan acara pidana tidak
dapat ditarik kembali.
6) Perbedaan Kedudukan Para Pihak
Dalam acara perdata pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim
hanya bertindak sebagai wasit dan bersikap pasif. Sedangkan acara pidana Jaksa
kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa, Hakim juga turut aktif.
7) Perbedaan Dalam Dasar Keputusan Hakim
Dalam acara perdata putusan Hakim itu cukup dengan mendasarkan diri
kepada kebenaran formal saja (akta tertulis dll). Sedangkan dalam acara pidana
putusan Hakim harus mencari kebenaran materiil (menurut keyakinan, perasaan
keadilan hakim sendiri).
8) Perbedaan Macamnya Hukuman
Dalam acara perdata tergugat yang terbukti kesalahannya dihukum denda atau
hukuman kurungan sebagai pengganti denda. Sedangkan acara pidana terdakwa
yang terbukti kesalahannya dipidana mati, penjara, kurungan atau denda, mungkin
bisa ditambah dengan pidana tambahan seperti dicabut hak-hak tertentu dll.
9) Perbedaan Dalam Bandingan
Bandingan perkara perdata dari pengadilan pengadilan negeri ke pengadilan
tinggi disebut appel. Sedangkan bandingan perkara pidana dari pengadilan negeri
ke pengadilan tinggi disebut revisi

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Acara Perdata adalah sebuah peraturan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan hukum perdata materiil. Peraturan ini mengatur bagaimana cara
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan perkara. Sejarah hukum
acara perdata bermula adanya HIR dan RBg.

Sumber hukum acara perdata meliputi Herziene inlandsch reglemen (HIR),


Rechtsreglement voor de buitengewesten (RBg), Burgerlijk wetboek (BW), UU
Nomor 48 Tahun 2009, UU Nomor 3 Tahun 2009, UU Nomor 49 Tahun 2009,
Yurisprudensi, Adat Kebiasaan Hakim Dalam Memeriksa Perkara, Perjanjian
Internasional atau Traktat, Doktrin atau Ilmu Pengetahuan, dan Instruksi dan Surat
Edaran Mahkamah Agung.

Asas-asas hukum acara perdata meliputi asas hakim bersifat menunggu, hakim
pasif, sifatnya terbuka persidangan, mendengar kedua belah pihak (Penggugat dan
tergugat melalui surat-surat), putusan harus disertai dengan alasan-alasan, beracara
dikenakan biaya, tidak ada keharusan mewakilkan, dan peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan.

Perbedaan hukum acara perdata dan hukum acara pidana seperti Perbedaannya
dalam mengadili, Hukum Acara Perdata mengatur cara-cara mengadili perkara-
perkara di muka pengadilan perdata oleh Hakim perdata. Sedangkan Hukum Acara
Pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh
Hakim pidana.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dja’is Mochammad ,Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR (Semarang: Percetakan


Oetama, 2007).

Harahap,.Yahya. ”Hukum Acara Perdata Indonesia”1977

Mertokusumo,Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 2

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti,
1990), hlm. 7—15

Mertokoesoemo,Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993),


hlm. 6—7.

Prodjodikoro,Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung,


1975), hal. 9

Prodjodikoro, Wirjono, 1975. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Penerbit Sumur

Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S. H., SU, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jakarta, 2015, hal.
14.

Syahrani ,Riduan, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum (Pustaka Kartini,
1988), hlm. 14.

Subekti R. Hukum Acara Perdata (Bandung: Penerbit Binacipta, 1977), hlm. 9.

19

Anda mungkin juga menyukai