Anda di halaman 1dari 25

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampun: M. Khoirur Rofiq, SHI., MSI

Disusun oleh:

Farah difa 2102046018

Muhammad Feriq Ihsanul Amal 2102046036

Mochammad Yusuf Indra Kusuma 2102046080

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan limpahan rahmat, nikmat,
dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini
dalam rangka menunaikan kewajiban kami pada mata kuliah Hukum Acara Perdata.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu
dan mendukung tersusunnya makalah ini, terutama kepada seluruh teman-teman
mahasiswa dan juga Bapak M. Khoirur Rofiq, SHI., MSI selaku dosen pengampu pada
mata kuliah ini yang senantiasa membimbing kami.

Makalah ini tersusun jauh dari kata sempurna, maka penyusun sangat menanti
kritik dan saran membangun dari seluruh pihak yang membaca makalah ini, demi
perbaikan dalam penulisan makalah ini.

Harapan kami, makalah ini dapat menjadi perantara pemahaman pembaca


mengenai pembahasan materi pidana dan pemidanaan dalam mata kuliah Hukum Acara
Perdata yang bermanfaat dan penuh berkah. Aamiin.

Semarang, 30 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii

BAB I ........................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG..................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................. 2
C. TUJUAN .......................................................................................................................... 2
BAB II ......................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 3

A. PEMBUKTIAN ............................................................................................................... 3
B. BEBAN PEMBUKTIAN ................................................................................................ 8
C. ALAT-ALAT BUKTI ................................................................................................... 13
BAB III ...................................................................................................................................... 21

PENUTUP ................................................................................................................................. 21

A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demi tegaknya hukum, khususnya Hukum Perdata materiil, maka diperlukan
Hukum Acara Perdata. Hukum Perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas
dari Hukum Acara Perdata, sebaliknya Hukum Acara Perdata tidak mungkin berdiri
sendiri lepas dari pada Hukum Perdata materiil. Kedua-duanya saling memerlukan
satu sama lain dan memiliki keterkaitan dalam perannya menegakkan hukum di
masyarakat.

Pembangunan hukum tidak hanya di tangan pembentuk undang-undang saja,


tetapi hakim memiliki peran yang tidak kecil dalam pembangunan hukum. Bahkan
hukum dalam operasionalnya banyak diciptakan oleh hakim. Bagi hakim hukum
acara merupakan pedoman pokok atau aturan permainan sehari-hari dalam
memeriksa perkara. Hukum Acara Perdata tidak hanya penting dalam praktek
peradilan saja, tetapi berpengaruh juga dalam praktek di luar peradilan sehingga
Hukum Acara Perdata perlu mendapat perhatian selayaknya, dipahami dan dikuasai.

Perkara perdata di pengadilan, sering terjadi permasalahan dan gugatan balik


atau upaya banding terhadap keputusan-keputusan yang dianggap kurang
menguntungkan terhadap salah satu pihak yang berperkara di pengadilan. Untuk
itulah diperlukan alat-alat bukti yang kuat yang dapat memperkuat putusan hakim
dalam suatu perkara sehingga kebenaran perkara secara materiil dapat
dipertanggungjawabkan. Sudah jelas tugas hakim untuk menyelediki apakah
hubungan hukum yang menjadi perkara tersebut, benar-benar sah atau tidak,
hubungan hukum tersebutlah yang harus terbukti di muka hakim dan tugas kedua
belah pihak yang berperkara memberi barang-barang bukti yang diperlukan oleh
Hakim.

Dalam arti luas, “membuktikan” adalah membenarkan hubungan hukum,


misalnya apabila Hakim mengabulkan tuntutan penggugat, pengabulan ini
mengandung arti bahwa Hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan
oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah
benar. Sedangkan dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa
1
yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak
dibantah itu tidak perlu diselidiki, yang harus memberi bukti adalah pihak yang wajib
membenarkan agar yang dikemukakannya jikalau ia berkehendak bahwa ia tidak akan
kalah perkaranya. Dalam arti terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian
beban pembuktian.1

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana asas-asas tentang pembuktian dalam hukum acara perdata?
b. Apa yang dimaksud dengan beban pembuktian?
c. Bagaimana Penggunaan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata?

C. TUJUAN
a. Mengetahui pengertian pembuktian, asas-asas pembuktian dan mengetahui apa
saja yang harus dibuktikan dan apa saja yang tidak perlu dibuktikan
b. Mengetahui apa itu beban pembuktian, asas-asas beban pembuktian dan teori-
teori beben pembuktian.
c. Mengatahui alat-alat bukti yang dapat digunakan hukum acara perdata.

1
Jurnal INOVASI Volume 9, No.2, Juni 2012 ISSN 1693-9034, BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA
PERDATA Maisara Sunge Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo h.2
2
BAB II

PEMBAHASAN
A. PEMBUKTIAN
1. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Pengertian pembuktian diungkapkan oleh beberapa ahli hukum, antara lain:2
a) Menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian mengandung arti logis,
konvensional dan yuridis. Dalam arti logis, adalah memberikan kepastian yang
mutlak. Dalam arti konvensional berarti kepastian hanya saja bukan kepastian
mutlak. Sedangkan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
b) Menurut Subekti, hukum pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
c) Menurut Dr. Supomo merupakan upaya untuk memperkuat kesimpulan hakim
dengan bukti-bukti yang sah, sedangkan dalam arti sempit pembuktian itu
diperlukan jika yang dikemukakan oleh penggugat dibantah oleh tergugat.

Pembuktian dalam hukum acara Peradilan Agama merupakan upaya para


pihak untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu sengketa di pengadilan. Dalam pengertian lain, pembuktian adalah
upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan
alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.3

2. ASAS-ASAS PEMBUKTIAN
Berikut Asas-asas Pembuktian dalam Perdata:4
a) Asas Audi Et Ateram Partem
Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan tidak
memberi kesempatan untuk men dengar kedua belah pihak. Acara “verstek”

2
I.G.A. A. Ari Krisnawati, SH., M. (2015). PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA (Bagian Hukum Acara
Perdata). September, hal. 3
3
Khoirur Rofiq, M. (2022). Hukum Acara Peradilan Agama (H. Tolkah (ed.)). hal.214
4
Prof. Dr. Achmad Ali S.H., M. H. (2012). Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata (SatuCahayaPro (ed.); 1st
ed.). Prenada Media.
3
pun bukan kekecualian dari asas ini, karena putusan verstek dijatuhkan hanya
jika tergugat sudah di panggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke per
sidang an. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah tergugat diberi
kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau menggunakan kesempatan yang
diberikan oleh hukum itu. Justru menurut penulis, lembaga verstek itu
diadakan ada lah sebagai perwujudan dari asas Audi Et Alteram Partem.
Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya ancam an untuk
menjatuhkan putusan verstek, putus an kerana tergugat tidak hadir, merupakan
dorongan bagi ter gugat untuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas
Audi Et Alteram Partem. Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim
harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara,
agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama,
tidak pincang atau berat sebelah.
Disini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban pembuktian.
Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama bagi kedua pihak yang
berperkara secara adil, maka suatu per kara tidak dapat disidangkan dua kali
(Bisde eadem re ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya
“Be neicium” atau hak istimewanya. Aturan hukum pembuktian berlaku sama,
baik bagi peng gugat maupun tergugat. Baik penggugat maupun tergugat dapat
membuktikan semua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya an ta
ra penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pembuktian.
b) Asas Ius Curia Novit
Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas bahwa setiap hakim itu harus di
anggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim sama sekali
tidak boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak
mengetahui hukumnya. Demikian juga ha kim harus menciptakan hukumnya
jika memang harus dihadapinya belum diatur oleh undang-undang atau
yurisprudensi. Penciptaan hukum oleh hakim ini biasanya dengan
menggunakan metode analogi atau argumentum a contrario.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak di dalam
pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan,
sedangkan pembuktian masalah hukumnya adalah menjadi kewajiban hakim.

4
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem hukum Anglo Saxo
(common law) dibedakan pemeriksaan perdata ataupun pidana atas:
• Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) adalah tugas juri.
• Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) adalah tugas hakim.
Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif di Indonesia, antara
lain di Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No.
14 Tahun 1970.
c) Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa
Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi sudah
jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan
sekaligus manjadi saksi di dalam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri.
Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain yang bukan pihak dalam
perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan
yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu”
manjadi saksi (recusatio) adalah:
• orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:
1) Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang
lurus dari salah satu pihak yang ber perkara.
2) Suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah
bercerai. (pasal-pasal: 145 HIR, 172 RBG, 1910 BW).
• Orang yang tidak mampu secara nisb
Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai
keterangan kesaksian:
1) Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2) Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.
d) Asas Ultra Ne Petita
Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga
hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang
mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat. Berbeda dalam
hukum pembuktian pidana di mana hakim dapat menyelidiki perkara itu lebih
dari fakta yang ter ungkap oleh jaksa, bahkan kalau perlu saksi yang kemudian
5
ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti dijadikan terdakwa. Asas
Ultra Ne Petita dalam hukum pembuktian ini membatasi hakim perdata untuk
“preponderance of evidence”, hanya terikat pada alat bukti yang sah. Berbeda
dengan hukum acara pidana, di mana hakim harus “beyond reasonable doubt”,
harus yakin benar akan kebenaran alat bukti.
e) Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag
aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera
tidak dapat dipersengketakan. Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan
“hak mutlak” pihak tergugat.

Di mana sebagai contoh:

Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah


Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali tidak pernah berutang kepada
si A. Namun ketika dalam pemeriksaan di muka persidangan pengadilan
perdata, si B mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa ia benar
telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Hakim berdasarkan asas “De
Gustibus Non Est Diputandum”, tidak boleh menolak pengakuan si B,
meskipun misalnya, hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah
ber utang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian per data,
memberikan kepada tergugat kebenaran dalam hal pengakuan, sepanjang tidak
bertentangan dengan asas lainnya. Dalam hal si B di atas, oleh hukum
dianggap si B sama saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah
Rp 10.000,- kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang seseorang untuk
menyumbangkan hartanya sendiri.
f) Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan
banyak hak daripada yang ia miliki. Dihubungkan dengan asas sebelumnya,
yaitu “De Gustibus Non Est Diputandum”.

Contoh sebagai berikut:

Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No 5 adalah


rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, yang digugat adalah

6
si B, yang kebetulan menguasai rumah itu. Di dalam persidangan itu si B
selaku tergugat mengadakan pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalah
milik si A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya menjaga
rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah itu sendiri adalah Tuan A.
Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan merupakan alat bukti yang
sah, karena bertentangan dengan asas “Nemo Plus Juris Transferre Potest
Quam Ipse Habet” ini, karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai
milik orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu. Lain halnya jika
rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar milik si B, maka
pengakuannya itu oleh hukum.

3. HAL-HAL YANG HARUS DIBUKTIKAN


Berdasarkan Pasal 163 HIR dan 283 RDG disebutkan “barangsiapa
mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang itu harus membuktikan
adanya hak atau kejadian itu.”5
Dari pasal tersebut, telah jelas bahwa yang perlu dibuktikan adalah hak
atau peristiwa yang didalilkan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun tidak
semua hak atau peristiwa dibuktikan, hanya hak atau peristiwa yang dibantah oleh
pihak lawan. Maksudnya adalah bahwa tidak semua hak atau peristiwa perlu
dibuktikan secara eksplisit atau resmi, kecuali jika pihak lawan mengajukan
penolakan atau bantahan terhadap hak atau peristiwa tersebut. Dalam konteks
hukum atau perselisihan, burden of proof (beban pembuktian) biasanya berada
pada pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan.
Dalam sistem hukum yang berlaku di banyak negara, terdapat prinsip
hukum yang menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai
terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dia bersalah. Ini berarti bahwa pihak
yang menuduh harus membuktikan klaim atau tuntutannya secara adil dan
meyakinkan.

5
I.G.A. A. Ari Krisnawati, SH., M. (2015). PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA (Bagian Hukum Acara
Perdata). September, hal. 4

7
Namun, jika pihak lawan tidak membantah atau menolak hak atau
peristiwa yang diajukan, maka tidak diperlukan pembuktian tambahan. Dalam
situasi tersebut, pihak yang mengajukan klaim atau tuntutan mungkin tidak perlu
memberikan bukti yang lebih lanjut karena tidak ada penolakan atau bantahan
yang diajukan.

4. HAL-HAL YANG TIDAK HARUS DIBUKTIKAN

Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain:6

a) Gugatan yang diakui pihak lawan


Dalam tahap jawab-menjawab, akan terlihat apakah jawaban tersebut
menyangkal atau mengakui gugatan tersebut. Gugatan yang sudah diakui
pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi karena pengakuan itu sudah berarti
membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah merupakan salah
satu alat bukti menurut undang-undang.
b) Penglihatan hakim di muka persidangan
Sesuatu yang sudah dilihat oleh hakim tidak perlu dibuktikan lagi karena
sesuai dengan tujuan pembuktian adalah memberikan keyakinan kepada
hakim tentang hal-hal yang didalilkan oleh pihak yang berperkara. Hal-hal
yang sudah dilihat oleg hakim sudah meyakinkan hakim akan kebenaran
tersebut.
c) Yang telah diketahui oleh umum
Fakta-fakta umum (Fakta notoir) tidak perlu lagi dibuktikan karena
secar umum dianggap sudah diketahui oleh orang banyak, seperti: siang hari
lebih terang dari malam hari atau seperti kota Bogor letaknya di Pulau Jawa.

B. BEBAN PEMBUKTIAN
1. PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN

Menurut Cleary pengertian tentang beban pikiran dapat dibedakan adanya


dua beban pembuktian yang terpisah, yaitu:

6
I.G.A. A. Ari Krisnawati, SH., M. (2015). PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA (Bagian Hukum Acara
Perdata). September, hal. 5
8
• Beban untuk mengajukan alat bukti yang dapat me muaskan hakim, tentang
suatu fakta tertentu (the burden of pro ducing evidence).
• Beban untuk meyakinkan “the trier of fact” bahwa apa yang diajukan adalah
benar (the burden of persuasion).

Yang terpenting dari uraian Cleary di atas adalah bahwa:

• Beban untuk mengajukan alat bukti merupakan “a critical mechanism” di


dalam peradilan juri.
• Beban untuk mengajukan alat bukti walaupun pada haki katnya adalah
kewajiban penggugat tetapi dapat berpindah ke pihak lawan.
• Beban untuk dinilai (burden of persuasion) barulah menjadi faktor yang berarti
jika para pihak sudah mengajukan alat buktinya.

Pertama bahwa di dalam hukum pembuktian, fakta tentang persengketaan


di buka persidangan di mana pada umumnya pengadilan berpendapat bahwa beban
pembuk tian meliputi dua kewajiban:

• Kewajiban untuk mengajukan alat bukti ke muka persidangan pengadilan; dan


• Kewajiban untuk membuktikan kebenaran dari tun tutan itu dengan alat bukti
yang benar-benar me ya kinkan

Adapun pengertian kedua yaitu dalam hukum pidana, beban pembuktian


itu ada pada jaksa (dalam hal ini me wa kili pemerintah) untuk membuktikan
semua hal yang berkaitan dengan tuntutan pidana yang mungkin masih
meragukan. Kewajiban mana merupakan kewajiban yang sifatnya afirma tif. Dan
para permulaan pemeriksaan di muka per si dangan pengadilan, tidak ada
kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketidakbersalahannya.

Berbeda dengan itu, Mr. H. hesing menyatakan bahwa:

“Beban pembuktian adalah aktivitas untuk mengadakan atau menciptakan


proses psikis pada hakim untuk membenarkan/meyakini adanya dan terjadinya
fakta-fakta yang dikemukakan dan yang daripadanya diinginkan suatu akibat
hukum oleh salah suatu pihak yang beperkara, di mana secara luas termasuk hal
mengemukakan dalil /fakta dan secara terbatas hanya yang sifatnya, bentuknya,
dan intinya khusus untuk meneguhkan dalil/fakta yang sudah diterangkan itu.”
9
Perbedaan yang paling mencolok antara beban pembuktian dalam perkara
pidana dan perkara perdata adalah:

• Dalam perkara pidana, beban pembuktian itu harus bersifat “beyond


reasonable doubt”
• Sedangkan dalam perkara perdata, beban pembuktian itu sifatnya
“preponderence evidence”.

Adapun dalam hukum acara perdata dikatakannya:

“In an ordinary civil action, it is generally not reguired that the miscon duct be
prove beyond a reasonable doubt”

“Dalam tindakan perdata biasa, umumnya tidak diharuskan bahwa pelanggaran


akan terbukti tanpa keraguan”

Dari pengertian beban pembuktian yang telah dikemukakan secara panjang


lebar di atas, dapatlah disimpulkan bahwa beban pembuktian itu merupakan
kewajiban normatif bagi para pihak untuk tampil ke muka persidangan pengadilan
dengan membuktikan tentang fakta-fakta mengenai pokok perkara yang
dipersengketakan. Mengenai ini, perhatikan juga pendapat Charles F. Hemphill
J.R, & Phyllis D. Hemphill.

2. ASAS-ASAS BEBAN PEMBUKTIAN


a) Yurisprudensi
Bahwa hakim di dalam membebani pembuktian, hendaknya yang dibebani
dengan pem buktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan, jika ia harus
membuktikannya.
b) Asas “negative non sunt probanda”
Bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk dibuktikan. Sesuatu yang
bersifat negatie biasanya ditandai dengan perkataan “TIDAK”
c) Asas iktikad baik
Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada
setiap orang yang menguasai sesuatu benda. Barang siapa menggugat akan
adanya iktikad buruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya.

10
d) Asas bahwa jika seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain
maka Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata selalu dianggap meneruskan
penguasaan tersebut, kecuali jika terbukti sebaliknya.
e) Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menguasai suatu benda
bergerak, dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga, jika seseorang menggugat
orang yang me ng usai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang sela manya
harus dibebani dengan pembuktian
f) Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur
(lihat Pasal 1244 BW).
g) Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, ha rus membuktikan adanya kesalahan (lihat
Pasal 1365 BW).
h) Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan tiga kuitansi yang
berturut-turut terakhir dianggap telah membayar semua cicilan. Sehingga, jika
ada sese orang yang menggugat si pemegang tiga kuitansi ter akhir berturut-
turut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat
Pasal 1394 BW).
i) Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibebani dengan
pembuktian lalu ternyata tidak mampu untuk membuktikan, harus dikalahkan
dalam perkara itu.
j) Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menyatakan sesuatu yang
tidak biasa, harus membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat putusan
Mahkama Agung), yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/
Sip/195).
k) Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat diartikan dua macam,
yaitu menguntungkan dan merugikan bagi si penanda tangan surat, maka si
penanda tangan yang harus dibebani untuk membuktikan positum nya. (Li hat
Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, Nomor 74 K/Sip/1955)

3. TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN


1) Teori Negativa Non Sunt Probanda

11
Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt
probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit
untuk dibuktikan.
2) Teori Hak
Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK” lah yang mendasari proses perdata.
Dengan lain kata, proses perdata itu senantiasa melaksanakan “hak” yang
dimiliki perorangan. De ngan de mikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan
dari hu kum se - cara perdata adalah semata-mata untuk mem per tahankan
hak.
3) Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif)
Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gugatannya berarti bahwa
si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan
hukum yang ber laku terhadap peristiwa yang diajukan. Karena itulah, maka
si penggugat harus dibebani pembuktian untuk membuktian kebenaran dari
peristiwa yang diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya
untuk diterapkan pada peristiwa itu.
4) Teori Ius Publicum (Hukum Publik)
Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian
dari hukum privat, tetapi bagai ma napun kepentingan publik termasuk di
dalamnya. Sebab, ke pentingan peradilan adalah juga kepentingan publik.
Karena itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewe
nang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki
agar bagi para pihak dibebani dengan kewa jiban yang bersifat hukum publik,
di mana ke wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana.
5) Teori Audi Et Alteram Partem
Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara per data pada umumnya,
yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PAR TEM”, asas kedudukan yang sama
secara prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim
agar memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara
prosesuil.

12
C. ALAT-ALAT BUKTI
1. PENGERTIAN ALAT BUKTI
Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran hukum, baik dari
pihak penggugat maupun pihak tergugat dalam perkara perdata.7 Alat bukti adalah
segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai untuk
membuktikan sesuatu. Dengan adanya alat bukti maka akan jelas setiap dalil-dalil
yang diajukan.8 alat bukti juga dapat dikatakan, sesuatu yang sebelum diajukan ke
persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti, seperti akta notaris,
walaupun belum diajukan ke muka persidangan, sudah merupakan bukti.
2. Klasifikasi Alat-Alat bukti menurut Undang-Undang
Dalam hukum acara perdata hakim sangat terikat dengan alat-alat bukti
yang sah, hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti
yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 164 HIR dan 284 Rbg
serta pasal 1886 KUHPerdata9 terdapat lima alat bukti, yaitu 1) bukti tertulis, 2)
saksi, 3) persangkaan, 4) pengakuas, dan 5) sumpah. Nilai pembuktian paling kuat
adalah bukti tertulis.10 Berikut penjelasan terkait 5 alat bukti dalam hukum acara
perdata:
a) Alat Bukti Tertulis Atau Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo, lat bukti tertulis atau surat adalah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksdukan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.11
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285, 305
Rbg dan Pasal 1867-1894 BW. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi
dua, yaitu:
I. Surat Yang Merupakan Akta
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat

7
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 73
8
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 69
9
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 69
10
M. Khoirur Rofiq, Hukum Acara Peradilan Agama (Semarang: CV. Rafi Sarana), hal. 225
11
Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata, Vol. 1, No. 2, ADHAPER, 2015, hal. 139
13
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.12 Pemberian tanda
tangan harus disertakan nama dari si penanda tangan yang ditulis tangan
oleh di penanda tangan atas kehendak sendiri, jika tidak ada maka masih
dianggap belum cukup. Dalam pembagiannya akta sebagai alat bukti
dibagi menjadi 2, yaitu:
i. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan oleh yang
berkepentingan.13
Akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, “Akta otentik adalah
suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para
pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari
padanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan
belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.
Pejabat yang dimaksud adalah notaris, panitera, juru sita, pegawai
pencatat sipil, hakim dan lain sebagainya.14
Akta otentik diantaranya adalah akta nikah, akta cerai, akta
wakaf, akta jual beli tanah, akta hibah, sertifikat ha katas tanah, dan
penetapan dan atau putusan Pengadilan Agama maupun produk
pengadilan lainnya.15
Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan
mengikat, maka dengan akta tersebut tidak memerlukan lagi bukti
tambahan, dan hakim wajib mempercayai apa yang tertulis dalam
akta tersebut selama tidak dibuktikan sebaliknya. Jika ada bukti yang
sebaliknya, maka harus dengan bukti yang sama kekuatannya.

12
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 69
13
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 92
14
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hal. 78
15
M. Khoirur Rofiq, Hukum Acara Peradilan Agama (Semarang: CV. Rafi Sarana), hal. 227
14
Namun, daripada itu terdapat kemungkinan untuk pemalsuan akta
tersebut, karena kuatnya akta otentik dan membutat orang melakukan
segala cara untuk menang atas gugatan, maka dari itu hakim harus
cermat dalam memeriksa.
ii. Akta di Bawah Tangan
Akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.16 Akta di bawah tangan
tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam S. 1867 No. 29 untuk
Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur
dalam Pasal 286 sampai dengan 305 Rbg. Pegertian surat di bawah
tangan menurut Pasal 1 S. 1867 No. 29 (Pasal 1874 Bw,286 Rbg)
adalah akta di bawah tangan, surat-surat daftar (register), catatan
mengenai rumah tangga dan surat-surat lain yang dibuat tanpa
bantuan seorang pejabat.17
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sama dengan akta
autentik jika isi dan tanda tangannya diakui oleh pihak lawan. Hanya
saja kalau isinya bertentangan dengan hukum, atau ada unsur
paksaan dalam pembuatannya, atau ada unsur penipuan, maka akta
tersebut dapat disingkirkan, dan untuk menguatkannya harus
ditambah dengan bukti lain seperti saksi dan sumpah tambahan.18

Akta mempunyai fungsi “formil” yang berarti bahwa untuk


lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat
suatu akta. Selain itu, akta sebagai “Alat Bukti” (probationis causa),
bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di
kemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu
tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan
sebagai alat bukti di kemudian hari.

16
Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata, Vol. 1, No. 2, ADHAPER, 2015, hal. 139
17
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hal. 79
18
M. Khoirur Rofiq, Hukum Acara Peradilan Agama (Semarang: CV. Rafi Sarana), hal. 229
15
II. Surat Yang Bukan Akta
Surat yang bukan akta adalah semua alat bukti tertulis yang
memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi
unsur-unsur untuk diakuinya sebagai suatu akta. Surat yang bukan akta
diatur secara khusus dalam Pasal 1881 BW (294 RBg) dan 1883 BW (297
RBg), yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-
catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang
selamanya dipegangnya. 19
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim,
jika isinya memperkuat fakta, maka dapat dipergunakan sebagai bukti
permulaan atau sebagai surat keterangan yang memerlukan dukungan alat
bukti lain.

b) Kesaksian
Kesaksian merupakan alat bukti secara lisan, yang diberitahukan oleh
pribadi saksi dan bukan pihak dalam perkara tertentu, untuk memberikan
kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan.20 Alat bukti saksi diatur dalam pasal 139-152, 168-172
HIR (Pasal 165-179 Rbg), 1895 dan 1902-1912 BW.
Keterangan kesaksian harus mengenai apa yang dilihat, didengar dan
dialami sendiri oleh saksi. Asas dari kesaksian adalah “Unus Testis Nullus
Testis”, satu saksi bukan saksi. Jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak sah
sebagai alat bukti. Minimal harus ada dua kesaksian.

c) Persangkaan atau Presumtions


Persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. 21 Misalnya
pembuktian dari ketidakhadiran seseorang pada saat tertentu di suatu tempat
dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat yang
lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.

19
Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata, Vol. 1, No. 2, ADHAPER, 2015, hal. 140
20
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 92
21
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 75
16
Persangkaan adalah kesimpulan oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik
dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum menurut Pasal 1915 KUHPerdata, Pasal 173 HIR, dan Pasal
310 RBg.
Berdasarkan Pasal 1915 KUHPerdata, persangkaan adalah “kesimpulan
yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa lain yang
belum terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya,
yaitu yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris) dan yang
merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim (pboleh
raesumptiones facti).22
Persangkaan undang-undang atau persangkaan hukum adalah
persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang yang
berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Dibagi
menjadi 2, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan
adanya pembuktian lawan (praesumptiones juris tantum) dan persangkaan
berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan
(praesumptiones juris et de jure).23
Persangkaan Hakim adalah persangkaan yang berdasarkan fakta
fetelijke vermoeden atau presumptiones facti yang bersumber dari fakta yang
terbukti dalam persidangan sebagai titik tolak menyusun persangkaan. 24
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Pengetahuan hakim dapat diartikan juga sebagai apa yang
dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya,
sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara.
Tetapi, pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar
persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.

d) Pengakuan
Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan
persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang

22
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hal. 89
23
Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata, Vol. 1, No. 2, ADHAPER, 2015, hal. 142
24
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 94
17
membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh
lawan.
Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar
persidangan. Pengakuan di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan
keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik
seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan tidak perlu pemeriksaan lebih
lanjut oleh hakim.25
Antara pengakuan yang dilakukan di persidangan dan pengakuan yang
dilakukan diluar persidangan berbeda dalam hal nilai bukti. Pengakuan yang
dilakuakan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna,
sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar sidang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.26
Pasal 176 HIR menerangkan bahwa suatu pengakuan harus diterima
bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu
dan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan
dan menolak sebagian lainnya yang masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.
Pengakuan sebagai alat bukti dibedakan menjadi 3,27 yaitu:
a. Pengakuan murni (aveu pur et simple)
Pengakuan tergugat mengenai seluruh isi gugatan penggugat.
b. Pengakuan dengan kualiikasi (aveu qualiie)
Pengakuan tergugat disertai dengan sangkalan terhadap sebagian
gugatan.
c. Pengakuan dengan klausuls (aveu complexe)
Pengakuan tergugat disertai dengan klausul yang berdifat membebaskan

e) Sumpah
Dasar alat bukti sumpah adalah Pasal 182-185 dan 314 HIR/155-158
dan 177 RBg, serta 1929-1945 BW. Sumpah sebagai alat bukti termasuk

25
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hal. 90
26
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 76
27
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 95
18
dalam sumpah assertoir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna
meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. Sumpah sebagai
alat bukti, secara umum dikenal ada tiga jenis:
i. Sumoah decisoir (sumpah pemutus)
Sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak atas permintaan
salah satu pihak lainnya, berdasarkan pada Pasal 156 HIR. Sumpah
decisoir mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan
(Beslissende bewijskracht), tidak memungkinkan lagi pembuktian lawan
(tegen bewijs).
ii. Sumpah supletoir (sumpah pelengkap)
Diatur dalam Pasal 115 HIR merupakan sumpah pelengkap yang
melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah ini
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya (ex officio). kepada pihak
mana yang diperintahkan oleh hakim untuk sumpah supletoir, tergantung
pada pertimbangan hakim. Sumpah ini masih memungkinkan pembuktian
lawan.28
iii. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran)
Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannta kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya.
Sumpah ini dibebankan hakim kepada penggugat, jika penggugat berhasil
membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya belum
diketahui secara pasti. Kekuatan pembuktiannta sama dengan sumpah
suplesoir, bersifat sempurna tetapi masih memungkinkan pembuktian
lawan.

Selain pada alat-alat bukti yang telah disampaikan di atas, ada beberapa
alat-alat bukti lain di luar HIR yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dari
peristiwa yang dipersengketakan, diantaranya pemeriksaan setempat dan
keterangan ahli.29
Pemeriksaan setempat atau descente adalah pemeriksaan mengenai
perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat

28
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 97
29
Yulia, Hukum Acara Perdata (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), hal. 78
19
kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran
atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi
sengketa. Secara formil, pemeriksaan setempat tidak termasuk alat bukti dalam
Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah
dalam Pasal 153 HIR.
Keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang objektif dan
bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah
pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan
seorang ahli agar memperjelas suatu peristiwa di mana pengetahuan tentang
peristiwa itu hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu.

20
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan
hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang
bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Terdapat beberapa asas dalam pembuktian di Hukum Acara perdata.
Beben pembuktian adalah kewajiban normatif bagi para pihak untuk tampil
ke muka persidangan pengadilan dengan membuktikan tentang fakta-fakta
mengenai pokok perkara yang dipersengketakan.
Alat-alat bukti diatur dalam undang-undang, terdapat lima alat bukti, yaitu
alat bukti tertulis atau surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti
pengakuan dan alat bukti sumpah.

21
DAFTAR PUSTAKA

I.G.A. A. Ari Krisnawati, SH., M. (2015). PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA (Bagian


Hukum Acara Perdata). September, 1-11.

Khoirur Rofiq, M. (2022). Hukum Acara Peradilan Agama (H. Tolkah (ed.)). 1-358

Prof. Dr. Achmad Ali S.H., M. H. (2012). Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata
(SatuCahayaPro (ed.); 1st ed.). Prenada Media. 1-177

Yulia. 2018. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal Press.

Rasyid, Laila M. dan Herinawati. 2015. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal
Press.

Fakhriah, Efa Laela. 2015. “Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara
Perdata di Pengadilan Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata” dalam
ADHAPER: Jurnal Hukum Perdata Vol. 1, No. 2 (hal. 135-153)

22

Anda mungkin juga menyukai