Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMBUKTIAN

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum acara peradilan agama)

Dosen pengampu: Dr H.Ahmad Sanusi.M.A

Disusun Oleh:
Fauzan Firdaus (201130244)

Ahmad Taufik (2011302

Resal Salma Ninda (201130246)

Neni sultanti (201130243)

Siti nirma (2011302

Susilawati (2011302

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

TAHUN AKADEMIK (2022/ 2023)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahkan rahmat dan karunia-Nya juga shalawat serta salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, semoga kita semua mendapatkan syafaat di hari akhir kelak, Aamin Yaa
robbal alamin. Terimakasih pula kami sampaikan kepada dosen mata
kkuliah”HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA” Dr H. Ahmad Sanusi, M.A
yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa
pula kepada rekan-rekan kelompok yang telah ikut berkonstribusi dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul “PEMBUKTIAN” tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
memperbaiki kualitas penulisan kami di masa mendatang. Akhir kata semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Aamiin…..

Serang, 4 Desember
2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 3
A. Pengertian, Asas, dan Sistem Pembuktian.................................................................................. 3
A. Macam-Macam Alat Bukti dan kekuatannya .......................................................................... 4
B. Kekuatan alat bukti surat dalam hukum acara pidana. ........................................................... 5
D. Proses Pembuktian didalam Pengadilan ................................................................................. 6
BAB II .............................................................................................................................................. 11
PENUTUP......................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan .......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 12

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuktian dalam hukum acara pidana bagian terpenting dalam proses


pemeriksaan perkara pidana di dalam pengadilan. Pembuktian bagian dari hukum
acara pidana yang mangatur jenis-jenis alat bukti yang sah didalam sistem
pengadilan yang diproses dalam pembuktian, syarat-syarat tatacara mengajukan
bukti dan kewanangan hakim untuk menerima dan menolak serta menilai suatu
pembuktian. Analisis yang digunakan menggunakan metode deskritif, yang
memusatkan dan focus pada penguraian permasalahan, pemaparan, penafsiran, dan
juga Analisa sehingga diharapkan akan mengahsilkan kesimpulan berdasarkan
bahan-bahan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Adasar hukum didalam
pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP
(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Berbeda dengan pembuktian
perkara lain, pembuktian dalam perkara pidana susah dimulai dari tahap
pendahuluan dan penyidikan. Makna penting pembuktian, adalah mencari
kebenaran atas suatu peristiwa, dalam kontek hukum, dengan mencari suatu
peristiwa hukum, yang mempunyai sebab akibat. Karenanya dalam hukum acara
pidana merupakan inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari dalam
hukum pidana adalah kebenaran materiil, dan dimulainya sejak penyidikan untuk
mencari pembuktian sehingga membuat jelas dan terang suatu tindak pidana serta
menemukan tersangkanya. Sehingga pembuktian, adalah suatu ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan
kebenaran.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peran dalam proses


pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa
apakah bersalah atau tidak. Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan
atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

1
mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan
kesalahan terdakwa1.

Dengan tujuan adanya pembuktian sebagai bukti menentukan keadilan bagi


terdakwa yang melakukan tindak pidana atau upaya melawan hukum, maka hakim
akan memutuskan di dalam persidangan jika terdakwa melakukanya akan diadili
di mata hukum sesuai KUHP yang berlaku.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dikmaksud pengertian pembuktian?


2. Pembuktian jenis apakah yang harus dibawa kepengadilan?
3. Bagaimana hakim menentukan hukum jika terbukti melakukan tindakpidana?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mempelajari pengertian pembuktian


2. Untuk mengetahui jenis bukti didalam pengadilan
3. Untuk mengetahui hakim menentukan hukum jika terbukti melakukan
tindakpidana

1
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h.
252.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Pembuktian di muka pengadilan adalah hal yang terpenting dalam hukum acara
sebab pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan
pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan
peradilan agama mempergunakan hukum acara yang berlaku bagi peradilan
umum2.

A. Pengertian, Asas, dan Sistem Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti
yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
2. Tujuan Pembuktian
Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
peristiwa / fakta / dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
3. Asas Pembuktian
Berdasarkan pasal1865 BW, pasal 163 HIR dan pasal 283 RBG.
Barangsiapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut, dengan demikian beban pembuktian
dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu;
a. Pihak yang mengaku mempunyai hak;
b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa / keadaan / untuk
menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
4. Penilaian Pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya
peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat
pertama dan hakim banding.

2
Dr. H Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. “Hukum Acara Peradilan Agama”, 2002

3
A. Macam-Macam Alat Bukti dan kekuatannya

Dalam pembuktian dikenal bermacam-macam alat bukti, yaitu;


1) Alat bukti tertulis atau surat;
2) Alat bukti saksi;
3) Alat bukti persangkaan;
4) Alat bukti pengakuan;
5) Alat bukti sumpah kekuatan alat bukti
1. Bukti mengikat,
Meskipun hanya ada satu alat bukt telah cukup bagi hakim untuk memutus
perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti yang
lain, hakim terikat dengan bukti tersebut sehingga tidak dapat memutus lain
daripada yang telah terbukti dengan satu alat bukti tersebut. Alat bukti ini
tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lain (contoh: sumpah decisoir,
pengakuan).
2. Bukti sempurna
Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi hakim untuk memutus
perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan adanya alat bukti
lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut kecuali jika dapat dibuktikan
sebaliknya sehingga dapat dibuktikan dengan bukti lawan.
3. Bukti bebas
Hakim bebas menilai dengan pertimbangan yang logis, tidak terikat, dan
terserah keyakinan hakim untuk menilai, dapat mengesampingkan dan dapat
dilumpuhkan, misalnya : saksi yang disumpah, saksi ahli dan pengakuan di
luar siding
4. Bukti permulaan
Meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya kebenarannya tetapi belum
memenuhi syarat formal sebagai alat bukti yang cukup. Bukti ini harus
ditambah alat bukti lain agar menjadi sempurna. Terhadap alat bukti ini,
hakim bebas dan tidak terikat, misalnya akta di bawah tangan yang tanda
tangan dan isinya diingkari oleh yang bersangkutan.
5. Bukti dengan bukti

4
Sesuatu yang nampaknya memberikan keterangan yang mendukung
kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak memenuhi syarat formal sebagai
alat bukti.

B. Kekuatan alat bukti surat dalam hukum acara pidana.

Karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil/
kebenaran sejati, maka hakim bebas menggunakan / mengesampingkan sebuah
surat. Karena surat resmi / Otentik adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat
umum yang berwenang berdasarkan UU, maka ia adalah alat bukti sah dan bernilai
sempurna. Namun ia tidak dapat berdiri sendiri. Mengingat ada batas minimum
pembuktian (pasal 183 KUHAP). Dua hal penting tentang kekuatan alat bukti surat
:
1. Dalam perkara perdata, hakim memutus perkara menurut kekuatan bukti dari
Akta Otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkaan, sedangkan dalam
perkara pidana Akta Otentik bisa saja dikesampingkan seandanya tidak ada
keyakinan hakim.
2. Pembuktian dalam perkara perdata untuk mencari kebenaran formal
sedangkan dalam perkara pidana untuk mencari kebenaran materiil. Surat
sebagai alat bukti tertulis ada 2 macam :
1) Akta
2) Surat – surat lain bukan Akta
Akta dibagi menjadi 2 :
a) Akta Otentik
Menurut Prof. Dr Sudikno S.H “Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan”3.
Akta Otentik itu mengandung beberapa unsur pokok yaitu akta yang dibuat
oleh dan atau dihadapan pejabat umum yang ditentukan undangundang. Yang
dimaksudkan dengan pejabat umum adalah Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita,
Pegawai Pencatat Sipil, yang berarti bahwa surat-surat yang dibuat oleh dan

3
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1977, h.
101.

5
atau dihadapan pejabat tersebut, seperti akta notaris, vonis, surat berita acara
persidangan, proses perbal pesitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian
adalah merupakan akta otentik4.
b) Akta dibawah tangan.
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat5. Oleh karena itu akta otentik
adalah suatu kata yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat umum yang
ditentukan undang-undang, maka akta dibawah tangan dapat dikatakan
sebagai suatu akta yang dibuat tidak di hadapan dan atau oleh pegawai umum,
melainkan akta yang dibuat dan di tandatangani si pembuat dengan maksud
agar surat itu dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian. Didalam HIR tidak
mengatur tentang akta dibawah tangan, yang mengaturnya ada didalam KUH
Perdata pasal 1874. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, maka
undang-undang menentukan bahwa akta dibawah tangan juga dapat
merupakan alat bukti yang engkap sepanjang tanda tangan didalam akta
tersebut diakui keasliannya. Sedangkan apabila tanda tangan atau tulisannya
dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih
dahulu6.

D. Proses Pembuktian didalam Pengadilan

1. Pembuktian Perkara Perdata


Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh
kebenaran formil (formeel waarheid). Kebenaran formil didasarkan pada
formalitas-formalitas hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat. “Sempurna” berarti hakim tidak memerlukan alat
bukti lain untuk memutus perkara selain berdasarkan alat bukti otentik dimaksud.
Sedangkan “mengikat” berarti hakim terikat dengan alat bukti otentik kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata/pasal 164 HIR, alat
bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti : tulisan, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan
dalam urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara

4
Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h. 41.
5
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1977, h.
105
6
Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h. 44-

6
perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting. Sesuai dengan bunyi pasal
1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pasal 1 angka 14,
pengertian Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara
lelang. Sebagai pejabat umum, Pejabat Lelang dalam setiap pelaksanaan lelang
membuat produk berupa Risalah Lelang. Risalah lelang merupakan berita acara
pelaksanaan lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 35 PMK
Nomor 27/PMK.06/2016 tersebut. Selanjutnya bunyi pasal 1 angka 36 adalah
Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah Lelang berikut lampirannya yang
merupakan dokumen atau arsip negara.
Bukti tertulis harus diajukan sebagai bukti penyanggah dalil-dalil dalam
gugatan/bantahan/perlawanan pihak Penggugat/Pembantah/Pelawan. Ketersediaan
dokumen asli menjadi begitu penting agar keseluruhan dokumen tersebut
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sedangkan dokumen yang berupa
salinan/copy dokumen tidak akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim akan tetapi
hanya akan menjadi sebuah catatan saja. Sedangkan untuk dokumen internal
pun harus diupayakan merupakan dokumen asli. saat Pembuktian yang
ditunjukkan ke Majelis Hakim adalah dokumen aslinya. Kekuatan pembuktian
perkara perdata untuk memenangkan perkara yang berdasar pada dokumen ini juga
harus memperhatikan beberapa hal menyangkut kebenaran formil di dalamnya.
Sebagaimana pendapat M. Yahya Harahap, bahwa kekuatan pembuktian
sempurna dan mengikat pada akta otentik harus memenuhi tiga kriteria yaitu
kekuatan bukti luar, kekuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian
materiil. Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan
sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat bukti luar/harus diterima
kebenarannya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil berdasarkan pasal
1871 KUH Perdata, menyangkut kebenaran formil yang dicantumkan oleh pejabat

7
pembuat akta. Untuk kebenaran materiil, merupakan permasalahan benar atau tidak
keterangan yang tercantum di dalamnya 7.
2. Pembuktian didalam perkara Pidana
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang
boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat bukti itu
dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya 8.
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah9:
1. Undang-undang;
2. doktrin atau ajaran;
3. yurispruidensi.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Pasal 183
KUHP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahawa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan pasal 183
KUHAP bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP),
yaitu alat-alat bukti yang sah, disetai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari
alat-alat bukti. Sama dengan ketentuan pasa pasal 294 ayat 1 Herziene Inlands
Reglement (HIR) yang berbunyi: “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana,
selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar
telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa itulah
yang bersalah melakukan perbuatan itu”10
Untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa, tidak cukup berdasarkan
keyakinan hakim semata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian

7
M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata,
8
Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 11
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal. 66
10
Susanti Ante, “PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA”, 2013

8
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian itu
dibarengi dengan keyakinan hakim11.
Adapun tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut 12:
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar
menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan
dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan
usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti
yang ada agar menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan
dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu, terdakwa
atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti
yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya, bukti
tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan adanya alat-
alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari penuntut
umum maupun penasihat hukum/ terdakwa dibuat atas dasar untuk
membuat keputusan.

Secara hukum, meskipun seseorang sudah menyandang status tersangka atau


terdakwa, bukan berarti orang tersebut bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Siapapun orang itu harus tetap dihormati hak-haknya. Berdasarkan asas hukum
acara pidana yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asas
persamaan di muka hukum (equality before the law), maka dalam proses rangkaian
seluruh pemeriksaan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa,
bermula dari proses penyidikan hingga dijatuhkannya putusan oleh majelis hakim,

11
M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya
Harahap II), h. 278-279.
12
Purwadi, 2009, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Ditinjau dari Sistem Hukum Pembuktian Indonesia

9
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, terdakwa diberikan hak-hak yang
wajib dihormati dan tidak boleh dikesampingkan.

Pengajuan bukti oleh terdakwa tersebut tidak sejalan dengan Pasal 66


KUHAP yang menyebutkan: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”. Jaksa Penuntut Umum-lah yang dibebani kewajiban pembuktian
untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak. Tetapi pengajuan bukti yang
meringankan oleh terdakwa tersebut untuk melindungi hak-hak terdakwa dan
menjunjung tinggi asas persamaan di muka hukum (equality before the law).
Merujuk pada asas tersebut, maka terdakwa berhak mengajukan pembelaan dengan
menggunakan alat bukti saksi yang meringankan (a de charge) dan alat bukti surat,
namun juga harus dicermati apakah alat bukti yang diajukan terdakwa tersebut
sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pada proses pembuktian dalam perkara
tindak pidana umum, tidak lepas dari alat bukti keterangan saksi. Meskipun dalam
perkara pidana tidak ada hierarki dalam alat bukti, kesaksian mendapat tempat yang
utama. Surat dan alat bukti tertulis lainnya, termasuk dokumen elektronik, hanya
dapat dijadikan bukti jika berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan.
Kendatipun demikian, kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya, termasuk
dokumen elektronik, haruslah juga dibuktikan13.

Selain Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan alat bukti surat, terdakwa
dalam pembelaannya dapat mengajukan alat bukti surat yang meringankan atas
dakwaan yang ditujukan kepadanya. Pengajuan alat bukti surat itu misalnya
rekening listrik, rekening PDAM, kwitansi pembayaran, struk perbelanjaan atau
bukti transaksi ATM, yang tentunya masih terdapat keterkaitan dengan tindak
pidana yang dituduhkan. Tetapi pengajuan alat bukti surat oleh terdakwa seringkali
lemah dihadapan majelis hakim dan cenderung diabaikan, sehingga hak-hak
terdakwa tidak terakomodir dalam proses beracara di persidangan. Hal itu tidak
sesuai dengan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan
mencederai rasa keadilan bagi terdakwa.

13
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, h. 69.

10
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian


berdasarkan undangundang secara negatif dimana pembuktian harus didasarkan
pada undang-undang (Pasal 183 KUHAP) yakni dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Bentuk-
bentuk putusan pengadilan dalam acara pidana berdasarkan KUHAP adalah
putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pemidanaan.
Putusan-putusan ini menurut ketentuan Pasal 195 KUHAP harus diucapkan di
sidang terbuka untuk umum agar putusanputusan tersebut dapat dipandang sebagai
putusan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. “Hukum Acara Peradilan Agama”, 2002

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, h. 69.

Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, 2003, hal. 11

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h. 252.

M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), h. 278-279.

M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata,

Purwadi, 2009, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Ditinjau dari Sistem Hukum Pembuktian
Indonesia

Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 1977, h. 101.

Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 1977, h. 105

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal. 66

Susanti Ante, “PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA”,


2013

Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h.
41.

12

Anda mungkin juga menyukai