PEMBUKTIAN
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum acara peradilan agama)
Disusun Oleh:
Fauzan Firdaus (201130244)
Susilawati (2011302
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahkan rahmat dan karunia-Nya juga shalawat serta salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, semoga kita semua mendapatkan syafaat di hari akhir kelak, Aamin Yaa
robbal alamin. Terimakasih pula kami sampaikan kepada dosen mata
kkuliah”HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA” Dr H. Ahmad Sanusi, M.A
yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa
pula kepada rekan-rekan kelompok yang telah ikut berkonstribusi dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul “PEMBUKTIAN” tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
memperbaiki kualitas penulisan kami di masa mendatang. Akhir kata semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Aamiin…..
Serang, 4 Desember
2022
Penyusun
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan
kesalahan terdakwa1.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h.
252.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pembuktian di muka pengadilan adalah hal yang terpenting dalam hukum acara
sebab pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan
pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan
peradilan agama mempergunakan hukum acara yang berlaku bagi peradilan
umum2.
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti
yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
2. Tujuan Pembuktian
Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
peristiwa / fakta / dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
3. Asas Pembuktian
Berdasarkan pasal1865 BW, pasal 163 HIR dan pasal 283 RBG.
Barangsiapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut, dengan demikian beban pembuktian
dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu;
a. Pihak yang mengaku mempunyai hak;
b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa / keadaan / untuk
menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
4. Penilaian Pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya
peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat
pertama dan hakim banding.
2
Dr. H Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. “Hukum Acara Peradilan Agama”, 2002
3
A. Macam-Macam Alat Bukti dan kekuatannya
4
Sesuatu yang nampaknya memberikan keterangan yang mendukung
kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak memenuhi syarat formal sebagai
alat bukti.
Karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil/
kebenaran sejati, maka hakim bebas menggunakan / mengesampingkan sebuah
surat. Karena surat resmi / Otentik adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat
umum yang berwenang berdasarkan UU, maka ia adalah alat bukti sah dan bernilai
sempurna. Namun ia tidak dapat berdiri sendiri. Mengingat ada batas minimum
pembuktian (pasal 183 KUHAP). Dua hal penting tentang kekuatan alat bukti surat
:
1. Dalam perkara perdata, hakim memutus perkara menurut kekuatan bukti dari
Akta Otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkaan, sedangkan dalam
perkara pidana Akta Otentik bisa saja dikesampingkan seandanya tidak ada
keyakinan hakim.
2. Pembuktian dalam perkara perdata untuk mencari kebenaran formal
sedangkan dalam perkara pidana untuk mencari kebenaran materiil. Surat
sebagai alat bukti tertulis ada 2 macam :
1) Akta
2) Surat – surat lain bukan Akta
Akta dibagi menjadi 2 :
a) Akta Otentik
Menurut Prof. Dr Sudikno S.H “Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan”3.
Akta Otentik itu mengandung beberapa unsur pokok yaitu akta yang dibuat
oleh dan atau dihadapan pejabat umum yang ditentukan undangundang. Yang
dimaksudkan dengan pejabat umum adalah Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita,
Pegawai Pencatat Sipil, yang berarti bahwa surat-surat yang dibuat oleh dan
3
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1977, h.
101.
5
atau dihadapan pejabat tersebut, seperti akta notaris, vonis, surat berita acara
persidangan, proses perbal pesitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian
adalah merupakan akta otentik4.
b) Akta dibawah tangan.
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat5. Oleh karena itu akta otentik
adalah suatu kata yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat umum yang
ditentukan undang-undang, maka akta dibawah tangan dapat dikatakan
sebagai suatu akta yang dibuat tidak di hadapan dan atau oleh pegawai umum,
melainkan akta yang dibuat dan di tandatangani si pembuat dengan maksud
agar surat itu dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian. Didalam HIR tidak
mengatur tentang akta dibawah tangan, yang mengaturnya ada didalam KUH
Perdata pasal 1874. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, maka
undang-undang menentukan bahwa akta dibawah tangan juga dapat
merupakan alat bukti yang engkap sepanjang tanda tangan didalam akta
tersebut diakui keasliannya. Sedangkan apabila tanda tangan atau tulisannya
dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih
dahulu6.
4
Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h. 41.
5
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1977, h.
105
6
Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h. 44-
6
perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting. Sesuai dengan bunyi pasal
1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pasal 1 angka 14,
pengertian Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara
lelang. Sebagai pejabat umum, Pejabat Lelang dalam setiap pelaksanaan lelang
membuat produk berupa Risalah Lelang. Risalah lelang merupakan berita acara
pelaksanaan lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 35 PMK
Nomor 27/PMK.06/2016 tersebut. Selanjutnya bunyi pasal 1 angka 36 adalah
Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah Lelang berikut lampirannya yang
merupakan dokumen atau arsip negara.
Bukti tertulis harus diajukan sebagai bukti penyanggah dalil-dalil dalam
gugatan/bantahan/perlawanan pihak Penggugat/Pembantah/Pelawan. Ketersediaan
dokumen asli menjadi begitu penting agar keseluruhan dokumen tersebut
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sedangkan dokumen yang berupa
salinan/copy dokumen tidak akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim akan tetapi
hanya akan menjadi sebuah catatan saja. Sedangkan untuk dokumen internal
pun harus diupayakan merupakan dokumen asli. saat Pembuktian yang
ditunjukkan ke Majelis Hakim adalah dokumen aslinya. Kekuatan pembuktian
perkara perdata untuk memenangkan perkara yang berdasar pada dokumen ini juga
harus memperhatikan beberapa hal menyangkut kebenaran formil di dalamnya.
Sebagaimana pendapat M. Yahya Harahap, bahwa kekuatan pembuktian
sempurna dan mengikat pada akta otentik harus memenuhi tiga kriteria yaitu
kekuatan bukti luar, kekuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian
materiil. Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan
sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat bukti luar/harus diterima
kebenarannya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil berdasarkan pasal
1871 KUH Perdata, menyangkut kebenaran formil yang dicantumkan oleh pejabat
7
pembuat akta. Untuk kebenaran materiil, merupakan permasalahan benar atau tidak
keterangan yang tercantum di dalamnya 7.
2. Pembuktian didalam perkara Pidana
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang
boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat bukti itu
dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya 8.
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah9:
1. Undang-undang;
2. doktrin atau ajaran;
3. yurispruidensi.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Pasal 183
KUHP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahawa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan pasal 183
KUHAP bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP),
yaitu alat-alat bukti yang sah, disetai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari
alat-alat bukti. Sama dengan ketentuan pasa pasal 294 ayat 1 Herziene Inlands
Reglement (HIR) yang berbunyi: “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana,
selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar
telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa itulah
yang bersalah melakukan perbuatan itu”10
Untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa, tidak cukup berdasarkan
keyakinan hakim semata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian
7
M. Yahya Harahap, S.H. Hukum Acara Perdata,
8
Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 11
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal. 66
10
Susanti Ante, “PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA”, 2013
8
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian itu
dibarengi dengan keyakinan hakim11.
Adapun tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut 12:
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar
menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan
dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan
usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti
yang ada agar menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan
dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu, terdakwa
atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti
yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya, bukti
tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan adanya alat-
alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari penuntut
umum maupun penasihat hukum/ terdakwa dibuat atas dasar untuk
membuat keputusan.
11
M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat M. Yahya
Harahap II), h. 278-279.
12
Purwadi, 2009, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Ditinjau dari Sistem Hukum Pembuktian Indonesia
9
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, terdakwa diberikan hak-hak yang
wajib dihormati dan tidak boleh dikesampingkan.
Selain Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan alat bukti surat, terdakwa
dalam pembelaannya dapat mengajukan alat bukti surat yang meringankan atas
dakwaan yang ditujukan kepadanya. Pengajuan alat bukti surat itu misalnya
rekening listrik, rekening PDAM, kwitansi pembayaran, struk perbelanjaan atau
bukti transaksi ATM, yang tentunya masih terdapat keterkaitan dengan tindak
pidana yang dituduhkan. Tetapi pengajuan alat bukti surat oleh terdakwa seringkali
lemah dihadapan majelis hakim dan cenderung diabaikan, sehingga hak-hak
terdakwa tidak terakomodir dalam proses beracara di persidangan. Hal itu tidak
sesuai dengan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan
mencederai rasa keadilan bagi terdakwa.
13
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, h. 69.
10
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. “Hukum Acara Peradilan Agama”, 2002
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, h. 69.
Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, 2003, hal. 11
Purwadi, 2009, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Ditinjau dari Sistem Hukum Pembuktian
Indonesia
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 1977, h. 101.
Sudikno Mertokusumo, DR., S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ke-1, Liberty,
Yogyakarta, 1977, h. 105
Teguh Samudra, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h.
41.
12