Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

Alat-Alat Bukti dan Tahapan Pembuktian

(Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Peradilan Islam Di


Indonesia)

Dosen Pengampu:

Dr.H. Zezen Zaenudin, M.Ag.

Disusun oleh:

Ira Mayasari (2113.0890)

Muhammad Syandana Haikal Fadli (2113.0885)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


AL- MASTHURIYAH SUKABUMI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah “Alat-alat bukti dan tahapan
pembuktian” ini dengan baik dan selesai tepat waktu.

Di dalam makalah ini akan disampaikan masalah mengenai “Alat-Alat Bukti dan
Tahapan Pembuktian” yang sudah kami susun dan diselesaikan dengan baik sehingga dapat
dengan mudah di pahami oleh mahasiswa.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Zezen Zaenudin, M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Peradilan Islam Di Indoensia yang telah membimbing kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami ucapkan juga kepada Orang Tua dan Keluarga
yang telah mensupport dan membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran guna membangun demi
kesempurnaan penulisan makalah kami selanjutnya.

Sukabumi, … Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................

Daftar Isi.............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................
C. Tujuan ……............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

1. Definisi Alat Bukti…………………………….......................................................


2. Macam-Macam Alat Bukti. ....................................................................................

BAB III PENUTUP............................................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengadilan Agama, merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah. Peradilan
Agama adalah salah satu peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di
Indonesia yang berfungsi menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan umat
Islam Indonesia. Sedangkan kedudukannya terutama di era reformasi ini mencapai
puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga UUD
1945 oleh MPR. Dalam pasal 24 UUD 1945 hasil amandemennya secara ekspelisit
dinyatakan bahwa lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Kemudian ditandai dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman sebagai perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999. Dalam UU No. 4 Tahun
2004 disebutkan : “Bahwa semua lingkungan peradilan, termasuk Peradilan Agama,
pembinaan, organisasi, admistrasi dan pinansialnya dialih dari pemerintah kepada
Mahkamah Agung”
Untuk melakukan proses persidangan dalam suatu kasus ada beberapa tahapan
yang harus ditempuh yaitu, proses tahapan alat bukti. Alat bukti ialah upaya
pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-
dalil atau dalam perkara pidana dakwaan disidang penngadilan, misalnya keterangan
terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan dan
sumpah. Dan bagaimana tahapan pembuktian dipengadilan:
Tahap Persidangan:
a. Tahap Pertama, Upaya Damai.
b. Tahap Kedua, Pembacaan Gugatan/Permohonan.
c. Tahap Ketiga, Jawaban Tergugat/Termohon.
d. Tahap Keempat, Replik.
e. Tahap Kelima, Duplik.
f. Tahap Keenam, Pembuktian.
g. Tahap Ketujuh, Kesimpulan.
h. Tahap Kedelapan, Musyawarah Majelis.
Sehingga hakim bisa memutuskan suatu perkara dengan tahapan-tahapan pembuktian
yang diterima.
Kita sebagai Mahasiswa Hukum memang sudah seharusnya memahami dan
mempelajari alat-alat bukti serta tahapan pembuktian dipengadilan apalagi kita
berfokus kepada Hukum Ekonomi Syariah yang tidak akan lepas dari Hukum Peradilan
Agama.
Dibuatnya makalah ini untuk mempermudah kita sebagai Mahasiswa Hukum
untuk memahami bagaimana pembuktian dipengadilan, diserahkannya alat-alat bukti
kepada hakim ketua sehingga putusan-putusan perkara keluar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi alat-alat bukti?
2. Apa macam-macam alat bukti?
3. Bagaimana tahapan pembuktian dipengadilan Agama?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi alat bukti.
2. Untuk mengetahui macam-macam alat bukti.
3. Untuk mengetahui tahapan pembuktian dipengadilan Agama.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Alat Bukti
Definisi alat bukti perdata pasal 1866 KUHPerdata/Pasal 164 H.I.R terdiri dari 5
poin yaitu: Bukti Surat atau Akta, Bukti dengan saksi-saksi, Persangkaan-Persangkaan,
Pengakuan, Sumpah.
Dalam acara dipengadilan pasti selalu ada Penegak hukum. Lalu apa yang
dimaksud penegak hukum? Penegakan adalah upaya untuk menerjemahkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum, dan utilitas sosial ke dalam kenyataan. Oleh karena itu,
penegakan hukum pada hakekatnya adalah proses mewujudkan pemikiran dan konsep
hukum yang diharapkan masyarakat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan
suatu proses yang melibatkan banyak hal. Penegakan adalah suatu proses dimana
norma hukum bekerja keras untuk mempertahankan atau berperan bagi para pelaku
dalam hubungan hukum dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa.
Kemudian dalam pemutusan hukum dan penerimaan alat-alat bukti oleh seorang
hakim. Seorang hakim dapat menyelesaikan sebuah perkara yang diajukan kepadanya
dan penyelesaian itu memenuhi tuntuan keadilan, maka wajib baginya:
a. Mengetahui hakekat dakwaan/gugatan;
b. Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.
Adapun pengetahuan hakim tentang hakekat dakwaan/gugatan itu adakalanya ia
menyaksikan sendiri peristiwanya, atau menerima keterangan dari pihak lain yang
bersifat mutawatir, dan jika tidak demikian, maka tidak dapat disebut sebagai
pengetahuan hakim tapi hanya dapat disebut sebagai pengsangkaan (dhan).1
Adapun pengetahuan hakim tentang hukum Allah, yaitu bahwa hakim tersebut
harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’I, atau hukum-hukum yang
telah disepakati oleh ‘Ulama, dan jika tidak ditemukan ketentuan hukumnya pada nash-
nash yang qath’I dan tidak terdapat pula hukum yang disepakati oleh ‘Ulama, maka
ditempuhlah jalan ijtihad, dan jalan ijtihad ini pun didasarkan pada persangkaan yang
kuat (dhan).2

1 Peradilan Dalam Islam, Muhammad Salam Madkur, Pt.bing imu. Hal : 92


2 Peradilan Dalam Islam, Muhammad Salam Madkur, Pt.bing imu. Hal : 93
Dan alat bukti menurut Ibnu Qayim adalah “Setiap alasan yang dapat
memperkuat dakwaan/gugatan”, dan ia telah menemukan sebanyak 26 alat bukti yang
ia sebutkan dalam kitabnya “At Thuruqul Hukmiyah”, yang disimpulkan dari Al-
Qur’an, Hadist yang shahih, atau dari praktek-praktek Nabi saw, baik dalam situasi
perang maupun damai, didalam bepergian maupun dirumah.3

Alat bukti menurut Ibnu Qayim adalh sebagai berikut :

1. Al yadul mujaradah (semata-mata penguasaan)


Yakni bukti yang tidak memerlukan sumpah, dan ia memberikan contohnya:
seperti anak-anak atau orang yang berada dibawah pengampunan, yang memiliki
atas harta peninggalan ayahnya, maka dalam kasus seperti ini, dengan semata-
mata atas dasar penguasaan itu telah cukup sebagai alat bukti tanpa diperlukan
sumpah.
2. Al inkarul mujaradad (semata-mata ingkar).
Ada orang yang mengaku telah berpiutang kepada seseorang yang telah
meninggal dunia, atau si meninggal telah berwasiat sesuatu untuknya, sedangkan
si meninggal itu memiliki washy (orang yang diwasiati) untuk membayar hutang-
hutangnya dan melaksanakan wasiat-wasiatnya, kemudian washy tadi
mengingkari pengakuan tersebut, padahal pihak penggugat tidak memiliki bukti,
maka dalam kasus seperti ini tidak boleh diambil sumpahnya dari pihakl washy,
karena tujuan pengambilan sumpah adalah untuk mencari kemungkinan
pembangkangan, yang kemudian diterima tentang pengakuannya atas hutang dan
wasiat si menginggal, meskipun seandainya si washy diminta sumpahnya,
terkecuali apabila si washy termasuk salah satu seorang dari ahli waris, maka ia
dapat diambil sumpahnya dan apabila ia membangkang, maka diputus atas dasar
pembangkangan itu.
3. Bukti berupa penguasaan atas suatu hak dan sumpah atasnya.
Apabila ada seseorang yang dituduh bahwa apa yang dimilikinya itu adalah
bukan miliknya, kemudian pemilik hak itu menyangkal atas tuduhan tersebut, lalu
ia diminta bersumpah maka tetaplah hak itu menjadi miliknya, dan jika tidak mau
bersumpah maka dicabutlah hak itu dari kekuasaannya. Seperti ada orang yang
lari lalu di tangannya ada sebuah sorban, dan di kepalanya pun ada sorban, dan di
belakangnya Nampak ada orang yang lari mengejarnya tanpa sorban, dimana

3 Peradilan Dalam Islam, Muhammad Salam Madkur, Pt.bing imu. Hal : 94


orang tersebut menurut kebiasaannya tidak pernah lepas dari sorbannya, maka
petunjuk (qorinah) tersebut adalah lebih kuat daripada bukti penguasaan.
4. Penolakan
Jelas bahwa yang dimaksud penolakan ini yaitu menolaknya mudda’aa ‘alaih
(tertuduh/tergugat) untuk bersumpah sebagaimana yang diminta oleh mudda’I
(penuntut umum/penggugat). Karena menolak sumpah itu dianggap sebagai
penguat suatu tuduhan/gugatan, dimana kekuatan bukti ini dapat disamakan
dengan pengakuan.

B. Macam Macam Alat Bukti


Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak
yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
tuntutan atau bantahannya.[1] Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866
KUH Perdata, sebagai berikut:
a. Alat bukti surat.
b. Alat bukti saksi.
c. Alat bukti persangkaan.
d. Alat bukti pengakuan.
e. Alat bukti sumpah.
f. Pemeriksaan di tempat.
g. Saksi ahli.

1. Alat Bukti Surat.


Adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga)
macam surat, sebagai berikut:
a. Surat Biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan
alat bukti. Yang termasuk surat biasa adalah surat-surat yang berhubungan
dengan korespondensi dan lain-lain.
b. Akta Otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Misalnya, Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai,
dan lain-lain.
c. Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan
pejabat yang berwenang.
2. Alat Bukti Saksi.
Adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang,dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan
tersebut.[2]
Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah,
sebagai berikut:
a. Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
b. Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui
dan dialami sendiri.
c. Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara
pribadi.
d. Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan
keterangan.
e. Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat,
kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.
f. Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti.
g. Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti. Satu saksi
harus didukung dengan alat bukti lainnya.
Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut:[3]
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari
salah satu pihak.
b. Suami atau istri salah satu pihak meskiput telah bercerai.
c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah
berumur 15 tahun.
d. Orang gila walaupun kadang-kadang inggatannya terang.
3. Alat Bukti Persangkaan.
Adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau
dianggap terbukti kearah  suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti,
baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[4]
a. Persangkaan Undang-undang
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-
undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal
pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali
berturut-turut membuktikan bahwa angsuran tersebut telah dibayar.
b. Persangkaan Hakim
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa
lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan
yang terus-menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat
membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan
bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan
hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim
menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak
mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri
bertahun-tahun.
4. Alat Bukti Pengakuan.
Adalah pernyataan seseorang tentang drinya sendiri, bersifat sepihak dan
tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan ada dua macam, sebagai
berikut:[5]
a. Pengakuan di depan siding.
Adalah pengakuan pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan
membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di
depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna.
b. Pengakuan diluar sidang
Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan
pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa.
Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang
pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan
pembuktian atas pengakuan tersebut.
5. Alat Bukti Sumpah.
Adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar
akan dihukum oleh-Nya. Ada 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
a. Sumpah Supletoir atau sumpah pelengkap yaitu sumpah yang dibebankan
oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah
pembuktian.[6]
b. Sumpah Decisoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan
oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya.[7]
c. Sumpah Aestimatoir atau yaitu sumpah yang dibebankan hakim kepada
penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.[8]
1. Pemeriksaan Di Tempat
Adalah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya, yang
dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan
melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian
tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Pemeriksaan di tempat dilakukan dengan pergi ketempat barang yang
menjadi objek perkara, yang tidak dapat dibawa ke persidangan, misalnya
keadaan perkarangan bangunan. Pemeriksaan ditempat dilakukan oleh hakim
dengan dibantu oleh panitra. Tujuan pemeriksaan setempat ialah agar hakim
memperoleh gambaran yang jelas tentang peristiwa yang menjadi sengketa.
2. Keterangan Saksi Ahli.
Adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif yang bertujuan untuk
membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim
sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata/Pasal 164 HIR (283 R.B.G) alat bukti dalam
perkara perdata terdiri atas
a. Bukti Tulisan
b. Bukti dengan Saksi Saksi
c. Perangkaan Persangkaan
d. Pengakuan, dan
e. Sumpah
Sudah setepatnya alat bukti yang utama adalah tulisan. Dalam lalu lintas keperdataan,
yaitu dalam jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan tulisan.
Definisi pembuktian merupakan proses bagaimana alat alat bukti dipergunakan,
diajukan ataupun dipertahankan dalam hukum acara yang berlaku. Adapun tujuan dari
pembuktian adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitive, pasti, tidak meragukan,
dan memiliki akibat hukum.
Tahapan pembuktian ini dilakukan oleh penggugat maupun tergugat untuk diberikan
kepada hakim guna bisa memberikan putusan yang di inginkan oleh kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai