PENGADILAN NEGERI
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
Legina Arlian Saputri
Muhammad Harry Raenaldi
Moh. Khaerul Barry
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah.................................................................................................... 3
Rumusan Masalah............................................................................................................. 3
Tujuan................................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
Profil Pengadilan Negeri....................................................................................................4-6
Kewenangan Pengadilan Negeri........................................................................................ 6-7
Masyarakat dan atau penegak hukum sendiri bisa bebas melakukan kegaduhan dan gangguan,
baik sebelum sidang dimulai, dalam persidangan berjalan, maupun setelah sidang ditutup.
Kekacauan kerap terjadi, dengan cara memaki-maki Hakim, Jaksa Penuntut Umum,dan atau
Penasehat Hukum. Tidak jarang pula terjadi pemukulan dan pengeroyokan terhadap terdakwa
atau saksi oleh pengunjung sidang di pengadilan, yang notabene mungkin keluarga atau para
pendukung salah satu pihak yang terlibat dalam persidangan.
Bahkan ada yang berani melempar Penegak Hukum dengan papan nama, telur busuk dan benda
lainnya, karena sangat kesal dan kecewa terhadap jalannya proses persidangan
B. Rumusan Masalah
a. Profil Pengadilan Negeri
b. Kewenangan Pengaadilan Negeri
c. Jenis Perkara yang Ditangani Pengadilan Negeri
d. Prosedur pengajuan perkara
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui Profil pengadilan negeri
b. Untuk mengetahui kewenangan pengadilan negeri
c. Untuk mengetahui perkara yang ditangani pengadilan negeri
d. Untuk mengetahui prosedur pengajuan perka
BAB II
Pembahasan
1
Basah, Sjachran, Mengenal Peradilan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 9.
2
10 Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002,
hlm. 373.
a. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum
meliputi wilayah provinsi. b. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.
b. Pengadilan khusus lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi,
Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan anak. Undang-
Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa salah
satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Dalam mencapai keadilan, esensi dan eksistensi Peradilan Umum itu
sendiri harus mampu mewujudkan kepastian hukum sebagai sesuatu nilai yang
sebenarnya telah terkandung dalam peraturan hukum yang bersangkutan itu
sendiri. Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat tercapainya keadilan
tetap juga diperlukan adanya kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada
dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum yang bersangkutan dan
dalam hal ini juga harus mampu diwujudkan oleh Peradilan Umum. Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengadilan negeri adalah suatu pengadilan
yang sehari-harinya memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perdata.
Pengadilan negeri berkedudukan di ibu kota daerah kabupaten/kota. Daerah
hukumnya juga meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan negeri bertugas
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di
tingkat pertama, serta dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum kepada instansi pemerintah didaerahnya apabila diminta.
1. Perkara pidana
3
Philipus M. Hadjon, et. al, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara, UGM Pers, Yogjakarta, 2008,
hlm. 130.
4
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sisitem
Ketatanegaraan Republik Indonesi, Citra aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 217.
Prosedur dalam perkara pidana terdiri dari 3 jenis perkara, yaitu :
Berdasarkan pasal 203 ayat (1) KUHAP, maka yang diartikan dengan perkara-
perkara dengan acara singkat adalah perkara-perkara pidana yang menurut
Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana. Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut
Umum ke persidangan dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu
yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dalam acara singkat ini, maka setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis
Hakim dan setelah pertanyaan formil terhadap terdakwa diajukan maka
Penuntut Umum dipersilahkan menguraikan tentang tindak pidana yang
didakwakan secara lisan dan dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai
pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) KUHAP).
5
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II), Cet. II,
1997.
mengenai perkara-perkara pidana biasa yakni diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dengan melalui Panitera tetapi dengan perbedaan bahwa
berkas-berkas perkara pidana dengan acara singkat tidak perlu didaftarkan
dulu pada waktu penerimaan.
Putusan tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang
atau putusan menjadi satu dengan Berita Acara Sidang. 6
Perkara ini diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa ada kewajiban
dari Penuntut Umum untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya
Penuntut Umum menyatakan keinginannya untuk hadir pada sidang itu. Jadi
pada pokoknya yang dimaksud perkara-perkara semacam tersebut diatas ialah
antara lain perkara-perkara pelanggaran Lalu Lintas, Pencurian Ringan (pasal
364 KUHP), Penggelapan Ringan (pasal 373 KUHP), Penadahan Ringan
(pasal 482 KUHP), dan sebagainya.
2. Acara perdata
6
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II), Cet. II, 1997.
Bagi pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana
harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan,
dapat mengajukan permohonannya secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan
tersebut (pasal 120 HIR).
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi suatu penetapan.
Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan oleh Pengadilan
Negeri, misalnya dalam hal diajukan permohonan pengangkatan anak oleh
seorang Warga Negara Asing (WNA) terhadap anak Warga Negara Indonesia
(WNI), atau oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) terhadap anak Warga
Negara Asing (WNA). (SEMA No. 6/1983).
Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan
permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan
atau yurisprudensi.
Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri
yaitu :
Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan
atau permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah
Tergugat.
Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR.
Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo.
Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama
(menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan
disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan
dalam petitumnya.
Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada
pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam
rangkap 3 (tiga).
Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada
pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar
biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran.
Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan
uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas
layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada
pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli
dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau
permohonan yang bersangkutan.
Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau
permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan
pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau
permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
Kesimpulan
-Pengadilan Negeri adalah suatu Pengadilan (yang umum) yang memeriksa dan memutuskan
perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana untuk semua
golongan
-Tugas dan wewenang Pengadilan Negeri tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 50,
yang berbunyi:
-"Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
pidana dan perkara perdata di tingkat pertama."
M. Karjadi. 1988. Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (S. 1941 No. 44). Bogor: Pelita.
Prof. Sudikno Mertokusumo, SH. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Prof. R. Subekti, SH. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta. Ropaun Rambe. 2001. Teknik
Gramedia Widiasarana Indonesia. Sutrisno Hadi. 1997..
Soerjono Soekamto. 1993. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soepomo. 2002. Hukum Acara
Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.