Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

LANDASAN YURIDIS HUKUM ACARA PERDATA


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
HUKUM ACARA PERDATA

DISUSUN OLEH :
ANGGUN MELLYNIA SUKASTI
2008010169

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD
AL-BANJARY BANJARBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan anugrah dari-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “ Landasan Yuridis Hukum Acara Perdata”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata .
Saya sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
tentang Hukum Acara Perdata sebagai perekat sosial maupun bangsa.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Saya mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat
saya perbaiki. Karena saya sadar, makalah yang saya buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya.

Banjarbaru, 23 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1

B. Rumus Permasalahan.....................................................................................................1

C. Tujuan............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................2

A. Landasan Yuridis Hukum Acara Perdata......................................................................2

B. Prinsip-Prinsip Hukum Acara Perdata...........................................................................2

C. Tahapan-Tahapan Pembuktian Hukum Acara Perdata..................................................2

BAB III PENUTUP......................................................................................................................6

A. Kesimpulan....................................................................................................................6

B. Saran..............................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan
untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, dan mencegah terjadinya
kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Hukum pada dasarnya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang
bersangkutan. Sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai
dengan nilai nilai luhur bangsa Indonesia, khususnya peraturan perundang-undangan
peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda.
Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak diajukan gugatan sampai
dengan pelaksanaan putusan hakim. Oleh karena itu Hukum Acara Perdata akan digunakan
manakala ada sengketa perdata.

B. Rumus Permasalahan
1. Bagaimanakah Landasan Yuridis hukum acara perdata?
2. Bagaimanakah Prinsip-prinsip hukum acara perdata?
3. Bagaimanakah Tahapan-tahapan pembuktian hukum acara perdata?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Landasan Yuridis hukum acara perdata


2. Untuk mengetahui Prinsip-prinsip hukum acara perdata
3. Untuk mengetahui Tahapan-tahapan pembuktian hukum acara perdata

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Yuridis Hukum Acara Perdata


Landasan Yuridis adalah pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut dapat
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Secara yuridis pengaturan hukum acara perdata memiliki kecenderungan dapat
menghambat peradilan yang sederhana. Karena teori Hukum Pembangunan sangat
memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara perdata guna mewujudkan asas yang
sederhana dan selalu memperhatikan aturan-aturan hukum yang berlaku agar tidak
mengabaikan norma hukum yang hidup dalam masyarakat, putusan hakim atau
yurisprudensi.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Acara Perdata


Berikut merupakan beberapa Prinsip Hukum Acara Perdata :
1. Dalam perdata, suatu kasus hanya muncul jikalau ada pihak yang memulai. Jadi,
meskipun dalam kehidupan sehari-hari ada pihak-pihak yang dirugikan, namun pihak
tersebut tidak pernah membuat gugatan maka kasus perdata tidak akan dilaksanakan.
2. Hakim yang mengadili perkara perdata lebih bersifat pasif. Dia hanya melihat tuntutan,
pembelaan, pembuktian, dan kesimpulan dari para pihak.
3. Hakim tidak boleh memutus suatu perkara lebih dari apa yang dituntut oleh penggugat
(ultra petita). Apa yang dituntut, itulah batas tertinggi dari putusannya.

C. Tahapan-Tahapan Pembuktian Hukum Acara Perdata


Dalam pasal 163 HIR/283 RBG diatur, barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau
suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Rumusan norma
tersebut parallel dengan asas actori incumbit prabotio. Berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud maka yang wajib membuktikan adalah : orang yang mengaku mempunyai hak,
orang yang membantah dalil gugatan, orang yang menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya. Hal sebagaimana diuraikan tersebut dalam hukum acara perdata

2
disebut dengan pembuktian.

Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di
persidangan. Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni : hukum
pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur
tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur
tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil
mengatur tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa,
bukan hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang
harus dibuktikan adalah kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara
perdata adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran
materiil. Upaya mencari kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang
digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal
178 HIR/189 ayat (3) RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus
berdasarkan bukti yang cukup. Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya
harus melakukan tiga tindakan secara bertahap yakni : mengkonstantir yakni melihat benar
tidaknya peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa,
mengkonstituir yakni memberi hukumnya.
Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal
164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim.
Selain pasal 164 HIR/284 RBG pembuktian harus dikaitkan pula dengan : pasal 131 (1)
HIR yang mengatur tentang dibacakannya alat bukti yang diajukan oleh pihak oleh hakim di
persidangan untuk didengar pihak lawan, pasal 137 HIR/163 RBG yang mengatur tentang
pihak lawan dapat meminta agar diperlihatkan kepadanya bukti-bukti surat yang diajukan
oleh pihak lawannya, pasal 167 HIR tentang pihak berperkara dapat meminta salinan bukti
milik pihak lawannya. Kekuatan pembuktian bersifat sempurna dan mengikat artinya,
sempurna berarti hakim harus menganggap semua yang tertera dalam akta yang diajukan
sebagai bukti itu merupakan hal yang benar, kecuali pihak lawan dapat membuktikan
dengan akta lain bahwa akta yang diajukan tidak benar. Mengikat artinya hakim terikat
dengan akta yang diajukan oleh pihak sebagai bukti, selama akta tersebut dibuat sesuai
dengan ketentuan undang-undang tentang sahnya suatu akta. Suatu alat bukti dianggap sah
memiliki nilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, apabila telah

3
mencapai batas minimal pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan alat bukti permulaan
yang merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal alat bukti, sehingga alat
bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti untuk mendukung dalil gugatan kecuali
ditambah dengan paling sedikit satu alat bukti lagi. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan
dalam acara pembuktian di persidangan antara lain : segala sesuatu yang dianggap telah
diketahui oleh umum, hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim di persidangan dalam proses
persidangan, seperti pihak tergugat tidak hadir, hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang
diakui oleh tergugat.
Pasal 163HIR/283 RBG mengatur beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang
berkepentingan, tidak hanya kepada penggugat tetapi bisa juga kepada tergugat, yakni
ketika tergugat menyangkal dalil gugatan. Pokok-pokok dalam ketentuan pasal tersebut
pada intinya mengatur tentang beberapa hal antara lain : dalam proses perdata soal
pembuktian dilakukan oleh para pihak yang berperkara bukan hakim, penggugat harus dapat
membuktikan hak-haknya yang digugat dan sebaliknya tergugat harus dapat membuktikan
penyangkalannya atas dalil-dalil gugatan penggugat, hakim harus membagi beban
pembuktian kepada para pihak dan juga harus mengatur fakta yang harus dibuktikan baik
oleh penggugat maupun tergugat karena pembagian beban pembuktian sangat menentukan
suatu perkara, hakim harus menilai bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak apakah fakta-
fakta itu benar terjadi dengan bukti-bukti yang diajukan. Hal-hal lain yang perlu menjadi
pertimbangan hakim dalam pembuktian adalah sebagai berikut : beban pembuktian yang
terkait dengan siapa yang terlebih dahulu membuktikan dan kapan beban pembuktian
diberikan kepada penggugat dan tergugat, alat-alat bukti apa saja yang sah menurut hukum,
apakah alat bukti tersebut telah mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan
pembuktian.
Dari Surat Edaran Mahkmah Agung (SEMA), khususnya ditujukan kepada pengadilan-
pengadilan bawahannya (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri), yang berisikan
instruksi dan petunjuk-petunjuk bagi para hukum dalam menghadapi perkara perdata, hal itu
mempengaruhi Hukum Acara Perdata.
Supomo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” menerangkan bahwa
pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Didalam arti luas membuktikan berarti
memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang
terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu
dibantah oleh tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan, maka
Hukum Perdata tidak perlu dibuktikan.
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” mengatakan
bahwa membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional dan
yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk
membuktikan dalam arti konvensional, di sini
4 pun berarti juga memberi kepastian, hanya
saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan
membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim
yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab
dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu
dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara
pihak- pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak
pengggugat atau sebaliknya, Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak
yang mana akan memikul beban pembuktian.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hukum acara perdata memiliki kedudukan yang penting dalam pelaksanaan
penegakkan hukum. Yakni merupakan sarana hukum yang memuat hak dan kewajiban
yang harus ditaati.
2. Gugatan dalam Hukum Acara Perdata hanya akan dilaksanakan apabila pembuktian
memang benar-benar harus dilaksanakan.

B. Saran
Pertimbangan hukum hakim berguna bagi pengembangan hukum khususnya Hukum
Acara Perdata, sehingga dapat ditemukan teori-teori baru atau argumentasi baru yang berguna
bagi pengembangan hukum praktis dan teoritis.

6
DAFTAR PUSTAKA

https://manplawyers.co/2019/09/18/prinsip-prinsip-dasar-pembuktian-dalam-hukum-
acara-perdata/
http://jhaper.org/index.php/JHAPER/article/download/8/16

Anda mungkin juga menyukai